Harian Umum Tabengan,
Oleh KUSNI SULANG)**
Masuknya berbagai agama ke negeri kita, membawa serta dan menumbuhkan suatu kebudayaan baru. Masuk dan berkembangnya isme atau pandangan baru ini kemudian menumbuh-kembangkan suatu budaya baru.
Budaya Dayak yang oleh Damang Salilah sejak Zaman Pendudukan Jepang disebut Kaharingan, disebut Kebudayaan Ngaju oleh Scharer, sebenarnya tidak lain dari produk pengolahan oleh Uluh Biaju yang kemudian disebut Uluh Dayak Ngaju atau Dayak Ngaju terhadap masukan-masukan baru ini (Lihat: Pdt. Dr. Hermogenes Ugang, “Menelusuri Jalur-Jalur Leluhur” Bab II dan III, 1983, 247 hlm.).
Kebudayaan murni tanpa terpengaruh, tanpa menyerap unsur dari luar manapun itu tidak ada. Karena itu, ghettoisme, ethnosentrisme, sektarisme, tutup pintuisme budaya, separatisme adalah pikiran dan sikap sesat yang ankronis. Sedangkan fanatisme adalah suatu sikap yang menyangkal hukum gerak hal ikhwal menghentikan perkembangan waktu, menempatkan diri berada di ruang belakang laju perkembangan.
Isme-isme di atas terjadi karena kebingungan ketika berhadapan dengan perkembangan. Untuk tidak melyang-layang seperti daun jatuh dari dahan, para pendukung isme-isme itu lalu bertahan pada apa yang mereka sudah miliki tanpa filter. Artinya bersifat defensif, bukan lagi bersikp seniscayanya kreatif dan tanggap. Saya khawatir, Kalteng sekarang justru berada pada posisi defensif ini secara kebudayaan (pemikiran dan sikap)..
Tokoh Sinterklas yang hadir di masyarakat kita, termasuk di Kalteng, adalah satu tokoh yang datang bersama masuknya Kristianisme seiring dengan invasi Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) ke Kalimantan Selatan sekitar 1606 (Ahim S. Rusan et.al, 2006: 52). -VOC, sebagai suatu komunitas (gemeenschap) umumnya seperti ditunjukkan oleh Lilie Suratminto dalam bukunya Makna Sosio-Historis Batu Nisan VOC Di Batavia (Wedatama Widya Sastra, Jakarta, 2008: 9).
Posisi Kristianisme ini di Kalimantan makin terkonsonsolidasi dengan berdirinya Gereja Dayak Evangelis (GDE) pada 1835 (Marko Mahin & Rama Tulus, ed., 2005:3). Ketika kolonialisme Belanda memperkokoh penguasaannya atas Tanah Dayak melalui Pertemuan Tumbang Anoi 1894, serta politik desivilisasi ragi usang dilancarkan dengan sistematik, Kristianisme pun makin kokoh dengan mengorbankan budaya Biaju, yang disebut sebagai heiden (penyembah berhala) atau Agama Helu (dalam pengertian. Usang atau Dahulu). Sekarang disebut sebagai “budaya setan”. Yang terjadi bukan akulturasi tapi agresi kebudayaan untuk penaklukan budaya. (Lihat:
Imam Ali Khamenei, “Perang Kebudayaan”, Penerbit Cahaya, Jakarta, hlm. 15-17).
Bersamaan dengan perkembangan ini, tokoh Sinterklas masih merasuk ke kalangan masyarakat Dayak, bahkan Indonesia sampai-sampai ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berarti sudah dipandang sebagai bagian dari budaya Indonesia.
Sinterklas menurut KBBI (hlm. 946) adalah tokoh suci (dalam agama Kristen) yang konon sangat sayang dan selalu memberi hadiah kepada anak-anak pada hari-hari penting (terutam pada ulang tahunnya tanggal 6 Desember); perayaan memperingati hari ulang tahun Sinterklas tanggal 6 Desember.
Sinterklas nampak muncul terutama di Perayaan Natal. Barangkali kebiasaan merayakan hari ulang tahun dalam masyarakat Dayak juga muncul seiring dengan mengokohnya posisi Kristianisme di Tanah Dayak. Sebab, sebelumnya masyarakat Dayak tidak mengenal kebiasaan merayakan hari jadi. Pada hari-hari perayaan Natal 25 Desember, Sinterklas membagi-bagi hadiah kepada anak-anak. Pada hari ultah yang berultah menerima hadiah ini-itu sehingga tidak jarang, apabila ultah tidak dirayakan menimbulkan satu kekecewaan dan dampak psikologis anak pada lingkungannya.
Kebiasaan merayakan ultah ini, akhirnya mentradisi, paling tidak di kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Karena Sinterklas berasal dari Barat, dari daerah empat musim, sering ia tampil dengan mantel musim dingin putih tebal –- hal yang asing bagi daerah beriklim tropis.
Makna apa yang tersirat di balik tokoh Sinterklas ini? Seperti digambarkan oleh KBBI, Sinterklas adalah seorang tokoh suci (dalam agama Kristen) yang konon sangat sayang dan selalu memberi hadiah. Artinya, pada tokoh Sinterklas terdapat tiga nilai yaitu: suci, pengasih dan selalu memberi hadiah. Suci dan kasih, tentu saja diukur dengan standar nilai Kristiani.
Terhadap dua nilai ini, saya kira tidak ada yang dipermasalahkan. Karena dalam budaya manapun, termasuk dalam Masyarakat Adat (MA), masalah suci dan kasih juga terdapat, walaupun dalam kenyataannya atas nama nilai-nilai ini, kolonialisme Belanda memandang apa yang dimiliki oleh MA Dayak sebagai “ragi usang”. Sehingga atas nama kesucian dan kasih, kekerasan dan penindasan pun dilakukan.
Oleh penampilan Sinterklas sebagai sosok Orang Barat, kebetulan demikian bisa secara langsung atau tidak langsung, mencitrakan bahwa Orang Barat itu adalah orang-orang suci dan pengasih, murah hati dan suka memberi hadiah, padahal generalisasi demikian tidak mencerminkan kenyataan pula. Tapi efektif sebagai alat agresi kebudayaan untuk penaklukkan budaya, atau perang kebudayaan, serta pengelabuan, apalagi jika dilakukan secara terus-menerus selama ratusan tahun.
Tokoh begini berperan dalam mendorong lahirnya citra Orang Barat yang ‘’mulia’’, sedangkan orang lokal dipandang primitif, terbelakang dan bodoh sehingga muncullah kemudian kompleks rendah diri pada penduduk lokal, kompleks superioritas pada Orang Barat. Kompleks begini diperlukan oleh penjajah lama dan baru, dan sampai sekarang masih terdapat dalam masyarakat dengan rupa-rupa nama baru seperti modernitas, globalisasi, go international.
Ketika secara budaya suatu bangsa sudah ditaklukkan, maka bangsa dan negeri itu sebenrnya
sudah menjadi bangsa dan tanah jajahan sekalipun menyebut diri sebgai bangsa dan negeri merdeka. Tapi suatu kemerdekaan dan kedaulatan yang semu. Dalam keadaan demikian, Sinterklas tidak bisa disebut produk akulturasi, tapi menggambarkan budaya Barat semu (baca:penjajah) sebagai budaya supra (super culture).
Apalagi berbarengan dengan lukisan demikian, dicitrakan dan dimaknakan ‘’Dajakker” sebagai perilaku menyimpang dari norma-norma yang dianggap baku, menggambarkan sikap yang urakan, norak, primitif, serba negatif ( Roedy Haryo Widjono AMZ, 1998: 38). Sedangkan sifat pemurah, suka memberi dari Sinterklas, selain memupur wajah sesungguhnya dari penjajahan dan pengurasan oleh Perusahaan Besar Swasta (PBS) Barat serta para investor, secara tidak langsung menyemai semangat ketergantungan dan menadah tangan mengharapkan belas kasihan dari pihak yang menguras dan memeras.
Padahal yang diberikan hanyalah remah-remah dengan nama pinjaman atau hutang, bunga rendah, bantuan, dana tanggung jawab sosial, sebenarnya tak berarti apapun dibandingkan dengan hasil pengurasan yang menggunung.
Dalam konteks sejarahnya, kehadiran tokoh Sinterklas di Indonesia, termasuk di Tanah Dayak tidak lepas dari sejarah penjarahan yang dilakukan oleh para penjajah, bentuk dari politik etis penjajah. Kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negeri tidak bisa diharapkan dari Sinterklas, tapi perjuangan tanpa takut mandi darah dan airmata oleh kita sendiri. Inilah sari pola pikir dan mentalitas, sari budaya Utus Panarung Uluh Itah.
Sayangnya sari budaya ini sekarang kurang diindahkan, oleh “jiwa-jiwa mati”, meminjam istilah Nikolai Gogol, atau hambaruan (roh) yang dijual obral .***
**) Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Palangka Rya (LKD-PR).
sumber : www.hariantabengan.com
Oleh KUSNI SULANG)**
Masuknya berbagai agama ke negeri kita, membawa serta dan menumbuhkan suatu kebudayaan baru. Masuk dan berkembangnya isme atau pandangan baru ini kemudian menumbuh-kembangkan suatu budaya baru.
Budaya Dayak yang oleh Damang Salilah sejak Zaman Pendudukan Jepang disebut Kaharingan, disebut Kebudayaan Ngaju oleh Scharer, sebenarnya tidak lain dari produk pengolahan oleh Uluh Biaju yang kemudian disebut Uluh Dayak Ngaju atau Dayak Ngaju terhadap masukan-masukan baru ini (Lihat: Pdt. Dr. Hermogenes Ugang, “Menelusuri Jalur-Jalur Leluhur” Bab II dan III, 1983, 247 hlm.).
Kebudayaan murni tanpa terpengaruh, tanpa menyerap unsur dari luar manapun itu tidak ada. Karena itu, ghettoisme, ethnosentrisme, sektarisme, tutup pintuisme budaya, separatisme adalah pikiran dan sikap sesat yang ankronis. Sedangkan fanatisme adalah suatu sikap yang menyangkal hukum gerak hal ikhwal menghentikan perkembangan waktu, menempatkan diri berada di ruang belakang laju perkembangan.
Isme-isme di atas terjadi karena kebingungan ketika berhadapan dengan perkembangan. Untuk tidak melyang-layang seperti daun jatuh dari dahan, para pendukung isme-isme itu lalu bertahan pada apa yang mereka sudah miliki tanpa filter. Artinya bersifat defensif, bukan lagi bersikp seniscayanya kreatif dan tanggap. Saya khawatir, Kalteng sekarang justru berada pada posisi defensif ini secara kebudayaan (pemikiran dan sikap)..
Tokoh Sinterklas yang hadir di masyarakat kita, termasuk di Kalteng, adalah satu tokoh yang datang bersama masuknya Kristianisme seiring dengan invasi Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) ke Kalimantan Selatan sekitar 1606 (Ahim S. Rusan et.al, 2006: 52). -VOC, sebagai suatu komunitas (gemeenschap) umumnya seperti ditunjukkan oleh Lilie Suratminto dalam bukunya Makna Sosio-Historis Batu Nisan VOC Di Batavia (Wedatama Widya Sastra, Jakarta, 2008: 9).
Posisi Kristianisme ini di Kalimantan makin terkonsonsolidasi dengan berdirinya Gereja Dayak Evangelis (GDE) pada 1835 (Marko Mahin & Rama Tulus, ed., 2005:3). Ketika kolonialisme Belanda memperkokoh penguasaannya atas Tanah Dayak melalui Pertemuan Tumbang Anoi 1894, serta politik desivilisasi ragi usang dilancarkan dengan sistematik, Kristianisme pun makin kokoh dengan mengorbankan budaya Biaju, yang disebut sebagai heiden (penyembah berhala) atau Agama Helu (dalam pengertian. Usang atau Dahulu). Sekarang disebut sebagai “budaya setan”. Yang terjadi bukan akulturasi tapi agresi kebudayaan untuk penaklukan budaya. (Lihat:
Imam Ali Khamenei, “Perang Kebudayaan”, Penerbit Cahaya, Jakarta, hlm. 15-17).
Bersamaan dengan perkembangan ini, tokoh Sinterklas masih merasuk ke kalangan masyarakat Dayak, bahkan Indonesia sampai-sampai ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berarti sudah dipandang sebagai bagian dari budaya Indonesia.
Sinterklas menurut KBBI (hlm. 946) adalah tokoh suci (dalam agama Kristen) yang konon sangat sayang dan selalu memberi hadiah kepada anak-anak pada hari-hari penting (terutam pada ulang tahunnya tanggal 6 Desember); perayaan memperingati hari ulang tahun Sinterklas tanggal 6 Desember.
Sinterklas nampak muncul terutama di Perayaan Natal. Barangkali kebiasaan merayakan hari ulang tahun dalam masyarakat Dayak juga muncul seiring dengan mengokohnya posisi Kristianisme di Tanah Dayak. Sebab, sebelumnya masyarakat Dayak tidak mengenal kebiasaan merayakan hari jadi. Pada hari-hari perayaan Natal 25 Desember, Sinterklas membagi-bagi hadiah kepada anak-anak. Pada hari ultah yang berultah menerima hadiah ini-itu sehingga tidak jarang, apabila ultah tidak dirayakan menimbulkan satu kekecewaan dan dampak psikologis anak pada lingkungannya.
Kebiasaan merayakan ultah ini, akhirnya mentradisi, paling tidak di kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Karena Sinterklas berasal dari Barat, dari daerah empat musim, sering ia tampil dengan mantel musim dingin putih tebal –- hal yang asing bagi daerah beriklim tropis.
Makna apa yang tersirat di balik tokoh Sinterklas ini? Seperti digambarkan oleh KBBI, Sinterklas adalah seorang tokoh suci (dalam agama Kristen) yang konon sangat sayang dan selalu memberi hadiah. Artinya, pada tokoh Sinterklas terdapat tiga nilai yaitu: suci, pengasih dan selalu memberi hadiah. Suci dan kasih, tentu saja diukur dengan standar nilai Kristiani.
Terhadap dua nilai ini, saya kira tidak ada yang dipermasalahkan. Karena dalam budaya manapun, termasuk dalam Masyarakat Adat (MA), masalah suci dan kasih juga terdapat, walaupun dalam kenyataannya atas nama nilai-nilai ini, kolonialisme Belanda memandang apa yang dimiliki oleh MA Dayak sebagai “ragi usang”. Sehingga atas nama kesucian dan kasih, kekerasan dan penindasan pun dilakukan.
Oleh penampilan Sinterklas sebagai sosok Orang Barat, kebetulan demikian bisa secara langsung atau tidak langsung, mencitrakan bahwa Orang Barat itu adalah orang-orang suci dan pengasih, murah hati dan suka memberi hadiah, padahal generalisasi demikian tidak mencerminkan kenyataan pula. Tapi efektif sebagai alat agresi kebudayaan untuk penaklukkan budaya, atau perang kebudayaan, serta pengelabuan, apalagi jika dilakukan secara terus-menerus selama ratusan tahun.
Tokoh begini berperan dalam mendorong lahirnya citra Orang Barat yang ‘’mulia’’, sedangkan orang lokal dipandang primitif, terbelakang dan bodoh sehingga muncullah kemudian kompleks rendah diri pada penduduk lokal, kompleks superioritas pada Orang Barat. Kompleks begini diperlukan oleh penjajah lama dan baru, dan sampai sekarang masih terdapat dalam masyarakat dengan rupa-rupa nama baru seperti modernitas, globalisasi, go international.
Ketika secara budaya suatu bangsa sudah ditaklukkan, maka bangsa dan negeri itu sebenrnya
sudah menjadi bangsa dan tanah jajahan sekalipun menyebut diri sebgai bangsa dan negeri merdeka. Tapi suatu kemerdekaan dan kedaulatan yang semu. Dalam keadaan demikian, Sinterklas tidak bisa disebut produk akulturasi, tapi menggambarkan budaya Barat semu (baca:penjajah) sebagai budaya supra (super culture).
Apalagi berbarengan dengan lukisan demikian, dicitrakan dan dimaknakan ‘’Dajakker” sebagai perilaku menyimpang dari norma-norma yang dianggap baku, menggambarkan sikap yang urakan, norak, primitif, serba negatif ( Roedy Haryo Widjono AMZ, 1998: 38). Sedangkan sifat pemurah, suka memberi dari Sinterklas, selain memupur wajah sesungguhnya dari penjajahan dan pengurasan oleh Perusahaan Besar Swasta (PBS) Barat serta para investor, secara tidak langsung menyemai semangat ketergantungan dan menadah tangan mengharapkan belas kasihan dari pihak yang menguras dan memeras.
Padahal yang diberikan hanyalah remah-remah dengan nama pinjaman atau hutang, bunga rendah, bantuan, dana tanggung jawab sosial, sebenarnya tak berarti apapun dibandingkan dengan hasil pengurasan yang menggunung.
Dalam konteks sejarahnya, kehadiran tokoh Sinterklas di Indonesia, termasuk di Tanah Dayak tidak lepas dari sejarah penjarahan yang dilakukan oleh para penjajah, bentuk dari politik etis penjajah. Kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negeri tidak bisa diharapkan dari Sinterklas, tapi perjuangan tanpa takut mandi darah dan airmata oleh kita sendiri. Inilah sari pola pikir dan mentalitas, sari budaya Utus Panarung Uluh Itah.
Sayangnya sari budaya ini sekarang kurang diindahkan, oleh “jiwa-jiwa mati”, meminjam istilah Nikolai Gogol, atau hambaruan (roh) yang dijual obral .***
**) Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Palangka Rya (LKD-PR).
sumber : www.hariantabengan.com
No comments :
Post a Comment