BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Monday, June 30, 2014

Bukit Batu, Tempat Pertapaan Tjilik Riwut'

Disalin Oleh : John Kenedy Bucek [BHT'02]

Berada di atas Bukit Batu yang terletak di tengah hutan Kalimantan (Tengah), seperti berada di tempat yang mustahil. Berada di atas Bukit Batu dengan segera orang akan membayangkan dari mana batu-batu besar itu berasal, karena tidak mungkin batu-batu itu berasal dari Sungai Katingan yang jaraknya cukup jauh, yaitu sekitar 15 Km2. Kalau batu-ba...tu itu bekas dari puing-puing kerajaan, di Kalimantan Tengah tidak ada kerajaan yang berdiri karena merupakan daerah baru yang di buka dari hutan belantara. Berada di Bukit Batu seperti berada di satu tempat yang mustahil terjadi. Karena Bukit Batu sulit dijelaskan melalui fenomena alam dan realitas historis, setidaknya seperti Borobudur misalnya, sehingga Bukit Batu menghadirkan sistem keyakinan tersendiri bagi masyarakat setempat dan mempunyai legenda untuk meneguhkan keberadaan Bukit Batu, yang sekaligus, legenda itu, berfungsi sebagai legitimasi.

Nama Bukit Batu bukanlah nama asing bagi orang Kalimantan, setidaknya untuk Kalimantan Tengah. Memang, Bukit Batu terletak di desa Kasongan, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Kisah yang bergulir pada masa silam, seorang yang bernama Burut Ules tinggal di desa Tumbang Linting. Burut Ules dikenal sebagai seorang yang mempunyai kemampuan spritual tingkat tinggi, yang dalam bahasa setempat disebut sebagai bakaji. Seperti halnya di Jawa ada kisah Djaka Tarub yang mengambil selendang salah satu bidadari yang sedang mandi di telaga kemudian mengawini bidadari tersebut. Kisah Burut Ules menyerupai hal itu. Dia, Burut Ules, mengambil besaluka yang di Jawa dikenal dengan nama jarik. Bukan hanya sekali dia melihat tujuh dara yang turun dari langit dan mandi di telaga yang berada di tengah hutan belantara yang sedang ia persiapkan sebagai tempat tinggal. Ketika dengan sengaja Burut Ules menunggu sambil sembunyi disemak-semak, tujuh dara yang dia tunggu turun dari langit menuju telaga setelah melepaskan seluruh pakaian semuanya mandi di telaga. Burut Ules tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, yang mungkin tidak akan datang lagi, pada saat para dara itu menginjak tanah untuk mengenakan pakaian, Burut Ules muncul dari semak-semak langsung memeluk buah hatinya, yang tak lain bungsu dari para bidadari.

Singkat kisah, Burut Ules lalu mengawini dara bungsu itu dan untuk menjaga agar tidak kembali ke tempatnya, Burut Ules menyembunyikan pakaian dara yang dipersunting itu. Sampai pada klimaksnya, setelah keduanya bahagia mempunyai seorang anak, Burut Ules tidak bisa menerima kehadiran seorang anak muda, mamut menteng, yang dikenalkan istrinya sebagai saudaranya, lantaran terlalu sering pergi berduaan mandi di telaga dengan meninggalkan anaknya yang masih bayi, akhirnya Burut Ules membunuh pemuda itu. Mengerti akan hal itu, istri Burut Ules marah dan pergi meninggalkan suaminya dengan membawa serta anak laki-lakinya. Sebelum pergi istrinya sempat menyampaikan pesan, bahwa kelak kalau dewasa anak laki-lakinya akan kembali ke alam ayahnya karena dia tidak bisa tinggal di alam ibunya.

Putri ketiga Tjilik Riwut, Theresia Nila Ambun Triwati Suseno dalam bukunya yang berjudul "Manaser Panatau Tatu Hiang, Menyelami Kekayaan Leluhur" menutup kisah Burut Ules dengan menulis:

"Suatu hari di Teluk Derep, Tumbang Kasongan, terdengar suara gemuruh halilintar memekakkan telinga. Petir kilat sambar menyambar. Saat itu sebuah batu besar diturnkan dari langit. Diyakini bahwa anak Burut Ules yang telah gaib bersama istri pertamanya, saat itu telah dewasa. Sesuai janji, apabila telah dewasa ia akan kembali ke alam bapaknya bertempat tinggal, maka janji itu telah ditepati. Batu yang diturunkan dari langit kemudian terkenal dengan nama Bukit Batu dan diyakini sebagai tempat kediamannya, walau tak terlihat dengan mata jasmani, namun ia ada di sana sebagai Raja dan penguasa daerah tersebut…"

Sebagaimana legenda yang tidak menunjuk waktu peristiwa. Legenda Burut Ules dan Bukit Batu juga tidak bisa dilacak waktu kejadiannya, tetapi diyakini sebagai sungguh terjadi. Kisah cerita itu mengidentifikasi "Bukit Batu" sebagai makhluk yang mempunyai jenis kelamin laki-laki.

Dari Bukit Batu inilah kisah Tjilik Riwut mengawali jejak. Riwut Dahiang, ayah Tjilik Riwut, menginginkan mempunyai seorang anak laki-laki sebab setiap anaknya lahir laki-laki selalu meninggal. Di Bukit Batu Riwut Dahiang bertapa, dalam bahasa setempat disebut sebagai balampah untuk memohon kepada Hatalla (Tuhan) supaya mendapatkan anak laki-laki. Wangsit yang diperoleh dalam pertapaan itu ialah, bahwa anak laki-laki Riwut Dahiang yang akan dilahirkan kelak akan mengemban tugas khusus untuk masyarakat sukunya.

Tjilik Riwut dalam masa pertumbuhannya hampir tidak pernah melupakan Bukit Batu. Dalam usia yang masih belia, Tjilik Riwut biasa pergi meninggalkan teman bermainnya untuk menuju Bukit Batu, yang jaraknya dari tempat tinggalnya sekitar 15 Km. Tjilik Riwut berjalan menuju Bukit Batu untuk melakukan apa yang dulu pernah dilakukan oleh ayahnya, Riwut Dahiang.

Di Bukit Batu, seperti apa yang pernah dilakukan ayahnya, Tjilik Riwut melakukan apa yang disebut sebagai balampah (semedi, bertapa). Di tempat yang dianggap keramat itu Tjilik Riwut bersemedi untuk merenungkan kehidupannya. Dalam bertapa itu, lagi-lagi mendapat wangsit seperti yang pernah dialami oleh ayahnya. Wangsit yang pertama diperoleh ialah, supaya Tjilik Riwut menyeberang laut untuk menuju Pulau Jawa. Hampir sulit wangsit itu dilaksanakan, karena pada jaman itu, transportasi di Kalimantan masih sangat lemah untuk menuju Jawa, sehingga bisa dikatakan mustahil, apalagi harus ditempuh dari desa Kasongan di mana Tjilik Riwut lahir dan tinggal. Untuk pergi ke Banjarmasin yang terletak di pulau yang sama dengan Kalimantan, pada waktu itu bukan main susahnya.

Bukit Batu sekarang dikenal dengan nama “Tempat Pertapaan Tjilik Riwut”. Letak Bukit Batu dari kota Palangka Raya, ibu kota Kalimantan Tengah sekitar 40 Km. Namun dari Kabupaten Katingan hanya sekitar 10 Km. Untuk menunu ke Bukit Batu dari Palangka Raya bisa menggunakan transportasi umum atau mobil pribadi. Hanya karena transportasi umum tidak terlalu sering, sehingga terasa lama dalam menunggu. Sebagai salah satu obyek wisata Kalimantan Tengah umumnya, dan di Kabupaten Katingan khususnya, belum dikelola secara memadai. Terlepas sebagai obyek wisata, Bukit Batu memilik “jejak sejarah” terhadap terbentuknya Kalimantan Tengah.

"Isen Mulang Petehku"

Saturday, June 28, 2014

Selamat Gawai Dayak ke-X Nosu Minu Podi tahun2014

Adil Ka' Talino Bacuramin Ka' Saruga Basengat Ka' Jubata

Gawai Dayak ke-X Nosu Minu Podi tahun 2014 Kabupaten Sanggau, secara resmi dibuka oleh Ketua Umum Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Barat, Cornelis di Rumah Adat Dayak Dori' Mpulur Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau, Kamis (26/6). Peresmian ini di hadiri oleh Bupati Sanggau Paolus Hadi dan Wakil Bupati Sanggau Yohanes Ontot dan sejumlah pimpinan Muspida, SKPD dan Muspika Se-Kabupaten Sanggau.

Dalam sambutannya, Cornelis mengaku sedih mendengar perusahaan-perusahaan yang ada di Sanggau hanya menyumbang Rp.10 Juta untuk Gawai Dayak Tersebut. Padahal menurut dia, selama ini para pengusaha tersebut munggunakan tanah Dayak. "Datang dari sana (Jawa) hanya bawa barang dua biji. Dia punya investasi ratusan miliar dari Bank, kenapa dana CSR-nya tidak dikeluarkan untuk membangun mental orang Dayak. Ini adalah pembangunan mental, REVOLUSI MENTAL meroba pola pikir orang Dayak di kabupaten Sanggau ini, kenapa dia takut investasi. Apa dia tidak takut sawitnya disuntik orang Dayak, setiap malam 10 pokok, mampus dia" kata Cornelis.

Oleh karena itu, lanjut Cornelis dirinya meminta orang-orang Dayak yang ada di kabupaten Sanggau jangan lagi menyerahkan tanah-tanah Dayak kepada pengusaha. "Kita di kampung dia usir, Saya bukan provokator, bukan, tapi ini adalah kenyataan" tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama dia mendorong pembangunan daerah yang maju dan terdepan. Secara khusus dia memotivasi agar masyarakat Dayak mampu bersaing dalam segala hal dengan daerah atau provinsi lainnya. Pada acara Gawai Dayak ini juga Cornelis menyumbang uang sebesar Rp.50 juta yang di ambil dari uang operasional gubernur untuk panitia Gawai Adat Dayak 2014.

Bupati Sanggau, Paolus Hadi dalam sambutannya mengajak masyarakat Sanggau turut mensukseskan pembangunan daerah. Seperti halnya Sanggau yang mengusung tujuh Brand Image pembangunan yaitu Sanggau Tertib, Sanggau Bersih, Sanggau Sehat, Sanggau Pintar, Sanggau Terang, Sanggau Manjur, Sanggau Budiman.

"Tujuh brand image ini adalah tujuan kita bersama yang harus kita wujudkan, kita harus memiliki keyakinan untuk mewujudkan ini. Tujuan brand image ini akan menjadi ciri dari Sanggau, jadi ketika orang masuk ke Sanggau dia akan mengingat tujuh brand image ini" katanya.

Sementara itu ketua DAD kabupaten Sanggau, Yohanes Ontot menyampaikan, moment Gawai Dayak Nosu Minu Podi merupakan bentuk syukur kepada Tuhan karena telah dilimpahkan rezeki yang bersumber dari alam. Event tahunan yang kerap dilaksanakan pada tanggal 7 bulan 7 ini dikatakannya sedikit bergeser dari rencana. Berdasarkan hasil keputusan bersama Dewan Adat Dayak Se- Kabupaten Sanggau dengan pertimbangan antara lain, pada bulan Juli mendatang Indonesia akan menghadapi pemilihan Presiden dan akhir juni umat Islam akan memasuki bulan puasa.

Gawai Dayak sendiri merupakan tradisi nenek moyang Suku Dayak yang harus dipertahankan dan di kembangkan. Dengan moment Gawai Dayak yang mengusung tema "MElalui Gawai Dayak Nosu Mino Podi kita Dukung Tujuh Brand Image Kebupaten Sanggau" ini, Ontot mengajak masyarakat Dayak untuk melestarikan adat budaya Dayak yang tumbuh dan berkembang agar tidak kehilangan jati dirinya sebagai Orang Dayak.

Selamat Gawai Dayak ke-X Nosu Minu Podi tahun2014

Salam Budaya

Yohansen

sumber : kapuas.co

Wednesday, June 25, 2014

Sejarah Apokayan

Sejarah Apokayan
Apokayan (Apo Kayan) berasal dari nama sungai besar Kayan. Dalam wilayah administratifnya saat ini termasuk ke dalam Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Kawasan ini terbagi menjadi kecamatan Kayan Selatan, Kayan Hulu, Kayan Hilir dan Sungai Boh. Beberapa desa yang telah dikenal para wisatawan antara lain Long Ampung, Long Nawang, dan Data Dian. Apokayan memiliki hubungan erat dengan sejarah masyarakat Dayak. Dahulu, tempat ini ditemukan oleh orang-orang Dayak Kenyah asal Lundaye pada abad ke-16, untuk kemudian menjadikannya sebagai pusat perkampungan suku dan anak suku (uma) Dayak Kenyah. Pada abad ke-18, setelah berkembang pesat masyarakat Apokayan mulai eksodus dan menyebar ke wilayah Kabupaten Kutai menyusuri Sungai Mahakam, memasuki daerah Berau, terus ke hilir Sungai Kayan menuju Tanjung Peso, Tanjung Palas dan Tanjung Selor (Thomas Djuma, 2009).
Hutan dan Masyarakat Apokayan
Bagi masyarakat Apokayan, hutan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupannya. Bagaikan air dengan ikan. Ikan tidak bisa hidup tanpa air, ikan bernafas dan mencari makanan dalam air. Begitu juga mereka, tidak bisa hidup tanpa hutan yang lestari. Hampir semua kebutuhan mereka seperti makanan, obat-obatan, bahan bangunan, sumber air, dan penghasilan bergantung pada ekosistem hutan (Uluk et al., 2001).  Muvut adalah istilah yang lazim mereka sebut jika pergi ke hutan untuk mengumpulkan tumbuhan diselingi dengan berburu satwa. Jangka waktunya bisa sehari hingga berbulan-bulan. Hasil dari muvut dapat dijual untuk mendapatkan uang. Dalam bertahan hidup, mereka juga melakukan perladangan atau bercocok padi sawah (Dephut, 2002). Kehidupan masyarakat adat tersebut merupakan salah satu hal unik yang sangat menarik untuk ditelusuri wisatawan, terutama para peneliti. Banyak hal yang dapat mereka telusuri mulai dari sumber daya alam hayati, sosial budaya masyarakat dayak hingga pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki.
Destinasi Budaya, Sejarah, dan Wisata Alam
Apo Kayan memiliki keunikan, keindahan, dan nilai kekhasan dalam kekayaan alam, budaya, dan kesenian tradisional yang dapat dijadikan destinasi (tujuan) kunjungan wisatawan. Menurut Undang-Undang No.10 tahun 2009, suatu daerah bisa dijadikan destinasi (tujuan) wisata jika di dalam wilayah administratif kawasan tersebut terdapat daya tarik wisata (seperti budaya, peninggalan arkeologi bersejarah maupun panorama alam), fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. Berdasarkan definisi tersebut, maka dataran tinggi Apokayan memenuhi syarat untuk dijadikan tempat destinasi wisata. Namun demikian, beragam sarana dan prasarana harus ditambahkan untuk mengoptimalkan hasil yang diperoleh dari objek wisata tersebut. Balai Taman Nasional Kayan Mentarang Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III setidaknya telah mencatat beberapa objek wisata budaya dan wisata alam yang patut dikunjungi. Beberapa diantaranya sebagai berikut:
1.Batu Irang Dau
Dahulu sekitar tahun 1900, ketika kepercayaan masyarakat adalah Malang Ta’u (Animisme), batu keramat lepo jalan ini dipercaya dapat melindungi masyarakat dari segala bencana. Pada tahun 1902, masyarakat lalu membawa batu Irang Dau tersebut ke sebuah gunung (sekarang disebut gunung Irang Dau). Sebuah tunggul didirikan beberapa meter di tempat tersebut, lalu Batu Irang Dau diletakkan diatasnya. Awalnya batu itu berada di Long Anye sebelum akhirnya dipindahkan ke desa Metulang. Long Anye merupakan daerah asal masyarakat desa Metulang yang kini bermukim di Long Ampung. Menurut cerita, dahulu masyarakat percaya pada batu tersebut ketika roh yang ada pada batu tersebut pernah merasuki orang yang menemukannya dan berkata “Inilah aku. aku ingin menolong masyarakat bak dalam menghindarimu dari wabah penyakit, bencana kelaparan dan aku akan membuat bagimu kemarau untuk membakar ladang dan aku akan melindungi masyarakat dari segala bencana. Namaku adalah Irang Dau”.
2.       Monumen Perjuangan Apokayan.
Monumen ini berdiri kokoh di desa Nawang Baru kecamatan Kayan Hulu. Sebuah monumen perjuangan yang menggambarkan kegigihan masyarakat Apokayan dalam mengusir penjajah Belanda. Pada Monumen tersebut terdapat nama-nama para pejuang Apokayan yang terlibat langsung dalam perjuangan. Kala itu, masyarakat berhasil mengusir tentara Belanda, KNIL, dan KL dari Long Nawang sampai ke Long Boi sebelum penyerahan kedaulatan dari tangan pemerintah Hindia Belanda kepada pemerintah RI di penghujung  bulan desember 1949. 17 Agustus 1950 adalah hari bersejarah bagi masyarakat setempat karena untuk kali pertama sang saka merah putih berkibar di bumi Apokayan. Suasana nasionalisme dan semangat patriotisme sangat terasa hingga saat ini pada masyarakat setempat, baik tua maupun muda di setiap kali upacara kemerdekaan berlangsung.
3.       Kuburan Tua
Tidak jauh dari monumen perjuangan Apokayan, tepatnya dekat bandara Long Nawang terdapat kuburan Lencau Ingan. Seorang tokoh adat Apokayan yang telah menyatukan masyarakat setempat untuk melawan penjajahan Belanda di wilayah ini. Bentuk makamnya sangat unik dan menarik, namun belum dikelola secara maksimal untuk dijadikan destinasi wisata. Selain kuburan Lencau Ingan, ada pula Kuburan Tua Uyang Lahai. Kuburan ini merupakan leluhur masyarakat suku Dayak Kenyah. Kuburan ini terletak di Hilir Desa Data Dian dan sudah mulai dikelola oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Malinau dengan membangun pondok sebanyak dua buah.


4.       Sungai Kayan
Bagi yang menyukai petualangan, terutama penikmat olahraga arum jeram, maka sungai Kayan adalah tempatnya. Sungai besar ini memiliki lintasan yang panjang dan berkelok-kelok seperti ular. Sepanjang penelusuran sungai Kayan, di kiri-kanannya terdapat hutan hujan tropis dataran tinggi. Apabila beruntung, kita dapat melihat jenis primata endemik, monyet, biawak, hingga burung Enggang khas Kalimantan. Ada banyak giram yang terkenal di sungai ini, Seperti Giram Ben yang berada di hulu sungai Kayan, dekat desa Lidung Payau. Giram ini terdiri dari tiga tingkat yang apabila hujan lebat maka debit air semakin banyak membuat arus semakin deras. Adapula Giram Perian di jalur desa Long Nawang menuju desa Data Dian. Giram ini jika arusnya kecil sangat cocok untuk wisata arum jeram. Rute untuk wisata arum jeram yang aman adalah jalur dari desa Long Ampung menuju  Data Dian. Setelah desa Data Dian terdapat giram yang tidak bisa dilalui masyarakat setempat karena berbahaya. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai “Jeram Embun”. Arus deras yang bergulung-gulung mampu menelan benda apa saja sehingga membutuhkan peralatan khusus dan kemampuan tinggi untuk menyelusurinya. Arus deras itu tercatat dengan grade ½ atau tingkat kesulitan di atas rata-rata. Pada beberapa bagian tidak bisa dilewati karena terlalu curam dan tinggi sehingga air jatuh menimbulkan suara bergemuruh serta melontarkan percikan air seperti embun. Mungkin itu sebabnya masyarakat setempat menyebutnya sebagai Jeram Embun. Selain Arum Jeram, kita juga dapat melakukan trekking menelusuri hutan dataran tinggi Apo Kayan sambil menikmati keanekaragaman flora dan fauna endemik.
5.       Seni dan Budaya
Selain berwisata sejarah dan menikmati indahnya panorama alam, wisatawan dapat menikmati seni, budaya dan tradisi kehidupan tradisional masyarakat setempat. Seperti kerajinan ukiran, anyaman, nyanyian, musik khas Kalimantan, hingga tarian-tarian yaitu Tarian Hudok, Tarian Gerak Sama, dan Tarian Perang. Jika musim bunga tiba, wisatawan juga dapat mengikuti prosesi kegiatan panen madu yang melibatkan banyak orang di desa Data Dian.
Akses Menuju Lokasi
Untuk mengakses tempat ini dapat menggunakan pesawat Susi Air selama kurang lebih 1 jam dengan rute penerbangan Samarinda-Long Ampung, atau Tarakan-Long Ampung. Jika melalui kota Malinau dapat menggunakan rute Malinau-Long Ampung, Malinau-Long Nawang, dan Malinau-Data Dian. Jika menaiki pesawat yang mendarat di Long Ampung, perjalanan dapat dilanjutkan menuju Long Nawang Kayan Hulu dan Data Dian Kayan Hilir menggunakan jasa perahu ketinting (bermuatan 6-8 orang). Biaya yang diperlukan untuk Long Ampung-Long Nawang sekitar 500.000,-/ketinting, sedangkan Long Ampung-Data Dian sekitar 3.500.000,-/ketinting.
Strategi Pengembangan Wisata
Melihat banyaknya potensi objek wisata di tanah Apokayan tersebut, maka usaha pengembangan mutlak diperlukan untuk mengoptimalkan nilai jual produk wisata. Suatu obyek wisata akan memiliki kualitas produk yang baik apabila para pelaku wisata yaitu pemerintah, pengelola wisata, dan masyarakat memiliki kesiapan didalamnya (Departemen Pariwisata & Ekonomi Kreatif, 2002). Salah satu bentuk kesiapan dari pemerintah adalah membuat akses menuju destinasi wisata tersebut menjadi mudah. Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, hingga saat ini akses menuju lokasi hanya dapat ditempuh dengan pesawat Susi Air (kapasitas 12 orang) serta MAF (4-5 orang). Oleh karena itu, salah satu cara untuk menaikkan laju wisatawan adalah meningkatkan layanan rute penerbangan ke wilayah Long Ampung, Long Nawang dan Data Dian. Hal lain yang perlu dipersiapkan juga adalah sarana prasarana di masing-masing objek wisata. Ada beberapa objek wisata seperti kuburan Uyang Lahai di Data Dian yang telah dibangun shelterdan jalan menuju lokasi. Namun demikian, masih banyak objek wisata lain yang belum dilengkapi oleh pihak pengelola wisata. Sarana lain yang penting untuk segera dilengkapi adalah fasilitas telekomunikasi dengan tarif yang terjangkau. Di sisi lain kesiapan masyarakat juga mesti ditingkatkan. Keterlibatan masyarakat lokal dapat dilakukan dengan beberapa bentuk seperti menjadi guide/pemandu wisata, bekerja sebagai karyawan pada objek wisata, atau menyediakan jasa akomodasi, konsumsi, dan transportasi (Drumm dan Alan, 2002).

Sumber : kompasiana.com

Monday, June 23, 2014

Jokowi di Rumah Radakng Pontianak

Hari ini kita sebagai Masyarakat Dayak merasa sangat terhormat dengan kehadiran Calon Presiden No.2 Jokowi di Rumah Radakng (Betang) Pontianak paling tidak suara kita juga diperhitungkan dalam pemilihan presiden 2014.

Capres Joko Widodo berkampanye di depan ribuan pendukungnya di kota Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam kesempatan itu, Jokowi menyinggung soal masalah perbatasan.

"Di Kalimantan Barat ini berbatasan dengan Serawak ya? Nanti pemerintah pusat bekerja sama dengan gubernur akan kita bangun perbatasan agar tidak kalah dengan Malaysia, tidak kalah dengan Serawak," kata Jokowi saat berkampanye di Rumah Adat Radakng, Kota Pontianak, Kalbar, Senin (23/6/2014).

"Wajah saya ndeso, tapi otaknya internasional," imbuh Jokowi yang disambut riuh pendukungnya.

Sebelumnya saat tiba di lokasi, Jokowi yang mengenakan kemeja kotak-kotak dipakaikan topi kebesaran adat Topi Enggang. Wujud topi itu menyerupai paruh burung lengkap dengan bulu-bulunya.

Selain itu, Jokowi juga disambut oleh Gubernur Kalbar Cornelis serta Tarian Penyambutan Suku Dayak, Tarian Ngajat.

Kami sebagai Admin Cerita Dayak sangat mengapresiasikan kunjungan Jokowi di Rumah Radakng Pontianak untuk meminta dukungan sebagai calon presiden 2014-2019 kepada Masyarakat Dayak.

Mengenai pilihan Cerita Dayak tetap netral. Siap pun yang terpilih  menjadi pemimpin bangsa ini kita berharap ada perubahan yang lebih baik bagi Borneo.


Salam Budaya


Yohansen Borneo

Sumber : detik.com

Pang Suma

Pang Suma adalah seorang tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang bergerilya di Kalimantan Barat. Pang Suma dikenal sebagai pejuang melawan penjajah Jepang. Hingga kini, tokoh pahlawan yang bernama Pangsuma, belum ada satu pun yang mengetahui di mana dan kapan ia lahir. Namun menurut penuturan cucu pengawal Pangsuma, Sera, atau lebih dikenal dengan Pang Ronda, menuturkan bahwa Pangsuma berasal dari dusun di Kecamatan Meliau bernama Nek Bindang. Pangsuma merupakan nama panggilan, dalam Bahasa Meliau merupakan penggabungan dua suku kata yakni Pang berarti bapak dan Suma adalah nama anaknya.
Pangsuma berjuang membebaskan Meliau dari penjajah Jepang, walaupun mati di tangan teman seperguruannya yang berkhianat karena bergabung bersama Jepang. Pang Ronda mengungkapkan cerita ini dari orang tua dan kakeknya, bahwa perjuangan Pangsuma memang benar-benar gigih.
"Pangsuma saat menginjak dewasa, sama dengan masyarakat lainnya berada di bawah kekuasaan Jepang yang mengharuskan para kaum laki-laki harus bekerja untuk Jepang (budak) membawa batang kayu berukuran besar dan pada saat itu banyak rakyat yang sering dipukul serta perlakuan lainnya yang tidak manusiawi bila tidak bekerja secara maksimal.
Latar belakang itulah, Pangsuma melawan ketidakadilan muncul dari hati dan mendapat dukungan dari rakyat. "Kita bekerja mati-matian untuk Jepang dan kita nanti mati juga untuk Jepang, dari pada kita mati untuk mereka kenapa kita tidak membunuh Jepang," tutur Pang Ronda menirukan cerita kakeknya.
Rasa ingin membebaskan dari belenggu penjajah saat itu hanya dengan berbekal keberanian dan sebilah Sabur (sejenis mandau/parang panjang), Pangsuma berhasil membunuh pimpinan Jepang di tiga lokasi yakni Sekucing Balai Bekuak perbatasan Kabupaten Ketapang dan Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau, kedua di Desa Kunyil Kecamatan Meliau dan ketiga di pusat Kota Meliau sendiri yang merupakan basisnya Jepang.
Konon menurut cerita, seseorang dapat dikatakan jago atau pahlawan bila dapat membunuh musuh paling banyak serta membawa pulang kepalanya sebagai bukti. Karena di rasa Pangsuma merupakan satu sosok yang dapat membahayakan bagi Jepang, maka Jepang membayar teman seperguruan Pangsuma (pengkhianat) untuk membunuh Pangsuma, yakni ditembak dengan buntat kuali.
Pangsuma ditembak bersama adiknya, sang adik selamat namun Pangsuma meninggal dunia di bawah jembatan, yang saat ini berlokasi disebelah dermaga Meliau dan tidak jauh dari tempat itulah Pangsuma dimakamkan. Kini berdiri sebuah tugu yang diberi nama Tugu Pangsuma.

Sunday, June 22, 2014

Kesadaran Politik Dayak dalam Teropong Sejarah.


Adil ka’ talino bacuramin ka’ saruga basengat ka’Jubata.

Posisi Akademisi dalam Pilpres
Bola panas menjelang Pemilihan Presiden sudah di mulai. Setidaknya ada dua pasangan calon capres dan cawapres yang akan bertarung pada tanggal 9 Juli 2014. Pertarungan ini semakin memanas dengan bergabungnya akademisi yang secara tiba-tiba menjadi juru kampanye kedua pasangan tersebut. Tidak ada yang salah sebenarnya dalam perilaku tersebut. Dalam sebuah negara demokrasi setiap individu memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Hanya saja sangat disayangkan, seorang akademisi yang diharapkan dapat memberikan analisis kritis dan berimbang, kini telah terkotak-kotak membela kepentingan golongan.

Tidak ada yang mengetahui secara pasti alasan apa yang melatarbelakangi para akademisi menjadi jurkam para kandidat selain diri mereka sendiri dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang pasti, semua kalangan berharap bahwa semakin banyaknya akademisi dalam dunia politik praktis akan memberikan pendidikan politik yang semakin cerdas dan bukan sebaliknya, membuat kegaduhan dengan mencari-cari legitimasi untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar.

Posisi akademisi dalam sebuah partai atau dukungan politik itu sangat penting. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai tim ahli dan perumus program-program yang dianggap relevan dengan menggunakan hasil riset tetapi juga untuk menangkis semua serangan-serangan negatif (black campaign atau negative campaign) yang dituduhkan kepada pasangan yang didukungnya. Pada saat seperti inilah sejatinya para akademisi diuji idealitasnya antara membela kebenaran atau membela kepentingan.

Saat ini setidaknya ada dua kubu akademisi yang bertarung pada arena politik. Kubu Mahfud MD yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta dan kubu Anis Baswedan yang mendukung pasangan Jokowi-JK. Dengan melihat kapasitas intelektual yang dimiliki, tentu tidak diragukan lagi. Akan tetapi, benarkah kapasitas intelektual semata akan menjamin seseorang bersikap obyektif atau dapat juga terjebak dalam pragmatisme?

Kesadaran Politik Dayak dalam Teropong Sejarah.
Semakin menarik melihat euforia demokrasi Indonesia menjelang Pemilu Presiden ini, khususnya di kalangan anak muda. Mungkin benar jika Pemilu adalah pesta rakyat. Di orde baru, awal reformasi kehebohan menyambut pemilihan presiden boleh dibilang cuma terjadi di kalangan para politisi. Sekarang sangat berbeda, lihat saja di media massa, media sosial anak-anak muda berpartisipasi mendukung habis-habisan pasangan calon presiden dengan menyampaikan beragam opini dan kreatifitas melalui design gambar untuk mempromosi maupun menangkis serangan-serangan lawan.
Sebagai anak muda saya pun tidak ingin melewatkan pesta demokrasi ini dengan cuma berdiam diri saja, tentunya dengan mendukung salah satu calon yang di anggap paling tepat untuk memimpin bangsa ini. Namun terlepas dari masalah Pemilihan Presiden, ada beberapa catatan sejarah politik yang pernah di lakukan oleh Suku Dayak dilihat dari teropong sejarah.

Dalam bukunya ”Kalimantan Membangun”, Tjilik Riwut, Pahlawan Nasional RI dari suku Dayak Kalimantan mengungkapkan bahwa Suku Dayak di Kalimantan juga memainkan peran yang sangat penting dalam merebut kemerdekaan dari tangan kolonial. Riwut, yang mantan Gubernur pertama Kalimantan Tengah ini mencatat bahwa pergerakan nasional modern dari pulau Kalimantan sebenarnya jauh melampaui Soempah Pemoeda 1928, Tahun 1919 berdirinya Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, yang dipelopori oleh Hausman Babu, M. Lampe , Philips Sinar, Haji Abdulgani, Sian, Lui Kamis, Tamanggung Tundan, dan masih banyak lainnya. Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, bergerak aktif hingga tahun 1926. Pada tahun itu pula (1926), lahir organisasi wirausahawan bernama Sarikat Dagang Dayak (SDD) yang tiga tahun kemudian mendirikan Majalah Suara Pakat sebagai karya jurnalistik pertama orang-orang Dayak Besar. Sejak saat itu, Suku Dayak menjadi lebih mengenal keadaan zaman dan mulai bergerak. Tahun 1928, kedua organisasi tersebut dilebur menjadi Pakat Dayak, yang bergerak dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Mereka yang terlibat aktif dalam kegiatan tersebut ialah Hausman Babu, Anton Samat, Loei Kamis. Kemudian dilanjutkan oleh Mahir Mahar, C. Luran, H. Nyangkal, Oto Ibrahim, Philips Sinar, E.S. Handuran, Amir Hasan, Christian Nyunting, Tjilik Riwut, dan masih banyak lainnya. Pakat Dayak meneruskan perjuangan, hingga bubarnya pemerintahan Belanda di Indonesia.

Namun, gerakan Dayak untuk bebas dari penindasan baik yang dilakukan kerajaan feodal maupun penjajah Belanda semakin menguat dari tahun ketahun diseluruh Kalimantan. Pada tahun 1941 misalnya, sejumlah tokoh Dayak dalam suatu retret guru agama katolik di Nyarumkop Kalimantan Barat bersepakat untuk meningkatkan dan memperjuangkan nasib orang Dayak melalui perjuangan politik. Kesepakatan itu merupakan salah satu inisiatif JC Oevaang Oeray, siswa seminari yang menulis surat kepada peserta retret. Oleh AF Korak, JR Giling dan MT Djaman, berhasil dicetuskan kebulatan tekad untuk berjuang secara politik. 4 tahun setelah kesepakatan itu, tepatnya pada tanggal 30 Oktober 1945, F.J Palaunsoeka, guru sekolah rakyat di Puttusibau dan kawan-kawannya mendirikan Dayak In Action (DIA) dengan moderator seorang pastor Jawa bernama Adi Karjana SJ. Karena perkembangan situasi politik saat itu, pada tanggal 1 Nopember 1945, DIA diubah menjadi Partai Persatuan Daya (PD) dengan ketua umum pertamanya F.J Palaoensoeka. Disetiap kampung dibentuk Komisariat yang sejajar dengan Dewan Pimpinan Cabang. Momentum gerakan politik melalui PD kemudian mendapat tempat dengan diubahnya karesidenan Kalbar menjadi Daerah Istimewa Kalbar pada tanggal 12 Mei 1947. Pada tahun 1959, Persatuan Dayak bubar, kemudian bergabung dengan PNI dan Partindo. Akhirnya Partindo Kalimantan Barat meleburkan diri menjadi IPKI. Di daerah Kalimantan Timur berdiri Persukai atau Persatuan Suku Kalimantan Indonesia dibawah pimpinan Kamuk Tupak, W. Bungai, Muchtar, R. Magat, dan masih banyak lainnya.

Sejarah mencatat, perjuangan politik orang Dayak ternyata tidak hanya berjuang secara diplomatic, tetapi ada juga yang berjuang senjata. Pada tahun 1943 diproklamasikan sebuah Negara Dayak bernama Negara Madjang Desa. Pang Suma menjabat sebagai perdana menteri, yang dibantu oleh Pang Linggan, dan kawan-kawannya. Gerakan Pang Suma menyihir para aktivis muda Dayak untuk bergabung dinegara yang baru terbentuk ini, termasuk sisa-sisa kaum progresif yang masih hidup ketika beberapa kali pecah pertempuran melawan pemerintah Hindia Belanda. Momentum perlawanan Pang Suma diawali dengan pemukulan seorang tenaga kerja Dayak oleh pengawas Jepang, satu diantara sekitar 130 pekerja pada sebuah perusahaan kayu Jepang. Kejadian ini kemudian memulai sebuah rangkaian perlawanan yang mencapai puncak dalam sebuah serangan balasan Dayak yang dikenal dengan Perang Majang Desa, dari April hingga Agustus 1944 di daerah Tayan-Meliau-Batang Tarang (Kab. Sanggau). Sekitar 600 pejuang kemerdekaan dibunuh oleh Jepang, termasuk Pang Suma. Di Sidas, Mane Pak Kasih, asal Kampung Pancur Sengah Temila bertempur dengan tentara NICA di Jembatan Sidas. Bersama rombongannya, Mane Pak Kasih gugur, membela kemerdekaan yang sudah diraih. Peristiwa ini dikenal dengan Perang Sidas. Mengapa pejuang-pejuang itu gagal ? Salah satu sebab utama kegagalan tersebut adalah ketidakmampuan Dayak radikal dalam mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan potensial rakyat Dayak secara umum, sehingga mereka tak memiliki kekuatan yang cukup dalam menghadapi serangan aparat militer Jepang.

Sebagaimana dicatat para penulis Eropah, pada masa sebelum dan selama masa kolonial, Kalbar merupakan daerah yang terdiri dari banyak kesultanan. Kendati saling bersaing, semua sultan adalah Melayu dan memperoleh dukungan dari pemerintah Belanda & Jepang. Dayak adalah rakyat yang menjadi subyek kekuasaan Melayu. Cina merupakan kelompok etnik yang walaupun juga berada dalam kekuasaan Melayu, namun mereka berusaha mengembangkan otonomi tersendiri & relatif eksklusif. Konfigurasi sosial semacam itu terus bertahan hingga beberapa peristiwa penting terjadi di penghujung masa kolonialisme dan masa kemerdekaan. Pemerintah Belanda & misionaris memberikan kesempatan pendidikan yang besar, dan secara sadar atau tidak, ikut membentuk identitas etnik kepada Dayak. Dalam batas tertentu, pemerintah dan misionaris juga membuka kesempatan pendidikan yang besar kepada Cina. Tragedi pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor membuat Melayu kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas. Dan karena sikap yang cenderung pro Belanda pada masa awal kemerdekaan, membuat Melayu pada akhirnya kehilangan peluang untuk menguasai birokrasi pemerintahan pada masa Orde Lama. Sejumlah Dayak berhasil memanfaatkan situasi ini, setelah berhasil mengkosolidasi kekuatannya, mereka mendirikan partai politik dan menang dalam pemilu 1955 dan 1958. Hal ini kemudian mengantarkan Dayak untuk menempati posisi sebagai kelompok etnik yang berkuasa. Satu orang menjadi gubernur, dan 4 di antaranya menjadi bupati serta beberapa mengisi jabatan-jabatan prestisius lainnya. Singkatnya, Dayak naik ke kursi kekuasaan, menggantikan kelompok etnik yang dulu mereka anggap sebagai penjajahnya.

Kemerdekaan dan politik luar negeri Indonesia di masa Orde Lama, membuat Cina menjadi lebih berkembang. Mereka bukan hanya menguasai ekonomi, melainkan juga mulai masuk dan berperan dalam bidang sosial-politik. Tidak lama Dayak menguasai birokrasi pemerintahan. Seiring dengan pergantian rezim dan perubahan politik luar-negeri Indonesia, pemerintah pusat membatasi aktivitas tokoh Dayak dalam politik dan pemerintahan, dan menggantikannya dengan pejabat militer yang berasal dari Jawa. Dayak berusaha mengadakan koptasi, namun gagal.

Peralihan Orde Lama ke Orde Baru merupakan masa yang paling menyakitkan bagi Cina. Mereka bukan hanya kehilangan posisinya secara ekonomi dan politik, melainkan juga harus kehilangan materi dan nyawa. Kelompok etnik yang relatif beruntung adalah Melayu dan Madura. Belajar dari sejarah, secara perlahan Melayu berhasil kembali menguasai birokrasi tingkat menengah ke bawah. Kendati perannya secara politik tidak besar, Madura berhasil memperbaiki posisinya sedemikian sehingga pemerintah, militer, dan parpol terpaksa harus memperhatikan kepentingannya dalam beberapa urusan tertentu. Puncaknya adalah terpilihnya seorang militer Madura menjadi bupati di kabupaten Sanggau.

Orde Baru adalah masa kontemplasi dan konsolidasi bagi Dayak. Dalam masa panjang itu, mereka berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka dengan mengontraskan perbedaan antara Dayak dengan Melayu. Mereka mengidetifikasi dirinya sebagai Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Mereka mendirikan berbagai organisasi sosial-politik dan ekonomi yang berusaha memberdayakan kelompok etniknya. Beberapa belas tahun kemudian, pemberdayaan tersebut berhasil mentransformasikan dirinya sebagai suatu gerakan politik.

Posisi Dayak pada Pemilihan Presiden 2014.
Hingar bingar Pemilihan Presiden 2014 sudah telah menyita perhatian banyak kalangan dari tukang becak sampai kalangan elit. Tidak terkecuali dengan kalangan intelektual Suku Dayak, seolah tidak ingin melewatkan moment ini, beragam dukungan pun diberikan kepada masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden No.1 Prabowo Hatta mendapat dukungan dari  Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah (LM-MDD-KT) deklarasikan ini dilakukan di Rumah Polonia, Jakarta Timur pada tanggal 20 Juni 2014 Prof. KMA M Usop selaku Ketua Presidium LM-MDD-KT menghadiri langsung acara deklarasi tersebut.

Sementara itu pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden No.2 Joko Widodo dan Jusuf Kalla mendapat dukungan dari Forum Dayak Kalbar Jakarta (FDKJ) keputusan ini di ambil dari hasil rapat bersama tgl 29 Mei 2014 di Cijantung. Deklarasi terhadap pasangan calon Presiden No.2 ini pun dilakukan pada tanggal 30 Mei 2014 di Jln Sisingamangaraja yang dipimpin langsung oleh Ketua FDKJ Bapak Nikodemus Sabudin.

Pasangan Calon Presiden dan Wakli Presiden No.2 Joko Widodo dan Jusuf Kalla Juga mendapat dukung dari Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) melalui surat edaran NO.20/MADN/VI/2014 Pada tanggal 5 Juni 2014. Yang di tujukan kepada seluruh pengurus Dewan Adat Dayak (DAD) Seluruh Kalimantan. MADN mengajak masyarakat Adat Dayak untuk berpartisipasi dan melakukan pengawasan terhadap Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia tanggal 9 Juli 2014. Dalam surat tersebut juga Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) memberikan dukungan terhadap pasangan calon presiden No.2 Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Selain dukungan yang diberikan secara langsung melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan, dukungan secara individual pun tidak kalah serunya. Tidak heran kalau akhir-akhir ini muncul para pengamat politik dadakan dari kalangan Anak Muda Dayak. Mereka pun menyebut dirinya sebagai Relawan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Para Relawan ini bertugas untuk mempromosikan program-program pasangan yang didukungnya melalui media sosial. Mereka juga bertugas untuk menangkis semua serangan-serangan negatif (black campaign atau negative campaign) yang alamatkan kepada pasangan yang didukungnya. Tidak jarang pada saat tertentu mereka saling serang, seolah-olah tidak kenal lagi persahabatan apabila berbeda pilihan main libas. Bahkan ada yang sampai adu urat saraf sakin cintanya kepada pasangan yang didukungnya.

Terlepas dari semua perbedaan diatas, yang perlu kita sadari adalah dalam suasana demokrasi persaingan serta perbedaan pendapat dalam memilih merupakan suatu yang wajar. Namun demokrasi juga tidak pernah membenarkan adanya bentrokan atau konflik adalah bagian darinya. Karena itu masyarakat Dayak yang terlibat dalam kampanye harus didasari bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari partisipasi politik yang dilakukanya dengan sukarela dalam menentukan pemilihan pemimpin bangsa. Siapa pun yang akan terpilih kita berharap presiden yang akan memimpin kita bisa membawa perubahan yang lebih baik dari sekarang.

Sebagai Masyarakat Dayak tentunya kita ingin diperhatikan oleh pemerintah terutama pembangunan sumber daya manusia dan Infrastruktur yang memadai di tanah Borneo. Kita tidak ingin lagi melihat jalan-jalan yang kita lewati seperti KUBANGAN atau seperti sawah yang habis di bajak. Pembanguan Infrastruktur sudah sangat mendesak, keseriusan pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut sangat kita harapkan. Teman-teman mari kita sambut calon pemimpin baru negeri ini dengan penuh harapan, tanggal 9 Juli 2014 saatnya kita memilih, pilihlah pemimpin yang TEPAT, pilihlah pemimpin yang BERSIH, pilihlah pemimpin yang mau MELAYANI bukan diLAYANI, pilihlah pemimpin yang mau MENDENGAR suara rakyatnya.

Salam Budaya

Yohansen Borneo
Admin Cerita Dayak


Sumber :
-              www.ceritadayak.com
-              www.wikipedia.com
-              www.asosokbakati.blogspot.com
-              Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan - Karya Tjilik Riwut
 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube