BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Wednesday, December 14, 2011

Teling Panjang, Budaya Dayak Yang Mulai Punah

Ilustrasi
Seni tato dan telinga panjang menjadi ciri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai penduduk asli Kalimantan. Dengan ciri khas dan identitas itulah yang membuat suku Dayak di kenal luas hingga dunia internasional dan menjadi salah satu kebanggan budaya yang ada di Indonesa. 

Namun tradisi ini sekarang justru semakin ditinggalkan dan nyaris punah. Trend dunia fashion telah mengikis budaya tersebut . Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian kecil golongan generasi tua suku Dayak yang berumur di atas 60 tahun. Generasi suku Dayak diatas tahun 80-an.

Tidak ada yang tahu secara pasti kapan suku Dayak mulai melakukan tradisi ini, semua menyatakan mengikuti tadisi yang diyakini juga seabgai tatanan kehidupan sosial suku Dayak. Secara tatanan sosial dan tradisi budaya Dayak, telinga panjang ini merupakan identitas yang tidak bisa di pesahkan dengan kehidupan sosial.

PERTANDA WANITA BANGSAWAN


Menurut asal-usulnya ratusan tahun lalu, budaya telinga panjang bukan hanya dilakukan wanita, pria juga ada yang memanjangkan telinga. Dan yang memanjangkan telinga hanya kaum bangsawan suku Dayak. Ini menandakan bahwa yang yang bersangkutan adalah keturunan bangsawan Dayak. 

Telinga panjang pada Wanita Dayak menunjukkan dia seorang bangsawan sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang dijadikan budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang.

Disamping itu telinga panjang digunakan sebagai identitas untuk menunjukkan umur seseorang. Begitu bayi lahir, ujung telinga diberi manik-manik yang cukup berat. Setiap tahun, jumlah manik-manik yang menempel di telinga bertambah satu. Karena itu, kalau ingin mengetahui umur seseorang, bisa dilihat dari jumlah manik-manik yang menempel di telinga. Jika jumlahnya 60, maka usianya pasti 60 tahun karena pemasangan manik-manik tidak bisa dilakukan sembarangan, cuma setahun sekali. 

Agar daun telinga menjadi panjang, biasanya daun telinga diberi pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang atau berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter.

Selain sebagai status sosial dalam kehidupan masyarakat, telinga panjang juga di nilai dari segi kecantikannya. Semakin panjang telinga seorang wanita Dayak, maka pemilik telinga semakin cantik.


MULAI PUNAH
Seiring perkembangan jaman dan medernisasi yang perlahan tapi tapi mulai masuk dan menggeser tradisi turun temurun ini.  Telinga panjang mulai punahn, menurut informasi yang kami dapatkan adalah ketika mulai masuknya para misionaris ke daerah pedalaman di perkampungan Dayak pada zaman kolonial Belanda dulu.

Tapi tidak ada yang tahu persisnya kapan mulai punah, tapi rata-rata yang masih mempertahankan budaya telinga panjang adalah wanita suku Dayak yang berusia diatan 60 tahun. Sedangkan genersi sekarang sudah tidak ada. Budaya ini pun semakin terkikis habis ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia di daerah perbatasan Kalimantan.

Saat itu berkembang stigma di masyarakat, mereka yang berdaun telinga panjang dan tinggal di rumah- rumah panjang, yang dihuni beberapa keluarga, merupakan kelompok masyarakat yang tidak modern. Tidak tahan terhadap pandangan seperti itu, akhirnya beberapa warga memotong telinga panjangnya.

Stigma semacam ini terus berlangsung hingga sekarang. Kalangan generasi muda Dayak tidak mau lagi membuat telinga panjang karena takut dianggap ketinggalan zaman dan tidak modern. Hanya sebagian kecil masyarakat Dayak yang masih memegang teguh tradisi berdaun telinga panjang, dan itu pun jumlahnya sangat minim.

dari berbagai sumber
  

Monday, December 12, 2011

Wacana Palangkaraya Jadi Ibu Kota Negara

Oleh Saidulkarnain Ishak
Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno pernah menyampaikan gagasan pemindahan ibu kota Republik Indonesia ke Palangka Raya sekitar tahun 1950-an, dan kini 2011 bergulir lagi ditandai dengan wacana melalui berbagai kegiatan yang dilakukan pemerintah negeri ini.

Wacana pemindahan ibu kota Negara yang juga dikemukakan Presiden Soekarno pada peresmian Palangka Raya sebagai ibu kota Kalimantan Tengah (Kalteng) pada 1957, yang saat itu bernama "Desa Pahandut" tersebut, Rabu (23/11), kembali dibicarakan dalam seminar kajian teknis pengembangan Palangka Raya menuju ibu kota Negara Indonesia.

Gubernur Agustin Teras Narang mengatakan, keinginan merancang dan mempersiapkan PAlangka Raya sebagai ibu kota Negara, secara visioner dituangkan dalam rencana induk (master plan) yang disusun Presiden Soekarno. Kota yang pernah diidamkan sebagai ibu kota Negara tersebut memiliki luas 2.678,51 Km persegi dan jauh lebih luas dari Jakarta, yang luasnya hanya 661,52 Km persegi itu.

Teras Narang mengatakan, secara geografis posisi Palangka Raya tepat berada di tengah Indonesia serta tidak berada pada daerah tektonik, sehingga kondisi ini relatif aman dari bencana alam gempa bumi, banjir dan tanah longsor. Secara kultural masyarakat Kalteng dengan falsafah "Huma Betang" siap menyongsong perpindahan ibu kota pemerintah tersebut.

Secara potensi dari garis pantai, tambahnya, Kalteng memiliki potensi garis pantai sepanjang 750 Km yang sangat memungkinkan dikembangkan pelabuhan-pelabuhan untuk mendukung keberadaan sebuah ibu kota pemerintahan, kata Gubernur Teras pada acara yang juga dihadiri para bupati, DRPD, dan sejumlah pakar perguruan tinggi daerah tersebut.

Dia mengatakan, secara ketersediaan lahan sangat dimungkinkan untuk sarana transportasi udara maupun transportasi sungai masih cukup luas, termasuk untuk pembangunan bandara skala internasional karena Kalteng memiliki luas wilayah  1,5 kali Pulau Jawa. Secara alamiah, di Kalteng juga terdapat sungai besar yang sangat penting untuk mendukung posisi tersebut.

"Sebuah kalimat kunci terhadap keunggulan dan potensi tersebut adalah bagaimana upaya kita bersama untuk mengkaji dan mengampanyekannya di forum-forum regional maupun nasional," kata Agustin Teras Narang pada seminar yang juga dihadiri tokoh masyarakat Kalteng antara lain TT Suan dan Dase Durasid dipandu Wakil Gubernur (Wagub) Kalteng H Ahmad Diran.

Teras mengatakan, seminar yang dilaksanakan tersebut merupakan momentum tepat dan strategis untuk membangunkan kesepahaman serta menyatukan persepsi dan langkah seluruh pemangku kepentingan dalam upaya merespon wacana persiapan Palangka Raya sebagai bagian dari provinsi Kalteng menjadi ibu kota pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Sudah ada Perda

Teras mengatakan, penyiapan Palangka Raya menuju ibu kota Negara RI merupakan tugas yang diamanahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Kalteng sesuai Peraturan Daerah (Perda) No.1/2011.  Ini dasar hukum yang dihasilkan legislatif provinsi untuk memperkuat komitmen pemindahan ibu kota NKRI tersebut.

Seminar bertajuk "Pengembangan Palangka Raya dan Sekitarnya Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah sebagai Ibu Kota Republik Indonesia Dalam Rangka Merespon Wacana Persiapan Palangka Raya Sebagai Ibu Kota Pemerintahan Republik Indonesia" itu berlangsung di Aula Bappeda Provinsi Kalteng diikuti pejabat, DPRD, akademisi, dan tokoh masyarakat setempat.

Banyak persoalan yang dibicarakan dalam forum stategis tersebut, termasuk masalah persiapannya perlu dipertajam dan dilihat dari berbagai aspek. Bahkan, ada diantara peserta yang menyorot masalah kultur dan ekonomi masyarakat, jangan sampai menjadi "penonton" atau termarjinalkan setelah ibu kota pemerintahan NKRI berdiri megah di daerah tersebut.

Prof H KMA M Usop mengatakan, soal pemindahan ibu kota ini sebaiknya dibangun kota baru dengan penataan bagus dan representatif sebagai ibu kota Negara karena kalau Palangka Raya yang dijadikan ibu kota pemerintahan NKRI, tentu pemerintah provinsi Kalteng harus merancang dan membangun kembali ibu kota provinsi yang baru.

Sebaiknya pemerintah pusat membangun kota baru di kawasan provinsi Kalteng, dengan penataan yang rapi dan bagus sehingga terlihat cantik tanpa "mengorbankan" kota Palangka Raya sebagai ibu kota provinsi Kalteng. Hal ini sangat dimungkinkan dilakukan, karena potensi lahan yang dimiliki provinsi Kalteng memenuhi syarat bagi sebuah sebagai ibu kota pemerintahan Negara.

"Begitupun, kami khawatir dalam kurun waktu 50 tahun kondisi itu akan sama seperti Jakarta, kalau ibu kota pemerintahan dipindah ke Palangka Raya tanpa pembangunan kota baru," kata Usop pada seminar yang juga dihadiri staf khusus Presiden Prof Dr M Mas’ud Said, Dr Veliks Wanggai dan Dr Andrino A Chaniago dari Universitas Indonesia (UI) tersebut.

Oleh karena itu, pemerintah pusat sebaiknya membangun kota baru yang lokasinya tetap di Kalteng, tapi berada di tengah-tengah antara Palangka Raya dengan kabupaten lainnya seperti Katingan. Daerah ini memiliki kawasan yang cukup luas untuk membangun kota baru, dan sangat dimungkinkan apabila dikembangkan bagi kemajuan di masa mendatang.

Tokoh masyarakat Kalteng Lukas Tingkes menyatakan sangat mendukung wacana pemindahan ibu kota Negara dari Jakarta ke Palangka Raya, namun perlu dipertajam dan mempertimbangkan secara cermat berbagai aspek kehidupan serta memperhatikan aspirasi masyarakat asli daerah karena ini diperkirakan akan terjadi pergeseran semacam urbanisasi.


Lestarikan nilai budaya

"Kami sangat mendukung wacana ini, namun pemerintah pusat perlu menjelaskan secara detail terkait pelaksanaan rencana tersebut. Selain itu juga perlu dikaji dan dipertimbangkan kesiapan warga masyarakat  asli daerah ini, jangan sampai mereka terpinggirkan," kata Lukas pada acara yang juga dihadiri tokoh sejarah dan mantan wartawan ANTARA di Kalteng, TT Suan.

Masyarakat asli Kalteng, khususnya yang berdomisili di kota Palangka Raya tidak ingin ketika ibu kota pemerintahan NKRI dipindahkan keberdaan mereka tersingkirkan. Ini perlu dipertimbangkan secara arif dan bijaksana, sehingga masyarakat yang selama puluhan tahun menikmati hidup di kota kelahirannya tiba-tiba terpinggirkan atau termarjinalkan.

Selain itu, pemerintah pusat dan berbagai elemen anak bangsa juga perlu mempertimbangkan nilai-nilai budaya dan adat istiadat daerah ini. Nilai budaya dan adat istiadat masyarakat harus dipertahankan serta dilestarikan bila Palangka Raya ingin dijadikan ibu kota pemerintahan. Semua harus dikaji secara mendalam sebelum rencana baik tersebut diimplementasikan.

Masalah ini menjadi syarat utama adalah budaya suku Dayak tidak boleh luntur karena itu identitas anak bangsa. Di samping itu, pemerintah pusat juga harus mempertegas dan mempertajam kebijakan serta sistem pelaksanaan wacana pemindahan ibu kota pemerintahan NKRI kepada masyarakat sebagai upaya menciptakan hubungan harmonis diantara warga urban.

Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu menyiapkan payung hukum dan berbagai hal lainnya terkait rencana tersebut, kata tokoh pemuda Kabupaten Katingan, Karyadi.  Selain itu juga pemerintah pusat juga perlu menjelaskan program secara makro mengenai rencana pemindahan ibu kota NKRI seperti dilakukan sejumlah Negara lainnya di dunia, tambahnya.

Wakil Gubernur (Wagub) H Ahmad Diran ketika memandu forum seminar tersebut mengatakan, pada prinsipnya masyarakat mendukung keinginan pemerintah untuk memindahkan pusat pemerintahan NKRI ke Palangka Raya, provinsi Kalteng dan sekitarnya. Semua ini dilakukan tanpa mengabaikan nilai budaya, adat istiadat dan keberadaan masyarakat daerah tersebut harus dipertahankan.

"Kami tidak ingin bila wacana pemindahan ibu kota NKRI jadi dilaksanakan, lalu masyarakat menjadi korban. Masyarakat asli daerah ini harus dilindungi dari berbagai sisi kehidupan. Mereka jangan sampai termarjinalkan. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu mempertajam wacana ini sehingga sistemnya jelas bila rencana tersebut dilaksanakan," ujarnya.

Palangka Raya menuju ibu kota pemerintahan Indonesia, dilihat dari berbagai asumsi dan argumentasi agaknya dimungkinkan dilakukan, dengan memperhatikan aspek kultural masyarakat yang selama ini hidup harmonis, rukun dan damai. Wacana yang kini bergulir lagi tersebut akan terwujud sesuai rencana manakala tujuannya untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama.

Sumber : www.kompas.com

Saturday, December 10, 2011

Makna Gerhana Bulan Bagi sub suku Dayak Desa dan Seberuang

Oleh : BONNY BULANG & TION NGALAI
Gerhana Bulan dalam sub suku Dayak desa dan seberuang di kabaupaten Sintang Kalimantan Barat disebut ''Bulan Telan Rauk'' Telan Rauk artinya bulan di telan oleh binatang/antu(setan) langit. Peristiwa yang jarang terjadi ini di yakini oleh masyarakat Dayak sebagai berkat dalam beuma (berladang). Kejadian ini biasa di sertai dengan upadara adat.

Dimulai dengan menyediakan Padi, Air dan darah Manuk (Ayam) yang di letakan dan dibiarkan menghampar di tahan lapang (biasa di sebut pedarak). Upacara ini di iringi dengan pukulan gong dalam jumlah banyak, siapa yang memiliki gong boelh membunyikannya di dekar rumahnya masing-masing.

Pada saat Bulan Telan Rauk ini juga di lakukan tembakan senapan Lantak (senjata rakitan laras panjang biasanya di gunakan untuk berburu) ke langit tanpa peluru. Tembakan ini bertujuan membatu bulan yang sedang di Telan Rauk supaya bisa pulih kembali. Upacara ini dilakukan sampai gerhana selesai.

Pada saat gerhana bulan selesai dalam istilah Dayak Desa dan Seberuang disebut bulan sudah di muntahkan oleh Rauk, pedarak yang di hamapar di tanah lapang tadi di simpan dan di sengkelan (pemberkatan) ke benih padi dan pulut yang akan di tanamn pada tahun ladang yang akan datang

Dulu upacaa ini di serrtai dengan tari-tarian khusus dengan pakaian adat lengkap dan menggunakan Mandau sebagai senjata khas Dayak. Pada zaman dahulu, upacara ini juga merupakan upacara yang sangat sakral karena berhubungan dengan kehidupan berladang yang menejadi. Namun seiring dengan masuknya modernisasi, upacara ini di lakukan hanya sebagai simbol tradisi saja dan bahkan hanya beberapa kampung yang masih melaksakan tardisi ini.

Makna Tato Bagi Masyarakat Dayak

Panglima Perang (Panglima Damai) Dayak, Edy Barau, mengatakan, motif yang digunakan masyarakat Dayak, khususnya Dayak Iban untuk mengukir pada tubuh berhubungan erat dengan kehidupan alam (hutan).

Dengan demikian, motifnya ada yang berasal dari binatang maupun tumbuhan seperti daun, bunga, dan buah yang semua memiliki arti dan makna bagi masyarakat Dayak.

Menurut Edy, ada tujuh bentuk motif tato yang berhubungan erat dan sering digunakan masyarakat Dayak Iban. Selain motif, tempat atau lokasi untuk diukirkan gambar juga tidak bisa sembarangan.

Ketujuh bentuk motif itu di antaranya, motif rekong, bunga terong, ketam, kelingai, buah andu, bunga ngkabang (tengkawang) dan bunga terung keliling pinggang yang masing-masing memiliki makna.

Ia memaparkan, tato atau ukir rekong biasanya diukirkan di leher. Bagi masyarakat Dayak Iban seseorang yang mendapatkan ukiran rekong adalah orang yang mempunyai kedudukan masyarakatnya, seperti Timanggong/Temanggung dan Panglima atau orang yang di-tua-kan di kampung halamannya sendiri maupun di tempat merantau.

Motif Rekong, lanjut Edy, berbeda-beda bentuknya karena disesuaikan dengan jabatan dan kedudukan. Selain itu, antara sub suku Dayak yang satu dengan yang lainnya juga memiliki bentuk motif yang berbeda tapi memiliki makna yang sama.

Motif rekong dapat berupa sayap kupu-kupu, kalajengking merayap dan kepiting. Intinya cenderung berbebtuk motif binatang.

Masyarakat Dayak yang biasanya tato rekong di leher adalah Dayak Kayan, Dayak Taman, dan Dayak Iban. Sementara masyarakat Dayak biasa yang tato rekong di leher akan dikenakan sanksi atau hukuman adat, namun untuk sekarang ini tidak lagi karena ada sebagian memandangnya sebagai seni, ucapnya.

Motif lainnya adalah Bunga terong merupakan bunga kebanggaan masyarakat Dayak Iban. "Bunga terong sudah naik, orang itu sudah profesional, kalimat itu sering diucapkan masyarakat Iban. Karena terong itu kebanggaan masyarakat Iban. Terong juga memberi makna pangkat/kedudukan sebab umumnya letak pertama ada di bahu," tuturnya kepada Tribun.

Bentuk motif dan jenis bunga terong ada berbagai macam dan letaknya juga berbeda. Ada yang tato terong dan meletakannya di lengan, tangan, kaki, dan perut, serta ada juga mengukir seluruh tubuhnya dengan bunga terong.

Bunga terong ada yang bersayap enam, dan ada yang delapan. " Seorang masyarakat Dayak Iban yang memiliki bunga terong keliling pinggang biasanya delapan buah berarti orang itu sudah plor atau penuh atau sudah puas merantau," ujarnya.

Sementara motif kelingai melambangkan binatang yang ada di lubang tanah memberikan arti hidup kita tidak terlepas dengan alam atau bumi. Motif kelingai biasanya diletakan di paha atau betis.

Demikian motif ketam juga memberikan arti hidup selalu menyentuh dengan alam. Meski begitu, ketam biasanya diletakan pada tubuh bagian punggung atau tepatnya dibelakang punggung.

Sedangkan motif buah andu dan bunga ngkabang atau bunga tengkawang melambangkan sumber kehidupan. Buah tengkawang merupakan bunga yang paling banyak di kampung masyarakat Iban dan ditatokan di atas perut.

Motif buah andu pada umumnya diukirkan di belakang paha, yang memberi arti, ketika merantau kita selalu berjalan jauh dan buah andu sebagai makanan untuk menyambung hidup, pungkasnya.

Sumber Tribunenews

Makna Tato Bagi Masyarakat Suku Dayak

Oleh : oleh M Syaifullah/Try Harijono
JANGAN kaget jika masuk ke perkampungan masyarakat Dayak dan berjumpa dengan orang-orang tua yang dihiasi berbagai macam tato indah di beberapa bagian tubuhnya. Tato yang menghiasi tubuh mereka itu bukan sekadar hiasan, apalagi supaya dianggap jagoan. Tetapi, tato bagi masyarakat Dayak memiliki makna yang sangat mendalam.

TATO bagi sebagian masyarakat etnis Dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, status sosial seseorang dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang. Karena itu, tato tidak bisa dibuat sembarangan.

Ada aturan-aturan tertentu dalam pembuatan tato atau parung, baik pilihan gambarnya, struktur sosial orang yang ditato maupun penempatan tatonya. Meski demikian, secara religi tato memiliki makna sama dalam masyarakat Dayak, yakni sebagai "obor" dalam perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah kematian.

Karena itu, semakin banyak tato, "obor" akan semakin terang dan jalan menuju alam keabadian semakin lapang. Meski demikian, tetap saja pembuatan tato tidak bisa dibuat sebanyak-banyaknya secara sembarangan, karena harus mematuhi aturan-aturan adat.

"Setiap sub-suku Dayak memiliki aturan yang berbeda dalam pembuatan tato. Bahkan ada pula sub-suku Dayak yang tidak mengenal tradisi tato," ungkap Mering Ngo, warga suku Dayak yang juga antropolog lulusan Universitas Indonesia.

Bagi suku Dayak yang bermukim di perbatasan Kalimantan dan Sarawak Malaysia, misalnya, tato di sekitar jari tangan menunjukkan orang tersebut suku yang suka menolong seperti ahli pengobatan. Semakin banyak tato di tangannya, menunjukkan orang itu semakin banyak menolong dan semakin ahli dalam pengobatan.

Bagi masyarakat Dayak Kenyah dan Dayak Kayan di Kalimantan Timur, banyaknya tato menggambarkan orang tersebut sudah sering mengembara. Karena setiap kampung memiliki motif tato yang berbeda, banyaknya tato menandakan pemiliknya sudah mengunjungi banyak kampung.

Jangan bayangkan kampung tersebut hanya berjarak beberapa kilometer. Di Kalimantan, jarak antarkampung bisa ratusan bahkan ribuan kilometer, dan harus ditempuh menggunakan perahu menyusuri sungai lebih dari satu bulan!

"Karena itu, penghargaan pada perantau diberikan dalam bentuk tato," tutur Ketua II Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT), Yacobus Bayau Lung.

Bisa pula tato diberikan kepada para bangsawan. Di kalangan masyarakat Dayak Kenyah, motif yang lazim untuk kalangan bangsawan (paren) adalah burung enggang yakni burung endemik Kalimantan yang dikeramatkan.

Adapun bagi Dayak Iban, kepala suku beserta keturunannya ditato dengan motif "dunia atas" atau sesuatu yang hidup di angkasa. Selain motifnya terpilih, cara pengerjaan tato untuk kaum bangsawan biasanya lebih halus dan detail dibandingkan tato untuk golongan menengah (panyen).

Bagi subsuku lainnya, pemberian tato dikaitkan dengan tradisi mengayau atau memenggal kepala musuh dalam suatu peperangan. Tradisi ini sudah puluhan tahun tidak dilakukan lagi, namun dulunya semakin banyak mengayau, motif tatonya pun semakin khas dan istimewa.

Tato untuk sang pemberani di medan perang ini, biasanya ditempatkan di pundak kanan. Namun pada subsuku lainnya, ditempatkan di lengan kiri jika keberaniannya "biasa", dan di lengan kanan jika keberanian dan keperkasaannya di medan pertempuran sangat luar biasa.

"Pemberian tato yang dikaitkan dengan mengayau ini, dulunya sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan suku kepada orang-orang yang perkasa dan banyak berjasa," tutur Simon Devung, seorang ahli Dayak dari Central for Social Forestry (CSF) Universitas Mulawarman Samarinda.
TATO atau parung atau betik tidak hanya dilakukan bagi kaum laki-laki, tetapi juga kaum perempuan. Untuk laki-laki, tato bisa dibuat di bagian mana pun pada tubuhnya, sedangkan pada perempuan biasanya hanya pada kaki dan tangan.

Jika pada laki-laki pemberian tato dikaitkan dengan penghargaan atau penghormatan, pada perempuan pembuatan tato lebih bermotif religius. "Pembuatan tato pada tangan dan kaki dipercaya bisa terhindar dari pengaruh roh-roh jahat dan selalu berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa," ujar Yacobus Bayau Lung.

Pada subsuku tertentu, pembuatan tato juga terkait dengan harga diri perempuan, sehingga dikenal istilah tedak kayaan, yang berarti perempuan tak bertato dianggap lebih rendah derajatnya dibanding dengan yang bertato. Meski demikian, pandangan seperti ini hanya berlaku di sebagian kecil subsuku Dayak.

Pada suku Dayak Kayan, ada tiga macam tato yang biasanya di sandang perempuan, antara lain tedak kassa, yakni meliputi seluruh kaki dan dipakai setelah dewasa. Tedak usuu, tato yang dibuat pada seluruh tangan dan tedak hapii pada seluruh paha.

Sementara di suku Dayak Kenyah, pembuatan tato pada perempuan dimulai pada umur 16 tahun atau setelah haid pertama. Untuk pembuatan tato bagi perempuan, dilakukan dengan upacara adat di sebuah rumah khusus. Selama pembuatan tato, semua pria tidak boleh keluar rumah. Selain itu seluruh keluarga juga diwajibkan menjalani berbagai pantangan untuk menghindari bencana bagi wanita yang sedang ditato maupun keluarganya.

Motif tato bagi perempuan lebih terbatas seperti gambar paku hitam yang berada di sekitar ruas jari disebut song irang atau tunas bambu. Adapun yang melintang di belakang buku jari disebut ikor. Tato di pergelangan tangan bergambar wajah macan disebut silong lejau.

Ada pula tato yang dibuat di bagian paha. Bagi perempuan Dayak memiliki tato di bagian paha status sosialnya sangat tinggi dan biasanya dilengkapi gelang di bagian bawah betis.

Motif tato di bagian paha biasanya juga menyerupai silong lejau. Perbedaannya dengan tato di tangan, ada garis melintang pada betis yang dinamakan nang klinge.

Tato sangat jarang ditemukan di bagian lutut. Meski demikian ada juga tato di bagian lutut pada lelaki dan perempuan yang biasanya dibuat pada bagian akhir pembuatan tato di badan. Tato yang dibuat di atas lutut dan melingkar hingga ke betis menyerupai ular, sebenarnya anjing jadi-jadian atau disebut tuang buvong asu.

Baik tato pada lelaki maupun perempuan, secara tradisional dibuat menggunakan duri buah jeruk yang panjang dan lambat-laun kemudian menggunakan beberapa buah jarum sekaligus. Yang tidak berubah adalah bahan pembuatan tato yang biasanya menggunakan jelaga dari periuk yang berwarna hitam.

"Karena itu, tato yang dibuat warna-warni, ada hijau, kuning dan merah, pastilah bukan tato tradisional yang mengandung makna filososfis yang tinggi," ucap Yacobus Bayau Lung.

Tato warna-warni yang dibuat kalangan pemuda kini, hanyalah tato hiasan yang tidak memiliki makna apa-apa. Gambar dan penempatan dilakukan sembarangan dan asal-asalan. Tato seperti itu sama sekali tidak memiliki nilai religius dan penghargaan, tetapi cuma sekadar untuk keindahan, dan bahkan ada yang ingin dianggap sebagai jagoan.


Monday, November 21, 2011

Pembunuh Orang Utan Di Tangkap

Ceritadayak – Jakarta. Kasus pembantaian Orang Utan di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur menemui titk terangnya. Penyidik Badan Reserse Kriminal (BARESKRIM) Kepolisian Negara RI bersama aparat Kepolisian Daerah Kalimantan Timur menangkap dua tersangka pembunuhan orangutan di perkebunan kelapa sawit itu. 

Demikian disampaikan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution di Jakarta, Senin (21/11/2011). "Dari hasil penyelidikan Bareskrim, polres, dan polda, tanggal 19 November kemarin kami sudah tangkap dua tersangka," kata Saud. Seperti Dikutip harian online Kompas.com. 

Kedua tersangka berinisial M alias G dan M, keduanya karyawan di PT K. Menurut keterangan dua tersangka yang ditangkap, mereka membunuh orangutan atau monyet di perkebunan kelapa sawit itu, karena diperintahkan atasan mereka untuk membunuh hama kelapa sawit. Monyet dan orangutan kerap memakan kelapa sawit. Mereka melakukan ini atas perintah oleh manajer kebun PT K, yaitu berinisial P dan berinisial A dengan imbalan sejumlah uang.

Menurut keterangan kedua tersangka Monyet yang dibunuh kemudian dikubur di sekitar lokasi perkebunan. Monyet dan orang hutan yang dibunuh juga difoto, sebelum ditunjukkan kepada pihak perusahaan. Sejak tahun 2008 tersangka sudah membunh lebih dari 20 ekor Monyet dan Orang Utan.

Tidak menutup kemungkinan aka nada tersangka baru lagi, sementara ini kasus masih dikembangkan.*BB

Gua Tengkorak, Kalimantan Timur

GUA TENGKORAK & LOJANG
Goa ini terletak di sebuah tebing kapur tegak desa Kesungai, Batu Sopang, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Berada 4 km dari tepi jalan trans Kalimantan Km-130 Balikpapan-Banjarmasin. Kalau anda faham Air Terjun Gunung Rambutan kira2 hanya 10 km dari sana.

Goa Tengkorak adalah sebuah lubang di tebing pada ketinggian 20 meter. Lubang tsb. memiliki tinggi sekitar 1,5 meter, lebar 2 meter, panjang 3 meter. Di ujung lubang terdpt lorong dgn lubang sempit yg harus dimasuki dgn merayap didalam dijumpai ruangan lain yg cukup luas dgn panjang kira2 10 meter dan tinggi 20 meter. Disana ada ornament gua yg cukup bagus. Lubang diatap gua, merupakan jalur laluan air yg membentuk lubang gua tsb. dan rekahan2nya membentuk stalagtit.

 
GOA ini berisi 35 tengkorak kepala dan ratusan tulang yg merupakan sisa jazad nenek moyang warga setempat. Untuk masuk kedalam ruangan kedua, tak pelak lagi badan menyenggol jazad2 ini krn sempitnya laluan. Untungnya tak banyak tangan2 jahil yg menganggap ini sebagai cendera mata. Tidak ada penjaga disana. Umur dari jazad tsb kurang diketahui dgn jelas. Beberapa kuburan diluar menggunakan aksara Arab.

Suatu keanehan yg saya rasakan sendiri dan sulit utk percaya, bahwa bau harum kuat tercium disekitar ini, masalahnya anggota keluarga2 lain menyangkal adanya bau2an spt itu. Saya mencari tahu asal bau2an tapi tak mendptkan asalnya. Saya sangat penasaran kalau2 ada penciuman saya yg salah. Saya berpikir positif saja mungkin ini semacam ungkapan "kasat mata" selamat datang,.Alhasil, perjalanan masuk kedlm lorong gua bisa dilanjutkan.

Goa ini berada di pinggiran desa yg menyeberangi dua sungai sejauh 500 meter menggunakan jembatan gantung yg cukup baik dan terlihat terawat. Untuk mencapai tebing, terdapat tangga naik yg aman utk dinaiki.

Tak jauh dari Gua Tengkorak terdapat gua lain bernama Gua Lojang, sebuah gua kapur lainnya dgn dalam sekitar 400 meter. Goa Lojang, terletak satu kilometer dari Goa Tengkorak, juga berada di tengah sebuah tebing tegak bukit kapur setinggi kurang lebih 30 meter. Goa ini memiliki ruangan yg amat besar seperti gua Niah. Mulut goa terletak di ketinggian dan utk mencapai nya tersedia anak tangga. Kalau baru pertama kalinya masuk kedlm jenis gua spt ini, kita akan takjub berada ditengah kegelapan abadi di dlm ruangan yg sangat-sangat besar. sayang kamera tdk bisa mendptkan citra kekhususan tsb. tanpa persiapan dgn lampu2 ribuan watt utk mencapai seluruh bagian dlm waktu yg bersamaan.

Archiaston Musamma - Doha 

Sunday, November 20, 2011

Ban Kim Moon Di Sambut Dengan Acara Adat Dayak di Kalteng

Harian Umum Tabengan, 
Sebelum tiba di Bandara Tjilik Riwut Palangka Raya, suasana di ruang VIP Isen Mulang maupun di halaman tidak seperti hari biasanya. Terlihat banyak aparat keamanan gabungan TNI/Polri berjaga-jaga di sejumlah sudut. Tidak hanya petugas keamanan dari Kalteng, tetapi aparat keamanan berjas dari luar negeri, juga terlihat sibuk mondar mandir di tempat itu.
 
Pemandangan ini hanya beberapa saat. Setelah itu, sekitar pukul 12.15 WIB, pesawat jet Fokker 28 tiba dan mendarat di bandara terbesar di Kalteng itu. Berselang beberapa menit, keluarlah pria berkulit putih berpostur cukup tinggi yang tidak lain adalah Ban didampingi istri. 
 
Ban dan rombongan disambut Teras Narang beserta istri Moenartining, Kuntoro,  Sekdaprov Siun Jarias, Pangdam XII/Tanjungpura Mayjen TNI Geerhan Lantara, Kapolda Kalteng Brigjen Pol Damianus Jackie, Danrem 102/Panju Panjung Kolonel Inf Sukoso Maksum, sejumlah pejabat tinggi lainnya, baik dari Kalteng maupun dari Pusat serta para undangan.
 
Ini merupakan kali kedua dalam beberapa bulan terakhir, seorang tokoh dunia, menginjakan kakinya di Kalteng, setelah sebelumnya mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair.
 
Dengan senyum ramahnya, pria asal Korea Selatan ini didampingi Teras, melangkah masuk ke lobi VIP Room Bandara, disambut dengan tarian selama datang dan upacara adat Dayak. Itu sebagai bentuk rasa hormat kepada para pejabat Negara maupun tamu yang baru datang menginjakkan kakinya di Bumi Tambun Bungai.
 
Kemudian, dengan dipandu tetua adat Dayak, Ban diminta untuk menginjak telor ayam sebagai tanda ucapan selamat datang. Selanjutnya, juga diminta memotong kayu yang dipasang melintang (pantan), yang merupakan tradisi Adat Dayak, bagi setiap orang yang datang ke Kalteng, sebelum masuk melanjutkan perjalanan. 
 
Tak lupa, pupur diusapkan oleh gadis dayak pada pipi Ban seraya memberikan kesempatan memperkenalkan namanya yang diucapkan dalam bahasa Inggris, tentang maksud dan tujuannya datang ke Kalteng.
 
“My name is Ban Ki-moon,” ucap Sekjen setelah diminta memperkenalkan diri, sebelum melanjutkan upacara potong pantan. Ia juga menjelaskan kedatangannya untuk melihat keberadaan masyarakat dan berupaya membantu mensejahaterakan masyarakat Kalteng. 
 
Setelah upacara penyambutan, Ban ini diikuti Teras dan undangan lainnya, menuju mobil yang membawanya ke acara berikutnya, mengunjungi Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Menteng di Jalan Tamanggung Tilung, Kelurahan Menteng Palangka Raya. Selanjutnya, ramah tamah di Rumah Jabatan Gubernur, melakukan penanaman pohon di halaman rujab.

Tujuan Ban datang ke Kalteng adalah untuk meresmikan kantor perwakilan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Kalteng menjadi kota istemewah bagi PBB karena satu-satunya ibukota provensi yang menjadi perwakilan PBB di Dunia. Perwakilan di negara lain semuanya ada di Ibukota Negara. 

Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang juga mengucapkan terima kasih kepada Sekjen PBB yang telah datang ke Kalteng untuk meresmikan kantor penghubungnya di Palangka Raya. Terkait penetapan Kalteng sebagai provinsi percontohan, Teras percaya dan yakin keberadaan kantor penghubung itu mampu mempercepat keberhasilan REDD+ di Kalteng. 

Sebelum meresmikan kantor itu, Ban mengatakan, Presiden SBY telah berkomitmen terhadap perubahan iklim di Indonesia. Ia merasa bahagia dapat berkunjung langsung ke Kalteng yang saat ini menjadi perhatian internasional, berkaitan dengan dipilihnya menjadi provinsi percontohan.
 
Ban menegaskan, alasan terpilihnya Kalteng sudah jelas. Karena provinsi itu memiliki sumber daya alam yang melimpah yang bisa untuk melestarikan dan mendukung program perubahan iklim. Ia berterima kasih atas dukungan Pemerintah Indonesia terhadap REDD+ dan menyelenggarakannya di Kalteng.
 
Ban juga mengunjungi Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau, Palangka Raya untuk berdialog dengan warga mengenai program REDD+. Tampak hadir Wakil Gubernur Achmad Diran, serta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Daerah Pemilihan Kalteng Hamdani dan Rugas Binti. anr/adn

Saturday, November 19, 2011

Penyeragaman Hukum Adat Dayak Dalam Perjanjian Tumbang Anoi VI

PERJANJIAN TUMBANG ANOI
“ADAT DAYAK”
"96 PASAL HUKUM ADAT TUMBANG ANOI"
Pasal  87 s/d 96


Pasal 87
Singer Karusak Pahewan, Karamat, Rutas dan Tajahan (denda adat kerusakan)
Penjelasan:
Barang siapa merusak pahewan, karamat, tajahan atau petak rutas yaitu tempat-tempat yang sudah dianggap mempunyai makan tertentu dalam kepercayaan atau harapan seperti tersebut diatas, akan dikenakan hukuman denda berdasarkan pasal ini. Menurut pola pandangan leluhur, bahwa manusia harus berlaku sopan-santun, juga terhadap unsur-unsur roh gaib yang tak nampak itu yang mana roh gain tersebut telah diatur agar bermukim ditempat-tempat tertentu. Kalau mereka diganggu, berarti akan merusak kelestarian lingkungan.
Sanksi:
Jika seorang atau beberapa orang yang mengejek atau membakar, menebas, menebang pohon disitu atau mencuri barang dari rumah disana (keramat), akan dituntut hukuman sebesar 15-30 kati ramu untuk waris atau untuk kampung yang paling dekat tempat itu dilaksanakan sama dengan pasal 49.

Pasal 88
Singer Naranjur Kulae (denda adat kambaen/ mengecewakan pengharapan teman)
Penjelasan:
A dan B sudah sepakat akan sama-sama berangkat mencari ikan atau berburu binatang dan berusaha. Pada waktu berangkat, tiba-tiba si B tidak jadi berangkat tetapi disuruhnya C sebagai penggantinya. Langsung A merasa kecewa karena hal demikian tersebut terjadil;ah kambaen B, jalannya perburuan akan menjadi sial/tidak mendapat hasil.
Sebagai tumbalnya (palis), si B harus memberi rambutnya, potongan kuku dan pakaian serba sedikit, diberikan kepada A dan C yang kan berangkat berburu atau berusaha.

Pasal 89
Singer Takian Pulau Bua Helu/Kaleka (perkara merebut kebun buah-buahan warisan)
Penjelasan:
Si A memelihara kebun buah-buahan yang ditanam oleh beberapa generasi yang lalu, sejalan dengan riwayat turunan anak cucu, pada umumnya semua mempunyai hak warisan dengan hasil buah tersebut. Biasanya orang yang merawatnya atau yang paling dekatlah yang paling tahu silsilah para pewarisnya, tetapi tidak menutup kemungkinan dia berusaha menanam pohon-pohon baru disekitarnya untuk mengelabui atau menggelapkan kebun warisan orang banyak. Tidak jarang pula pihak-pihak B ikut untuk meluruskan hal yang sebenarnya dengan pihak C, untuk membawa keterangan dan berambisi yang berbeda sehingga terjadilah suatu kasus yang berbelit-belit.
Pelaksanaan:
Kasus demikian sangat menuntut kemampuan para mantir adat dan pemangku adat.  Diperlukan hasil komisi yang teliti, penyaksian yang luas. Sifat dan ambisi serta latar belakang yang berperkara, serta pendapat umum setempat sebagai bahan mantir dan pemangku adat untuk mempertimbangkan.

Pasal 90
Perkara Takian Holang Tana, Bahu, Kabun (perkara perselisihan batas ladang, kebun, dan bekas berladang dan bekas berkebun)
Penjelasan:
Perselisihan tata batas perwatasan, bekas ladang, bekas kebun merupakan hal yang rutin dibicarakan di lingkungan masyarakat adat. Walaupun biasa kadang-kadang menjadi persoalan/ permasalahan yang cukup rumit. Masalah pinggir sungai yang erosi, bahagian lain pinggir sungai yang bertambah, tanda batas yang tidak jelas, dan keterangan yang tidak lengkap, kesemuanya menjadi rumit persoalannya. Dua orang berselisish tata batas diperlukan bahan-bahan pendahuluan bagi para hakim adat.
Pelaksanaan:
Berita acara komisi di lapangan dan situasi lapangan, keterangan orang yang berbatasan langsung, keterangan para saksi masing-masing pihak dan pendapatumum setempat dan keterangan mereka yang berselisihan. Semuanya menjadi bahan para pemangku adat untuk mempertimbangkan keputusannya, jika perlu dipakai sistem padu atau menenung dengan sistem sumpah acara adat warisan. Dan biasanya selalu ditutup dengan pesta makan bersama, jika perkara itu sudah dapat didamaikan dengan keputusan dalam sidang adat itu.

Pasal 91
Perkara Takian Bahu Waris (perkara selisish pembagian ladang warisan)
Penjelasan:
Pembagian warisan dari sebuah rumah tangga suami-istri biasa disebut barang rupa tangan milik bersama suami-istri dengan hak yang sama. Secara umum, jika mereka resmi bercerai atas kehendak berdua, kecuali jika mereka ada anak (seberapa anaknya dibagi rata). Pada umumnya pula, jika seorang tua membagi harta kekayaannya baik harta di dalam maupun harta di luar rumah digunakan untuk:
·         Cadangan untuk tiwah (dua orang laki/istri)
·         Cadangan hari tua dan biaya kematian/penguburan
·         Selain itu, hartanya ditata dibagi sama untuk semua anak
Inilah pedoman umum keadatan warisan.
Pedoman pelaksanaan:
·         Mempelajari riwayat harta warisanyang disengketakan
·         Anak yang mana tempat yang terakhir sang pemilik harta
·         Daftar inventaris harta benda keseluruhan
·         Bagaimana penyelesaian jenasah, penguburan dan pelayanan tulang-belulang almarhum berdua
·         Daftar pewaris yang berhak dan apa, serta siapa yang menerimanya.
Inilah yang menjadi pedoman pelaksanaan bagi para pemangku adat dan jika perlu ditunjang dengan sistem sumpah secara adat.

Pasal 92
Hadat Panggul, Sapindang, Tatas lauk, Rintis Pantung, Tanggiran Sungai dan Danau (adat-istiadat mengenai macam-macam hak panggul, sapindang, tatas handel, tatas ikan, rintis jalutung, tanggiran, sungai dan danau)
Penjelasan:
Pada mulanya sejak jaman purbakala, segala macam hak dan kewajibvan, semuanya ditata, diurus, serta ditanggulangi dengan adat istiadat. Kemudian sejalan dengan perkembangan jaman dan jangkauan lembaga pemerintah daerah dengan ragam peraturan daerahnya, sehingga beban dan kewenangan lembaga adat kademangan semakin ringan dalam bidang fisik, materi, tetapi yang bertambah dibidang beban sikap moral. Adat-istiadat yang yang masih hidup dalam masyarakat perihal tersebut diatas dalam hal ragam usaha rakyat sambil mencari relevansnya dengan peraturan yang berlaku.
Penanggulangan:
Bagi para pemangku adat, dalam hal menanggulangi perselisihan atau perkara yang terjadi sepanjang apa yang tersebut di atas, tetap berprinsip pada hal sebagai berikut:
·         Riwayat materi yang disengketakan, komisi lapangan, keterangan pihak yang terdekat, tekanan pada hak pendahulu
·         Kadaluwarsaan dan keterangan para saksi, pendapat umum setempat, sumpah adat dan pesta perdamaian adat tetap menjadi mekanis, sistimatika pengusutan dan penutupan.

Pasal 93
Hadat Sapan Pahuni (adat mengenai kepahunan)
Penjelasan:
Latar belakang adat kebiasaan ini, apa yang disebut apa yang disebut kapahunan atau pahuni bertolak dari pola pandangan tiga besar indera tubuh yaitu pendengaran, penglihatan, dan perasaan, mewakili  bereng, hambaruan, dan salumpuk (badan, jiwa dan roh). Justru itu, jika ada orang lain, dengan suaranya mengajak makan yang sudah tersedia, wajiblah dirasa walaupun dengan sentuhan fisik untuk menjangkau kepahunan suatu persyaratan alamiah yang bersifat pribadi.
Sanksi:
Adat kebiasaan ini akhirnya membudaya, menumbuhkan anggapan jika tidak dipenuhi tuntutan pra syarat tersebut diatas, maka terancamlah tubuh ini oleh musibah (luka, jatuh sakit, sial dan lain-lain) yang bisa mengakibatkan fatal. Lebih-lebih jika terhadap darah binatang korban, walaupun tidak sempat ikut makan dagingnya, asal sempat menyentuh darahnya, sudah cukup menjadi penangkal sumpah kepahunan (palis pahuni). Dalil lain dasar pandangan ini, bahwa tubuh kita yang tunggal terdiri dari tiga satuan unsur yang terpadu yaitu tubuh, jiwa dan roh.

Pasal 94
Hadat Hasapa/Hasumpah (adat mengenai sumpah)
Penjelasan:
Adapun latar nelakang adat warisan ini berpangkal dari pola pandangan hidup para leluhur, bahwa makhluk manusia ini sejak awal sudah dibekali dengan pesan-pesan sang Ranying (Tuhan Yang Maha Esa) untuk memiliki kemampuan menjadi pengurus lingkungan hidup di dalam dunia ini yang meliputi lima unsur: flora, fauna, manusia, arwah dan roh gaib. Dengan demikian, sistimatika apa yang disebut dalam bahasa daerah ‘belom bahadat’ termasuk hadat hasumpah, hasapa.
Pelaksanaan:
Dalam suatu acara khusus, sarana pimpinan seorang pisur (tukang tawur) sebagai menghidupkan fisik beras, diperintahkan menjemput beberapa roh gaib tertentu dan ilah-ilah tertentu pula, diundang, diperintahkan hadir serta berkarya sesuai tujuan acara khusus tersebut.
Kewibawaan:
Acara hasapa/hasumpah sedemikian itu hanya boleh dilakukan dalam suasana yang serius demi menegakkan nilai kebenaran terhadap perbuatan manusia yang sangat relatif. Dengan mekanisme itu, bukan wibawa manusia yang dipertaruhkan, akan tetapi wibawa tuhan yang dilibatkan.
Sistem padu, nenung ngundik (sistem meramal dengan daya roh gaib)
Sistem ini caranya lebih sederhana dan resikonya agak ringan serta tidak mengancam jiwa orang yang berbohong dalam memberi keterangan atau kesaksian dalam suatu sidang adat.
Juga, melalui tukang tawur yang memerintahkan roh beras untuk menjemput supaya roh gaib tertentu agar aktif berkarya melalui jari tangan orang yang berselisih dengan memilih, meraba (pisih) di dalam pasu yang berisi air dan sudsah dicirikan di muka umum (mirip permainan anak-anak).
Atau kedua orang yang berselisish, diberikan sedikit beras ketan yang sudah dibacakan doa untuk kemudian dikunyah, kemudian diludahkan diatas dulang yang mirip dimana cairannya yang kental mengalir menjadi pertanda benar atau salahnya keterangan seseorang.
Dapat pula masing-masing diberi kesempatan mendirikan sebutir telur ayam yang sudah dibaca diatas batang sumpitan yang sudah dilumuri minyak kelapa. Pihak yang salah selalu tidak mampu berdiri dan sebaliknya pihak yang benar akan mudah mendirikan telur diatas batang sumpitan tadi. Memang aneh, tapi nyata, karena unsur gaib ikut berkarya.

Pasal 95
Adat Eka Malan-Manana, Satiar Bausaha (adat tempat berladang dan tempat berusaha)
Penjelasan:
Latar belakang pemikiran leluhur, cenderung pada umumnya memilih lokai permukimandisekitar muara sungai sebab tanahnya agak subur, juga kemungkinan peranan sungai menjadi sarana jalan masuk hutan yang praktis dan memberi kemudahan tempat berusaha dan bercocok tanam serta untuk berburu. Sejak purbakala, sejangkau bunyi/suara pikulan gong yang menjadi satu-satunya alat pemancar bunyi yang nyaring untuk memanggil warga kampung yang sedang berusaha jika ada keperluan yang mendadak di kampung. Dalam radius kurang lebih 5 km keliling kampung (kiri dan kanan) sungai tempat permukiman penduduk dijadikan wilayah tempat bercocok tanam, berladang, berburu, dan berusaha secara turun-tenurun, membudaya mengakar  menjadi adat kebiasaan yang tidak mudah dibasuh (secara awam, itulah apa yang dimaksud dengan hak ulayat adat).
Berkaitan dengan perobahan jalan, tentunya membawa ragam peralihan suasana membawa ragam peralihan suasana termasuk pula mempengaruhi pola pandangan yang semakin meluas sekaligus menuntut kemampuan masyarakat nusantara berpikir secara nasional, bertindak lokal dan yang wajar.
Sikap mewarisi nilai-nilai tradisional bukan seperti kita menarik mundur, tetapi menggali nilai-nilai positif untuk memperkokoh daya tekan terhadap nilai budaya yang negatif/asing yang melanda kebersamaan dengan ragam ilmu pengetahuan modern yang kita undang-undangkan dan perlukan.
Berhadapan antara perundang-undangan di satu pihak dan ragam adat-istiadat, kejelian kita diperlukan untuk menata, menggali relevansi yang berujud peraturan setempat dengan sebijak mungkin. Bukan untuk dipertentangkan tetapi untuk menjade renungan.
Menyangkut tempat berladang dan bertani serta lapangan berusaha, mutlak, karena menyangkut perut dan nafas hidup masyarakat adat rakyat Kalimantan pada umumnya dan ini tidak terlepas dari sasaran pembangunan yang sedang kita gumuli bersama.
Dalam rangka itu, dihimbau, jika kita memperhatikan UU Pokok Agraria, UU Kehutanan, dibanding dengan kebiasaan (adat) masyarakat Dayak Ngaju, terutama di daerah pedalaman yang pada umumnya masih makan hasil hutan, memang tidak mudah menyesuaikan diri dengan pola kehidupan modern seperti yang dimaksudkan oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Lapisan bawah belum siap atau belum dipersiapkan berkenaan dengan pelaksanaan HPH, hak ulayat adat dan status desa permukiman. Bukan bermaksud mengubah UU tapi peraturan pelaksanaannya agar diperlunak bagi rakyat kecil. Damikian pula problema keagrariaan yang dalam proses pertelaan, para pemangku adat tidak diikutsertakan. Semoga dapat ditinjau kembali dalam peraturan pelaksanaannya di lapangan, untuk kelancaran bagi tujuan UU Pokok Agraria itu di daerah Kalimantan Tengah.

Pasal 96
Kasukup Singer Belom Bahadat (kelengkapan denda adat hidup kesopanan, beretika, bermoral yang tinggi)
Penjelasan:
Adapun ungkapan belom bahada adalah ungkapan yang lebih dominan bagi setiap orang suku Dayak Ngaju pada umumnya. Dapat dikatakan bahwa ungkapan ini merupakan kunci positif nilai kepribadian tradisional warisan asli daerah, warisan turun-temurun yang meliputi ruanmg lingkup peri hidup dan kehidupan serta kemanusiaan dalam arti fisik, mental dan spiritual. Sifat dan hakekat norma hukum adat ini, tidak hanya meliputi tata krama antar manusia saja, tetapi mencakup unsur flora, fauna, manusia, para arwah, roh gaib, dimana kedudukan manusia tampil sebagai pengurus lingkungan hidup dengan mekanisme tata krama belom bahadat (tata kesopanan yang menyeluruh), sopan terhadap unsur yang tampak maupun yang tidak tampak.
Pelaksanaan:
Segala bentuk peristiwa tidak terlepas dari hukum sebab-akibat, penyebabnya senantiasa dicari di dalam atau di sekitar lingkungan hidup sendiri. Tumbalnya serta kelestariannya pun harus mampu diurus oleh manusia. Segala bentuk pelanggaran atau pencemaran lingkungan hidup yang tidak termuat dalam pasal-pasal norma adat ini akan dipatutkan oleh tokoh pemangku adat setempat guna mencapai keserasian, kelestarian dan keseimbangan alam, lingkungan hidup lahir-batin.***

*Dari Kumpulan Tulisan Yather Nathan Ilon* berjudul Belom Bahadat. Yather Nathan Ilon, Damang Kepala Adat Kec. Basarang dan Kuala Kapuas sejak 1974-…… Ditulis ulang dengan sedikit perbaikantata bahasa oleh Andriani S. Kusni.
Catatan Tambahan:
1 kati ramu sekarang nilainya sama dengan Rp 100.000,-

Penyeragaman Hukum Adat Dayak Dalam Perjanjian Tumbang Anoi V

PERJANJIAN TUMBANG ANOI
“ADAT DAYAK”
"96 PASAL HUKUM ADAT TUMBANG ANOI"
Pasal 68 s/d 86
Pasal 68
Singer Tekap Bau Mate ( denda adat menutup rasa malu muka dan mata yang tercemar khusus pihak wanita)
Penjelasan:
Pria A yang berani membujuk dan melarikan anak gadis B diluar pengetahuan orang tua dan saudara (kawin lari) atau disebut hatamput. Hal sedemikian sangat memalukan waris B.
Sanksi:
Sebelum membicarakan masalah perkawinan A dan B, terlebih dahulu pihak A membayar atau mewujudkan nilai pasal ini (tekap bau mate) denda 30-45 kati ramu untuk pihak keluarga B. Sesudah itu baru boleh dibangun mufakat mengenai jalan hadat kawin dan pesta kawin. A menanggung biaya pesta adat perdamaian dan biaya sidang.

Pasal 69
Singer Kahanjean Balai/Hatamput
Penjelasan:
Pria A dan wanita B yang sudah bertekad kawin lari ke kampung lain dengan maksud menghoindar kemarahan keluarga/warisnya yang tidak setuju dengan tekad/kehendak mereka. A dan B meminta perlindungan dari bakas lewu (orang tua tua setempat). Oleh para mantir setempat, demi menghindari perbuatan zina oleh A dan B di kampung mereka, diadakan sidang acara di balai atau di luar rumah, disitu dipotong ayam untuk makan bersama dan sebagai pernyataan A dan B dihadapan orang banyak setempat, mereka mahanjean arep atas resiko sendiri. Dengan tawur behas membeitahukan kepada panggutin petak danum bahwa tindakan ini sebagai tindakan darurat, tidak berarti memperkosa hak-hak A dan B.
Sanksi:
Para mantir adat berusaha mengembalikan mereka pada warisnya agar diadakan perkawinan yang sempurna melalui jalan adat perkawinan yang baik.
Keterangan:
Pasal ini semata-mata berlaku untuk tindakan darurat demi menghindari perbuatan zina A dan B yang nyata-nyata nakal, bandel terhadap orang-tuanya sendiri. a dan B menanggung biaya pesta adat mahanjean, upah tukang tawur dan biaya sidang balai. Acara mahanjean balai sama sekali tidak menutup kemungkinan tuntutan singer adat lainnya dari pihak waris A dan B di kampungnya sendiri.

Pasal 70
Singer Hambai Kabalongan Hasang (denda adat hambai jasa utang nyawa)
Penjelasan:
Si A menyelamatkan nyawa B dari ancaman bahaya maut, dengan demikian B berhiutang nyawa terhadap A. Kedua pihak patut melaksanakan acara hambai masak untuk mengokohkan persaudaraan.
Pelaksanaan:
Dalam acara hambai, A dan B saling memberi tanda kenang-kenangan, potong ayam atau babi, saling saki palas, makan bersama dihadapan orang banyak setempat, hambai angkat bersaudara atau hambai angkat beribu-bapak.

Pasal 71
Singer Panangkalau Dusa Sala/Palanggar (denda adat melanggar istri orang lain)
Penjelasan:
Pria A sudah kawin dan beranak berumah-tangga dengan wanita istrinya B. Kemudian pria A berbuat zina dengan wanita lain (dusa sala melanggar nangkalau istrinya). Perempuan B dapat mengajukan keberatan atas perbuatan suaminya.
Sanksi:
Pria A dapat dihukum membayar denda sebesar 30-45 kati ramu untuk anak/istrinya (B) serta menanggung biaya saki palas darah babi, biaya sidang adat damai dihadapan orang-tua demi mengembalikan rasa kerukunan.

Pasal 72
Singer Panangkalau Bawi (denda adat melangkah pilihan gadis)
Penjelasan:
Pria A ingin memilih gadis C, adik kandung B. Sedangkan gadis B belum ada pasangannya. Bagi gadis C patut merendah melayani makanan, pakaian kakak kandungnya B sebagai tanda hormat untuk palis sebutan kuman naselu batu.

Pasal 73
Singer Tungku Balu Satengah (denda adat tungkun janda setengah)
Penjelasan:
Pria A yang kawin dengan wanita B, bekas istri C yang sudah lama merantau dan tidak juga mengirim belanja bagi istrinya. Perkawinan A dengan B dapat dilaksanakan asal dijamin oleh waris B jika C datang.
Sanksi:
Si A membayar jalan hadat kawin biasa dan harus pula membayar singer tungkun balu satengah sebesar 30-60 kati ramu bagi keluarga wanita B, biaya pesta adat kawin ditanggung bersama.

Pasal 74
Hadat Sirat Kota Panduh Lewu Huma (adat sirat kota persekutuan)
Penjelasan:
Bekas lewu kepala suku A, bakal berhadapan dengan musuh atau musibah kelaparan dan bahaya lainnya dapat menjalin persahabatan atau persekutuan dengan kepala suku/bakas lewu lainnya untuk sama-sama menanggulangi tantangan pembangunan mufakat janji saling setia dan saling bantu-membantu.
Pelaksanaan:
Dalam suatu pesta damai hambai masak bertukar darah, bertukar tombak, mandau dan tanda mata, atau anak buahnya boleh kawin-mengawin (pembauran).

Pasal 75
Hadat Pananggar Balu (adat jaminan untuk kesejahteraan janda)
Penjelasan:
Wanita janda A bekas istri almarhum B yang baru saja meninggal dunia. Waris B datang dan menghimpun para orang tua setempat dengan maksud menetapkan mufakat bersama dengan waris janda A.

Pasal 76
Hadat Panyanger Sapan Panende Bunu (adat panyanger perdamaian dalam sengketa)
Penjelasan:
Dua buah keluarga besar terdiri dari pihak A dan pihak B kedua pihak masing-masing tinggal di kampung yang berjauhan atau di sungai daerah lain dan tidak ada pertalian keluarga (silsilah). Kedua pihak pernah dalam suatu sengketa berat, tetapi sudah dituntaskan secara damai. Untuk lebih memantapkan dan mewujudkan tata krama perdamaian yang sudah terlaksana maka para pemangku adat berupaya agar kedua belah pihak hasanger (berkesan atau pawarangan). Pria dari pihak A selaku pihak yang membayar singer dan wanita dari pihak yang menerima singer atau yang sebaliknya.
Pelaksanaannya:
Pesta perkawinan A dan B harus potong hewan besar seperti mulai dari:
·         Air paduan tampung tawar
·         Cairan bening dari telor ayam
·         Darah ayam berbulu putih
·         Darah babi korban
·         Darah sapi korban
·         Darah kerbau korban dicampur jadi satu
Untuk saki palas mempelai berdua oleh kedua waris dan bersama-sama dengan para tokoh adat setempat.
Jalan hadat kawin ditata menurut takar-gantang pihak wanita diserah, diakui, dibayar dan disanggupi oleh pihak pria.
Perkawinan A dan B ini disebut dengan sapan panende bunu selaku perwujudan perdamaian secara maksimal, menurut tata krama keadaan purba.
Penetapan menetapkan:
·         Waris B memotong ujung rambut sang janda (membuang sial)
·         Waris B memberi, mengganti pakaian janda dengan kain putih
·         Waris B ikut serta menjamin kesejahteraan janda dan anak-anak
·         Mendaftarekan harta benda A dan B demi kepentingan tiwah dan jaminan anak yatim
·         Jika janda kawin baru, harus restu dari waris B dan A
·         Jika juanda kawin dengan pria pilihannya sendiri, sebelum tiwah almarhum B, dapat dikenakan hukuman pelanggar raung sebesatr 30-75 kati ramu (paralel dengan pasal 14)

Pasal 77
Singer Pangaturui Hayang Lilap (denda kehilangan teman kerja)
Penjelasan:
A dan B sejak lama berteman baik. Jika keduanya bersepakat berusaha di hutan atau merantau ke tempat tertentu, terjadi musibah salah satunya sesat atau hilang. Kehilangan A menjadi tanggung jawab B. Kesempatan pertama B memberitahukan kepada siapa saja, untuk meringankan tanggung-jawab, B berupaya mencari bersama orang banyak tapi tak ketemu. Sehabis waktu 3 (tiga) bulan, kalau tidak ketemu juga, A dianggap sudah mati.
Sanksi:
Sehabis waktu 3 (tiga) bulan, B dan keluarga A mengadakan acara hambai sesudah B membayar pangaturui sebesar 30-60 kati ramu. Biaya pesta damai adat ditanggung bersama. Selanjutnya B dianggap sebagai bagian dari keluarga A.

Pasal 78
Singer Kabehu Bawi Hatue (denda adat cemburu wanita atau pria)
Penjelasan:
Pria A berumahtangga dengan wanita B. Salah satu dari keduanya sangat pencemburu sehingga menimbulkan suasana yang memalukan pihak C yang diduga tanpa alasan yang kuat dan bukti yang nyata.
Sanksi:
Baik A maupun B yang cemburu sedemikian, dapat diancam hukuman pasal ini sebesar 15-30 kati ramu bagi C yang difitnah cemburu buta. Ditambah dengan menanggung biaya sidang dan biaya pesta damai.

Pasal 79
Singer Karusak Bawi Tabela (denda adat merusak wanita dibawah umur dengan perkosaan)
Penjelasan:
Pria A yang memaksa zina wanita B di bawah umur atau memperkosa, perbuatan ini dapat dituntut, diancam hukuman berdasarkan pasal ini.
Sanksi:
Pria A dihukum 45-90 kati ramu untuk wanita B dan 90-150 kati ramu kalau wanita itu dibawah umur (sebelum anak itu datang bulan/haid)

Pasal 80
Singer Nantai bandung (denda adat jabakan zina)
Penjelasan:
Pria A berumahtangga dengan wanita B. Pria A bermain serong/tersembunyi/terselubung zina dengan wanita C. Istri A tidak mampu mendapatkan bukti-bukti kecurangan suaminya, hanya mereka selalu cekcok/berantakan berkepanjangan.
Sanksi:
Berdasarkan pasal ini, wanita B dapat menerangkan lebih dulu kepada pemangku adat bahwa si A kumpul/serong dengan wanita C. Maka B akan menuntut singer nantai bandung sebesar 45-60 kati ramu. Berat atau ringannya, tergantung pertimbangan para mantir adat setempat dan biaya pesta adat dan biaya sidang adat ditanggung bersama A dan C.

Pasal 81
Sahiring Biat Malan Manana (denda adat sahiring biat, waktu berladang)
Penjelasan:
Pada waktu kerja (handep, hinjam, harubuh malam) atau bergotong-royong kerja. Akibatnya A mendapat luka berat atau akibatnya sampai mati (kena parang atau kena kayu/ketiban kayu yang ditebangnya) oleh B pada waktu mengerjakan ladang C.
Sanksi:
Jika si A luka berat atau luka biasa, maka B dan C bersama-sama menanggung biaya obat sampai A sembuh, ditambah singer biat 15 kati ramu, saki palas, lilis manas, sanaman dan ayam hidup untuk A. Tetapi jika A sampai mati maka biaya kematian dan biaya tiwah ditanggung oleh tiga bagian antara waris A, B dan C bersama-sama.

Pasal 82
Singer Sahiring Biat Buah Dundang (denda adat mati atau luka terkena perangkap/seradang/ranjau binatang)
Penjelasan:
Siapa saja yang berbuat dundang, penjaga ladang/kebun/atau semak belukar (tanduhan), akan bertanggungjawab jika dundang itu melukai atau mematikan orang/manusia dan akan diancam hukumandengan pasal ini. Dikenakan sahiring atau biat.
Sanksi:
Kalau korbannya hanya luka ringan, maka hukumannya denda 15 kati ramu ditambah saki palas darah babidan pesta damai serta pengobatan sampai sembuh.
Kalau luka berat, cacat seumur hidup maka hukumannya pengobatan sampai sembuh tambah saki palas dengan darah ayam hidup, potong babi, pakaian sinde mendeng, dan bantuan singer 60-90 kati ramu juga biaya pesta adat damai.
Jika korban sampai mati, maka singer sahiring sebesar 100-150 kati ramu, paramuan hantu, biaya ketika kematian sampai tiwah dan biaya pesta adat damai dan biaya sidang.
Berat atau ringannya tergantung pertimbangan dari hasil komisi, apakah dundang itu ada papar atau tidak dan apakahada tanda/ciri disekitar dundang atau jalan kebun itu.

Pasal 83
Singer Papas Dawa/ Karak Tandah (denda adat pembasuh tuduhan)
Penjelasan:
Pada mulanya si A dituduh berbuat kesalhan atau didakwa melakukan tindakan yang melanggar hukum oleh si Bsehingga akibatnya sangat merugikan si A. Di dalam pengusutan selanjutnya, ternyata si A tidak bersalah. Yang bersalah dalam perkara itu adaqlah si C.
Sanksi:
Dalam hal sedemikian, si A berdasarkan pasal ini dapat menuntut singer palapas dawa sebesar 30-45 kati ramu, manuk belom, pakaian sinde mendeng, lilis peteng, sanaman pangkit dari B dan C. Tinggi atau rendahnya nilai singer tergantung dengan besar atau kecilnya perkara dan tergantung pula dengan hasil pertimbangan para mantir adat setempat.

Pasal 84
Singer Katiwan Gila (denda adat perbuatan orang gila)
Penjelasan:
Si A diketahui sakit gila oleh warisnya dan masyarakat tetapi dibiarkan saja oleh warisnya. Kalau terjadi si A itu melukai atau membunuh orang lain, maka pihak waris si A yang gila, B, dianggap bertanggungjawab. Pihak korban C dapat menuntut sahiring atau biat karena kelalaian pihak waris A.
Sanksi:
Singer biat himang yang seringan mungkindan singer sahiring yang ringan dan yang lainpun seringan mungkin pula dari pihak B, bagi pihak C yang menjadi korban. Sebaliknya jika si A yang gila itu, luka atau mati terbunuh, perkaranya tidak ada tetapi dirawat oleh keluarganya saja dan bisa dibantu oleh masyarakat setempat.

Pasal 85
Singer Tambalik Jela (denda adat sebutan balikan lidah)
Penjelasan:
Pihak pria A kawin dengan pihak wanita B, jalur silsilah darah dapat dibenarkan sejenjang saja, baik dititi dari jalur darah ibu maupun dari silsilah darah bapak. Tetapi, terjadi silsilah sumbang atau salah jenjang dan jika dititi dari silsilah pihak ketiga (C), akibat perkawinan keluarga terdahulu, sehingga C seolah-olah terjepit (hapit hurui). Maka dengan pasal ini, C dapat menuntut singer tabalik jela pada waktu pesta perkawinan dilaksanakan (A dan B)
Sanksi:
Pihak A dan B patut membayar untuk C sebesar paling tinggi 15 kati ramu. Sifat singer ini pada hakekatnya sebagai penangkal tabu/palis dan bukan membatalkan perkawinan.

Pasal 86
Singer Kalahi Kadama Metuh Gawi (denda adat jika berkelahi pada waktu pesta/perayaan)
Penjelasan:
Setiap ada pesta adat perkawinan, kematian dan pesta sidang adat, pesta kecil atau besar. Selama pesta itu dilaksanakan, tidak boleh ada terjadi perkelahian, persoalan, huru-hara, lebih-lebih kalaui ada terjadi luka, mengeluarkan darah banyak atau sedikit, selaku menyaingi darah hewan korban pesta yang berlaku saat itu. Jika sampai terjadi hal-hal tersebut diatas, dapat dituntut denda adat dari ketua pesta adat itu atau penanggungjawab pesta itu.
Sanksi:
Barangsiapa berbuat gara-garaatau yang luka mengeluarkan darah, dikenakan denda sebesar 1-15 kati ramu, menurut besar-kecilnya pelanggaran menurut pertimbangan ketua dat setempat.
 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube