BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Tuesday, July 12, 2011

Percepat Pabrik Vulkanisir












Pemkab Landak Gandeng Batan

LANDAK, TRIBUN - Langkah Pemkab Landak merealisasikan kawasan industri Mandor
(KIM) semakin matang. Pemkab akan mempercepat pembangunan pabrik vulkanisir yang akan memanfaatkan komoditas karet setempat.
Bupati Landak, Adrianus Asia Sidot, menyatakan realisasi KIM akan bekerjasama dengan
Batan Tenaga Atom Nasional (Batan), baik perencanaan dan konsep teknologi yang digunakan.
Hal tersebut disampaikan Adrianus saat rapat koordinasi penyusunan feasibility study (FS)
dan detil engineering pembangunan pabrik vulkanisir, di kantor bupati Landak, Senin (11/7).
Acara tersebut dihadiri berbagai instansi teknis, perangkat daerah, DPRD, dan perwakilan
Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan).
“Kawasan industri ini untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, tak hanya Landakbahkan juga akan dirasakan oleh Provinsi Kalbar,” ujar Adrianus Asia Sidot.
Dalam proses FS dan detail engineering, dia menyatakan bakal membentuk satu sistemkawasan industri yang tak hanya dikaji secara teknis. Namun juga aspek sosial, termasuk hubungan antardaerah.
KIM merupakan subsistem dari pembangunan ekonomi nasional, yang berorientasi pengolahan bahan baku untuk menembus pasar dunia atau global market. “Walaupun selamaini sudah ada kajian parsial, namun belum mencukupi.
Karena itu Batan juga ikut merancang kawasan industri ini,”tutur Adrianus.
Permasalahan sepeti sistem transportasi bahan baku, ketersediaan energi, ia mempercayakan
pada perencanaan Batan.
“Jika harus menggunakan sistem kereta api, why not? Suatu lompatan selalu dimulai dengan langkah kecil,” kata dia.
Proses realisasi KIM sudah cukup jauh diperjuangkan. Adrianus menyatakan sah-sah saja
jika ada yang tak setuju maupun mengkritisi, namun ia berharap berbagai pihak juga memberikan solusi membangun. Untuk pengelolaan KIM, Adrianus menyatakan terdapat
dua opsi, yakni KIM dikelola melalui perusahaan daerah atau dalam pengelolaan otorita. Secara
pribadi bupati cenderung memilih pengelolaan otorita, namun untuk memutuskan hal tersebut ia serahkan kepada tim untuk mengkaji. “Kita akan mulai road show ke calon-calon investor di Jakarta. Paling lambat akhir September road show akan dimulai,” ungkapnya. Kepala Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan (PTAPB) Batan, Prof DR Widi, menyatakan pabrik vulkanisir tersebut akan menjadi inisiator, agar KIM dapat menarik minat investor. “Pabrik vulkanisir ini tidak terlalu besar, namun penting. Akan menjadi inisiator memancing investor untuk memanfaatkan KIM,” ujar Prof DR Widi. Ia menyatakan, dalam menawarkan KIM pada pemodal, Pemkab akan seperti pengusaha real estate, menjual kawasan untuk ditempati. Karena itu Pemkab Landak harus dapat memaparkan keunggulan KIM kepada investor. (dng)

Sumber : Tribun Pontianak, 12 Juli 2011

Kampung Long selatong Dikan

Oleh : Dominic Kalang Seling
NAMA & SEJARAH KAMPUNG
Sejarah Nama Kampung:

Kampung Long Selatong terletak di sebelah kanan sungai Baram jika kita memulakan perjalanan dari hilir sungai Baram iaitu lebih kurang 8 km dari Long San. Jikalau kita melalui jalan darat iaitu jalan kem pembalakan dari Long San, ia memakan masa lebih kurang 20 minit untuk sampai ke Long Selatong. Manakala, jika menggunakan bot berinjin melalui sungai, ia akan memakan masa setengah jam semasa arusnya deras atau lebih lama mengikut keadaan arus sungai yang tidak menentu. Tetapi, jika dari Miri, ia memakan masa lebih kurang 5 jam untuk sampai ke perkampungan tersebut dengan menggunakan jalan kem pembalakan.

Nama Kampung Long Selatong, mengikut cerita orang tua-tua adalah berasal dari perkataan latong yang bermaksud buluh betong. Pada masa itu, terdapat banyak buluh betong di kawasan tersebut dan juga di sepanjang tebing sungai Selatong. Buluh betong dan rebungnya adalah sesuatu tumbuhan yang menyumbangkan pelbagai kegunaan kepada penduduk Long Selatong pada masa dahulu. Rebung dijadikan sebagai sumber makanan yang digemari penduduk Long Selatong, manakala buluh pada ketika itu pula ada bermacam-macam kegunaannya seperti untuk membuat rumah, pondok huma, pagar rumah, bubu, bakul, alat senjata (seperti pisau, sakuh, perangkap binatang, jarum) dan sebagainya. Pagar rumah yang dibina dari buluh ini adalah untuk melindungi mereka daripada serangan musuh seperti pengayau (head hunters). Selain itu, buluh juga digunakan untuk memagari huma dan tanaman dari haiwan perosak seperti rusa, babi, dan sebagainya. Ini terbukti bahawa pada ketika itu, kegunaan buluh adalah amat meluas bagi penduduk kampung ini. Dari situlah nama Kampung Long Selatong telah tercipta.

Sejarah Kampung:
Mengikut cerita orang tua-tua dari Kampung Long Selatong sendiri, kaum Kenyah (Lepo Dikan) yang menetap di Long Selatong sekarang, pada mulanya hidup berpindah-randah dari satu tempat ke satu tempat yang lain di sepanjang sungai Baram. Mengikut cerita mereka lagi, mereka berasal dari Long Danum di kawasan Usun Apau (terletak di Apau Peliran). Dari situ mereka berpindah ke Tukung Julut (juga di kawasan Apau Peliran). Di Tukung Julut inilah tempat di mana semua bangsa Kenyah menetap untuk seketika. Pada tahun 1830 iaitu sebelum zaman penjajahan British, populasi mereka masih ramai.
Pada tahun 1833 pula, mereka (Lepo Dikan) telah berpindah ke Lulau Esai (di Sungai Silat) kerana pada ketika itu, mereka masih percaya pada dukun dan bomoh. Masyarakat kampung pada masa itu masih hidup berlandaskan mimpi di mana mereka akan berpindah apabila dukun dan bomoh telah mengalami mimpi yang menunjukkan petanda-petanda buruk (ame’n) yang akan melanda kampung.

Namun, pada tahun 1840, mereka berpindah lagi ke Long Julan – Pelutan. Semasa mereka disitu, satu wabak penyakit kudis (sakit kerapit – Pu’u) telah merebak dan akibatnya, ramai dikalangan mereka meninggal dunia dan populasi mereka pula semakin berkurangan. Oleh itu, mereka telah berpindah sekali lagi pada tahun 1842 ke Long Polo (di Sungai Patah). Pada ketika itu, kaum kenyah Lepo Abong, Lepo Ga, dan Lepo Dikan masih hidup bersama dan bersatu dalam satu komuniti yang besar tetapi di bawah ketua masing-masing. Lepo Dikan pula dibawah seorang ketua yang mereka pilih di antara orang maren (orang bangsawan) yang bernama Lu’ong Lenjau.

Selepas itu, pada tahun 1910, Lepo Dikan dan Lepo Ga telah berpindah ke Long Kelamei dan menetap disitu untuk seketika. Disitu mereka hidup dalam keadaan yang susah sekali kerana susah untuk mencari makanan terutama padi. Tanaman padi bukit selalunya tidak membuahkan hasil, tambah pula haiwan perosak pada ketika itu terlalu banyak. Oleh itu, mereka berpindah ke Na’a Luyak untuk seketika waktu. Namun, mereka berpindah lagi kerana bomoh dan dukun mengalami mimpi buruk (ja’et ame’n) dan mereka pun berpindah ke Long Selatong pada tahun 1920. Pada masa itu, mereka masih diketuai oleh Lu’ong Lenjau dan disinilah ketua kampung sekarang, iaitu Lenjau Gau telah dilahirkan.

Namun mereka tidak menetap lama disitu dan dimana, mereka telah berpindah ke Long Semu’ong pada tahun 1926 sehingga tahun 1929. Tanaman padi yang ditanam tidak membuahkan hasil yang mencukupi dan ini menyebabkan mereka hidup susah. Ini juga merupakan satu petanda nasib malang (ja’et amรฉn). Hanya segelintir penduduk sahaja yang boleh dapat padi. Untuk menyara hidup mereka sendiri, mereka bekerja untuk keluarga yang lebih berkemampuan bagi mendapatkan upah untuk keperluan harian.

Pada tahun 1929 juga, mereka berpindah pula ke Tanjung Tepalit dan menetap disana selama 6 tahun. Disinilah ketua mereka iaitu Lu’ong Lenjau meninggal dunia dan oleh kerana beliau tidak mempunyai zuriat, tampok ketua diambil alih oleh Ngau Puloh yang juga berketurunan bangsawan (maren) di kalangan mereka. Kemudian, mereka berpindah lagi ke Lidung Bedalite sehingga tahun 1949 dan pada hujung tahun tersebut, mereka berpindah semula ke Long Selatong untuk ketiga kalinya dan terus menetap disitu. Sehingga sekarang, mereka tidak lagi percaya akan dukun dan bomoh kerana wujudnya agama yang tetap antara mereka iaitu agama Kristian (Roman Catholic). Begitulah sejarah perpindahan kaum kenyah Lepo Dikan yang menetap di Long Selatong sekarang.

Wagub Kalbar Terkesan Gawai Dayak Sanggau

Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Slamet Bowo Santoso

TRIBUNNEWS.COM, SANGGAU - Wakil Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Cristiandy Sanjaya mengaku terkesan dengan pelaksanaan Gawai Dayak ke tujuh yang dilaksanakan di Kabupaten Sanggau.

Dirinya menilai gawai yang dilaksanakan di Sanggau tersebut lebih meriah jika dibandingkan dengan gawai dayak yang dilaksanakan provinsi Kalbar beberapa waktu silam.

Hal tersebut disampaikan Cristiandy Sanjaya ketika menutup secara resmi kegiatan gawai dayak ke tujuh tahun 2011 yang dilaksanakan di komplek rumah betang keuskupan Sanggau, Sabtu malam (9/7/2011).

Dirinya berharap tradisi gawai yang dilaksanakan setiap tahun tersebut dijaga secara maksimal karena merupakan aset berharga Kalimantan Barat.

“Begitu sampai di komplek kegiatan gawai ini saya merasa terkesan sekali, saya juga sempat berkeliling beberapa stand perwakilan kecamatan untuk melihat apa yang mereka pamerkan pada saat gawai. Dan, memang saya rasakan bahwa gawai dayak yang dilaksanakan di Sanggau ini jauh lebih meriah dibandingkan dengan gawai dayak tingkat provinsi Kalbar,” ungkapnya.

Selain menjadi upaya untuk menjaga kelestarian budaya, gawai dayak yang dilaksanakan tersebut menurut Cristiandy Sanjaya juga diharapkan dapat menarik minat wisatawan untuk datang ke Kabupaten Sanggau pada khususnya, dan Kalimantan Barat pada umumnya, dalam upaya mendukung program visit Kalimantan Barat 2010 yang dicanangkan tahun lalu.

Dari perhitungan yang dilakukanya menurut Cristiandy, untuk seorang wisatawan yang datang saja akan menghabiskan uang lebih dari Rp 10 juta.
Dan jika kegiatan gawai seperti yang dilaksanakan masyarakar dayak Sanggau tersebut bisa dikemas sebaik mungkin, maka akan mendorong peningkatan perekonomian masyarakat dengan sendirinya.

“Harus tetap dijaga pada tahun-tahun kedepan, karena kita berharap kegiatan budaya yang dilakukan bisa berimbas positif pada peningkatan perekonomian. Saat ini sudah ada beberapa kegiatan budaya yang masuk daftar kunjungan wisata, seperto robo-robo di Mempawah, Cap Go Meh di Singkawang dan beberapa kota lain, Gawai dayak dan beberapa kegiatan lain. Dengan makin banyaknya kegiatan budaya ini maka perekonomian kita akan terus membaik tanpa disadari,” jelasnya.

Sementara ketua harian Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Barat Yakobus Kumis mengatakan, pelaksanaan gawai dayak seperti yang dilaksanakan oleh DAD Kabupaten Sanggau tersebut. telah menjadi aset besar bagi masyarakat dayak, dalam upaya memperkuat posisi masyarakat dayak itu sendiri.

“Dengan gawai yang kita laksanakan hari ini, maka sebenarnya kita sudah menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang kita. Jangan hanya karena arus globalisasi kita masyarakat dayak kemudian ikut-ikutan didalamnya dan melupakan jati diri kita sebagai masyarakat adat yang memiliki kehormatan yang tinggi,” tandasnya.

Editor: Alfred Dama | Sumber: Tribun Pontianak
Akses Tribunnews.com lewat perangkat mobile anda melalui alamat m.tribunnews.com

sumber : www.tribunnews.com

Thursday, July 7, 2011

Menikah Adat, Memberitahu Roh Nenek Moyang


1310016625677284601

Para lemaku sedang menjalani ritual selobar berukupm, yang merupakan prosesi penghabisan dari pernikahan adat Dayak Simpakng. Foto: Severianus Endi

DELAPAN lelaki berikat kepala duduk melingkar di ruang tengah. Di hadapan mereka terhidang berbagai sesaji yang tidak biasa.

Ada pelomak (ketan yang dimasak di dalam buluh), sayur umbut kelapa, tuak, daging babi, beras, peralatan adat seperti tepayan, kain, dan perhiasan kuno. Malam mulai menjelang, Senin (4/7/11), di ruang tengah sebuah rumah di Kompleks Parit Pangeran, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

Suara pria berikat kepala itu sambung menyambung dalam bahasa Dayak Simpakng. Bahasa yang sulit dimengerti kaum muda, karena merupakan “sastra lisan” warisan nenek moyang, yang intinya sedang melakukan ritual salobar berukupm.

Ini ritual penghabisan dari seluruh rangkaian perkawinan adat menurut tradisi Dayak Simpakng di pedalaman Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Pasangan pengantin, Thomas Aleksander dan Lily Monaliza, sebelumnya telah diberkati dalam sakramen pernikahan di Gereja Katolik Santa Sisilia, Sungai Raya Dalam.

“Meski kita sudah hidup di era modern, adat istiadat tempat saya berasal tetap harus dijunjung tinggi. Saya ingin adat istiadat warisan nenek moyang tetap lestari, sesuai pepatah hidup di kandung adat, mati di kandung tanah,” ujar Thomas yang juga anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat.

Delapan pria berikat kepala itu disebut lemaku, yakni tokoh yang mengerti adat, sekaligus perwakilan kedua pengantin. Empat orang perwakilan pengantin pria, dan empat lainnya perwakilan pengantin perempuan.

Ritual salobar membicarakan kancing kolit atau kunci mati, sebagai pengikat kedua pengantin. Para lemaku menyepakati berbagai aturan dan hukum adat, sebagai usaha agar kedua mempelai tetap langgeng sampai maut memisahkan.

1310016699589010911

Setalah dibangun, kemudian sensayo diberkati dalam tradisi Katolik. Sensayo memuat banyak simbol adat. Foto: Severianus Endi

Seorang lemaku, Yulius Sarneon (41), menuturkan, aturan adat misalnya ditetapkan jika suatu saatbotuh barubah gunong barinset. Artinya bilamana setelah disahkan secara adat namun di waktu mendatang kedua sejoli ini saling meninggalkan pasangannya, maka sudah ada takaran hukum adat yang harus mereka penuhi.

“Itu sebabnya para lemaku menetapkan sejumlah aturan adat, dengan maksud pasangan ini langgeng hingga akhir hayat,” ujar Sarneon.

Begitu ritual salobar tuntas, ungkapan kegembiraan diwujudkan dengan taboh ani-ani bapantun baparabasa, yakni dengan menghamburkan beras, sebagai tanda adat ini sah dan diketahui semua pihak.

Panitia pernikahan, Maran (42), menjelaskan, adat sabat-sabatan menurut tradisi Dayak Simpakng di antaranya bermakna pemberitahuan pada roh nenek moyang yang hingga saat ini diyakini tetap menjaga kehidupan anak cucunya.

“Adat tetap dipegang karena memberi rambu-rambu bagi pengantin. Jangankan untuk memulai hidup, saat kematian pun ritual adat harus dilaksanakan,” ujar Maran.

Di antara prosesi adat, keluarga mendirikan sensayo di ruang tengah. Sensayo dibangun dengan kayu, tebu, pohon pisang, kemudian dilengkapi aneka hasil alam seperti buah-buahan, umbut kelapa, ketan, tuak, yang semuanya melambangkan makanan yang sudah ada sejak nenek moyang.

Pemberitahuan pada roh nenek moyang akan adanya keluarga baru, diwujudkan dengan adanya sebuah wadah bernama talapm penuata, yang berisi berbagai makanan khas tersebut. Pengantin juga menjalani ritual pibu pangantin. Bentuknya, pengantin duduk didampingi pendamping yang disebut pengintu 3 laki dan 3 perempuan.

Dua ekor ayam jantan dan betina dikibas-kibaskan, ini disebut mibu, untuk mengusir hal-hal jahat yang bisa menganggu kehidupan. Pengantin duduk di dekat sensayo dan menghadapi ke matahari terbit, sebagai lambang mereka akan memulai kehidupan baru. (*)

SEVERIANUS ENDI

* Versi yang sudah diedit dimuat di Harian Tribun Pontianak edisi Rabu, 6 Juli 2011 di rubrik Citizen Reporter.

sumber : www.kompasiana.com

Wednesday, July 6, 2011

Kreasi Tradisi Jangan Dilupakan

Oleh : Jajay Wahyono
Foto bersama seorang Demang (kepala desa sekaligus kepala adat Dayak sub suku Dayak Ngaju) dari desa Dawak, Kotawaringin Lama, Kalimantan Tengah.

Kotawaringin Lama? Harap dibedakan antara Kotawaringin Lama dengan nama Kotawaringin Barat atau (apalagi) dengan nama Kotawaringin Timur. Masing-masing nama itu menunjuk tiga tempat yang berbeda.

Eeeiiittt…! Masih ada satu lagi: nama Kotawaringin Darat. Darat?

Arti kata [darat] menunjuk tempat yang jauh dari sungai atau laut. Dapatkan penjelasannya tentang hal ini dan ‘kota darat’ ini menunjukkan pada suatu tempat dan apa nama tempat itu? Temukan jawabannya pada bagian akhir dari tulisan ini .

Untuk mencapai Kotawaringin Lama (Kalimantan Tengah) membutuhkan 3 jam perjalanan jalur sungai dengan menyewa speed boat ditambah 1 jam lewat jalan darat. Atau kalau mau jalan santai perjalanan dengan kapal perahu sejenis ’kano’ yang didorong mesin diesel kecil atau yang di Kalimantan Selatan perahu tersebut disebut jukung. Dengan ’jukung’ atau ’alkon’ – nama orang Kalteng menyebutnya – ini akan membutuhkan waktu 8 jam dengan mengambil titik start dari kota Pangkalan Bun yang terletak sekitar bandara Iskandar Pangkalan Bun, Kalteng.

Ketika saya selelsai mengunjungi paman Demang A murat ini, saya diberi kenang-kenangan sebuah senjata khas desa Dawak yang berupa ’mandaunya’ orang Dayak Ngaju. Jenis dan bentuknya tidaklah sama seperti lazimnya senjata mandau yang kita kenal selama ini.

Setelah saya teliti dan saya simak cerita ’bahari’ (bahari = lama : bahasa Banjar - red) suku Dayak Ngaju khususnya yang tinggal dan mendiami desa Dawak itu memiliki keterikatan yang kuat dengan kerajaan Majapahit di Jawa sejak abad 13. Hal ini dikuatkan cerita turun temurun dari nenek moyang mereka di mana mereka pada jaman dahulu kala mereka setiap tahunnya pada masa itu para ketua adat lama berkunjung ke Majapahit untuk menyerahkan upeti dan atau menjalinan kekeluargaan atau unuk keperluan lainnya.

Senjata mandau khas Dayak Ngaju desa Dawak ini terdapat perbedaan bentuk fisiknya yaitu terdapat pada bentuk ’gagang senjata’ yang lebih dan menyerupai gagang senjata jenis golok yang terdapat menyebar seluruh pulau Jawa. Selebihnya semua bagian dari sebuah mandau itu adalah sama.

Warga Dayak suku Ngaju desa Dawak ini pada mulanya bukanlah warga Dayak yang terbiasa dengan menggunakan senjata mandau sebagai senjata keseharian mereka. Senjata mandau itu bukanlah senjata asli orang Dawak tetapi hasil pengaruh dari suku Dayak lainnya yang terdapat disekitar lingkup mereka. Mandau lebih khusus lagi, lebih dipengaruhi oleh suku-suku Dayak yang datang dari daerah Lamandau lewat jalur pedagangan atau perkawinan.

Saya masih mencari tahu, apakah nama Lamandau itu adalah tempat di mana pertama kali senjata mandau itu dikenal? Mengingat secara etimologis nama Lamandau - mungkin terbentuk secara etimologis dari kata [mandau].

Jika hal ini diselidiki pasti kita akan diperoleh gambaran berbeda dengan cara pandang terhadap sejarah perkembangan senjata mandau selama ini.

Siapa yang berminat meneliti?

Perlu diketahui, senjata asli orang Dayak Ngaju desa Dawak adalah sumpit.

Senjata ini pulalah yang dipakai ketika terjadi perang suku atau ketika perang melawan penjajahan Belanda di mana suku Ngaju desa Dawak terkenal heroik mengusir penjajah. Peristiwa ini bisa kita lihat di relief salah satu land mark kabupaten Kotawaringin Barat di simpang lima di daerah sekitar Pangkalan Lada, Kalteng.

(Lihat gagang senjata golok dari Dawak yngg diberikan kepada saya, gagangnya sama sekali tidak mirip dengan gagang mandau yang selama ini kita kenal khan?

Sekali lagi, siapa yang bersedia bikin penelitian sejarah tentang missing link ini? Bukankah di Kotawaringin Lama ini terdapat peninggal Kraton Kotaringin Lama (penulisan gaya tempoe doeloe untuk Kotawaringin Lama) yang berdiri sejak abad 14 atau ketika di Jawa sejaman kerajaan Demak Bintoro? Bukankah sejarah lebih jelas lagi dengan adanya makam Ki Gede yang merupakan penduduk pendatang dari Jawa yang menyebarkan Islam di sana? Ini pasti menarik minat bagi yang menekuni cerita dan sejarah peradaban Nusantara.

Perlu diketahu pula bahwa bapak Demang A. Murat ini adalah anak langsung dari Demang Silam yang namanya diabadikan sebagai sebauh jalan desa di desa Dawak. Jadi selagi beliau Demang A. Murat masih sehat dan bisa membantu kita semua untuk bisa merekonstruksi ulang sejarah masa lalu maka sebaiknya segera diadakan penelitian.

Satu lagi informasi bahwa desa Dawak juga biasa disebut sebagai Kotawaringin Darat karena letaknya di daratan atau jauh dari sungai besar atau 1 jam perjalanan darat (sekarang) off road. Bandingkan dengan Kotawaringin Lama yang terletak dijalur transportasi air yaitu sungai.

Sumonggo… silahkan..!

sumber : http://www.facebook.com/photo.php?pid=318117&id=1468758503
 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube