BREAKING

Sunday, June 22, 2014

Kesadaran Politik Dayak dalam Teropong Sejarah.


Adil ka’ talino bacuramin ka’ saruga basengat ka’Jubata.

Posisi Akademisi dalam Pilpres
Bola panas menjelang Pemilihan Presiden sudah di mulai. Setidaknya ada dua pasangan calon capres dan cawapres yang akan bertarung pada tanggal 9 Juli 2014. Pertarungan ini semakin memanas dengan bergabungnya akademisi yang secara tiba-tiba menjadi juru kampanye kedua pasangan tersebut. Tidak ada yang salah sebenarnya dalam perilaku tersebut. Dalam sebuah negara demokrasi setiap individu memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Hanya saja sangat disayangkan, seorang akademisi yang diharapkan dapat memberikan analisis kritis dan berimbang, kini telah terkotak-kotak membela kepentingan golongan.

Tidak ada yang mengetahui secara pasti alasan apa yang melatarbelakangi para akademisi menjadi jurkam para kandidat selain diri mereka sendiri dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang pasti, semua kalangan berharap bahwa semakin banyaknya akademisi dalam dunia politik praktis akan memberikan pendidikan politik yang semakin cerdas dan bukan sebaliknya, membuat kegaduhan dengan mencari-cari legitimasi untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar.

Posisi akademisi dalam sebuah partai atau dukungan politik itu sangat penting. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai tim ahli dan perumus program-program yang dianggap relevan dengan menggunakan hasil riset tetapi juga untuk menangkis semua serangan-serangan negatif (black campaign atau negative campaign) yang dituduhkan kepada pasangan yang didukungnya. Pada saat seperti inilah sejatinya para akademisi diuji idealitasnya antara membela kebenaran atau membela kepentingan.

Saat ini setidaknya ada dua kubu akademisi yang bertarung pada arena politik. Kubu Mahfud MD yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta dan kubu Anis Baswedan yang mendukung pasangan Jokowi-JK. Dengan melihat kapasitas intelektual yang dimiliki, tentu tidak diragukan lagi. Akan tetapi, benarkah kapasitas intelektual semata akan menjamin seseorang bersikap obyektif atau dapat juga terjebak dalam pragmatisme?

Kesadaran Politik Dayak dalam Teropong Sejarah.
Semakin menarik melihat euforia demokrasi Indonesia menjelang Pemilu Presiden ini, khususnya di kalangan anak muda. Mungkin benar jika Pemilu adalah pesta rakyat. Di orde baru, awal reformasi kehebohan menyambut pemilihan presiden boleh dibilang cuma terjadi di kalangan para politisi. Sekarang sangat berbeda, lihat saja di media massa, media sosial anak-anak muda berpartisipasi mendukung habis-habisan pasangan calon presiden dengan menyampaikan beragam opini dan kreatifitas melalui design gambar untuk mempromosi maupun menangkis serangan-serangan lawan.
Sebagai anak muda saya pun tidak ingin melewatkan pesta demokrasi ini dengan cuma berdiam diri saja, tentunya dengan mendukung salah satu calon yang di anggap paling tepat untuk memimpin bangsa ini. Namun terlepas dari masalah Pemilihan Presiden, ada beberapa catatan sejarah politik yang pernah di lakukan oleh Suku Dayak dilihat dari teropong sejarah.

Dalam bukunya ”Kalimantan Membangun”, Tjilik Riwut, Pahlawan Nasional RI dari suku Dayak Kalimantan mengungkapkan bahwa Suku Dayak di Kalimantan juga memainkan peran yang sangat penting dalam merebut kemerdekaan dari tangan kolonial. Riwut, yang mantan Gubernur pertama Kalimantan Tengah ini mencatat bahwa pergerakan nasional modern dari pulau Kalimantan sebenarnya jauh melampaui Soempah Pemoeda 1928, Tahun 1919 berdirinya Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, yang dipelopori oleh Hausman Babu, M. Lampe , Philips Sinar, Haji Abdulgani, Sian, Lui Kamis, Tamanggung Tundan, dan masih banyak lainnya. Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, bergerak aktif hingga tahun 1926. Pada tahun itu pula (1926), lahir organisasi wirausahawan bernama Sarikat Dagang Dayak (SDD) yang tiga tahun kemudian mendirikan Majalah Suara Pakat sebagai karya jurnalistik pertama orang-orang Dayak Besar. Sejak saat itu, Suku Dayak menjadi lebih mengenal keadaan zaman dan mulai bergerak. Tahun 1928, kedua organisasi tersebut dilebur menjadi Pakat Dayak, yang bergerak dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Mereka yang terlibat aktif dalam kegiatan tersebut ialah Hausman Babu, Anton Samat, Loei Kamis. Kemudian dilanjutkan oleh Mahir Mahar, C. Luran, H. Nyangkal, Oto Ibrahim, Philips Sinar, E.S. Handuran, Amir Hasan, Christian Nyunting, Tjilik Riwut, dan masih banyak lainnya. Pakat Dayak meneruskan perjuangan, hingga bubarnya pemerintahan Belanda di Indonesia.

Namun, gerakan Dayak untuk bebas dari penindasan baik yang dilakukan kerajaan feodal maupun penjajah Belanda semakin menguat dari tahun ketahun diseluruh Kalimantan. Pada tahun 1941 misalnya, sejumlah tokoh Dayak dalam suatu retret guru agama katolik di Nyarumkop Kalimantan Barat bersepakat untuk meningkatkan dan memperjuangkan nasib orang Dayak melalui perjuangan politik. Kesepakatan itu merupakan salah satu inisiatif JC Oevaang Oeray, siswa seminari yang menulis surat kepada peserta retret. Oleh AF Korak, JR Giling dan MT Djaman, berhasil dicetuskan kebulatan tekad untuk berjuang secara politik. 4 tahun setelah kesepakatan itu, tepatnya pada tanggal 30 Oktober 1945, F.J Palaunsoeka, guru sekolah rakyat di Puttusibau dan kawan-kawannya mendirikan Dayak In Action (DIA) dengan moderator seorang pastor Jawa bernama Adi Karjana SJ. Karena perkembangan situasi politik saat itu, pada tanggal 1 Nopember 1945, DIA diubah menjadi Partai Persatuan Daya (PD) dengan ketua umum pertamanya F.J Palaoensoeka. Disetiap kampung dibentuk Komisariat yang sejajar dengan Dewan Pimpinan Cabang. Momentum gerakan politik melalui PD kemudian mendapat tempat dengan diubahnya karesidenan Kalbar menjadi Daerah Istimewa Kalbar pada tanggal 12 Mei 1947. Pada tahun 1959, Persatuan Dayak bubar, kemudian bergabung dengan PNI dan Partindo. Akhirnya Partindo Kalimantan Barat meleburkan diri menjadi IPKI. Di daerah Kalimantan Timur berdiri Persukai atau Persatuan Suku Kalimantan Indonesia dibawah pimpinan Kamuk Tupak, W. Bungai, Muchtar, R. Magat, dan masih banyak lainnya.

Sejarah mencatat, perjuangan politik orang Dayak ternyata tidak hanya berjuang secara diplomatic, tetapi ada juga yang berjuang senjata. Pada tahun 1943 diproklamasikan sebuah Negara Dayak bernama Negara Madjang Desa. Pang Suma menjabat sebagai perdana menteri, yang dibantu oleh Pang Linggan, dan kawan-kawannya. Gerakan Pang Suma menyihir para aktivis muda Dayak untuk bergabung dinegara yang baru terbentuk ini, termasuk sisa-sisa kaum progresif yang masih hidup ketika beberapa kali pecah pertempuran melawan pemerintah Hindia Belanda. Momentum perlawanan Pang Suma diawali dengan pemukulan seorang tenaga kerja Dayak oleh pengawas Jepang, satu diantara sekitar 130 pekerja pada sebuah perusahaan kayu Jepang. Kejadian ini kemudian memulai sebuah rangkaian perlawanan yang mencapai puncak dalam sebuah serangan balasan Dayak yang dikenal dengan Perang Majang Desa, dari April hingga Agustus 1944 di daerah Tayan-Meliau-Batang Tarang (Kab. Sanggau). Sekitar 600 pejuang kemerdekaan dibunuh oleh Jepang, termasuk Pang Suma. Di Sidas, Mane Pak Kasih, asal Kampung Pancur Sengah Temila bertempur dengan tentara NICA di Jembatan Sidas. Bersama rombongannya, Mane Pak Kasih gugur, membela kemerdekaan yang sudah diraih. Peristiwa ini dikenal dengan Perang Sidas. Mengapa pejuang-pejuang itu gagal ? Salah satu sebab utama kegagalan tersebut adalah ketidakmampuan Dayak radikal dalam mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan potensial rakyat Dayak secara umum, sehingga mereka tak memiliki kekuatan yang cukup dalam menghadapi serangan aparat militer Jepang.

Sebagaimana dicatat para penulis Eropah, pada masa sebelum dan selama masa kolonial, Kalbar merupakan daerah yang terdiri dari banyak kesultanan. Kendati saling bersaing, semua sultan adalah Melayu dan memperoleh dukungan dari pemerintah Belanda & Jepang. Dayak adalah rakyat yang menjadi subyek kekuasaan Melayu. Cina merupakan kelompok etnik yang walaupun juga berada dalam kekuasaan Melayu, namun mereka berusaha mengembangkan otonomi tersendiri & relatif eksklusif. Konfigurasi sosial semacam itu terus bertahan hingga beberapa peristiwa penting terjadi di penghujung masa kolonialisme dan masa kemerdekaan. Pemerintah Belanda & misionaris memberikan kesempatan pendidikan yang besar, dan secara sadar atau tidak, ikut membentuk identitas etnik kepada Dayak. Dalam batas tertentu, pemerintah dan misionaris juga membuka kesempatan pendidikan yang besar kepada Cina. Tragedi pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor membuat Melayu kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas. Dan karena sikap yang cenderung pro Belanda pada masa awal kemerdekaan, membuat Melayu pada akhirnya kehilangan peluang untuk menguasai birokrasi pemerintahan pada masa Orde Lama. Sejumlah Dayak berhasil memanfaatkan situasi ini, setelah berhasil mengkosolidasi kekuatannya, mereka mendirikan partai politik dan menang dalam pemilu 1955 dan 1958. Hal ini kemudian mengantarkan Dayak untuk menempati posisi sebagai kelompok etnik yang berkuasa. Satu orang menjadi gubernur, dan 4 di antaranya menjadi bupati serta beberapa mengisi jabatan-jabatan prestisius lainnya. Singkatnya, Dayak naik ke kursi kekuasaan, menggantikan kelompok etnik yang dulu mereka anggap sebagai penjajahnya.

Kemerdekaan dan politik luar negeri Indonesia di masa Orde Lama, membuat Cina menjadi lebih berkembang. Mereka bukan hanya menguasai ekonomi, melainkan juga mulai masuk dan berperan dalam bidang sosial-politik. Tidak lama Dayak menguasai birokrasi pemerintahan. Seiring dengan pergantian rezim dan perubahan politik luar-negeri Indonesia, pemerintah pusat membatasi aktivitas tokoh Dayak dalam politik dan pemerintahan, dan menggantikannya dengan pejabat militer yang berasal dari Jawa. Dayak berusaha mengadakan koptasi, namun gagal.

Peralihan Orde Lama ke Orde Baru merupakan masa yang paling menyakitkan bagi Cina. Mereka bukan hanya kehilangan posisinya secara ekonomi dan politik, melainkan juga harus kehilangan materi dan nyawa. Kelompok etnik yang relatif beruntung adalah Melayu dan Madura. Belajar dari sejarah, secara perlahan Melayu berhasil kembali menguasai birokrasi tingkat menengah ke bawah. Kendati perannya secara politik tidak besar, Madura berhasil memperbaiki posisinya sedemikian sehingga pemerintah, militer, dan parpol terpaksa harus memperhatikan kepentingannya dalam beberapa urusan tertentu. Puncaknya adalah terpilihnya seorang militer Madura menjadi bupati di kabupaten Sanggau.

Orde Baru adalah masa kontemplasi dan konsolidasi bagi Dayak. Dalam masa panjang itu, mereka berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka dengan mengontraskan perbedaan antara Dayak dengan Melayu. Mereka mengidetifikasi dirinya sebagai Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Mereka mendirikan berbagai organisasi sosial-politik dan ekonomi yang berusaha memberdayakan kelompok etniknya. Beberapa belas tahun kemudian, pemberdayaan tersebut berhasil mentransformasikan dirinya sebagai suatu gerakan politik.

Posisi Dayak pada Pemilihan Presiden 2014.
Hingar bingar Pemilihan Presiden 2014 sudah telah menyita perhatian banyak kalangan dari tukang becak sampai kalangan elit. Tidak terkecuali dengan kalangan intelektual Suku Dayak, seolah tidak ingin melewatkan moment ini, beragam dukungan pun diberikan kepada masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden No.1 Prabowo Hatta mendapat dukungan dari  Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah (LM-MDD-KT) deklarasikan ini dilakukan di Rumah Polonia, Jakarta Timur pada tanggal 20 Juni 2014 Prof. KMA M Usop selaku Ketua Presidium LM-MDD-KT menghadiri langsung acara deklarasi tersebut.

Sementara itu pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden No.2 Joko Widodo dan Jusuf Kalla mendapat dukungan dari Forum Dayak Kalbar Jakarta (FDKJ) keputusan ini di ambil dari hasil rapat bersama tgl 29 Mei 2014 di Cijantung. Deklarasi terhadap pasangan calon Presiden No.2 ini pun dilakukan pada tanggal 30 Mei 2014 di Jln Sisingamangaraja yang dipimpin langsung oleh Ketua FDKJ Bapak Nikodemus Sabudin.

Pasangan Calon Presiden dan Wakli Presiden No.2 Joko Widodo dan Jusuf Kalla Juga mendapat dukung dari Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) melalui surat edaran NO.20/MADN/VI/2014 Pada tanggal 5 Juni 2014. Yang di tujukan kepada seluruh pengurus Dewan Adat Dayak (DAD) Seluruh Kalimantan. MADN mengajak masyarakat Adat Dayak untuk berpartisipasi dan melakukan pengawasan terhadap Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia tanggal 9 Juli 2014. Dalam surat tersebut juga Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) memberikan dukungan terhadap pasangan calon presiden No.2 Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Selain dukungan yang diberikan secara langsung melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan, dukungan secara individual pun tidak kalah serunya. Tidak heran kalau akhir-akhir ini muncul para pengamat politik dadakan dari kalangan Anak Muda Dayak. Mereka pun menyebut dirinya sebagai Relawan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Para Relawan ini bertugas untuk mempromosikan program-program pasangan yang didukungnya melalui media sosial. Mereka juga bertugas untuk menangkis semua serangan-serangan negatif (black campaign atau negative campaign) yang alamatkan kepada pasangan yang didukungnya. Tidak jarang pada saat tertentu mereka saling serang, seolah-olah tidak kenal lagi persahabatan apabila berbeda pilihan main libas. Bahkan ada yang sampai adu urat saraf sakin cintanya kepada pasangan yang didukungnya.

Terlepas dari semua perbedaan diatas, yang perlu kita sadari adalah dalam suasana demokrasi persaingan serta perbedaan pendapat dalam memilih merupakan suatu yang wajar. Namun demokrasi juga tidak pernah membenarkan adanya bentrokan atau konflik adalah bagian darinya. Karena itu masyarakat Dayak yang terlibat dalam kampanye harus didasari bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari partisipasi politik yang dilakukanya dengan sukarela dalam menentukan pemilihan pemimpin bangsa. Siapa pun yang akan terpilih kita berharap presiden yang akan memimpin kita bisa membawa perubahan yang lebih baik dari sekarang.

Sebagai Masyarakat Dayak tentunya kita ingin diperhatikan oleh pemerintah terutama pembangunan sumber daya manusia dan Infrastruktur yang memadai di tanah Borneo. Kita tidak ingin lagi melihat jalan-jalan yang kita lewati seperti KUBANGAN atau seperti sawah yang habis di bajak. Pembanguan Infrastruktur sudah sangat mendesak, keseriusan pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut sangat kita harapkan. Teman-teman mari kita sambut calon pemimpin baru negeri ini dengan penuh harapan, tanggal 9 Juli 2014 saatnya kita memilih, pilihlah pemimpin yang TEPAT, pilihlah pemimpin yang BERSIH, pilihlah pemimpin yang mau MELAYANI bukan diLAYANI, pilihlah pemimpin yang mau MENDENGAR suara rakyatnya.

Salam Budaya

Yohansen Borneo
Admin Cerita Dayak


Sumber :
-              www.ceritadayak.com
-              www.wikipedia.com
-              www.asosokbakati.blogspot.com
-              Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan - Karya Tjilik Riwut

No comments :

Post a Comment

 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube