Harian Umum Tabengan,
Oleh KUSNI SULANG)**
Dr H Abdurrahman, SH, MH, Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI dan Dosen Program Pascasarjana di beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia, dalam Seminar Nasional Adat Dayak Kalimantan Tengah dengan tema: “Reposisi Lembaga Adat Kedamangan Damang Perspektif Hukum Lingkungan” di Aula Rahan Unpar pada tanggal 4 Desember 2010 yang lalu, banyak menyampaikan hal-hal menarik.
Hal-hal menarik itu, misalnya kritik berbentuk saran dan sedikit penyesalan sekaligus bahwa semestinya Fakultas Hukum Unpar menitik-beratkan studi tentang hukum adat Dayak. Hal lain, ia menceritakan pengalaman ketika menangani kasus lahan sengketa antara petani dan pemilik HPH di Kalteng.
Pada masa Pemerintahan Orde Baru Soeharto, pemilik HPH mengatakan bahwa ia mendapatkan hak mengeksloitasi hutan dari Presiden Soeharto langsung. Jadi kalau mau menggugat saya, gugatlah Soeharto dulu. Jika demikian maka masalahnya pun selesai, komentar Dr.Abdurrahman.
Keterangan ini merupakan satu kesaksian dari seorang pekerja hukum tentang bagaimana peran Presiden Soeharto dalam merusak alam Kalimantan Tengah. Juga sangat menarik kritik dan saran Abdurrahman agar kita tidak berhenti pada garis umum saja, tapi masuk pada perincian, tidak hanya memberi petunjuk tapi sekaligus menunjukkan bagaimana petunjuk dan perintah itu dilaksanakan.
Denga kata lain, kalau memerintahkan menyeberangi sungai, si pemberi perintah harus menyediakan perahu dan dayung agar penyeberangan bisa dilakukan. Bukanlah seorang pemimpin yang berkapasitas jika hanya bisa memberikan perintah. Rincian adalah solusi.
Kebingungan tanpa memberi solusi, malah lalu berbalik memarahi yang mengkritik dengan maksud menegur bahwa ada kekurangan, bukanlah ciri pemimpin. Kalaupun disebut maka pemimpin demikian adalah pemimpi tipe feodal, jika meminjam istilah mantan Presiden Habibie (Tabengan, 6 Desember 2010) karena menduga yang berada di kekuasaan serta-merta sama dengan memiliki kebenaran.
Sebagai misal, Dr Abdurrahman mengambil contoh Perda No. 16 Tahun 2008 dan Pergub No. 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat. Menurut Abdurrahman, Perda dan Pergub ini tidak lain dari garis umum. Garis umum tidak akan terwujud jika tidak dirinci dengan bagaimana melaksanakannya.
Hal lain yang sangat menarik serta jarang diakui orang yang disampaikan Dr Abdurrahman yaitu ketika ia berbicara tentang etnik Dayak. Dikatakannya, etnik Dayak diakui keberadaannya tapi hak-hak mereka selalu dilupakan dan diabaikan. Pernyataan jujur dari seorang Hakim Agung pada Mahkamah Agung ini menjelaskan mengapa etnik Dayak terpinggir di kampung halaman mereka sendiri, bahwa terhadap etnik Dayak dilakukan peminggiran sistematik oleh kekuasaan dengan cara merampas hak-hak mereka, tidak mengakui hak-hak mereka. Dengan cara itu pihak lain dengan leluasa menguras kekayaan alam kampung halaman etnik Dayak. Penjelasan Dr. Abdurrahman yang tidak lain adalah seorang akademisi dan seorang Hakim Agung memperlihatkan bahwa Abdurrahman masih mempunyai kejujuran sebagai seorang akademisi dan punya rasa keadilan sebagai seorang Hakim Agung. Hal langka di Indonesia sekarang. Tapi kelangkaan ini sekaligus menunjukkan bahwa di negeri ini masih ada manusia, masih ada akademisi sesungguhnya dan pejabat yang republikan dan berkeindonesiaan.
Apa yang dikatakan Dr Abdurrahman di atas, bahwa etnik Dayak diakui eksistensiya tapi diabaikan dan dipisahkan dari hak-haknya, kembali memperlihatkan diri di tengah hingar-bingar pembicaraan tentang pemindahan Ibukota RI ke Palangka Raya. Yang sibuk dibicarakan, sampai-sampai sudah membentuk satu panitia khusus adalah di daerah mana kelak ibukota itu nanti ditempatkan, mencari argumen kelayakan Palangka Raya sebagai Ibukota RI.
Sedangkan apa dan bagaimana dengan etnik Dayak yang berkampung halaman di Kalteng sejak turun-temurun tidak nampak menjadi perhatian. Sama sekali tidak masuk agenda pemikiran dan pertimbangan. Seolah-olah etnik Dayak tidak usah diperhitungkan dan dipertimbangkan.
Tentu saja ancaman keterpinggiran tidak akan diderita oleh lapisan elit masyarakat Dayak, apalagi yang sekarang sudah sangat mapan. Mereka tidak memahami dan apalagi merasakan apa arti dan bagaimana keadaaan hidup orang terpinggir, dipinggirkan secara sistematik pula sehingga mereka bisa berkata enteng: ”Tidak usah takut”.
Ucapan enteng “tidak usah takut” menunjukkan betapa jauhnya jarak antara elite masyarakat dan mayoritas penduduk Dayak. Masih lumayan seandainya, kata-kata enteng tanpa tanggug jawab ini disertai dengan jalan keluar bagi Orang Dayak ditambah dengan analisa serta penjelasan mengapa harus “tidak usah takut”. Dan menjelaskan mengapa hak-hak Dayak selama ini seperti dikatakan oleh Dr Abdurrahman diabaikan.
Apa dasar mengatakan agar Orang Dayak “tidak usah takut”. Apakah ada perubahan politik pemberdayaan terhadap Orang Dayak sampai hari ini? Apakah politik “diskrimiasi positif” Dr Mohamad Mahatir di Malaysia untuk mengangkat etnik Melayu sudah diterapkan di sini?
Mengatakan “tidak usah takut” tanpa argumen sama dengan nina bobo, menyuguhkan susu bercampur racun kepada Orang Dayak. Jika pengalaman Orang Betawi, penduduk asli Lampung tidak ingin kembali terulang di Kalteng hendaknya ada politik pemberdayaan baru dan kongkret terhadap Orang Dayak.
Dalam kondisi seperti sekarang, dan jika kondisi seperti sekarang terus berlangsug serta tidak ada upaya nyata berupa politik baru diterapkan untuk Orang Dayak, saya kira yang paling baik, biarkan Ibukota RI itu ditempatkan di kota lain, tidak di Palangka Raya. Tidak ada yang terlalu membanggakan dengan Palangka Raya sebagai Ibukota RI jika etnik Dayak terpinggir di kampung kelahiran sendiri.
Palangka Raya dan Kalteng dibangun bukan untuk tujuan demikian. Tapi justru sebaliknya. Cita-cita inilah yang saya khawatirkan sangat sering dilupakan. Bali, Bandung, Batu, Malang, Makasssar, Pare-Pare, Manado, Jambi, Batam, bisa berkembang tanpa menjadi Ibukota RI.
Membangun Kalteng, memberdayakan Manusia Dayak adalah fokus sekarang. Bukan “merebut piala dunia” bernama Ibukota RI. yang salah-salah akan gampang jadi mesin marakare terhadap suatu etnik. Menjelma jadi satu etnosida. Kalau ada yang merasa bahwa Palangka Raya menjadi Ibukota RI sebagai suatu kebanggaan, sebaliknya saya lebih banyak melihat ancamannya daripada manfaatnya. Saya rela kebanggaan itu dimiliki oleh daerah lain. Tanpa menjadi Ibukota RI, kita lebih gampang melesat maju jika politik pemberdayaan dan pembangunan kita tepat, apabila manusia Dayak sadar mendesaknya mereka bangkit menjadi Dayak Bermutu.
Bahaya etnosida sedang mengancam Kalteng, terutama mengancam etnik Dayak yang hak-haknya disisihkan dari mereka secara sistematik sejak berdasarwarsa dalam sejarah RI ini. Apabila hak-hak Dayak masih tidak diindahkan seperti yang dikatakan oleh Dr Abdurrahman, maka ide Palangka Raya Ibukota RI sebaiknya dicampakkan dan harus dilawan. Sebaliknya akan baik, dan jauh lebih baik daripada Palangka Raya Ibukota RI, jika Kalteng mempunyai status otonomi khusus seperti Aceh dan Papua. Apa alasannya untuk mengatakan tidak?
**( Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Palangka Raya (LKD-PR)
sumber : www.hariantabengan.com
saya setuju dengan tread ini.....
ReplyDeletekarna misi kita "Mengembalikan Hak Kita sebagai Oran Dayak yang telah dirampas orang"