Oleh D. Uyub dan A.Alexander Mering
Latar Belakang
Suku Dayak Kayaan satu dari 151 subsuku Dayak di Kalimantan Barat (Buku Mozaik Dayak, Keberagaman Suku dan Bahasa Dayak di Kalbar, terbitan Institut Dayakologi, 2008) yang mendiami Sungai Mendalam Kecamatan Putussibau Kabupaten Kapuas Hulu-Kalimantan Barat adalah masyarakat yang kehidupan mereka relatif kental dengan adat istiadat. Dewasa ini, suku Dayak Kayaan sudah semakin banyak menetap di berbagai kabupaten/kota di Kalbar. Suku Dayak Kayaan yang mendiami Sungai Mendalam ini terdiri dari tiga subsku kecil, yakni Kayaan Umaa’ Pagung, Umaa’ Suling dan Umaa’ Aging. Mereka semua adalah suku bangsa Kayaan.
Sejak ratusan tahun silam suku ini meninggalkan Apo Kayaan di Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur (daerah asal suku Dayak Kayaanik), mereka selalu memegang teguh budaya dari leluhurnya. Salah satunya adalah upacara syukuran atas berkah dan rahmat dari Tipang Tenangaan (Tuhan Allah), dalam bentuk upacara adat yang dinamai Dange. Dange memiliki makna yang sama dengan gawai Dayak. Dange adalah upacara adat yang selain untuk mengucap syukur pada Tuhan atas hasil perladangan, juga untuk mengumpulkan saudara-saudara mereka yang masing-masing sibuk dengan pekerjaan sendiri selama satu siklus perladangan untuk saling meneguhkan, memaafkan dan saling memgbai pengalaman hidup.
Dalam syair sastra dayung dange (syair doa yang dilagukan dalam dange) Dayak Kayaan, adanya tradisi upacara adat yang sarat dengan makna ritual dan riligius bahwa dange diciptakan oleh kuu’ Kuleh (kake Kuleh) Menurut syair dalam dayung dange, ku’ kuleh ini adalah orang Kayaan Umaa’ Aging. Tapi dange ini juga berlaku pada Kayaan Umaa’ Suling.
Suku Dayak Kayaan satu dari 151 subsuku Dayak di Kalimantan Barat (Buku Mozaik Dayak, Keberagaman Suku dan Bahasa Dayak di Kalbar, terbitan Institut Dayakologi, 2008) yang mendiami Sungai Mendalam Kecamatan Putussibau Kabupaten Kapuas Hulu-Kalimantan Barat adalah masyarakat yang kehidupan mereka relatif kental dengan adat istiadat. Dewasa ini, suku Dayak Kayaan sudah semakin banyak menetap di berbagai kabupaten/kota di Kalbar. Suku Dayak Kayaan yang mendiami Sungai Mendalam ini terdiri dari tiga subsku kecil, yakni Kayaan Umaa’ Pagung, Umaa’ Suling dan Umaa’ Aging. Mereka semua adalah suku bangsa Kayaan.
Sejak ratusan tahun silam suku ini meninggalkan Apo Kayaan di Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur (daerah asal suku Dayak Kayaanik), mereka selalu memegang teguh budaya dari leluhurnya. Salah satunya adalah upacara syukuran atas berkah dan rahmat dari Tipang Tenangaan (Tuhan Allah), dalam bentuk upacara adat yang dinamai Dange. Dange memiliki makna yang sama dengan gawai Dayak. Dange adalah upacara adat yang selain untuk mengucap syukur pada Tuhan atas hasil perladangan, juga untuk mengumpulkan saudara-saudara mereka yang masing-masing sibuk dengan pekerjaan sendiri selama satu siklus perladangan untuk saling meneguhkan, memaafkan dan saling memgbai pengalaman hidup.
Dalam syair sastra dayung dange (syair doa yang dilagukan dalam dange) Dayak Kayaan, adanya tradisi upacara adat yang sarat dengan makna ritual dan riligius bahwa dange diciptakan oleh kuu’ Kuleh (kake Kuleh) Menurut syair dalam dayung dange, ku’ kuleh ini adalah orang Kayaan Umaa’ Aging. Tapi dange ini juga berlaku pada Kayaan Umaa’ Suling.
Kuu’ Kuleh ini punya anak dan cucu yang masing-masing hidup sendiri ditempat lain. Mereka ini ada yang berada di lung danum (harafiahnya adalah kuala sungai), aur danum (harafiahnya adalah hulu sungai), lung hilo, lung leno. Tempat-tampat yang dimaksud adalah tempat dimana Lawe’ (Lawe’ adalah orang yang memiliki kekuatan supranatural dan tersohor dalam cerita suku Dayak Kayaan) dan Kerigit (Kerigit adalah istri Lawe’). Daerah ini sekarang berada di daerah Apo’ Kayaan.
Semua anak dan cucu Kuu’ Kuleh dikumpulkan. Tetapi dia bingung bagaimana mereka bisa naik rumah dan semangat anak dan cucunya bisa kuat. Maka Kuu’ Kuleh mengadakan mela (daun juang dan besi yang disebut ukul, dikikat menjadi satu, kemudian dikibas-kibas pada tangan sementara lantai ada malaat kayo/mandau dan bato kajaa’ ; batu khusus yang disiapkan untuk diinjak oleh orang yang dimela). Setelah proses ini selesai, baru anak dan cucunya boleh masuk dalam rumahnya. Setalah proses mela selesai, barulah Kuu’ Kuleh mengadakan dange.
Sementara munculnya dange pada Kayaan Umaa’ Pagung menurut cerita rakyat, setelah ada seorang bayi laki-laki ditemukan dalam paak nagnga’ (pelepah tanaman sebangsa pohon palem), ketika suku ini pergi malo’ (pergi mengerjakan sagu; baca sagu). Penemuan anak itu secara kebetulan, namun ketika ditemukan dia menangis, bahkan hingga sampai ke rumah. Sesampai dirumah, bayi itu diberi nama Kilah, setelah beberapa nama lain diberikan padanya namun tidak cocok. Karenanya maka Kuu’ Kialah digelar dengan panggilan Kuu’ Kilah Paloo’. Ketika dia sudah dewasa, Ku’ Kilah Palo mendirikan dange Uma Pagung. Kuu’ Kilah inilah yang menciptakan dange dalam subsuku Kayaan Umaa’ Pagung. Tujuan dange yang diciptakan oleh Kuu’ Kilah ini sama hakekatnya dengan dange yang diciptakan oleh Kuu’ Kuleh.
Dange adalah upacara adat yang tertinggi dan sakral dalam deretan upacara lalii’ (peraturan dan larangan dalam simbol adat berdasarkan keyakinan; Mikhail Coomans, 1987) pada sistim perladangan suku Kayaan. Karenanya upacara sakral ini mesti dilakukan setiap tahun. Dange yang dilakukan setelah panen padi yang jatuh sekitar bulan April-Mei setiap tahun ini, bermakna positif bagi masyarakat Kayaan. Yakni selain digunakan sebagai moment untuk bersyukur atas hasil perladangan, juga untuk meminta hasil perladangan yang berlimpah untuk tahun berikutnya, melalui Savit Puyaang Lahe alang hipun kenap sayuu’ nite (Tuhan pencipta langit dan bumi yang memiliki sifat murah hati) agar memberikan rejeki pada umatnya.
Dalam upacara dange, selain mengadakan tarian pejuu’ lassah, yang merupakan simbol dan media bagi masyarakat Kayaan untuk menyampaikan doanya dan permohonan pada Tuhan, juga mengadakan ritual neguk (neguk; asal kata dari mengetuk. Ritual ini bertujuan untuk meminta pada tanah, hujan, kemarau, binatang dalam tanah seperti cacing dan sebagainya), agar kegiatan dange yang berlangsung bisa sukses, sekaligus diberikan kemudahan dan rejeki dalam perladangan pada tahun berikutnya.
Keterlibatan semua orang ketika upacara dange berlangsung, merupakan bagian dari persembahan rohani yang tak ternilai pada Tipang. Karena bagi-Nya, dalam keyakinan Dayak Kayaan, kehadiran setiap orang merupakan sebuah kehormatan terbesar, karena manusia mau mengadakan upacara yang harus mengorbankan kurban persembahan baik berupa babi, ayam dan kepala manusia (jika dulu; Kayaan Umaa’ Pagung harus mengurbankan kepala manusia) dan semua hasil perladangan dalam ritual dange.
Tujuan Dange yang Diselenggarakan di Pontianak
Secara umum, dange bertujuan selain untuk mengucap syukur pada Tuhan, juga dalam kerangka mengumpulkan keluarga besar Kayaan di Pontianak yang selama ini belum pernah berkumpul dalam suasana yang disatukan oleh upacara adat yang diciptakan oleh leluhur mereka.
Kali ini komunitas suku Dayak Kayaan yang ada di Kota Pontianak yang tergabung dalam Hulaan Apo Kayaan Pontianak, menyelenggarakan dange dengan tujuan selain tersebut diatas, juga mau mempromosikan budaya suku Dayak Kayaan pada khalayak ramai. Sekaligus mendukung upaya promosi dari pemerintah Kalimantan Barat untuk mempromosikan budaya yang ada di Kalimantan Barat. Setitidaknya, dari kegiatan dange tersebut, masyarakat mau benar-benar menggali budaya asli dan memperkenalkannya pada komunitas lain.
Semua anak dan cucu Kuu’ Kuleh dikumpulkan. Tetapi dia bingung bagaimana mereka bisa naik rumah dan semangat anak dan cucunya bisa kuat. Maka Kuu’ Kuleh mengadakan mela (daun juang dan besi yang disebut ukul, dikikat menjadi satu, kemudian dikibas-kibas pada tangan sementara lantai ada malaat kayo/mandau dan bato kajaa’ ; batu khusus yang disiapkan untuk diinjak oleh orang yang dimela). Setelah proses ini selesai, baru anak dan cucunya boleh masuk dalam rumahnya. Setalah proses mela selesai, barulah Kuu’ Kuleh mengadakan dange.
Sementara munculnya dange pada Kayaan Umaa’ Pagung menurut cerita rakyat, setelah ada seorang bayi laki-laki ditemukan dalam paak nagnga’ (pelepah tanaman sebangsa pohon palem), ketika suku ini pergi malo’ (pergi mengerjakan sagu; baca sagu). Penemuan anak itu secara kebetulan, namun ketika ditemukan dia menangis, bahkan hingga sampai ke rumah. Sesampai dirumah, bayi itu diberi nama Kilah, setelah beberapa nama lain diberikan padanya namun tidak cocok. Karenanya maka Kuu’ Kialah digelar dengan panggilan Kuu’ Kilah Paloo’. Ketika dia sudah dewasa, Ku’ Kilah Palo mendirikan dange Uma Pagung. Kuu’ Kilah inilah yang menciptakan dange dalam subsuku Kayaan Umaa’ Pagung. Tujuan dange yang diciptakan oleh Kuu’ Kilah ini sama hakekatnya dengan dange yang diciptakan oleh Kuu’ Kuleh.
Dange adalah upacara adat yang tertinggi dan sakral dalam deretan upacara lalii’ (peraturan dan larangan dalam simbol adat berdasarkan keyakinan; Mikhail Coomans, 1987) pada sistim perladangan suku Kayaan. Karenanya upacara sakral ini mesti dilakukan setiap tahun. Dange yang dilakukan setelah panen padi yang jatuh sekitar bulan April-Mei setiap tahun ini, bermakna positif bagi masyarakat Kayaan. Yakni selain digunakan sebagai moment untuk bersyukur atas hasil perladangan, juga untuk meminta hasil perladangan yang berlimpah untuk tahun berikutnya, melalui Savit Puyaang Lahe alang hipun kenap sayuu’ nite (Tuhan pencipta langit dan bumi yang memiliki sifat murah hati) agar memberikan rejeki pada umatnya.
Dalam upacara dange, selain mengadakan tarian pejuu’ lassah, yang merupakan simbol dan media bagi masyarakat Kayaan untuk menyampaikan doanya dan permohonan pada Tuhan, juga mengadakan ritual neguk (neguk; asal kata dari mengetuk. Ritual ini bertujuan untuk meminta pada tanah, hujan, kemarau, binatang dalam tanah seperti cacing dan sebagainya), agar kegiatan dange yang berlangsung bisa sukses, sekaligus diberikan kemudahan dan rejeki dalam perladangan pada tahun berikutnya.
Keterlibatan semua orang ketika upacara dange berlangsung, merupakan bagian dari persembahan rohani yang tak ternilai pada Tipang. Karena bagi-Nya, dalam keyakinan Dayak Kayaan, kehadiran setiap orang merupakan sebuah kehormatan terbesar, karena manusia mau mengadakan upacara yang harus mengorbankan kurban persembahan baik berupa babi, ayam dan kepala manusia (jika dulu; Kayaan Umaa’ Pagung harus mengurbankan kepala manusia) dan semua hasil perladangan dalam ritual dange.
Tujuan Dange yang Diselenggarakan di Pontianak
Secara umum, dange bertujuan selain untuk mengucap syukur pada Tuhan, juga dalam kerangka mengumpulkan keluarga besar Kayaan di Pontianak yang selama ini belum pernah berkumpul dalam suasana yang disatukan oleh upacara adat yang diciptakan oleh leluhur mereka.
Kali ini komunitas suku Dayak Kayaan yang ada di Kota Pontianak yang tergabung dalam Hulaan Apo Kayaan Pontianak, menyelenggarakan dange dengan tujuan selain tersebut diatas, juga mau mempromosikan budaya suku Dayak Kayaan pada khalayak ramai. Sekaligus mendukung upaya promosi dari pemerintah Kalimantan Barat untuk mempromosikan budaya yang ada di Kalimantan Barat. Setitidaknya, dari kegiatan dange tersebut, masyarakat mau benar-benar menggali budaya asli dan memperkenalkannya pada komunitas lain.
Dange ini pula mau mengingatkan seluruh lapisan masyarakat bahwa masih pentingkah budaya pertahankan dan dihidupkan? Dewasa ini tantangan besar bagi setiap komunitas di Kalbar adalah adanya tekanan budaya modrenisasi terhadap kebudayaan asli suku Dayak. Sadar dan tidak, bahwa hilangnya suatu tradisi dalam komunitas, akan berdampak buruk pada komunitas itu sendiri.
Diantaranya akan terjadi degradasi budaya yang mungkin besar-besaran. Terlepas dari itu semua, dampak masuknya perusahaan sekaligus para karyawannya dari luar, menjadi tantangan berat bagi komunitas khususnya Dayak, terlebih bagi masyarakat Dayak Kayaan. Karena itu semua akan mengikis habis secara perlahan-lahan adat istiadat dan seni budaya Dayaak secara menyeluruh. Inilah yang menjadi catatan penting, kenapa dange ini mesti diadakan dan dibuka untuk umum. Mungkin kegiatan ini kedepannya akan terus berlangsung, dengan demikian semakin banyak kekayaan budaya yang bisa mendukung dunia kepariwisataan di Kalbar.
Prosesi Dange Kayaan di Pontianak
Untuk mendirikan lepo dange (pondok dange), berbagai hal yang harus disiapkan. Di antaranya seperti pergi mencari peralatan lepo dange. Kegiatan ini dilakukan sehari sebelum upacara ritual dilakukan yakni (Jumat 13 juni 2008),. Setelah bahan-bahan terkumpul, bahan tersebut langsung di bawa ke rumah panjang Dayak di Jalan Letjen Sutoyo-Pontianak.
Tempat dan Waktu Kegiatan
Tempat : Rumah Adat Dayak Jalan Letjen Sutoyo Pontianak
Tanggal : Sabtu, 14 sampai Minggu, 15 Juni 2008
Agenda lain terlampir.
Pondok didirikan hari berikutnya yakni Sabtu, tanggal 14 Juni 2008.
Acara pendirian lepo dange yang akan berlangsung mulai dari pukul 08.00 wib ini, diawali dengan ritual
1. Mawaang Alaan Jak Dange:
(membersaihkan jalan untuk mendirikan lepo dange) yang dipimpin oleh dayung aya’ (imam adat yang memiliki peran utama). Tujuan ini adalah untuk memberitahukan pada semua orang dan makhluk hidup di darat, sungai dan udara bahwa dange akan segera dimulai. Setelah dua rentetan ritual ini usai, barulah orang-orang mendirikan lepo dange.
2. Mawaang Alaan Uting. (membersihkan jalaan roh/jiwa uting; babi piaraan)
Doa ritual ini bertujuan memberitahukan pada semua orang, terkhusus pada leluhur Kayaan bahwa uting akan menjadi kurban pada acara dange. Dengan demikian, semua masyarakat akan memiliki semangat yang lebih kuat.
3. Misa Inkulturasi dan Malam Pevengo (menunggu hari pagi):
Yang menariknya lagi adalah budaya dange ini bisa masuk dalam ibadat misa di gereja katolik (Inkulturasi). Misa ini akan berlangsung mulai dari pukul 18.00-20.00 wib (malam minggu). Namun acara ini lebih pada internal suku keluarga besar Dayak Kayaan di Pontianak.
Terjadinya misa inkulturasi ini, berkat kejelian pastor AJ. Ding Ngo, SMM. Dikalangan umat Katolik di Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu, nama Pastor AJ. Ding Ngo SMM secara umum hampir tidak asing lagi. Putra Dayak Kayaan yang meninggal dunia Mei tahun 1995 silam ini, sekaligus pelopor imam pertama bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Selain pemimpin umat, di juga termasuk seorang sosiologi. Karyanya tentang budaya pada suku Dayak Kayaan seperti syair lawe dan catatannya tentang Kayaan di Sungai Mendalam hingga Kayaan di Apo Kayaan-Kaltim dan Serawak-Malaysia, kamus bahasa Dayak Kayaan dan banyak lagi lainnya yang menjadi referensi para peneliti dan akademisi dunia. Latarbelakangnya sebagai orang imam, menginspirasinya untuk menggabungkan budaya (dange) dalam ajaran Katolik. Dange yang dimiliki Dayak Kayaan, adalah satu-satunya budaya Dayak yang telah mampu melebur menjadi satu dalam gereja khusus Katolik. Ini berkat perhatiannya pada budaya Dayak, khususnya Dayak Kayaan.
Semua itu berangkat dari keperihatinannya dan kejeliannya setelah masuknya agama Katolik yang dibawa oleh para misionaris, dalam tatanah kehidupan masyarakat adat Kayaan, hingga terjadi degradasi budaya. Salah satu rangkaian upacara adat dange yang menarik bagi pastor ini adalah dayung kigaan (para anggota dayung menari berjalan mengelilingi lasah, dan dayung aya’ melantunkan nyanyian daonya), serta tarian pejuu’ lasah dan tarian lalang buko (nama seorang perempuan). Tarian pejuu’ lasah (pejuu’ lasah berarti mengangkat lasah) lasah adalah sejenis pagar. Enam batang kayu sebesar pergelangan tangan orang tua dan delapan potongan pendek yang melintang. Sementara tarian pejuu’ lasah adalah tarian yang disertai dengan doa/mantra yang disampaikan pada Tuhan, mengelilingi lasah. Sementara tarian lalang buko, adalah tarian yang yang wajib ditarian dalam dange untuk memperingati bahwa leluhur mereka jaman dulu mampu menghidupkan orang mati oleh lalang buko, menggunakan sape’ kayaan (sape’ bersenar dua).
Prosesi misa dange sendiri, selain menggunakan bahasa Kayaan baik lagu maupun rentetanan doa dalam perayaan misa dange, juga ada syair dayung, (syair dayung lebih pada jenis syair tradisi, bukan manusia) dalam menyampaikan kesukariaan dan permohonan pada tuhan sebagai persembahan. Yang tidak kalah pentingnya dalam rangkaian prosesi misa dange adalah masuknya tarian pejuu’ lasah (tarian sekaligus penyampaian hajat/doa pada tuhan ketika persembahan dalam liturgi melalui medianya yang disebut lasah). Peralatan lasah terdiri dari
Acara Ritual Dange, Minggu Tanggal 15 Juni 2008
Acara hari Minggu ini akan dimulai pukul 08.00 – selesai. Untaian prosesi ritual dange adalah sebagai berikut:
1. Ritual ngaping langat (harafiahnya; menipas awan, namun yang dimaksud adalah marabahaya): kegiatan di lepo dange
Tujuan ritual ini adalah untuk meminta pada Tuhan agar dia mau menyingkirkan segala marabahaya bagi manusaia sekaligus mau melindungi upacara dange. Kemudian diteruskan dengan penancapan tiang lepo dange.
2. Ritual Nevaraa’ Uting dan Dayung Taharii (memberi tahu babi dan syair doa pertama): Kegiatan di rumah
Tujuan ritual ini agar babi tidak memiliki atau menyimpan rasa sakit hati pada manusia karena dia akan dibunuh untuk dijadikan kurban sembelihan dalam lepo dange. Setelah ritual ini selesai, babi bersama rombongan dayung (sembilan orang ibu-ibu), turun dari rumah menuju lepo dange.
3. Ritual Nevak uting (nyembelih babi): kegiatan di lepo dange
setelah para dayung naik lepo dange, babi diletakan ditengah lepo dan mukanya menghadap matahari terbit. Kemudaian sidayung meletakan kalung manik tua di lehernya dan menghentak-hentakkan huing (kerincing) pada badan babi tersebut sambil menyampaikan mantra. Mengatakan bahwa bersama ini pergilah kamu roh sang babi. Ketika darah babi menguyur deras dari lehernya, karena disembelih, dayung aya’ menadah da’un havaang (daun sabang) pada darah babi tersebut. Setelah itu, babi bersama tim dayung yang lain naik ke rumah. Sementara dayung aya’ dan satu orang dayung uk (dayung kecil; bukan pemeran uatam), tetap tinggal dalam lepo dange. Ketika inilah dayung melakukan mela (mengibas-ibas daun sabang sambil mengucapkan mantra), agar orang yang di-pela (asal kata dari mela), mendapat rejeki, kesehatan, umur panjang dan hal-hal yang berguna bagi yang bersangkutan dalam meniti kehidupannya. Selain itu, mela ini juga bisa berlaku untuk memberikan nama kayaan bagi anak-anak. Karena itu maka dalam dange besar/utama, juga ada sebutan dange anaak (dange yang diistimewakan bagai anak, untuk mendapat nama dalam lepo dange). Setelah dayung selesai mela dalam pondok dange, dia bersama satu temannya naik ke rumah. Kemudain turun lagi ke pondok dange.
4. Ritual Neguk Ake Tanaa’ (mengetuk-ngetuk lantai dengan dua potong bambu kecil, meminta tanah): kegiatan di lepo dange
ritual ini bertujuan untuk memintah tanah yang baik untuk lahan pertanian pada tahun berikutnya. Serentetatan ritual ini adala;
a. Maya Tivi:
Adalah sebuah mantra yang diucapakan untuk mengalahkan musuh pada saat ngayau, atau dalam perkelahian lainnya.
b. Tepujo’ Ujaan:
Adalah sebuah mantra yang meminta pada para leluhur kayaan yang satria, agar mereka mau datang kembali untuk melindungi warganya.
Setelah ritual ini selesai, rombongan dayung naik lagi ke rumah.
5. Mela arung (mela nasi): kegiatan di rumah
Ini adalah mantra/doa untuk membagi rejeki pada semua orang, terutama anak kecil. Dihadapan si-dayung, ada daun pisang, setiap lapisan daun pisang itu diselipi sejemput nasi. Dayung memegang hikap (tanggok ikan) sambil sesekali dia mengoyang tanggok itu, emngisaratkan bahwa dia sedang menanggok jiwa/roh padi.
6. Puran Bataang Bulit (mengamburkan nasi dan daun pisang); kegiatan di rumah
Setelah dayung melantunkan mantranya, anak-anak berebut daun pisang dan saling memukul daun pisang itu diantara mereka. Ini menandakan bahwa mereka sedang merebut rejeki.
7. Ngaping Langat (sda): kegiatan di Lepo dange
Dayung aya’ masuk sendiri dalam lepo dange. Diatas pondok, dia memotong dua buah tali yang digunakan untuk mengikat atap pondok yang terbuat dari kain. Tujuannya agar segala doa dan permohonannya bisa pergi naik menghadap tuhan dengan leluasa. Setelah dayung aya’ memotong tali tersebut, dia menggoyang-goyang pondok dari atas. Kemudain turun kebawah pondok. Dayung kemudian memutar dari arah sebelah kanan ke kiri, sambil menancapkan tobak yang dipengangnya disetiap tiang pondok. Setelah dayung aya’ menyelesaikan tugas itu, baru kemudian diikuti oleh tim dayung yang lainnya. Sambil menari mengelilingi pondok dengan musik gong, mereka menggoyang-goyang lepo dange. Dengan demikian, diyakini segala sesuatu yang dilakukan dan diharapkan dalam setiap prosesi dange itu, bisa diterima oleh Tuhan.
8. Nyinah (menguatkan semangat atau jiwa; Sama maksud dengan nyaru’ semangat dalam pengertian Dayak Kanayatn): kegiatan tetap di rumah
Dayung mendoakan semua orang agar tidak sesat pada jalan yang salah dalam hidupnya, dan berkumpul kembali dalam rumah. Ini difokuskan bagi semua orang yang ikut dalam upacara dange tersebut.
9. Karaang lalang buko (tarian ritual Lalang Buko);
Tarian ini ditarikan di atas memaang (sejenis gong, napun ceper). Tarian ini menginterperetasikan bahwa Lalang Buko pernah menghidupakan orang mati (mitos dayak Kayaan dalam syair tekna Lawe’).
10. Karaang Pejuu’ Lasah:
Ini puncak dari segala ritualitas dalam dange yang diadakan dalam rumah, untuk menyampaikan segala harapan dan permohonan masyarakat Kayaan pada Tuhan.
11. Dayung ulii’ (para anggota dayung masuk dalam bilik); kegiatan tetap di rumah
Para anggota dayung dari ruaang tengah masuk ke dalam amin aya’ (bilik milik hipi). Hipi (bangsawan; pemegang kekuasaan tertinggi yang mengatur segala perikehidupan dan adat istiadat serta budaya dalam suku Dayak Kayaan)
Prosesi Dange Kayaan di Pontianak
Untuk mendirikan lepo dange (pondok dange), berbagai hal yang harus disiapkan. Di antaranya seperti pergi mencari peralatan lepo dange. Kegiatan ini dilakukan sehari sebelum upacara ritual dilakukan yakni (Jumat 13 juni 2008),. Setelah bahan-bahan terkumpul, bahan tersebut langsung di bawa ke rumah panjang Dayak di Jalan Letjen Sutoyo-Pontianak.
Tempat dan Waktu Kegiatan
Tempat : Rumah Adat Dayak Jalan Letjen Sutoyo Pontianak
Tanggal : Sabtu, 14 sampai Minggu, 15 Juni 2008
Agenda lain terlampir.
Pondok didirikan hari berikutnya yakni Sabtu, tanggal 14 Juni 2008.
Acara pendirian lepo dange yang akan berlangsung mulai dari pukul 08.00 wib ini, diawali dengan ritual
1. Mawaang Alaan Jak Dange:
(membersaihkan jalan untuk mendirikan lepo dange) yang dipimpin oleh dayung aya’ (imam adat yang memiliki peran utama). Tujuan ini adalah untuk memberitahukan pada semua orang dan makhluk hidup di darat, sungai dan udara bahwa dange akan segera dimulai. Setelah dua rentetan ritual ini usai, barulah orang-orang mendirikan lepo dange.
2. Mawaang Alaan Uting. (membersihkan jalaan roh/jiwa uting; babi piaraan)
Doa ritual ini bertujuan memberitahukan pada semua orang, terkhusus pada leluhur Kayaan bahwa uting akan menjadi kurban pada acara dange. Dengan demikian, semua masyarakat akan memiliki semangat yang lebih kuat.
3. Misa Inkulturasi dan Malam Pevengo (menunggu hari pagi):
Yang menariknya lagi adalah budaya dange ini bisa masuk dalam ibadat misa di gereja katolik (Inkulturasi). Misa ini akan berlangsung mulai dari pukul 18.00-20.00 wib (malam minggu). Namun acara ini lebih pada internal suku keluarga besar Dayak Kayaan di Pontianak.
Terjadinya misa inkulturasi ini, berkat kejelian pastor AJ. Ding Ngo, SMM. Dikalangan umat Katolik di Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu, nama Pastor AJ. Ding Ngo SMM secara umum hampir tidak asing lagi. Putra Dayak Kayaan yang meninggal dunia Mei tahun 1995 silam ini, sekaligus pelopor imam pertama bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Selain pemimpin umat, di juga termasuk seorang sosiologi. Karyanya tentang budaya pada suku Dayak Kayaan seperti syair lawe dan catatannya tentang Kayaan di Sungai Mendalam hingga Kayaan di Apo Kayaan-Kaltim dan Serawak-Malaysia, kamus bahasa Dayak Kayaan dan banyak lagi lainnya yang menjadi referensi para peneliti dan akademisi dunia. Latarbelakangnya sebagai orang imam, menginspirasinya untuk menggabungkan budaya (dange) dalam ajaran Katolik. Dange yang dimiliki Dayak Kayaan, adalah satu-satunya budaya Dayak yang telah mampu melebur menjadi satu dalam gereja khusus Katolik. Ini berkat perhatiannya pada budaya Dayak, khususnya Dayak Kayaan.
Semua itu berangkat dari keperihatinannya dan kejeliannya setelah masuknya agama Katolik yang dibawa oleh para misionaris, dalam tatanah kehidupan masyarakat adat Kayaan, hingga terjadi degradasi budaya. Salah satu rangkaian upacara adat dange yang menarik bagi pastor ini adalah dayung kigaan (para anggota dayung menari berjalan mengelilingi lasah, dan dayung aya’ melantunkan nyanyian daonya), serta tarian pejuu’ lasah dan tarian lalang buko (nama seorang perempuan). Tarian pejuu’ lasah (pejuu’ lasah berarti mengangkat lasah) lasah adalah sejenis pagar. Enam batang kayu sebesar pergelangan tangan orang tua dan delapan potongan pendek yang melintang. Sementara tarian pejuu’ lasah adalah tarian yang disertai dengan doa/mantra yang disampaikan pada Tuhan, mengelilingi lasah. Sementara tarian lalang buko, adalah tarian yang yang wajib ditarian dalam dange untuk memperingati bahwa leluhur mereka jaman dulu mampu menghidupkan orang mati oleh lalang buko, menggunakan sape’ kayaan (sape’ bersenar dua).
Prosesi misa dange sendiri, selain menggunakan bahasa Kayaan baik lagu maupun rentetanan doa dalam perayaan misa dange, juga ada syair dayung, (syair dayung lebih pada jenis syair tradisi, bukan manusia) dalam menyampaikan kesukariaan dan permohonan pada tuhan sebagai persembahan. Yang tidak kalah pentingnya dalam rangkaian prosesi misa dange adalah masuknya tarian pejuu’ lasah (tarian sekaligus penyampaian hajat/doa pada tuhan ketika persembahan dalam liturgi melalui medianya yang disebut lasah). Peralatan lasah terdiri dari
Acara Ritual Dange, Minggu Tanggal 15 Juni 2008
Acara hari Minggu ini akan dimulai pukul 08.00 – selesai. Untaian prosesi ritual dange adalah sebagai berikut:
1. Ritual ngaping langat (harafiahnya; menipas awan, namun yang dimaksud adalah marabahaya): kegiatan di lepo dange
Tujuan ritual ini adalah untuk meminta pada Tuhan agar dia mau menyingkirkan segala marabahaya bagi manusaia sekaligus mau melindungi upacara dange. Kemudian diteruskan dengan penancapan tiang lepo dange.
2. Ritual Nevaraa’ Uting dan Dayung Taharii (memberi tahu babi dan syair doa pertama): Kegiatan di rumah
Tujuan ritual ini agar babi tidak memiliki atau menyimpan rasa sakit hati pada manusia karena dia akan dibunuh untuk dijadikan kurban sembelihan dalam lepo dange. Setelah ritual ini selesai, babi bersama rombongan dayung (sembilan orang ibu-ibu), turun dari rumah menuju lepo dange.
3. Ritual Nevak uting (nyembelih babi): kegiatan di lepo dange
setelah para dayung naik lepo dange, babi diletakan ditengah lepo dan mukanya menghadap matahari terbit. Kemudaian sidayung meletakan kalung manik tua di lehernya dan menghentak-hentakkan huing (kerincing) pada badan babi tersebut sambil menyampaikan mantra. Mengatakan bahwa bersama ini pergilah kamu roh sang babi. Ketika darah babi menguyur deras dari lehernya, karena disembelih, dayung aya’ menadah da’un havaang (daun sabang) pada darah babi tersebut. Setelah itu, babi bersama tim dayung yang lain naik ke rumah. Sementara dayung aya’ dan satu orang dayung uk (dayung kecil; bukan pemeran uatam), tetap tinggal dalam lepo dange. Ketika inilah dayung melakukan mela (mengibas-ibas daun sabang sambil mengucapkan mantra), agar orang yang di-pela (asal kata dari mela), mendapat rejeki, kesehatan, umur panjang dan hal-hal yang berguna bagi yang bersangkutan dalam meniti kehidupannya. Selain itu, mela ini juga bisa berlaku untuk memberikan nama kayaan bagi anak-anak. Karena itu maka dalam dange besar/utama, juga ada sebutan dange anaak (dange yang diistimewakan bagai anak, untuk mendapat nama dalam lepo dange). Setelah dayung selesai mela dalam pondok dange, dia bersama satu temannya naik ke rumah. Kemudain turun lagi ke pondok dange.
4. Ritual Neguk Ake Tanaa’ (mengetuk-ngetuk lantai dengan dua potong bambu kecil, meminta tanah): kegiatan di lepo dange
ritual ini bertujuan untuk memintah tanah yang baik untuk lahan pertanian pada tahun berikutnya. Serentetatan ritual ini adala;
a. Maya Tivi:
Adalah sebuah mantra yang diucapakan untuk mengalahkan musuh pada saat ngayau, atau dalam perkelahian lainnya.
b. Tepujo’ Ujaan:
Adalah sebuah mantra yang meminta pada para leluhur kayaan yang satria, agar mereka mau datang kembali untuk melindungi warganya.
Setelah ritual ini selesai, rombongan dayung naik lagi ke rumah.
5. Mela arung (mela nasi): kegiatan di rumah
Ini adalah mantra/doa untuk membagi rejeki pada semua orang, terutama anak kecil. Dihadapan si-dayung, ada daun pisang, setiap lapisan daun pisang itu diselipi sejemput nasi. Dayung memegang hikap (tanggok ikan) sambil sesekali dia mengoyang tanggok itu, emngisaratkan bahwa dia sedang menanggok jiwa/roh padi.
6. Puran Bataang Bulit (mengamburkan nasi dan daun pisang); kegiatan di rumah
Setelah dayung melantunkan mantranya, anak-anak berebut daun pisang dan saling memukul daun pisang itu diantara mereka. Ini menandakan bahwa mereka sedang merebut rejeki.
7. Ngaping Langat (sda): kegiatan di Lepo dange
Dayung aya’ masuk sendiri dalam lepo dange. Diatas pondok, dia memotong dua buah tali yang digunakan untuk mengikat atap pondok yang terbuat dari kain. Tujuannya agar segala doa dan permohonannya bisa pergi naik menghadap tuhan dengan leluasa. Setelah dayung aya’ memotong tali tersebut, dia menggoyang-goyang pondok dari atas. Kemudain turun kebawah pondok. Dayung kemudian memutar dari arah sebelah kanan ke kiri, sambil menancapkan tobak yang dipengangnya disetiap tiang pondok. Setelah dayung aya’ menyelesaikan tugas itu, baru kemudian diikuti oleh tim dayung yang lainnya. Sambil menari mengelilingi pondok dengan musik gong, mereka menggoyang-goyang lepo dange. Dengan demikian, diyakini segala sesuatu yang dilakukan dan diharapkan dalam setiap prosesi dange itu, bisa diterima oleh Tuhan.
8. Nyinah (menguatkan semangat atau jiwa; Sama maksud dengan nyaru’ semangat dalam pengertian Dayak Kanayatn): kegiatan tetap di rumah
Dayung mendoakan semua orang agar tidak sesat pada jalan yang salah dalam hidupnya, dan berkumpul kembali dalam rumah. Ini difokuskan bagi semua orang yang ikut dalam upacara dange tersebut.
9. Karaang lalang buko (tarian ritual Lalang Buko);
Tarian ini ditarikan di atas memaang (sejenis gong, napun ceper). Tarian ini menginterperetasikan bahwa Lalang Buko pernah menghidupakan orang mati (mitos dayak Kayaan dalam syair tekna Lawe’).
10. Karaang Pejuu’ Lasah:
Ini puncak dari segala ritualitas dalam dange yang diadakan dalam rumah, untuk menyampaikan segala harapan dan permohonan masyarakat Kayaan pada Tuhan.
11. Dayung ulii’ (para anggota dayung masuk dalam bilik); kegiatan tetap di rumah
Para anggota dayung dari ruaang tengah masuk ke dalam amin aya’ (bilik milik hipi). Hipi (bangsawan; pemegang kekuasaan tertinggi yang mengatur segala perikehidupan dan adat istiadat serta budaya dalam suku Dayak Kayaan)
Semua prosesi ritualitas dange selesai.
Sumber : www.borneobloggercommunity.blogspot.com
No comments :
Post a Comment