BREAKING

Tuesday, December 22, 2009

Kesadaran Politik Dayak dalam Teropong Sejarah

Oleh Christian P. Sidenden*)

Acara bertajuk Sejarah Kalteng di ruang tamu H. Sabran Ahmad, baru-baru ini terlaksana berkat inisiatif budayawan JJ. Kusni dan istrinya, Andriani S. Kusni, sebagai upaya pembinaan kesadaran menulis generasi muda Dayak di kota budaya, Palangka Raya.

Sedianya pembekalan dari H. Sabran Ahmad dilakukan dalam beberapa sesi, hasilnya akan disunting menjadi sebuah karya jurnalistik. H. Sabran Ahmad adalah pelaku sejara KalTeng yang masih hidup. Pada tahun 2-5/12/1956, ia turut menjadi anggota panitia persiapan Kongres Masyarakat Dayak I yang berlangsung di Banjarmasin. Waktu itu peserta yang hadir berjumlah 600 orang lebih. Saksi hidup lain dari peristiwa penting tersebut adalah Mubangil. Hanya mereka berdua yang masih hidup.

Kongres tersebut dilakukan guna mempercepat pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Hal-hal yang melandasi dilakukanya Kongres Dayak I adalah pertama, pembagian Pulau Kalimantan menjadi 3 provinsi (Barat, Timur dan Selatan) dirasakan sangat tidak menguntungkan masyarakat Dayak Besar. Sebagaimana dijelaskan Sabran, yang termasuk kategori orang-orang Dayak Besar adalah mereka yang menghuni wilayah diantara Sungai Katingan di Barat hingga Sungai Barito di Timur. Kedua, oleh karena wilayah Dayak Besar ini sendiri oleh Pemerintahan Pusat dimasukkan ke dalam Provinsi Kalimantan Selatan dan orang-orang Banjar tidak mau lagi disebut ataupun menyebut diri sebagai ‘Dayak’ maka tujuan kongres ialah merekomendasikan kepada DPR Pusat untuk melakukan pemisahan segera dari Kalimantan Selatan. Hasil dari kongres, suara bulat mendorong percepatan persiapan pembentukan provinsi baru.

Beberapa bulan kemudian lahirlah UU Darurat No. 10/1957 tertanggal 23 Mei, resmi keputusan pemerintahan pusat mengesahkan lahirnya Provinsi Kalteng. Tanggal tersebut kemudian dijadikan tanggal merayakan HUT Kalteng. Kantor persiapan pembentukan Provinsi Kalteng diketuai Tjilik Riwut, G. Obos, dan F. Patianom.

Kesadaran masyarakat Dayak Besar sebenarnya jauh melampaui Soempah Pemoeda 1928. Sebagaimana dikisahkan Sabran, pada tahun 1919 telah didirikan organisasi Sarikat Dayak di Tumbang Kapuas (sekarang Kuala Kapuas). Ketua perhimpunan adalah Luwi Khamis. Kemudian Sarikat Dayak diubah menjadi Pakat Dayak guna lebih menajamkan kesadaran nasionalisme Dayak pada tahun 1926, dua tahun mendahului Kongres Pemoeda I Idonesia di Jakarta yang melahirkan Soempah Pemoeda. Katua Pakat Dayak dipercayakan pada Oesman Baboe. Pada tahun itu pula (1926), lahir organisasi wirausahawan bernama Sarikat Dagang Dayak (SDD) yang tiga tahun kemudian mendirikan Majalah Suara Pakat sebagai karya jurnalistik pertama orang-orang Dayak Besar.

Sabran menegaskan, bahwa pengetahuan atas sejarah suku bangsa Dayak ini harusnya disebarluaskan kepada publik agar jangan lagi orang-orang Dayak diadikan sasaran banyak label negatif dan tak produktif. Sabran menegaskan lagi, bahwa pembentukan NKRI seharusnya dipahami turut dibidani pula oleh kesadaran bertanah air, bersuku bangsa, dan berbahasa Dayak. Jadi, berbanggalah seharusnya kita sebagai orang Dayak!

*)Christian P. Sidenden, Wartawan Tabengan. Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Umum Tabengan, Kamis, 17/12/2009

Sumber : www.jurnaltoddoppuli.wordpress.com

No comments :

Post a Comment

 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube