Namun, kalau ditanya pada mereka tentang Ot Siau atau Punan Berkaki Merah, mereka sendiri mengatakan tidak pernah melihat maupun bertemu. Namun mereka yakin bahwa Punan Berkaki Merah memang ada, dengan ciri unik, yaitu tangan dan kaki berwarna merah seperti kaki burung Siau.
Penduduk tiga desa itu membuat dua kategori Punan. Pertama, ”Punan Pemerintah”, yaitu orang-orang Punan yang bersedia tinggal-menetap di kampung. Kedua, Punan Siau yang tinggal di goa dan mengembara di rimba belantara. Orang-orang Karamu, Tunjang, dan Topus mengaku diri sebagai ”Punan Menetap”, serta bersaudara dengan Punan Siau yang dipercayai tinggal di hulu Sungai Borak.
Punan yang ”asli”, menurut orang-orang ini, adalah mereka yang tinggal di rimba belantara dan dalam goa-goa yang gelap. Kaki dan tangan mereka diwarnai merah dengan daun saronang atau jarenang. Seluruh tubuh mereka dilapis dengan sejenis jamur yang mengandung fosfor sehingga tampak menyala di kegelapan.
Dalam hal berburu, orang Punan Siau pantang membunuh binatang yang lengah. Jika bertemu dengan rusa yang sibuk memakan dedaunan, ia bertepuk tangan keras-keras untuk memberitahukan kehadirannya.
Ketika rusa itu terkejut dan lari, barulah ia memburunya. Mereka itulah pemburu sejati bersenjatakan sumpit, serta pantang menaklukan buruan dengan cara mengintai diam-diam.
Sekalipun bisa bertutur banyak, tidak ada seorang pun dari penduduk tiga kampung itu pernah bertemu langsung dengan Punan Siau. Beberapa orangtua lainnya hanya mengatakan pernah melihat jejak kaki, tetapi tidak pernah melihat orangnya. Menurut mereka, hal itu terjadi karena orang Punan Siau memiliki kata lamunan, yaitu mantra sakti untuk menghilangkan diri di balik sehelai daun.
Punan adalah kumpulan cerita menakjubkan. Dalam khazanah lokal
Kuburan Punan
Di Desa Tumbang Topus sudah tidak ada lagi yang murni Punan. Yang ada hanyalah campuran antara Punan dan orang Siang-Murung, Bahau, Benuaq, dan Ot Danum atau Kahayan. Toras, Potogor, dan Batang Pantar yang jumlahnya ada beberapa di kampung itu menunjukkan bahwa dalam ritual kematian mereka cenderung sebagai orang Ot Danum atau Siang Murung.
Mereka mengidentifikasi diri sebagai keturunan Punan pada seonggok batu besar yang oleh orang setempat disebut dengan Batu Awu-BaLang. Pada ceruk dinding salah satu bukit batu itu tampak tergolek dua tengkorak dan tulang-belulang manusia.
Menurut mereka, tengkorak dan tulang-belulang itu adalah milik dua tokoh Punan yang bernama Awu dan BaLang. Menjelang wafat, mereka mengamanatkan agar tulang-belulangnya jangan dikubur dalam tanah, tetapi diletakkan di ceruk batu, seperti layaknya orang Punan yang berdiam di goa batu.
Bagi orang Tumbang Topus, Batu Awu-BaLang bukanlah sekadar kuburan, tetapi merupakan monumen asal-usul diri karena di
Pengetahuan tentang Punan bukan hanya monopoli pakar antropologi. Orang Dayak pun sangat aktif dalam membangun identitas dirinya. Sebagai internal agen, mereka aktif mengonstruksi diri. Di Tumbang Karamu, Tumbang Tujang, dan Tumbang Topus, dengan tegas mereka mengatakan ”Kami bukan Punan Habongkot, bukan Punan Kareho, dan juga bukan Punan Siau. Kami adalah Punan Murung.”
Hampir seabad yang lalu, Carl Lumholtz, seorang penjelajah asal Norwegia, telah melakukan ekspedisi Barito-Muller-Mahakam (1915-1916). Di hulu Sungai Busang ia bertemu dengan Punan Panyawung.
Namun kini, di awal abad ke-21, kalolah kita berkunjung ke hulu Sungai Murung, kita akan bertemu dengan Punan baru, yaitu Punan Murung, Punan yg sudah nggak asli lagi. Jadi, Punan itu ada dan tiada.(vb-01/Marko Mahin: Dosen Agama dan Budaya Dayak di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis Banjarmasin dan Peneliti di Lembaga Studi Dayak-21)
Kutipan : http://www.vivaborneo.com/dayak-punan-kaki-merah-antara-ada-dan-tiada.htm
No comments :
Post a Comment