Oleh: Anthony Nyahu
Manusia Dayak Ngaju tidak hidup dalam tradisi tulis sama seperti kebanyakan suku bangsa lain di dunia. Namun, masyarakat Dayak bukan berarti tidak mengenal akan sejarahnya. Satu-satunya upaya untuk memahami perjalanan kehidupan suku di masa lalu adalah berbagai bentuk kearifan lokal dan kegiatan bersastranya. Di dalam tradisi lisan, kegiatan bersastra tersebut sangat menonjol yang ditandai dengan berbagai bentuk tuturan. Tuturan tersebut dapat berupa puisi-puisi etnik (lihat Danandjaya 1992; Mage 2008), aneka bentuk pengharapan-pengharapan tradisional, ungkapan-ungkapan dan dongeng-dongeng tradisional (bdk. Riwut 1993; dan Riwut 2004).
Ketiadaan literatur suku Dayak Ngaju dalam upaya menapaki jejak-jejak sejarah kearifan leluhur di masa lalu, bukanlah suatu alasan untuk menyebut bahwa leluhur suku ini memiliki derajat kebudayaan yang rendah (inferior). Satu-satunya rujukan tradisional yang dimiliki hanya “Tetek Tatum” yang terbangun secara “antara nyata dan tiada” sebuah bangunan imajiner; in illo tempore, ab origine sebagai struktur antara kenyataan yang dimitoskan atau mitos yang berusaha dan “seolah-olah” dinyatakan (bandingkan Eliade 1991). “Tetek Tatum” merupakan bangunan kronologis sejarah yang mengetengahkan proses panjang manusia Dayak, di mana mulai dikenalnya konsep-konsep tentang akulturasi, konsep-konsep yang runtun memandang masuknya pengaruh eksternal yang muncul. “Tetek Tatum” atau disebut sebagai “Periode Ratapan” atau “Ratap Tangis Sejati” (Riwut 1993:75), “Zaman Ratap Tangis” (lihat pula Ugang, 1983), merupakan masa-masa krisis yang dialami manusia Dayak. Pada masa itu, berbagai bentuk upaya “invasi-antithesis” muncul. Aneka bentuk penderitaan berkepanjangan mendera. Hingga muncul pula upaya defensif atas situasi tersebut dengan hadirnya pahlawan-pahlawan gagah berani seperti Rambang, Ringkai, Tambun, Bungai dan lain-lain. Ugang menyebutnya sebagai awal pertemuan kebudayaan Dayak Ngaju dengan kebudayaan luar seperti Hindu-Buddha, Kong Hu Cu, Islam dan Kristen. Berhubung pertemuan itu berlangsung sejak berpuluh-puluh abad lamanya. Maka tidaklah mudah untuk menyimpulkan bahwa kebudayaan Dayak Ngaju itu telah berubah atau dipengaruhi oleh kebudayaan dari luar itu. Namun, yang pasti pertemuan kebudayaan tersebut telah membentuk semacam kebudayaan (baca: kepercayaan-pen) baru dengan tatanan yang saling melengkapi yang dikenal dengan Kaharingan sekarang (1983:4).
Jauh sebelum dikenalnya tuturan tentang “Tetek Tatum”, masyarakat Dayak Ngaju sudah mengenal periodisasi masa yang melingkupi kehidupan mereka dari waktu ke waktu. Ada tiga istilah yang dikemukakan Ugang di dalam struktur kehidupan yang disebut “lewu” atau negeri, “Lewun Sangiang”, “Lewun Sansana”, dan “Lewun Tetek Tatum” (1983:2). Mengapa ada tiga “lewu” dalam konsep tersebut? Pertama, ada tiga konsep yang mempunyai benang merah dengan alam dalam pandangan teologis Kristen bahwa “lewun Sangiang” merupakan representasi dari sebuah satuan imajiner tentang sebuah bangunan transedental “surga”, di mana yang hidup di sana adalah para dewa dalam perspektif Kaharingan: Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Bunu. Kedua, ketiga fase tersebut menunjukkan bahwa ketiga “lewu” yang menjadi semacam “lansekap imajiner” manusia Dayak Ngaju menyiratkan adanya tiga periodisasi zaman yang sama sekali berbeda berdasarkan “konstruksi” dunia yang melatarinya: “zaman Sangiang” dan “zaman Sansana” sebagai penggemaan prototipe mitis in illo tempore itu, dan zaman “Tetek Tatum”. Ketiga, bahwa langkah awal pijakan “manusia baru”, manusia Dayak berada pada periodisasi zaman yang ketiga, yaitu “Tetek Tatum”, yang di dalamnya menggambarkan pertemuan manusia Dayak dengan aneka kebudayaan yang datang dari luar. Konsep kedua zaman sebelum “Tetek Tatum” merupakan konsep yang sangat sulit untuk dicocokkan dengan periodisasi waktu karena hingga kini tidak ditemukan fakta yang mendasari itu. Tetapi yang jelas adalah “zaman Tetek Tatum” berawal sebelum abad ke-17.
Konteks demikian lebih tajam dinyatakan Eliade sebagai cara untuk memahami eksistensi dan sejarah manusia dalam cakrawala ontologis dan spiritualitas kuno bahwa koleksi fakta terbagi menjadi, 1) fakta yang ditujukan kepada kita, bagi manusia kuno, realitas itu merupakan fungsi imitasi atas arketipe surga (langit); 2) fakta yang ditunjukkan kepada kita bagaimana realitas itu dianugerahkan melalui partisipasi dalam “simbolisme Pusat”: kota, kuil, rumah,menjadi nyata karena fakta tentang keberadaannya diasimilasikan dengan “pusat dunia”; 3) Akhirnya, ritual dan isyarat profan yang penting dihubungkan dengan mereka dan mematerialisasikan makna tersebut hanya karena mereka diulang secara sengaja dengan tindakan sebagaimana adanya yang diberikan oleh para dewa, pahlawan atau leluhur (1991:5—6).
Mengapa zaman “Tetek Tatum” diangkat sebagai arketipe Dayak secara historis, tentu alasan pertama seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa tiada langkah yang paling faktual untuk melacak sejarah itu berkaitan dengan tidak ditemui tradisi tulis pada masyarakat Dayak. Kedua, kalau demikian adanya, mengapa pula suatu kebudayaan yang berderajat rendah/inferior mampu melahirkan begitu banyak karya sastra lisan, termasuk puisi-puisi etnik di dalam kebudayaannya? Eliade menyatakan bahwa dalam perilaku sadarnya yang khas, manusia “primitif” kuno tidak menerima tindakan yang sebelumnya tidak dilakukan atau dihidupi orang lain, sesuatu yang lain yang bukan manusia. Apapun yang dia lakukan telah dilakukan sebelumnya. Hidupnya merupakan pengulangan-pengulangan atas sikap yang diawali oleh orang lain (1991:5).
Jawaban yang penting untuk pertanyaan di atas bermuara pada upaya-upaya eskavasi muatan kronologis yang terdapat dalam karya-karya sastra tersebut. Kita akan terperangah ketika mendengarkan “Sansana Bandar” atau Riwayat Bandar, Tambun, Bungai dan seterusnya. Kita sebagai manusia Dayak post-modern hanya memandang filosofi karya sastra tersebut sebagai fosil-fosil yang usang—namun keberadaannya ternyata mampu menjadi napas bagi konstelasi zaman setelahnya. Riwut mengklasifikasi paling tidak terdapat 20-an jenis karya sastra lisan lainnya. Sebagian besar belum ditransliterasi dan ditranskripsikan. Sangat disayangkan, apabila kearifan lokal dan keagungan sastra lisan Dayak itu menjadi dokumen “illiterate” yang punah ditelan zaman.[AN]
Sumber : www.nyahudayak.blogspot.com
Manusia Dayak Ngaju tidak hidup dalam tradisi tulis sama seperti kebanyakan suku bangsa lain di dunia. Namun, masyarakat Dayak bukan berarti tidak mengenal akan sejarahnya. Satu-satunya upaya untuk memahami perjalanan kehidupan suku di masa lalu adalah berbagai bentuk kearifan lokal dan kegiatan bersastranya. Di dalam tradisi lisan, kegiatan bersastra tersebut sangat menonjol yang ditandai dengan berbagai bentuk tuturan. Tuturan tersebut dapat berupa puisi-puisi etnik (lihat Danandjaya 1992; Mage 2008), aneka bentuk pengharapan-pengharapan tradisional, ungkapan-ungkapan dan dongeng-dongeng tradisional (bdk. Riwut 1993; dan Riwut 2004).
Ketiadaan literatur suku Dayak Ngaju dalam upaya menapaki jejak-jejak sejarah kearifan leluhur di masa lalu, bukanlah suatu alasan untuk menyebut bahwa leluhur suku ini memiliki derajat kebudayaan yang rendah (inferior). Satu-satunya rujukan tradisional yang dimiliki hanya “Tetek Tatum” yang terbangun secara “antara nyata dan tiada” sebuah bangunan imajiner; in illo tempore, ab origine sebagai struktur antara kenyataan yang dimitoskan atau mitos yang berusaha dan “seolah-olah” dinyatakan (bandingkan Eliade 1991). “Tetek Tatum” merupakan bangunan kronologis sejarah yang mengetengahkan proses panjang manusia Dayak, di mana mulai dikenalnya konsep-konsep tentang akulturasi, konsep-konsep yang runtun memandang masuknya pengaruh eksternal yang muncul. “Tetek Tatum” atau disebut sebagai “Periode Ratapan” atau “Ratap Tangis Sejati” (Riwut 1993:75), “Zaman Ratap Tangis” (lihat pula Ugang, 1983), merupakan masa-masa krisis yang dialami manusia Dayak. Pada masa itu, berbagai bentuk upaya “invasi-antithesis” muncul. Aneka bentuk penderitaan berkepanjangan mendera. Hingga muncul pula upaya defensif atas situasi tersebut dengan hadirnya pahlawan-pahlawan gagah berani seperti Rambang, Ringkai, Tambun, Bungai dan lain-lain. Ugang menyebutnya sebagai awal pertemuan kebudayaan Dayak Ngaju dengan kebudayaan luar seperti Hindu-Buddha, Kong Hu Cu, Islam dan Kristen. Berhubung pertemuan itu berlangsung sejak berpuluh-puluh abad lamanya. Maka tidaklah mudah untuk menyimpulkan bahwa kebudayaan Dayak Ngaju itu telah berubah atau dipengaruhi oleh kebudayaan dari luar itu. Namun, yang pasti pertemuan kebudayaan tersebut telah membentuk semacam kebudayaan (baca: kepercayaan-pen) baru dengan tatanan yang saling melengkapi yang dikenal dengan Kaharingan sekarang (1983:4).
Jauh sebelum dikenalnya tuturan tentang “Tetek Tatum”, masyarakat Dayak Ngaju sudah mengenal periodisasi masa yang melingkupi kehidupan mereka dari waktu ke waktu. Ada tiga istilah yang dikemukakan Ugang di dalam struktur kehidupan yang disebut “lewu” atau negeri, “Lewun Sangiang”, “Lewun Sansana”, dan “Lewun Tetek Tatum” (1983:2). Mengapa ada tiga “lewu” dalam konsep tersebut? Pertama, ada tiga konsep yang mempunyai benang merah dengan alam dalam pandangan teologis Kristen bahwa “lewun Sangiang” merupakan representasi dari sebuah satuan imajiner tentang sebuah bangunan transedental “surga”, di mana yang hidup di sana adalah para dewa dalam perspektif Kaharingan: Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Bunu. Kedua, ketiga fase tersebut menunjukkan bahwa ketiga “lewu” yang menjadi semacam “lansekap imajiner” manusia Dayak Ngaju menyiratkan adanya tiga periodisasi zaman yang sama sekali berbeda berdasarkan “konstruksi” dunia yang melatarinya: “zaman Sangiang” dan “zaman Sansana” sebagai penggemaan prototipe mitis in illo tempore itu, dan zaman “Tetek Tatum”. Ketiga, bahwa langkah awal pijakan “manusia baru”, manusia Dayak berada pada periodisasi zaman yang ketiga, yaitu “Tetek Tatum”, yang di dalamnya menggambarkan pertemuan manusia Dayak dengan aneka kebudayaan yang datang dari luar. Konsep kedua zaman sebelum “Tetek Tatum” merupakan konsep yang sangat sulit untuk dicocokkan dengan periodisasi waktu karena hingga kini tidak ditemukan fakta yang mendasari itu. Tetapi yang jelas adalah “zaman Tetek Tatum” berawal sebelum abad ke-17.
Konteks demikian lebih tajam dinyatakan Eliade sebagai cara untuk memahami eksistensi dan sejarah manusia dalam cakrawala ontologis dan spiritualitas kuno bahwa koleksi fakta terbagi menjadi, 1) fakta yang ditujukan kepada kita, bagi manusia kuno, realitas itu merupakan fungsi imitasi atas arketipe surga (langit); 2) fakta yang ditunjukkan kepada kita bagaimana realitas itu dianugerahkan melalui partisipasi dalam “simbolisme Pusat”: kota, kuil, rumah,menjadi nyata karena fakta tentang keberadaannya diasimilasikan dengan “pusat dunia”; 3) Akhirnya, ritual dan isyarat profan yang penting dihubungkan dengan mereka dan mematerialisasikan makna tersebut hanya karena mereka diulang secara sengaja dengan tindakan sebagaimana adanya yang diberikan oleh para dewa, pahlawan atau leluhur (1991:5—6).
Mengapa zaman “Tetek Tatum” diangkat sebagai arketipe Dayak secara historis, tentu alasan pertama seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa tiada langkah yang paling faktual untuk melacak sejarah itu berkaitan dengan tidak ditemui tradisi tulis pada masyarakat Dayak. Kedua, kalau demikian adanya, mengapa pula suatu kebudayaan yang berderajat rendah/inferior mampu melahirkan begitu banyak karya sastra lisan, termasuk puisi-puisi etnik di dalam kebudayaannya? Eliade menyatakan bahwa dalam perilaku sadarnya yang khas, manusia “primitif” kuno tidak menerima tindakan yang sebelumnya tidak dilakukan atau dihidupi orang lain, sesuatu yang lain yang bukan manusia. Apapun yang dia lakukan telah dilakukan sebelumnya. Hidupnya merupakan pengulangan-pengulangan atas sikap yang diawali oleh orang lain (1991:5).
Jawaban yang penting untuk pertanyaan di atas bermuara pada upaya-upaya eskavasi muatan kronologis yang terdapat dalam karya-karya sastra tersebut. Kita akan terperangah ketika mendengarkan “Sansana Bandar” atau Riwayat Bandar, Tambun, Bungai dan seterusnya. Kita sebagai manusia Dayak post-modern hanya memandang filosofi karya sastra tersebut sebagai fosil-fosil yang usang—namun keberadaannya ternyata mampu menjadi napas bagi konstelasi zaman setelahnya. Riwut mengklasifikasi paling tidak terdapat 20-an jenis karya sastra lisan lainnya. Sebagian besar belum ditransliterasi dan ditranskripsikan. Sangat disayangkan, apabila kearifan lokal dan keagungan sastra lisan Dayak itu menjadi dokumen “illiterate” yang punah ditelan zaman.[AN]
Sumber : www.nyahudayak.blogspot.com
Tabe Pahari, bisa bagi soft Copynya kah Khusus untuk yang ini untuk saya pelajari karena bagi saya ini adalah hal baru dan penting untuk di pelajari dan di sebar luasjaskan
ReplyDelete