Tolak balak merupakan salah satu tradisi Orang Dayak di kampung, untuk mengusir hama penyakit tanaman.
Sekitar tahun 1960an di daerah Kecamatan Tayan Kabupaten Sanggau saat ini, terjadi kelaparan akibat terjadinya wabah hama yang menyerang tanaman masyarakat pada waktu itu. Seluruh tanaman yang di tanam tidak memberikan hasil.
Oleh kepala adapt, seluruh rakyat diundang berunding di rumah betang. Masing-masing orang yang dating diberi kesempatan untuk memberi pendapat untuk menanggulangi masalah hama tersebut.
Dalam musyawarah yang sangat memeras otak ini, ada seorang tua berdiri dengan nada serius, menganjurkan jalan satu-satunya yang dapat ditempuh ialah harus mengadakan upacara adapt. Karena telah tiga tahun tidak pernah panen, maka harus dipersembahkan tiga kepala.
Kita harus mengayau tiga kepala manusia. Kebutuhan melakukan persembahan kurban dapat melalui mimpi, perasaan dan pertanda lainnya.
Mereka yakin ini datangnya dari Jubata atau roh halus yag mereka percayai. Karena cara pengayauan ini telah lama tidak pernah dijalankan, maka merekapun bingung memikirkannya.
Namun demikian demi kelangsungan hidup suku dan masyarakat, mereka mulai menyusun acara dan mengadaka persiapan sertya persiapan upacara “Tolak Balak”. Kampung pun dihiasi dengan pernak pernik cirri khas Dayak.
Biasanya upacara ini tidak mengijinkan orang dari suku lain masuk atau pun keluar kampong tempat upacara diadakan. Apalagi kalau ada orang yang bersama dalam upacara Tolak Balak tersebut tidak dikenal. Kalau menganggu kelancvaran upacara, orang tersebut akan dikekakan hukuman adapt dengan membayar seluruh biaya upacara. Dan kalaupun terpaksa orang tersebut akan di bunuh. Dalam upacara Tolak Balak (Balala) yang sedang dilangsungkan tersebut kebetulan masuk tiga orang tukang emas (pandai emas) dengan pikulannya. Tetapi karena ada dan tradisi suku Dayuak, seorang tamu yang masuk dengan sopan harus dijaga keselamatannya dan harus diberi tumpangan sepatutnya.
Upacara Balala jalan terus. Ketiga orang ini dijamin keselamatan dan makanannya. Usaha membentuk segala perhiasan pun bisa dikerjakan dengan bebas. Beberapa bulan kemudian selesailah semua pekerjaan membentuk segala perhiasan orang kampong. Ketiganya mulai bersiap-siap untuk pulang ke kampung halamannya. Menurut adapt Suku Dayak, apabila tamu tekah berada di luar lingkungan kampunnya, berarti telah lepas dari tanggung jawab mereka. Di sinilah kesempatan mereka untuk mengayau ketiga orang asing tersebut sebagai kurban dalam upacara Tolak Balak yang sudah direncanakan sebelumnya.
Sejak mereka mempersembahkan ketiga kepala orang pandai emas, seluruh pertaniannya menjadi subur, mereka mendapatkan panen yang berlimpah dari Jubata. Tiap kali panen tak lupa mereka mengadakan acara pesta pemujaan (ucapan syukur) di hadapan tiga arwah korban perdamaian antara mereka dengan Jubata yang telah memberi berkat panen yang berlimpah-limpah.
Pengayauan yang dilakukan dalam upacara Tolak Balak tersebut meninggalkan bukti berupa peti pikulan dan perabotan pandai emas yang kemudian ditemukan setelah tiga tahun kemudian dalam keadaan utuh, pada tempat bekas pengayauan (TKP).
Kejadian pengayauan ini juga sudah di usut oleh pemerintah melalui kepolisian rakyat kampong seluruhnya tidak ada yang mencoba menyangkal, semuanya mengaku dan membenarkan semua kejadian tersebut. Seluruh pemegang adat dan rakyat bersedia menerima ganjaran sesuai dengan hukum yang sedang berlangsung saat itu. Dalam motip pengayauan ini jelas kelihatan keterikatan tradisi dan kepercayaan mereka, demi menyelamatkan rakyat yang sedang kelaparan pada waktu itu.
Sumber : Cerita W.Wuisang kapten pol, Kepala Staf Resort Kepolisian di Mempawah
Sekitar tahun 1960an di daerah Kecamatan Tayan Kabupaten Sanggau saat ini, terjadi kelaparan akibat terjadinya wabah hama yang menyerang tanaman masyarakat pada waktu itu. Seluruh tanaman yang di tanam tidak memberikan hasil.
Oleh kepala adapt, seluruh rakyat diundang berunding di rumah betang. Masing-masing orang yang dating diberi kesempatan untuk memberi pendapat untuk menanggulangi masalah hama tersebut.
Dalam musyawarah yang sangat memeras otak ini, ada seorang tua berdiri dengan nada serius, menganjurkan jalan satu-satunya yang dapat ditempuh ialah harus mengadakan upacara adapt. Karena telah tiga tahun tidak pernah panen, maka harus dipersembahkan tiga kepala.
Kita harus mengayau tiga kepala manusia. Kebutuhan melakukan persembahan kurban dapat melalui mimpi, perasaan dan pertanda lainnya.
Mereka yakin ini datangnya dari Jubata atau roh halus yag mereka percayai. Karena cara pengayauan ini telah lama tidak pernah dijalankan, maka merekapun bingung memikirkannya.
Namun demikian demi kelangsungan hidup suku dan masyarakat, mereka mulai menyusun acara dan mengadaka persiapan sertya persiapan upacara “Tolak Balak”. Kampung pun dihiasi dengan pernak pernik cirri khas Dayak.
Biasanya upacara ini tidak mengijinkan orang dari suku lain masuk atau pun keluar kampong tempat upacara diadakan. Apalagi kalau ada orang yang bersama dalam upacara Tolak Balak tersebut tidak dikenal. Kalau menganggu kelancvaran upacara, orang tersebut akan dikekakan hukuman adapt dengan membayar seluruh biaya upacara. Dan kalaupun terpaksa orang tersebut akan di bunuh. Dalam upacara Tolak Balak (Balala) yang sedang dilangsungkan tersebut kebetulan masuk tiga orang tukang emas (pandai emas) dengan pikulannya. Tetapi karena ada dan tradisi suku Dayuak, seorang tamu yang masuk dengan sopan harus dijaga keselamatannya dan harus diberi tumpangan sepatutnya.
Upacara Balala jalan terus. Ketiga orang ini dijamin keselamatan dan makanannya. Usaha membentuk segala perhiasan pun bisa dikerjakan dengan bebas. Beberapa bulan kemudian selesailah semua pekerjaan membentuk segala perhiasan orang kampong. Ketiganya mulai bersiap-siap untuk pulang ke kampung halamannya. Menurut adapt Suku Dayak, apabila tamu tekah berada di luar lingkungan kampunnya, berarti telah lepas dari tanggung jawab mereka. Di sinilah kesempatan mereka untuk mengayau ketiga orang asing tersebut sebagai kurban dalam upacara Tolak Balak yang sudah direncanakan sebelumnya.
Sejak mereka mempersembahkan ketiga kepala orang pandai emas, seluruh pertaniannya menjadi subur, mereka mendapatkan panen yang berlimpah dari Jubata. Tiap kali panen tak lupa mereka mengadakan acara pesta pemujaan (ucapan syukur) di hadapan tiga arwah korban perdamaian antara mereka dengan Jubata yang telah memberi berkat panen yang berlimpah-limpah.
Pengayauan yang dilakukan dalam upacara Tolak Balak tersebut meninggalkan bukti berupa peti pikulan dan perabotan pandai emas yang kemudian ditemukan setelah tiga tahun kemudian dalam keadaan utuh, pada tempat bekas pengayauan (TKP).
Kejadian pengayauan ini juga sudah di usut oleh pemerintah melalui kepolisian rakyat kampong seluruhnya tidak ada yang mencoba menyangkal, semuanya mengaku dan membenarkan semua kejadian tersebut. Seluruh pemegang adat dan rakyat bersedia menerima ganjaran sesuai dengan hukum yang sedang berlangsung saat itu. Dalam motip pengayauan ini jelas kelihatan keterikatan tradisi dan kepercayaan mereka, demi menyelamatkan rakyat yang sedang kelaparan pada waktu itu.
Sumber : Cerita W.Wuisang kapten pol, Kepala Staf Resort Kepolisian di Mempawah
No comments :
Post a Comment