BREAKING

Friday, December 4, 2009

TIWAH?

Oleh : Bintang Sariyatno

Mungkin ada yang pernah mengetahui apa itu Tiwah, mungkin juga ada yang nggak tahu atau bahkan nggak pernah denger Tiwah.

Kata Tiwah berasal dari bahasa Sangiang, bahasa Sangiang adalah bahasa yang digunakan oleh salah satu agama di Kalimantan Tengah, yaitu agama Hindu Kaharingan. Bahasa Sangiang biasanya digunakan oleh pemimpin agama Hindu Kaharingan untuk memimpin suatu acara keagamaan. Upacara Tiwah menurut masyarakat Kalimantan Tengah pada umumnya menganggap bahwa Tiwah adalah sebuah adat, tetapi menurut masyarakat pemeluk agama Hindu Kaharingan Tiwah merupakan proses mengantarkan arwah atau dalam bahasa Dayaknya liau ke surga atau dalam bahasa Sangiangnya mengantarkan ke “Lewu Tatau Habaras Bulau Hagusung Intan Dia Rumpang Tulang”, yang berarti sebuah tempat yang kekal atau abadi dan tempat itu berhiaskan emas, permata, berlian, dll.

tiwah1 TIWAH?

Liau atau arwah disini di bagi menjadi 3 bagian, yaitu:

  1. Balawang Panjang, contohnya seperti: rambut atau kuku.
  2. Karahang Tulang, contohnya: tulang belulang.
  3. Liau Haring Kaharingan adalah arwah atau roh yang sebenarnya.

Upacara Tiwah ini dipimpin oleh Basir atau Pisur. Basir adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam memimpin upacara – upacara keagamaan agama Hindu Kaharingan khususnya Hindu Kaharingan di daerah Kahayan. Pisur yaitu sama seperti Basir tetapi Pisur memimpin Upacara keagamaan agama Hindu Kaharingan di daerah Katingan. Pada umumnya upacara yang di pimpin oleh Basir relatif lebih lama berkisar 2 bulan dari pada upacara yang di pimping oleh Pisur.

Upacara Tiwah pada umumnya dilakukan 5 tahun sekali, tetapi sesuai dengan kesepakan keluarga yang hendak malakukan upacara Tiwah. Menurut agama Hindu Kaharingan Tiwah harus dilaksanakan karena sebagai rasa tanggung jawab kepada arwah dan bertujuan untuk mengantarkan si arwah atau liau ke Lewu Tatau (surga). Upacara Tiwah juga bisa menjadi suatu kunjungan wisata keagamaan yang menarik.

Menurut kepercayaan agama Hindu Kaharingan, manusia berasal dari keturunan Raja Bunu yang menuju jalan pulang ke Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa).

Siapa Raja Bunu?

Raja Bunu adalah anak dari pasangan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameloh Putak Bulau janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun (panjang banget namanya!!). Manyamei Tunggul Garing dan Kameloh Putak Bulau merupakan menurut Hindu Kaharingan adalah manusia yang pertama kali diciptakan oleh Ranying Hatalla Langit (Tuhan). Dan Raja Bunu memeng diwariskan untuk menghuni bumi dengan ciri – ciri keturunannya bisa mati atau meninggal setelah keturunan ke sembilan. CIri – ciri yang lain adalah raja Bunu tidak bisa menginang, maka diganti makanannya diganti menjadi beras, lauk – pauk, dll. Seperti makanan kita sekarang ini.

Raja Bunu di anugrahi oleh Ranying Hatalla Langit (Tuhan) sebuah besi (Sanaman Lenteng). Sanaman Lenteng adalah sebuah besi yang tidak sengaja ditemukan oleh Raja Bunu sewaktu ia bermain d sungai dengan kedua saudaranya. Kedua saudara Raja Bunu itu masing – masing bernama Raja Sangen dan Raja Sangiang. Besi yang ditemukan oleh tiga bersaudara ini “aneh”, karena yang satu ujung besinya timbul ke permukaan air dan ujung yang lain tenggelam. Kalo di analogikan aneh, seharusnya seluruh batang besi itu tenggelam. Raja Bunu secara tidak sengaja memegang ujung Sanaman Lenteng yang tenggelam dan kedua saudaranya memegang ujung yang timbul ke permukaan air, sehingga menurut ceritanya gara- gara Raja Bunu tidak sengaja memegang ujung dari Sanaman Lenteng yang tenggelam, maka kehidupannya tidak abadi seperti kedua saudaranya yang lain, yaitu Raja Sangen dan Raja Sangiang. Besi yang mereka dapati itu akhirnya dibuat menjadi Dohong Papan Benteng (sejenis alat khas yang bentuknya seperti pisau) oleh ayah mereka.

Raja Bunu dan kedua saudaranya dianugrahi juga oleh Ranying Hatalla Langit seekor burung yang bernama Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan. Mereka dianugrahi seekor burung itu ketika mereka sedang berada disebuah bukit yang bernama Bukit Engkan Penyang.

Ketika mereka sudah mendapati burung itu, rupanya tiga saudara itu tidak ada yang mau mengalah dan terus berebut untuk mendapatkan burung itu. Tiba – tiba Raja Sangen menghunus dohongnya lalu menghujamkannya kearah burung itu. Sehingg, darah burung itu pun keluar dan Raja Sangen pun berinisiatif untuk menampung darah burung tersebut ke sebuah sangku (sejenis mangkok). Dan dengan sekejap darah burung yang ditampung di dalam sangku itu pun berubah mneenjadi emas, berlian, dan permata.

Rupanya ayah ketiga bersaudara itu mengetahui perrbuatan ketiga anaknya itu. Maka, dengan kesaktiannya sang ayah pun pergi menemui ketiga anaknya itu. Sesampainya di sana Manyamei Tunggul Garing (ayah mereka) melihat apa yang telah diperbuat oleh anaknya karena sang ayah merasa iba kepada burung itu dan takut ketiga anaknya “kualat” dengan Ranying Hatalla Langit atas perbuatan anak – anaknya, sang ayah pun dengan kesaktiannya menyembuhkan luka pada burung itu.

Karena rasa iri terhadap saudaranya yang mendapatkan emas, berlian, dll itu. Maka, Raja Sangiang pun menghujamkan dohongnya kearah burung itu sehingga darah burung itu pun keluar dengan derasnya dan ia pun melakukan hal yang sama yaitu mengambi sangku untuk menampung darah burung itu. Kejadiannya pun sama persis dengan yang didapatkan oleh Raja Sangen yaitu, emas, berlian, dll. Dan ayah mereka pun akhirnya menyembuhkan luka pada burung tersebut. Sehingga, burung itu pun sehat kembali.

Dan lagi – lagi keserakahan dan rasa iri itu menghinggapi Raja Bunu. Ia pun melakukan apa yang telah dilakukan oleh kedua saudaranya itu dan ia pun mendapatkan hasil yang sama seperti yang diperoleh oleh kedua saudaranya. Dan lagi – lagi sang ayah pun karena merasa iba akan burung itu maka ia pun menyembuhkan luka burung itu. Tetapi rupanya luka burung itu tidak dapat sembuh seperti sedia kala. Akhirnya burung itu terbang dengan membawa luka dan darahnya menetes membasahi wilayah it. Darah burung yang menetes itulah yang kemudian menjadi kekayaan yang berlimpah ruah. Karena kondisi fisik burung itu yang semakin lelah dan lukanya semakin parah, burung itu pun akhirnya mati.

Akhirnya tempat burung itu mati dipenuhi dengan kekayaan yang abadi, dan menurut kepercayaan agama Hindu Kaharingan tempat itu disebut dengan Lewu Tatau (Surga).

Foto diambil dari http://www.kalteng.go.id

Kutipan dari : http://sariyatno.com

No comments :

Post a Comment

 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube