Oleh : Anam *
Kembali Ke Anekng.(1997-Sekarang)
Pada saat pemetaan pertama di Kalimantan Barat berlangsung di Sidas Daya pada tahun 1994, penulis adalah salah satu aktivis Pancur Kasih yang tergabung dalam Koperasi Pancur Dangeri di Pontianak. Dari cerita-cerita tentang pemetaan yang beredar di kalangan aktivis, penulis kemudian mengunjungi kantor PPSDAK Pancur Kasih pada tahun 1996. Informasi yang penulis dapat kemudian disampaikan ke rekan-rekan sedesa. Berdasarkan informasi ini kemudian kepala desa Andeng mengirimkan surat permohonan pemetaan ke PPSDAK pada bulan Januari 1997. Dua bulan berikutnya serombongan aktivis PPSDAK datang ke desa untuk melakukan sosialisasi pemetaan. Pada pertemuan sosialisasi warga dan tim PPSDAK memutuskan untuk melakukan pemetaan pada bulan Juni 1997. Pemetaan dilakukan selama beberapa hari. Kelima dusun dalam desa Andeng disurvei satu per satu. PPSDAK menyerahkan peta kepada masyarakat pada akhir 1997.
Dalam proses pemetaan, khususnya dalam kegiatan PRA, masyarakat digugah untuk membedah sejarah, tata ruang, budaya, tempat keramat dan lain-lain. Dari proses inilah kemudian orang Anekng tahu bahwa penyebutan Andeng untuk wilayah komunitasnya merupakan pengaburan sejarah. Begitu pula tentang tatanan sosial yang telah terusik. Dalam kegiatan PRA tersebut terjadi penyadaran pentingnya sebuah identitas. Namun sangat disayangkan dalam pemetaan di Anekng kegiatan ini tidak teragendakan dengan baik. Padahal inilah titik yang menghubungkan antara proses pemetaan dengan kebangkitan masyarakat desa Anekng untuk ‘menggugat sebuah kebijakan’ yang tidak berpihak. Gugatan tersebut memunculkan kesadaran akan kejanggalan, peninaboboan, dan pengebirian hak-hak masyarakat adat yang berlangsung selama ini.
Pemetaan kawasan adat Desa Andeng membuat orang sadar dan terperangah bahwa penggabungan wilayah dan perubahan nama Anekng menjadi Andeng adalah tindakan yang melecehkan kearifan dan sejarah masyarakat di wilayah tersebut. Nama masing-masing kampung pembentuk desa Andeng punya sejarahnya sendiri-sendiri. Dengan demikian identitas dan keberadaan masingmasing kampung perlu dihormati dan dijaga. Jadi bila dalam peta pemerintahan hanya ada nama desa Andeng, bagaimana dengan keberadaan kampungkampung lainnya? Warga desa baru tersadar akan nilai sebuah nama, sejarah, dan hak ulayatnya selama proses pemetaan. Setelah pemetaan warga desa kembali memakai nama Anekng sebagai nama yang benar, bukan Andeng yang lebih merupakan kecelakaan sejarah. Kesadaran ini menimbulkan kebangkitan atas kebanggaan terhadap identitas Dayak dan keinginan untuk merevitalisasi budaya Dayak. Kebangkitan ini mendapat momentum ketika Cornelis, sekarang Gubernur Kalimantan Barat, saat masih menjadi bupati Landak mendorong pemakaian kembali nama-nama asal. Menuju Demokratisasi Pemetaan Selain dampaknya terhadap penguatan adat, peta yang dihasilkan juga berhasil membatalkan maksud Dinas Kehutanan untuk memperluas hutan lindung sampai ke pemukiman desa.
Pembentukan Ketimanggongan Tungkasa
Kesadaran sejarah dan upaya revitalisasi adat ini terus bergulir pasca pemetaan. Dalam sebuah rapat desa pada tahun 1998 yang dihadiri wakil PPSDAK masyarakat desa Anekng memutuskan untuk membentuk ketimanggongan sendiri sebagai wadah revitalisasi adat. Akhirnya warga desa mengadakan pertemuan dengan dampingan aktivis PPSDAK untuk membentuk ketimanggongan baru tersebut. Dalam rapat kemudian sampai pada pembicaraan nama ketimanggongan. Sebagian peserta mengusulkan nama Tungkalakng. Namun karena nama itu dinilai bisa menimbulkan konflik, maka sekretaris desa saat itu mengusulkan untuk memakai nama TungKaSa sebagai jalan tengah dan untuk menjaga persatuan warga desa. Nama ini adalah singkatan dari Tungkalakng, Kalampe dan Sairi yang merupakan nama-nama binua pembentuk desa Anekng. Wilayah ketimanggongan ini persis sama dengan wilayah desa gaya baru ini.
Pada bulan Maret 2008 warga memilih timanggong TungKaSa yang pertama yang dikukuhkan pada bulan November 2008. Figur seorang timanggong terkesan tidak jauh dari pada periode regrouping desa, tetapi mulai nampak ada upaya pencitraan diri yang positif. Gaya pengurusan yang kurang berkenan mulai mengalami perbaikan, seiring dengan keinginan warga Anekng.
Memang harus diakui bahwa beberapa proses di atas belum berhasil mempengaruhi struktur pemerintahan di kampung, tetapi mulai ada. Kedudukan timanggong mulai mendapat porsi dalam berbagai pertemuan tingkat kampung. Segala sengketa dan persoalan adat sedapat mungkin selesai di tingkat Timanggong. Karena itu para timanggong juga mulai membenahi kapasitas perangkatnya, agar semakin tumbuh pengakuan dan kepercayaan masyarakat.
Proses revitalisasi ini tidak hanya terjadi di tingkat desa, namun juga sudah menjadi perjuangan masyarakat adat secara luas. Salah satu isi perjuangan tersebut adalah mengembalikan posisi binua dalam sistem pemerintahan kabupaten Landak. Usulan struktur telah dituangkan dalam bentuk Raperda Sistem Pemerintahan Binua yang telah diserahkan ke pemerintah dan DPRP
Landak. Namun sampai saat ini usulan tersebut belum digubris. Salah satu isi usulan tersebut adalah mengembalikan nama kampung/desa sesuai dengan ejaan dan lafal nama aslinya.
KESIMPULAN
Anekng adalah nama sebuah kampung yang memiliki sejarah yang terkait erat identitas warganya. Nama tersebut terkait dengan sejarah migrasi penduduk dan posisi geografis kampung. Namun masuknya pengaruh pemerintah Indonesia, yang memuncak pada regrouping desa, mengubah kampung secara drastis dan mencerabut warganya dari sejarahnya. Bentuk yang paling mencolok adalah pemberian nama Andeng untuk kampung yang sama dan akhirnya
menjadikannya sebagai nama desa gaya baru. Perubahan nama dan pembentukan desa baru ini seolah merupakan sekumpulan kabut yang menutup delapan kampung lainnya. Struktur sosial dan pelaksanaan adat pun mencari carut marut, bahkan seperti kehilangan makna.
PP di desa Andeng menggugah kembali kesadaran akan sejarah dan identitas kampung. Kegiatan tersebut mendorong warga untuk menimbang ulang semua yang telah terjadi selama proses Regrouping Desa. Dalam kesempatan ini regrouping desa ditempatkan sebagai sebuah kebijakan yang mengacaukan dan menindas tatanan sosial yang ada, sehingga komunitas adat setempat menjadi tamu di tanahnya sendiri. Pemetaan bukan saja mendorong warga untuk memakai nama-nama asli untuk kampung-kampung mereka, tetapi juga bahkan membentuk struktur adat yang independen melalui pembentukan ketimanggongan.
Profil penulis :
(*) ANAM, masyarakat dari Kampong Anekng, Desa Andeng, Kecamatan Sangah-Tumila, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Sehari-hari bekerja sebagai petani. Pada tahun 1997, ketika masyarakat kampong Anekng melakukan pemetaan, dia banyak memotivasi masyarakat yang lainnya untuk terlibat dalam kegiatan ini. Dalam hal tulis menulis, ini merupakan pengalaman pertama bagi dia.
sumber : http://www.jkpp.org/
No comments :
Post a Comment