BREAKING

Wednesday, October 6, 2010

ANEKNG ATAU ANDENG? KISAH SEKITAR PENAMAAN KAMPUNG (Kampong Anekng, Kec. Sangah-Tumila, Kab. Landak, Kalimantan Barat)

Oleh : Anam *
PENGANTAR

Tulisan ini memaparkan bagaimana sebuah kebijakan pemerintah membuat masyarakat adat tercerabut dari asal-ususlnya dan bagaimana proses pemetaan menjadi sebuah kegiatan yang “menyadarkan” begitu pentingnya sebuah sejarah. Pada tahun 1980an Gubernur Kalimantan Barat memutuskan untuk melakukan proses penataan ulang batas-batas administrasi desa (Regrouping Desa) yang membuat perubahan sangat mendasar dalam tatanan sosial politik masyarakat Dayak.. Kebijakan ini adalah turunan dari upaya penyeragaman desa gaya Jawa yang dilakukan rejim Orde Baru melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Desa-desa di seluruh Indonesia mengalami yang serupa akibat kebijakan ini. Kegiatan pemetaaan partisipatif menimbulkan kesadaran baru untuk menimbang ulang atas semua yang telah terjadi akibat upaya penyeragaman tersebut.

Dari berbagai dampak yang ada tulisan ini akan menjabarkan dampak politik penyeragaman tersebut terhadap kehidupan orang Dayak. Dalam kesempatan ini regrouping desa ditempatkan sebagai sebuah kebijakan yang mengacaukan dan sebuah penundukan atas tatanan sosial yang membuat komunitas adat setempat seperti “tamu” di tanah sendiri, sehingga mengusik berbagai sendi sosial masyarakat adat. Untuk itu penulis ingin memaparkan bagaimana perubahan nama kampung akibat kebijakan regrouping desa, dengan mengambil contoh kasus kampung Anekng, sebuah desa yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Sangah Tumila kabupaten Landak (yang sebelumnya adalah bagian dari kabupaten Pontianak provinsi Kalimantan Barat). Dalam hal ini penulis ingin menekankan nama desa yang berubah-ubah selama 40 tahun terakhir dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan tersebut dari masa ke masa. Untuk itu tulisan ini memakai tiga periode: masa sebelum regrouping desa, masa sesudah regrouping desa, dan masa sesudah pemetaan partisipatif.

ANEKNG DALAM PERSEKTIF SEJARAH
Anekng adalah nama sebuah kawasan hunian adat (kampokng atau kampung dalam bahasa Indonesia) yang berbatasan dengan binua Tungkalakng di utara, binua /wilayah ketemenggungan Ayo di selatan, binua Sapari’di di timur, dan binua Samaroa’ di barat. Dinilai dari sisi fonetik dan geografi nama Anekng mempunyai makna tersendiri. Kampung tersebut terletak tepat di punggung bukit (tajur). Karenanya warga komunitas ini harus berteriak untuk berbicara dengan orang-orang yang tinggal di kaki bukit tersebut. Bila tidak terdengar, maka orang yang diajak bicara akan berteriak “lanekng-lanekng”(lantang). Akhirnya kata lanekng berubah menjadi Anekng sebagai nama tempat (Kampung). Posisi yang di punggung bukit tidak lepas dari sejarah kampung yang pernah mengalami bencana banjir, sehingga mereka membangun pemukiman di tempat yang tinggi untuk menghindari banjir.

Orang Anekng sebetulnya berasal dari dua binua. Kelompok pertama adalah penduduk Binua Sapari yang kemudian bermukim di suatu tempat yang sekarang disebut timawakng Palu’ (sekarang tempat ini telah berubah menjadi areal persawahan). Kampung ini berada di dataran rendah nan datar dekat sungai Tungkalakng. Suatu ketika sebuah banjir besar menghancurkan rumah panjang (radakng betang) dan dango (lumbung padi) serta menghanyutkan segala macam ternak. Akibat peristiwa tersebut komunitas ini pindah ke tempat yang agak tinggi yang kemudian disebut Timawakng Punti (tempat ini pun telah berubah menjadi areal persawahan). Karena ada suatu wabah penyakit, komunitas Timawakng Punti akhirnya pindah lagi ke Kampung Anekng sekarang.

Kelompok kedua berasal dari binua Sangah. Mereka mengembara dan kemudian berladang dan menetap di Timawakng Pade’ untuk beberapa saat. Kemudian
kelompok ini melanjutkan lagi perjalanannya ke pemukiman Sinompok. Di pemukiman ini ada ketidakjelasan tentang perpindahan penduduk selanjutnya. Diduga sebagian pindah ke hilir menuju kampung Anekng, sedangkan sebagian lainnya memilih pindah ke arah hulu dan membuka kampung baru yang disebut Barangan. Hingga sekarang tempat ini masih dihuni oleh satu keluarga. Dalam perkembangan sekarang timawakng Sinompok telah berubah menjadi bawas.

Sebelum tahun 1945 kampung Anekng merupakan bagian dari binua Kalampe yang ditinggalkan karena sebuah peristiwa pada jaman Belanda. Warga kampungtersebut kemudian berpindah ke arah barat dan bermukim di tempat yang kemudian dinamai kampung (sekarang dusun) Tonakng.

Anekng Menuju Desa Gaya Lama (Sebelum 1987)
Seperti juga kampung Dayak lainnya, kampung Anekng berada di dekat aliran sungai, yaitu sungai Tungkalakng, dan semua warganya tinggal dalam sebuah rumah panjang. Bangunan ini bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga pusat kegiatan sosial dan budaya di kampung. Di rumah panjang tiap keluarga tinggal di sebuah bilik yang memiliki ruang tidur dan dapur. Di bagian depan bilik-bilik ini terdapat ruangan terbuka yang memanjang yang menjadi ruang publik bagi
seluruh penghuni rumah panjang. Di ruang yang memanjang inilah warga berkumpul untuk bercengkerama, orang tua mendongeng, kegiatan kesenian berlangsung, dan upacara-upacara adat dilakukan. Seperti kampung-kampung Dayak lainnya, di rumah panjanglah kebudayaan orang Anekng dipelihara dan diturunkan.

Pada masa ini tatanan adat kampung Anekng masih di bawah kendali Timanggong untuk tingkat binua, pasirah untuk tingkat kampung dan pamanae di tingkat kelompok pemukiman penduduk yang jumlahnya ditentukan berdasarkan kesepakatan komunitas yang bersangkutan. Timanggong merupakan figur pengurus adat tertinggi yang independen dan berwibawa. Ia adalah soko teladan dalam kehidupan sosial, memiliki pengetahuan adat yang luas,dihargai pendapat dan kedudukannya, serta menjadi penjaga segala norma. Kampung mengurus semua urusan sendiri mencakup apa yang sekarang dikenal sebagai aspek-aspek eksekutif, legislatif dan yudikatif sekaligus. Penyelenggara adat saat itu sangat otonom dan bebas dari pengaruh kekuasaan dan kepentingan. Pemilihan seseorang sebagai perangkat adat ditentukan berdasarkan profesionalismenya, tanpa harus ada pendidikan formal.

Pengurus adat pada masa ini memiliki posisi yang sangat kuat. Semua orang patuh kepada tetua adat dan para pemimpin yang kharismanya sangat besar. Kata-kata seorang Timanggong sangat menentukan dan praktis tidak ada perlawanan, bagaikan titah seorang raja. Namun keputusan tersebut tidak diambil sendiri, secara semena-mena. Seorang Timanggong adalah seorang organisator kebijakan yang memusyawarahkan dulu masalah yang dihadapi bersama para gapit Timanggong dan perangkat adat lainnya untuk mendapatkan kata mufakat. Jarang sekali muncul perselisihan tentang putusan adat karena memang pengambilan keputusan dilakukan secara demokratis dan bijaksana. Orang yang bertikai, misalnya, dibuat sedapat mungkin untuk menyadari dasardasar pengambilan keputusan sehingga paham akan kekeliruan kedua belah fihak, bukan keputusan sefihak yang semata-mata mengandalkan kekuasaan yang menyebabkan orang terpaksa dan diperlakukan tidak adil. Rasa banggadan kuatnya posisi pengurus adat menyebabkan warga kampung bangga pula melafalkan nama kampungnya sebagaimana mestinya, Anekng. Namun rasa bangga tersebut mulai berubah pada tahun 1960an.

Pada dekade 1960an pengaruh pemerintah Indonesia mulai terasa dalam kehidupan kampung. Pemerintah mendorong warga kampung Anekng untuk membongkar rumah panjang, sehingga masing-masing keluarga membangun rumah tinggal pribadi. Pembongkaran ini berdampak pada berkurangnya ikatan sosial di antara para warga.

Pada masa ini terjadi pemisahan pengurusan kampung antara kekuasaan adat dan otoritas pemerintahan. Pemimpin kampung, yang sebelumnya disebut tuha kampung, mendapat gelar jabatan baru yaitu kepala kampung yang dibantu oleh seorang kabayan (setaraf dengan sekretaris desa) dan sejumlah pengurus lainnya. Mereka bertugas mengurus administrasi pemerintahan. Sementara struktur pemerintahan adat juga tetap dipertahankan pada masa itu yang terdiri dari Timanggong, pasirah, dan pamane. Kampung Anekng pada saat itu menjadi bagian dari ketimanggongan Sanyiupm.

Awalnya pengurus kampung dan pengurus adat bisa saling melengkapi, duduk bersanding bagai kedua mempelai. Mereka memiliki pembagian wewenang yang jelas. Tetapi lama kelamaan kedua struktur tersebut saling bersaing bagai dua kubu yang berseteru yang menimbulkan dualisme kepemimpinan desa. Mereka saling bersaing dalam hal kepentingan, legalitas, kekuasaan , dan lain-lain. Perebutan pengaruh itu terjadi karena minat yang kuat untuk dekat dengan pusat kekuasaan dan sumber uang. Apalagi proyek dan subsidi pemerintah mulai masuk. Bahkan subsidi menjadi daya tarik untuk menjadi kepala kampung. Pembagian wewenang yang sebelumnya jelas menjadi kacau. Salah satu dampaknya adalah seorang Kepala Kampung bisa mengurus sengketa adat. Hal ini dianggap wajar bahkan bisa dianggap sebagai sebuah prestasi yang super, biarpun putusannya kurang bahkan tidak memenuhi rambu-rambu hukum adat. Kemerosotan sistem sosial ini berdampak sangat serius terhadap jati diri orang Anekng.

Bersamaan dengan adanya perhatian pemerintah itulah nama Andeng mulai dikenal. Perubahan lafal tersebut kemungkinan karena pengaruh bahasa Melayu yang kesulitan melafalkan kata Anekng. Namun perhatian pemerintah secara perlahan justru mengubah pandangan warga Anekng tentang kampung mereka. Salah satunya adalah pendapat warga yang melihat perubahan nama kampung sebagai bentuk kemajuan. Makin lama nama Anekng berkonotasi kampungan, kolot, udik dan tidak mengikuti perkembangan. Akhirnya warga kampung malu
menyebut nama Anekng.

Setelah UU Pemerintahan Desa berlaku pada tahun 1979 semua kampung di Kalimantan Barat kemudian diubah statusnya menjadi desa, yang sekarang dikenal sebagai desa gaya lama. Struktur organisasi kampung pun berubah harus mengikuti undang-undang, sehinggal kepala kampung pun berubah nama jabatan menjadi kepala desa. Perubahan ini membuat goncangan baru terhadap kehidupan warga Anekng dan masyarakat Dayak lainnya di provinsi tersebut.

Andeng Sebagai Desa Gaya Baru (1987-1997)
UU Pemerintahan Desa memandatkan bahwa pembentukan desa harus memperhatikan “syarat-syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat lain” (pasal 2 ayat 1). Menteri Dalam Negeri kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 4 tahun 1981 tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa sebagai peraturan pelaksanaan yang dimandatkan UU. Untuk menjalankan peraturan tersebut di tingkat provinsi pada tanggal 9 September 1987 Gubernur Kalimantan Barat mengeluarkan surat keputusan No. 353/1987 tentang Penyatuan Desa dalam Rangka Penataan Kembali Desa di Kalimantan Barat. Surat keputusan inilah yang menjadi dasar program penataan desa secara besar-besaran di provinsi tersebut yang membentuk desa gaya baru. Program ini kemudian dikenal dengan istilah Regrouping Desa.

Untuk menjadi suatu desa gaya baru, desa yang ditata ulang harus memenuhi syarat: luas wilayah, jumlah penduduk mininal, memiliki akses pelayanan publik, dan lain-lain. Di antara berbagai syarat tersebut, persyaratan jumlah penduduk minimal yang menjadi persoalan besar. Sebuah desa harus memiliki penduduk minimal 500 KK atau 2500 jiwa. Sementara desa-desa di Kalimantan Barat umumnya memiliki wilayah yang luas namun penduduknya sedikit. Akibatnya
beberapa desa yang berdekatan harus digabungkan untuk memenuhi syarat jumlah penduduk tersebut. Hal inilah yang terjadi dengan kampung Anekng.

Kampung Anekng yang telah berubah nama menjadi desa Andeng pun mengalami regrouping. Namun proses pembentukan desa gaya baru ini sama sekali tidak melibatkan masyarakat dan tidak memperhatikan sejarah masyarakat, sehingga binua-binua yang ada dicampur aduk tak karuan. Inilah yang terjadi dengan desa Andeng. Desa gaya baru ini merupakan gabungan dari 9 kampung yang berasal dari tiga binua, yaitu:
1) Kampung Anekng yang merupakan sebuah kampung dari binua Kalampa
2) Seluruh wilayah binua Tangkalakng yang terdiri dari kampung Tampi, Bide, Pakatatn, Tampalaas, dan Talo’ Manuk
3) Seluruh wilayah binua Sairi yang terdiri dari Bajamu Sairi, Pinyaho’, dan Kamayo

Karena posisi kampung Anekng yang strategis, yaitu berada di persimpanganjalan, maka kampung tersebut ditetapkan sebagai pusat desa. Sehingga nama desa pun dipilih Andeng. Sementara kampung-kampung lain menjadi dusundusun dalam wilayah desa gaya baru ini. Namun dari sembilan kampung tersebut hanya dibentuk lima dusun sebagai berikut:
1. Kampung Anekng menjadi dusun Andeng
2. Kampung Bajamu Sairi, Kamayo dan Pinyaho digabung menjadi dusun Bajamu Sairi
3. Kampung Tampi dan Bide menjadi dusun Tampi Bide
4. Kampung Pakatatn menjadi dusun Pakatatn
5. Kampung Tampalaas dan Talo’ Manok menjadi dusun Tampalaas

Struktur pengurusan desa pun berubah. Seperti juga desa gaya lama, pemerintahan desa dipimpin oleh kepala desa. Namun sekarang di bawahnya terdapat kepala-kepala dusun yang memimpin dusun-dusun. Selanjutnya dusun dibagi lagi menjadi rukun tetangga (RT) yang dipimpin oleh ketua rukun tetangga. Struktur yang baru ini hanya mengurus administrasi pemerintahan desa, tidak lagi mengurus adat. Karenanya dibentuk pengurus adat di desa. Di tingkat desa pengurus ini disebut pasirah, sedangkan di tingkat dusun disebut pamane. Pada awal 1990an pemerintah membentuk binua-binua baru. Masing-masing binua terdiri dari beberapa desa dengan pimpinan seorang Timanggong yang ditunjuk pemerintah daerah. Desa Andeng sendiri menjadi bagian dari binua Temila Ulu I. Pengurus-pengurus adat ini kemudian dihimpun pemerintah dalam suatu Dewan Adat Kecamatan. Akibatnya, banyak orang yang tidak paham adat tetapi berambisi menjadi pengurus adat.

Perebutan pengaruh yang sudah lama terjadi ini diperparah lagi dengan makin merosotnya kebanggaan orang Dayak akan jati dirinya. Yang paling mencolok adalah keengganan orang Dayak memakai nama, atribut dan barang yang telah dimilik turun temurun, karena Dayak pada masa itu diidentikkan dengan orang primitif, kolot, kotor dan sebagainya. Orang-orang Dayak kemudian cenderung menamai anak-anaknya dengan nama-nama Jawa, Kristen, Melayu atau Cina. Belum lagi negara tidak mengakui pelaksanaan hukum adat Dayak yang tidak tertulis. Negara tidak mengakui pernikahan adat karena tidak adanya surat nikah. Begitu pun dengan klaim atas tanah tidak diakui karena tidak adanya surat bukti. Dalam kasus warga Anekng mereka tidak mendapatkan pelayanan administrasi pemerintahan bila tetap memakai nama asli kampungnya. Semua hal tersebut membuat warga tidak menginginkan nama Anekng sebagai nama desa dan lebih suka memakai nama Andeng seperti yang diberikan oleh pemerintah. Namun perubahan drastis terjadi setelah PP di desa Andeng.

Bersambung...

Profil penulis :
(*) ANAM, masyarakat dari Kampong Anekng, Desa Andeng, Kecamatan Sangah-Tumila, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Sehari-hari bekerja sebagai petani. Pada tahun 1997, ketika masyarakat kampong Anekng melakukan pemetaan, dia banyak memotivasi masyarakat yang lainnya untuk terlibat dalam kegiatan ini. Dalam hal tulis menulis, ini merupakan pengalaman pertama bagi dia.

sumber : http://www.jkpp.org/

No comments :

Post a Comment

 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube