BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Monday, November 30, 2009

ASAL USUL BATU HARAMUNG

Dahulu kala di sebuah daerah, yaitu daerah Seruyan tengah. Hiduplah seorang manusia yang bernama Jelap, dia hidup sebatang kara. Jelap adalah seorang manusia yang pertama kali mengolah tangga di daerah seruyan tengah tepatnya dikampung Piau. dengan sungguh-sungguh dan tenaga yang kuat, dia membuat tangga karena tenaganya banyak digunakan untuk membuat tangga, Jelap merasa lapar namun dia bingung karena di desa Piau sangat sulit mencari sayuran dan lauk pauk.dalam hati pun Jelap berkata” aku hentikan saja pekerjaan membuat tangga untuk sementara waktu, lebih baik aku berburu babi hutan untuk dimasak hingga tenagaku lebih kuat lagi dan perutku tidak lagi merasa lapar.

Maka pada malam harinya Jelap menyiapkan peralatan-peralatan yang dia perlukan untuk berburu setelah semuanya selesai Jelap pun tertidur dengan perut yang lapar. hingga pada pagi harinya Jelap berangkat dan meninggalkan kampung Piau dengan berjalan kaki. setelah beberapa lama dia berburu babi hutan secara tidak sengaja jelap menemukan kampung bukit lain, Jelap singgah dan bertahan di kampung bukit lain itu sambil menghilangkan lelah karena telah menempuh perjalanan jauh dari kampung Piau hingga sampai ke kampung bukit lain ini. selama Jelap bertahan di kampung bukit lain itu dia menelusuri kampung bukit lain itu, apabila dia lapar dia memakan apa saja yang ada di kampung bukit lain itu, karena selama dia berburu tidak ada seekor babi hutan yang dia dapatkan selama Jelap menelusuri kampung itu secara tidak sengaja jelap melihat seorang wanita yang sangat cantik, Jelap berkata” baru kali ini aku melihat wanita yang sangat cantik, siapakah, dan anak gadis siapakah dia, aku harus bisa memiliki gadis itu.” Jelap selalu memperhatikan gadis itu dan selalu mengikuti ke mana saja wanita cantik itu pergi secara diam-diam. Jelap juga menyelidiki asal usul wanita cantik itu, akhirnya dia pun mengetahui siapa wanita cantik itu sebenarnya ternyata wanita cantik itu” Bunga Desa” kampung bukit lain dan anak manusia harimau yamg sakti dan mengolah perkampungan di bukit lain itu.Perkampungan bukit lain sangat terkenal karena kecantikan anak gadis manusia harimau,anak gadisnya yang bernama Dewi Sekar Wangi selalu menjadi rebutan banyak kaum lelaki yang terpesona dengan kecantikannya.Dewi Sekar Wangi selain cantik,tubuhnya juga sangat wangi.

Dari sekian banyak lelaki yang menyukai Dewi Sekar Wangitak ada satu orang pun yang dia sukai.Hingga pada suatu hari secara tidak sengaja dia bertemu Jelap di sungai,pada saat itu Dewi Sekar Wangi mencuci pakaiannya dan Jelap mau mandi di sungai itu,pandangan mereka saling bertemu,dengan malu – malu Dewi Sekar Wangi menundudukan mukanya dan semburat warna merah muncul dipipinya.Dalam hatinya Dewi Sekar Wangi berkata “ siapakah dia,rupanya sangat gagah,apakah dia seorang pangeran dari khayangan yang sengaja dikirim untukku ‘.Jelap sendiri pun berguman dengan pelan ‘ inilah kesempatan aku untuk mengenal Dewi sekar Wangi”,Jelap berjalan dengan perlahan menghampiri Dewi Sekar Wangi,percakapan mereka berdua terasa kaku,karena sama-sama menahan perasaan malu.

Jelap ; diawali dengan senyum manis “ maaf bila kakanda mengganggu dinda, apakah kakanda boleh menge-nal dinda ?

Dewi sekar wangi ; dengan tersenyum malu-malu “ ada apa gerangan kakanda tiba-tiba ingin mengenal dinda,

jelap ; kakanda dari dulu sudah sering memperhatikan dinda, terus terang dari awal kakanda melihat dinda, kakanda sangat menyukai dinda.

Dewi sekar wangi ; senang sekali dinda mendengar kata-kata kanda, namun dinda baru kali ini melihat kakanda dikampung bukit ini, kalau boleh dinda tau berasal dari kampung manakah kakanda.

Jelap ; kakanda memang baru pertama kali ini berada dikampung bukit ini dan kakanda berasal dari kampung “ piau “ secara tidak sengaja kakanda menemukan kampung ini waktu kakanda berburu mencari babi hutan.
Percakapan keduanya pun berjalan lancar dan penuh keakraban. Hingga Dari perkenalanitu hubungan jelap dengan dewi sekar wangi berlanjut. Setiap hari bila ada kesempatan mereka berdua sering bertemu. jelap dan dewi sekar wangi selalu bersama-sama dan menimbulkan iri dihati banyak lelaki dikampung bukit lain yang menyukai dewi sekar wangi. Perasaan saling menyukai tumbuh diantara jelap dan dewi sekar wangi, akhirnya mereka berdua menjalin hubungan. Jelap ter-buai pada suasana kampung bukit karena ada kekasihnya yaitu dewi sekar wangi yang selalu menemaninya hingga membuat jelap menjadi lupa akan kampungnya di desa piau dan pekerjaannya membuat tangga. Setelah sekian lama menjalin hubungan dengan dewi sekar wangi jelap bermaksud ingin menikahi dewi sekar wangi.Jelap pun menemui ayahnya dewi sekar wangi yaitu manusia harimau.
Jelap ; maaf jika kedatangan saya mengganggu, saya hanya ingin mengatakan Sesuatu hal yang sangat penting.

Manusia harimau ; hal penting apa yang ingin kau katakan padaku ?

Jelap ; ini mengenai anak gadis mu dewi sekar wangi, terus terang selama ini saya menjalin hubungan dengan anakmu dewi sekar wangi, kami berdua saling mencintai, dan saya ingin menjadikan dewi sekar wangi menjadi istri saya. maka dari itulah saya menemuimu ingin meminta restu.

Manusia harimau ; mengangguk-anggukan kepala dan berpikir ; aku tidak
mengenal mu, karena selama ini dewi sekar wangi tidak
pernah bercerita tentang dirimu, bisakah kau sebutkan
asal usul mu dari mana ?

jelap ; saya jelap dan asal saya dari kampung piau, saya sampai disini secara tidak sengaja sewaktu saya melakukan paerjalanan dari kampung piau untuk berburu babi hutan.

Manusia harimau ; o…… tapi saya tidak melihat kamu membawa apa-apa
selayaknya orang ingin melamar anak gadisku.

Jelap ; maafkan kalau saya tidak membawa apa-apa namun hamba janji akan Membahagiakan dewi sekar wangi.

Tiba-tiba dari dalam keluar, karena secara diam-diam dia mendengarkan pembicaraan antara jelap dengan ayahnya. Dewi sekar wangi bersujud dikaki ayahnya.
“ ayahnda restuilah kami berdua, anaknda sangat mencintai dia, apakah ayahndaTidak ingin melihat anaknda bahagia. Manusia harimau terharu mendengarkan perkataan anaknya, namun dia tidak mau begitu saja menyerahkan anak gadisnya kepada jelap, manusia harimau pun berkata :

Manusia harimau ; jelap,apakah kamu ngguh-sungguh mencintai anakku.
Jelap ; ya………. saya bersungguh-sungguh
Manusia harimau ; baiklah, tapi ada syaratnya yang harus kamu lakukan
.jelap ; apa syaratnya ?
Manusia harimau ; kita berdua adu kesaktian, apabila kamu bisa mengalahkan Aku, aku akan merestui kalian berdua, namun apabila kamu tidak bisa mengalahkan aku, lebih baik kamu pergi saja dari kampung bukit ini.
Jelap ; baiklah saya akan terima syarat itu.
Waktu dan tempatnya pun ditentukan oleh manusia harimau. hingga waktu Yang ditentukan telah tiba, manusia harimau dan jelap bersama-sama menuju se-buah bukit yang sangat tinggi, sedangkan dewi sekar wangi dengan perasaan cemas menunggu dirumah. manusia harimau dan jelap sudah samoai puncak bukit. Disana disana manusia harimau dan jelap memulai pertarungan itu, adu kesaktian pun terjadi manusia harimau dan jelap rupanya sama-sama mempunyai kekuatan yang sama hebatnya, hingga pertarungan itu menjadi seru. Dewi sekar wangi yang menunggu dengan perasaan cemas, tidak tahan lagi tinggal dirumah, dewi sekar wangi pun menyusul ayahnya dan jelap kebukit yang tinggi itu, setibanya disana pertarungan antara manusia harimau dan jelap masih berlangsung dan dewi sekar wangi hanya bisa terpaku diam tanpa tahu harus berbuat apa. Dewi sekar wangi sangat bingung , siapa yang mesti dia doakan dan harapkan untuk menang, disatu sisi dia kasihan melihat ayahnya yang rela mengorbankan nyawanya, namun disisi lain dia pun berharap jelap akan menang karena dewi sekar wangi sangat mencintai jelap dan ingin sekali jelap menjadi suaminya. hari mulai sore, akhirnya pertarungan itu selesai dan jelap memenangkan pertarungan itu, manusia harimau mengaku kalah. dia pun menemui jelap dan berbicara mengenai perjanjian itu.
Manusia harimau : jelap, aku mengaku kalah, kau memang lelaki yang hebat, dan aku pun sekarang tenang untuk melepaskan anakku Menjadi istrimu karena aku yakin kau bisa menjaganya Dengan baik.
Jelap : terima kasih,,, saya juga minta maaf, dan bukan maksud ku untuk Pamer kesaktian, namun karena ini jalan satu-satunya agar aku bisa memper istri dewi sekar wangi,
Dewi sekar wangi : dengan tersenyum manis menghampiri ayahnya dan jelap Ayah … maafkan dewi sekar wangi, ini semua gara-gara anaknda .
Manusia harimau : tidak apa-apa nak, ayahnda hanya mau menguji jelap, apakah dia bisa menjaga kamu dengan baik bila kalian hidupbersama nanti. ayah senang melihat kamu bahagia.
Manusia harimau, dewi sekar wangi dan jelap pun pulang karena hari sudah hampir gelap, keesokan harinya manusia harimau mengumumkan kepada penduduk kampung bukit lain kalau dia akan mengadakan pesta perkimpoian anaknya dengan jelap selama tujuh hari tujuh malam. Kemudian manusia harimau memerintahkan orang-orang kepercayaannya untuk menyiap kan perlengkapan dan segala sesuata yang diperlukan untuk pesta perkimpoian itu.
Hari yang ditentukan pun tiba, semua perlengkapan pesta sudah disiapkan,makanan yang dihidangkan bermacam-macam, semua penduduk kampung bukit sebelah diundang pesta perkimpoian jelap dan dewi sekar wangi dirayakan besar-besaran penduduk kampung bukit lain dan kampung sebelah disuguhkan hiburan selama tujuh hari tujuh malam. Dewi sekar wangi dan jelap sangat bahagia………pesta perkimpoian itu selesai dan jelap pun minta ijin kepada manusia harimau untuk mengajak dewi sekar wangi menjenguk kampung halamannya karena jelap teringat akan pekerjaannya membuat tangga yang belum selesai dia kerjakan. Jelap dan dewi sekar wangi pun berangkat menuju kampung piau, sesampainya di kampung piau banyak penduduk kampung piau kaget melihat jelap yang masih hidup dan membawa wanita yang sangt cantik karena selama ini mereka mengira kalau jelap sudah mati dimakan binatang buas saat dia berburu babi hutan.
Dikampung piau setiap hari jelap bekerja menyelesaikan tangga dan dewi sekar wangi dengan setia menemani dan membuat makanan untuk jelap. Hingga tak terasa setelah sekian lama pekerjaan jelap membuat tangga pun selesai, banyak penduduk kampung piau yang memuji pekerjaannya. Dan belajar cara membuat tangga dewi sekar wangi pun senang melihat hasil kerja suaminya banyak disukai orang, namun juga sedih karena dia sudah lama meninggalkan kampung bukit lain, dan dia sangat merindukan ayahnya. Maka Dewi Sekar Wangi pun berbicara pada jelap suaminya :

Dewi Sekar Wangi ; kakanda, tak terasa sudah lama kita tinggal dikampung piau ini, dan adinda sangat merindukan kampung bukit terutama terhadap ayah, apa lagi kita berdua tidak pernah memberi kabar. Dinda khawatir kalau” ayahnda disana sakit-sakitan karena sudah tua,
Jelap kakanda mengerti akan perasaan dinda, baiklah dinda esok pagi-pagi sekali kita akan berangkat kekampung bukit lain, malam ini dinda siapkan keperluan untuk kita berangkat besok pagi.
Dewi sekar wangi ; dengan tersenyum bahagia,,, terima kasih kakanda.

Dewi sekar wangi pun menyiapkan peralatan dan makanan untuk keperluan besok pagi. Setelah itu dewi sekar wangi beristirahat, besok paginya mereka berdua berangkat menuju kampung bukit lain setelah menempuh perjalanan cukup jauh akhirnya dewi sekar wangi tiba dikampung bukit lain dan disambut manusia harimau dengan perasaan bahagia karena sudah sekian lama terpisah dengan anaknya.
Penduduk kampung bukit, gembira sekali mendengar kedatangan dewi sekar wangi apalagi bagi kaum lelaki, karena mereka masih banyak yang suka dan ingin sekali menjadikan dewi sekar wangi menjadi istrinya, walaupun mereka tau kalau dewi sekar wangi sudah menjadi istrinya jelap. diantara banyak lelaki yang menyukai dewi sekar wangi ada seorang lelaki ingin memiliki dewi sekar wangi, dan rela melakukan apa saja agar keinginannya bisa terwujud. Dia adalah manusia harimau yang berasal dari bukit majak, harimau bukit majak menantang jelap untuk adu kesaktian, jelap pun menerima tantangan itu kemudian harimau majak mengajak saudaranya si hantan untuk melawan jelap.
Hari yang ditentukan pun tiba, harimau bukit majak dan saudaranya adu kesaktian dengan jelap pertarungan adu kuat pun terjadi” harimau bukit majak dan saudaranya beradu kekuatan dengan jelap, dan akhirnya pertarungan itu dimenangkan oleh jelap. Harimau bukit majak dan saudaranya marah karena kalah adu kesaktian dengan jelap. Harimau bukit majak pun menendang batu besar dan batu besar itu pun jatuh kesungai hingga batu tersebut diberi nama “
BATU HARAMAUNG “ sedangkan saudaranya yang satu juga yang bernama Hantan juga menendang batu besar dan jatuh kesungai hingga diberi nama batu “HANTAN " ***

Kutipan : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1531511#post73605820




Bookmark and Share

Saturday, November 28, 2009

LEGENDA BUJAKNG NYANGKO (2)

Setelah menjadi manusia biasa, dan tiba didunia ini dari Subayatn Sapangko, Bujakng Nyangko berkunjung ke Kampung Pakana (sekarang wilayah Mempawah Hulu-Landak). Di kampung ini hidup sepasang suami istri, yang tidak mempunyai anak. Suaminya bernama Ne Ragen. Sehari-hari Ne Ragen, keluar masuk hutan untuk berburu. Suatu hari (Sore) Ne’ Ragen menunggu binatang buruannya di bawah sebatang pohon beringin (kayu ara), tiba-tiba ia mendengar suara tangisan bayi di atas pohon tersebut. Suara tangisan itu berasal dari bayi yang mati buyu’ (lahir prematur dan meninggal) . Ne Ragen menjadi iba hatinya ketika mendengar tangisan itu. Lalu ia meletakan peralatan berburunya dan naik di atas pohon kayu ara tersebut dan mengambil anak itu, lalu dibawa pulang dan dipeliharanya hingga menjadi dewasa. Anak itu dinamaninya Doakng.
Setelah cukup umur Doakng disunat ketika selesai disunat Doak berpantang, selama tiga hari tiga malam, ia tidak boleh kemana-mana dan tidak boleh memakanan daging binatang sial seperti pelanduk, kijang, rusa sapi dan kambing, serta beberapa jenis pakis tertentu.
Secara kebetulan pada hari ketiga masa berpantang Doakng, datanglah seorang pemuda Laut Pakana, tetangganya (Melayu, saat ini), bertamu ke rumah Ne Ragen. Doakng kemudian berkata “ pamujakng, kade’ kalaparatn basuman ba ka’ dapur diri dikoa, tapi ame me kita’ nyuman kambing man sapi. Kade’ kita nyuman na’ jukut koa, baik kita suman maan ka’ dapur lain. Kade’ kita na’ ngasiatn kata ku nian awas me kita”(Pemuda, kalau kelaparan masaklah di dapur kita tetapi jangan masak sapi atau kambing. Kalu mau memasak barang (sapi/kambing) itu, sebaiknya di dapur lain, Awas kalian kalau tidak menuruti kataku ini” Setelah berpesan demikian, Doakng tidur dengan tangkitn (senjata khas Dayak Kanayatn) yang teransah tajam terselip dipinggangnya dan disampingnya tergeletak sumpit dengan mata sumpit yang diolesi getah ipuh .
Pemuda Laut tadi ternyata tidak menuruti pesan Doakng, ia memasak daging kambing yang dibawanya dari rumah. Apa yang terjadi kemudian pemuda itu berubah menjadi seekor kambing, dan ketika itupula Doakng terjaga dari tidurnya. Sejenak ia lupa diri lalu menghunus tangkitnnya dan memenggal kepala kambing itu, hingga putus. Ketika sadar Doakng terkejut lalu ia berkata “..koa dah putus unang tage’nyu kambingnya, tapi koa ihan Jubata a, buke’ munuh manusia, aku ga’ munuh laok. Ame ia madi mangka’, babangkawar ka’ aku, jukut ia dah mati dijanjinya, diuntukngnya” ( putuslah kini lehermu hai kambing…tetapi itulah wahai Jubata/Tuhan, aku bukan membunuh manusia tetapi binatang, semoga ia tidak menjadi penyakit, menyentuh dan menurunkan hal yang kotor dalam hidupku, karena ia mati sesuai dengan janji dan takdir hidupnya. Doakng kemudian melaporkan kejadian ini kepada orang tua dan sanak-saudara pemuda tadi. “ mau bagaimana lagi, ia sudah meninggal sesuai dengan takdirnya, kuburlah..” demikian kata keluarga si pemuda malang tersebut.
Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, Doakng minta belajar dan merantau, kepada orang tuanya. Ia kemudian minta dibuatkan kapoa’ bergambar, baju marote (baju tanpa kancing dengan model rompi), otot baukir (tato), jabakng (perisai) dan Tangkitnya. Semula Ne Ragen ayahnya, tidak menyetujui niat anaknya ini, tetapi karena Doakng terus menerus memohon, akhirnya ia diijinkan pergi.
Hari pertama menjelang keberangkatannya merantau Doakng mempersiapkan segala bekal dan perlengkapnnya. Hari kedua ia mato’ (melakukan upacara adat untuk memanggil roh halus/kamang, untuk menyertainya dalam peperangan) minta penyertaan dari Bujang Nyangko, Kamang Lejak dan Kamang Nyado. Rasi (tanda-tanda alam) yang diterimanya setelah mato’ sangat baik, maka ia kemudian berangkat meninggalkan Pakana, subuh, pada hari ketiga. Ia berjalan dan terus berjalan, menuruti langkah kakinya, tanpa tujuan yang pasti. Sesampainya sebuah hutan lebat (udas) ia beristirahat sejenak, lalu membuat jukut diampa’ dan menyampaikan maksud dan tujuannya kepada roh-roh halus penghuni tajur (lereng bukit) gantekng (pertemuan dua dataran tinggi/lembah), bukit yang tinggi, pohon yang besar, seperti ketika ia menyampaikan maksud dan tujuannya pada kamang.
Tidak lama setelah melakukan upacara tadi, disekitarnya terdengar suara krasaak-krusuk yang berasal dari beberapa ekor muis (binatang). Doakng pun bersiul sebanyak tiga kali. Binatang-binatang tersebut kemudian turun ke tanah mencari suara siulan tadi. Doakng kemudian membidikan sumpitnya ke arah seekor muis yang paling dekat dengannya, ia siap menyumpitnya. Tetapi kemudian muis ini tiba-tiba mati. Tidak lama kemudian muncul tiga orang, yang saling berdebat, masing-masing mengakui bahwa dirinyalah yang menyumpit muis tadi. Masing-masing tidak mau kalah “akulah yang menyumpitnya !”. Kata ketiga orang tersebut. Doakng bingung, melihat perdebatan ini. Tetapi akhirnya salah satu dari mereka bertiga, yang ternyata adalah Bujakng Nyangko’ (Kamang yang menjelma menjadi manusia) berkata : “baiklah kita serahkan pada Doakng saja hasil buruan ini, biar dia saja yang memilikinya”.
Setelah mereka bertiga sepakat untuk menyerahkan muis tadi pada Doakng, mereka membuat perjanjian untuk bertemu kembali pada esok paginya di sebuah tempat yang bernama saka tumuk empat (perempatan). “ kade ada nangar tariu tujuh kali, seok tujuh kali dan nguik tujuh kali, ganceh atakng, diri ngayo ka’ Timpurukng Pasuk ka’ Lama Bagenakng, ka’ Jongong, Tanuk Tangoekng, Dapeh Marada’i” ( jika mendengar tariu (teriakan perang) tujuh kali, siluan tujuh kali dan nguik (tiuran suara elang) sebanyak tujuh kali, cepatlah kamu datang kita ngayau di Timpurukng Pasuk, di Lama Bagenakng, di Jongong, Tanuk Tangoekng, Dapeh Marada’i” demikian pesan Bujakng Nyangko pada Doakng.
Keesokan harinya, ketika Doakng mendengar kode yang dijanjikan, ia kemudian bergegas pergi ke tempat pertemuan mereka di Saka Tumuk Ampat. Lalu berempat mereka menuju daerah tempat pengayauan. Tiga hari tiga malam lamanya, akhirnya sampailah mereka di sebuah ladang, musuhnya, secara kebetulan disitu ada banyak orang yang sedang bekerja secara gotong royong (balale’). Diantara orang-orang tersebut satu diantaranya adalah pamaliatn (dukun belian), yang mampu menghidupkan mayat. Kempatnya kemudian berperang melawan orang-orang tersebut dan menang. Diantara seluruh korban, hanya satu yang kepalanya kemudian di bawa yaitu kepala si pamalitan tadi.
Oleh ketiga kamang tadi, Doakng disuruh membawa kepala itu dan berpesan kepadanya, bahwa sebelum sampai di rumah, ia harus tariu, bersiul dan nguik, sebanyak tujuh kali. Jangan masuk ke rumah melalui tangga pintu dapur, jangan menyeruak di bawah jemuran, dan tidak boleh langsung masuk ke ruang tamu. Doakng harus masuk melalui tangga depan, dan berhenti di pante dan menari-nari . Kepala harus diletakan pada pahar tembaga, (tempat khusus yang terbuat dari tembaga untuk meletakkan bahan persembahan), lantai dialas bide (tikar dari anyaman rotan dan kulit kayu), diletakan diatas tempayan jampa berukir (tempayan besar), lalu di pasangi pelita.
Ketika sampai di rumah, Doakng menuruti pesan ini, tetapi lain halnya dengan Nyangko, ia lewat dari tepi Pante, dan menari-nari melewati bawah jemuran, seketika itu juga ia tewas. Jasadnya disemayamkan satu hari satu malam, lalu kemudian di kubur. Pada saat itulah Kamang mengajari Doakng (manusia) berpantak. Pantak ditujukan untuk mengganti orang yang sudah meninggal. Arwah orang yang sudah meninggal itu kelak akan tinggal dalam pantak (patung kayu) yang dibuat.
Kamang Nyado, kemudian mengajari Doakng membuat pantak Kamang Nyangko. Riti tujuh jengkal, kayu besi (belian) diukir dengan riti, didoakan dengan seekor ayam jantan berbulu merah, dibentuk (dipahat) dengan tidak dibolak-balik (posisi tetap), dipahat mulai dari kepala. Syarat (pangkaras) untuk membuat pantak adalah ayam jantan berbulu merah satu ekor, parang, beliung, pahat, besi untuk membuat lobang (bor), paha babi satu ekor (dimbil cuma pahanya, babi jantan yang sudah disepih/bantut), lalu dipersembahkan/disangahatn. Doakng melakukan semua perintah kamang Nyado.
Setelah selesai menguburkan jasad Bujakng Nyangko, Doakng kemudian tariu sebanyak satu kali untuk mencari kayu belian sebagai bahan untuk membuat pantak. Setelah dapat ia membawanya ke rumah dan dipahat di pante selama tiga-tiga malam. Baru boleh dimasukan dalam rumah, menjelang senja. Setelah pantak tersebut dimasukan ke dalam rumah, ia memperlakukannya seperti jasad manusia, dimandikan lalu mengurapinya dengan minyak dan kemudian memberinya makan. Setelah itu ia kemudian membunyikan tetabuhan dari agukng (gong) dan dau (bonang), lalu menari. Pantak tadi tiba-tiba seperti bernyawa, lalu menari-nari bersama Doakng, semalam suntuk.
Setelah semua ini selesai Doakng kemudian, mengajari orang tuanya untuk membuat pantak, dan ketika ayahnya meninggal (Ne Ragen), ia membuat pantak seperti yang dulunya ia buat untuk Kamang Nyangko. Pada saat Doakng menari, dan Pantak itu ikut juga menari, ibunya tidak kuasa menahan sedihnya ketika ditinggalkan suaminya (Ne Ragen), dipeluknya Pantak Ne Ragen yang sedang menari tersebut, lalu diciumnya. Hal itu sesungguhnya tidak boleh dilakukan, tetapi semuanya sudah terlanjur. Pantak yang tadinya bisa menari-nari, kemudian diam dan kembali seperti patung kayu biasa.

sumber : http://yohanessupriyadi.blogspot.com/2009/07/legenda-bujakng-nyangko-2.html


Bookmark and Share

Thursday, November 26, 2009

AMPIT DAN AMPAT


Pada jaman dahulu kala, di pedalaman hutan Kalimantan Tengah khususnya di hutan Murung Raya, hidup berbagai macam jenis binatang. Tapi uniknya, binatang-binatang ini bisa berbicara layaknya manusia biasa.

Seperti yang dikatakan di atas, hiduplah burung pipit yang bernama Ampit. Burung pipit ini berjenis kelamin perempuan dan pada masa itu sudah beranjak dewasa. Kehidupan burung pipit ini sangat memprihatinkan, dimana burung ini hidup seorang diri, mencari makan sendiri bahkan membuat sarangpun sendirian saja. Burung pipit ini sangat tertutup sekali, diaman dia jauh dari kampung binatang-binatang yang ada di hutan tersebut. Burung pipit ini sebenarnya ingin sekali hidup di tengah-tengah masyarakat hutan, tapi sayangnya dia tidak berani karena bulunya sangat jelek tanpa corak sedikitpun.

Pada suatu waktu, pada saat burung pipit ini menanam benih padi di ladangnya, datanglah seekor burung pipit yang lain, diaman bulunya sangat elok sekali. Burung pipit ini adalah seorang pengelana, yang tujuan utamanya adalah mencari jodoh. Burung pipit jantan ini bernama Ampat. Saat pertama bertemu, Ampit merasakan ada sesuatu yang lain dihatinya, begitu juga si Ampat tidak jauh berbeda dengan si Ampit. Beberapa saat kedua burung ini saling terpaku, tanpa kata dan suara, hening . . . !!

Dengan penuh senyum dan keramahan, si Ampat menyapa si Ampit dengan tutur kata yang lemah lembut. Ampat menjelaskan kepada si Ampit bahwa dia sudah lapar karena sudah 2 hari tidak makan. Maka, Ampitpun membawa si Ampat ke sarangnya untuk menyiapkan makanan dan minuman. Pada malam harinya, si Ampat bertanya kepada si Ampit tentang kehidupannya, dan juga tentang kesehariannya. Mungkin karena merasa cocok, pada pagi harinya burung pipit berdua ini mendatangi “Damang” yang ada di hutan itu. Pada waktu itu, jabatan Damang di pegang oleh kancil. Setelah dilakukan musyawarah oleh seluruh warga hutan, maka ditentukanlah hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan Ampit dan Ampat ini.

Sampailah pada hari yang ditentukan, seluruh warga hutanpun berdatangan ke rumah si Kancil untuk merayakan perkimpoian Ampit dan Ampat. Pada saat jamuan makan, semua para undanganpun duduk dengan rapi. Saat Beruang ingin mengambil makanan tersebut, semuanya memarahi Beruang. Karena tangan dan kuku beruang hitam dan panjang, maka si Beruang ini pun disuruh untuk mencuci tangannya di belakang. Setelah selesai mencuci tangannya, Beruangpun datang untuk mengambil makanan. Tapi lagi-lagi tangannya di pegang oleh kera, dan disuruh lagi mencuci tangannya ke belakang. Begitu terus terjadi, sampai-sampai makanan dan minuman habis tak ada sisanya. Beruang pun sangat sedih dan berlari ke dalam hutan sambil menangis, Beruang sangat dendam kepada semua penghuni hutan karena Beruang menganggap semuanya pelit dan tidak senang dengan dirinya.

Supaya permasalahan ini tidak berlanjut lagi, maka datanglah Damang ke sarang Beruang beserta seluruh penghuni hutan untuk meminta ma’af dan juga menjelaskan duduk permasalahannya. Damang dengan penuh kharisma dan juga berwibawa menjelaskan kepada Beruang, bahwa anggapan yang ditujukan kepada mereka semua itu tidak benar. Init permasalahannya adalah bahwa kuku dan tangan Beruang itu tidak bisa putih, sedangkan mereka semua tidak tahu bahwa tangan dan kuku Beruang itu tidak bisa menjadi putih. Karena memang dari sananya Beruang itu berwarna hitam dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ini semua adalah kesalahpahaman, antara Beruang dan warga hutan. Setelah mendengar itu semuanya, Beruang pun sadar dan tidak sakit hati lagi. Dengan penuh senyum, Beruang pun menjabat tangan semua warga hutan dan juga memaafkan semuanya.

Kita kembali kepada Ampit dan Ampat. Setelah perkimpoian itu, pulanglah mereka berdua ke sarangnya. Keseharian mereka berdua adalah bercocok tanam dan juga membuka lahan baru. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan berdua, pasangan burung pipit ini pun merindukan anak yang manis dan imut. Maka, pamitlah Ampat kepada istrinya untuk bertapa ke gunung Bondang. Istrinya tidak bisa menahan si Ampat, karena tekat suaminya sudah bulat dan tak dapat diganggu gugat lagi. Dengan berurai air mata, Ampit pun melepaskan kepergian suaminya dengan hati yang berat.

Beberapa tahun berselang, bertelurlah si Ampit ini. Tapi anehnya, telur yang keluar itu hanya sebuah saja. Dengan penuh kasih sayang, si Ampit menjaga telur ini dengan kesabaran dan juga penuh dengan kelembutan. Karena dia hanya seorang diri, tidaklah mungkin dia akan terus menjaga telur itu terus menerus. Apalagi di lumbung tempat penyimpanan padi sudah menipis, maka dengan berat hati si Ampit ini berangkat ke ladang untuk menanam padi. Pada sore harinya, Ampit pulang ke sarang untuk menyiapkan kebutuhan telurnya ini. Tapi Ampit terkejut, karena di dalam sarangnya itu sudah tidak ada telurnya. Dengan hati yang sedih dan remuk redam, terbanglah Ampit ke rumah Damang untuk menceritakan kejadian ini. Setelah Damang mendengarkan semua cerita Ampit, maka dikumpulnya semua penghuni hutan.
Alangkah herannya Damang ini, setelah di teliti lebih lanjut hanya ular saja yang tidak datang. Maka Damang dengan seluruh warga hutan pun segera berangkat ke sarang ular, sesampainya di sana Damang lalu bertanya kepada si Ular kenapa tidak datang ke rumah si Damang. Jawaban ular sangat singkat sekali, bahwa dia letih san kekenyangan sehingga tidak sanggup untuk berjalan ke rumah Damang. Damang dan warga lain menjadi curiga karena di sekitar ular itu tidak ada bekas darah, ataupun bulu dan tulang mangsanya. Maka Damang langsung bertanya kepada si Ular ini, apakah betul dia yang menelan telur burung pipit ? Ularpun langsung marah dan menyangkal ini semua, dihamburkannya bisa kepada Damang dan warga hutan. Karena mereka terancam, maka larilah semuanya keluar dari sarang Ular tersebut.

Melihat semua kejadian itu, menangislah burung pipit ini. Saat setelah air matanya jatuh, maka jadilah air setelah sampai permukaan tanah. Saat air matanya jatuh lagi, air di permukaan tanah tadi menjadi empat jengkal tingginya. Begitu seterusnya, sampai ular tersebut pun tenggelam dan mati. Setelah air surut, Ular tersebut sudah hancur, hanya tertinggal telur burung pipit yang tertinggal di perutnya. Dengan hati yang riang gembira, Ampit pun dengan sigap mengambil telurnya dan membawanya ke sarang. Mulai saat itu, Ampit selalu menjaga telurnya itu dengan penuh waspada. Karena dia tidak ingin kejadian yang serupa akan terulang kembali, cukuplah ini semua menjadi pengalaman yang berharga. Supaya lebih menyayangi dan lebih mendalam lagi arti dari hangatnya kasih sayang yang sebenarnya.

Beberapa bulan kemudian, menetaslah telur tersebut. Maka pecahlah tangis anak Ampit tersebut oleh karena lapar, terbanglah si Ampit ke lumbung padi untuk mengambil beras. Tapi sayangnya, semua sudah habis tak ada sisanya. Maka Ampitpun membujuk anaknya untuk diam, dan pergilah si Ampit ini ke ladang untuk memanen padi. Tidak lama kemudian, menangislah anak Ampit ini sambil berkata “plit-plit inai, aku bo jeer kuman ongku” yang artinya adalah aku ingin makan beras. “Sabar nak, sabar” jawab si Ampit ini. Tidak lama kemudian, pulanglah si Ampit ini ke sarangnya dengan membawa beras. Sesampainya di sarang, dengan penuh kasih sayang di berikannya beras tersebut kepada anaknya. Karena terlalu banyak anaknya memakan beras tersebut, maka bengkaklah perut anak Ampit ini. Tiap hari tiap malam selalu menangis, karena perutnya sakit sekali. Oleh karena itu, maka berangkatlah si Ampit ini ke rumah Damang untuk meminta tolong menyembuhkan penyakit anaknya.
Setelah ditentukan harinya, maka berangkatlah Damang beserta warga hutan lainnya ke sarang Ampit. Maka dilakukanlah Balian dengan Wasirnya adalah kancil, tidak lama kemudian sembuhlah anak Ampit ini. Setelah Balian tersebut selesai, maka kumpulah semuanya untuk makan. Saat semua sedang makan, datanglah seekor Anjing ke rumah si Ampit. Maksud hati ingin melihat Balian, tapi sayang sudah terlambat. Saat Anjing naik ke sarang Ampit, seluruh binatang yang ada di dalam tertawa terbahak-bahak. Anjing menjadi bingung dan heran, dan Anjingpun ikut-ikutan tertawa walaupun dia tidak tau apa yang sebenarnya ditertawakan teman-temannya. Karena merasa kasihan kepada si Anjing ini, maka berbisiklah Kancil bahwa yang mereka tertawakan adalah dirinya sendiri karena dirinya telanjang dan semua alat kemaluannya kelihatan. Mendengar semua itu, maka marahlah Anjing tersebut. Dikejarnya semua binatang dan diobrak-abriknyalah semua sarang binatang hutan yang lain. Sa’at Anjing itu mengejar Kancil, maka di sumpahinyalah Anjing tersebut. Setiap yang namanya Anjing pada sa’at mengejar kancil pasti akan mati, karena anjing tidak tau yang namanya balas budi dan berterima kasih.

Beberapa tahun kemudian, pulanglah si Ampat dari gunung Bondang habis bertapa. Betapa senang hatinya sa’at bertemu istri tercintanya dan juga bertemu anak kesayangannya walaupun baru pertama kali dilihatnya. Merekapun hidup bahagia sampai akhir hayatnya.

Oleh : TuaGila
Aktivis Reg. Kalimantan Tengah

Kutipan : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1531511#post73605820






Bookmark and Share

Wednesday, November 25, 2009

Tamanggung Amai Rawang Manajah Antang

Legenda Tamanggung Amai Rawang Manajah Antang, merupakan legenda di Desa Upun Batu atau Tumbang Manange di hulu Kahayan yang menceritakan berdirinya Kuta atau Benteng diatas Batu Suli Puruk Tamanggung.
Diceritakan, pada suatu hari, disaat semua orang di Desa Upun Batu atau Tumbang Manange sedang berada di ladang karena pada saat itu memang sedang musim panen, tanpa disangka datanglah segerombolan Kayau dari suku Ot menyerang desa tersebut.
Disaat serangan terjadi, yang ada hanyalah beberapa orang kaum perempuan yang sedang mencuci pakaian dipinggir sungai Kahayan. Salah satunya adalah Nyai Inai Rawang istri dari Toendan yang bergelar Tamanggung Amai Rawang.
Akibat serangan tersebut, banyak yang mati, terluka maupun melarikan diri. Disaat Tamanggung Amai Rawang beserta adiknya Tewek yang bergelar Singa Puai pulang dari ladang, terkejutlah mereka melihat keadaan yang telah terjadi.
Maka disuruhnyalah Singa Puai untuk memanggil kembali kakak mereka yang tertua yang bernama Ucek beserta semua orang yang sedang bekerja diladang untuk mengadakan pembalasan.
Namun malang, ternyata gerombolan Kayau tersebut setelah menyerang kaum perempuan yang ada di Desa Upun Batu atau Tumbang Manange, mereka juga datang menyerang orang-orang yang sedang bekerja diladang, sehingga banyak mati dan terluka parah.
Dan sebelum gerombolan Kayau tersebut pulang, mereka sempat berpesan bahwa dalam tempo tujuh hari lagi mereka datang kembali.
Bila warga desa Upun Batu atau Tumbang Manange ingin selamat, mereka harus menyerahkan harta kekayaan mereka dan rela dijadikan budak.Namun bila mereka tidak mau menyerahkan harta benda, maka mereka akan dibunuh semuanya. Sebagai tanda ancaman tersebut, tertancaplah sebuah Sampalak, yaitu tanda bahwa daerah tersebut akan diserang atau di Kayau.
Kini tinggallah Tamanggung Amai Rawang beserta saudara-saudaranya dan segelintir warga desa yang tersisa, duduk termenung memikirkan bencana yang baru saja menimpa mereka. Ingin mengadakan pembalasan, apa daya kekuatan sudah tidak ada lagi.
Sehingga akhirnya muncullah ide untuk Manajah Antang, yaitu upacara memanggil burung Elang yang diyakini sebagai wujud penjelmaan dari para Antang Patahu, yaitu roh-roh leluhur yang bertugas sebagai dayang penunggu wilayah untuk meminta petunjuk dan pertolongan.
Tidak beberapa lama, upacara Manajah Antang pun dilakukan. Berdasarkan petunjuk yang diberikan oleh para Antang Patahu, bahwa Tamanggung Amai Rawang haruslah mendirikan kuta ataupun benteng diatas bukit batu yang terletak di tengah sungai, berseberangan dengan desa Upun Batu atau Tumbang Manange.
Apabila musuh datang dari arah matahari terbenam, maka mereka harus lari, sebab menandakan mereka akan kalah. Namun bila musuh datang dari arah matahari terbit, itu berarti mereka akan menang.
Dan Tamanggung Amai Rawang tidak boleh mencabut senjata mandaunya untuk menghalau musuh. Ia cukup duduk diatas gong sambil menonton apa yang terjadi, sebab para Antang Patahulah yang akan berperang baginya.
Ternyata, pada hari yang telah ditentukan, datanglah gerombolan Kayau untuk menyerang kembali Desa Upun Batu atau Tumbang Manange. Mereka datang dari arah matahari terbit dengan tampang yang ganas.
Namun sebelum mereka dapat menyentuh Tamanggung Amai Rawang, mereka sudah berjatuhan karena diserang oleh para Antang Patahu. Gerombolan Kayau tersebut takluk dan bersedia menjadi pengikut dari Tamanggung Amai Rawang.
Desa Upun Batu atau Tumbang Manange, akhirnya menjadi aman tentram kembali seperti dahulu kala berkat pertolongan para Antang Patahu yang adalah pengejawantahan dari pertolongan Tuhan Yang Maha Esa sebagai wujud jawaban dari upacara Tamanggung Amai Rawang Manajah Antang.

Oleh : TuaGila
Aktivis Reg. Kalimantan Tengah

sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1531511#post73605820




Bookmark and Share

Pertempuran Di Pulau Kupang

Oleh : Tjilik Riwut

Alkisah Temanggung Sempung sudah mengambil Nyai Nunjang menjadi istrinya dan di anugerahi seorang putri yang diberi nama Nyai Undang, seorang putri yang sangat cantik parasnya, seperti dewi turun dari kayangan. Maka Temanggung Sempung bermaksud akan mengambil Sangalang anaknya Mereng cucu dari Karangkang menjadi menantunya.

Maka tersiarlah kabar dimana-mana akan kecantikan Nyai Undang itu, dan berita itu pun sampailah kepada Raja Laut namanya Sawang. Maka datanglah Raja Sawang dengan balatentaranya, dengan maksud untuk mengawini Nyai Undang tersebut. Dan dia berjanji dengan semua balatentaranya, jika maksudnya untuk mengawini Nyai Undang itu tidak diterima, maka dia akan mengumumkan perang dengan kota Pulau Kupang itu.

Singkat cerita, dengan di iringi tempik sorak dan teriakan dari para pengiringnya, maka sampailah Raja Sawang di istana Nyai Undang tersebut. Tetapi malang akan tiba, waktu Raja Sawang akan melangkahkan kaki nya diatas Kayu-Nyilu dipintu gerbang istana, maka Raja Sawang terus jatuh, lemah lunglai segala sendi anggota tubuhnya, seperti orang yang tidak bertenaga lagi. Melihat akan hal yang demikian itu maka Nyai Undang lalu mengambil Dohong รข€ล“Raca Holeng Joha, Kahajun Duun Suna Taja Panulang Karing, Hitan Iung Pundan, Sanaman Mantikei dari hulu Katingan Kuman Rahaรข€�. Oleh karena Sawuh (mengamuk) Nyai Undang terus turun mengamuk, semua balatentara Raja Sawang yang ada di Banama dibunuhnya. Balatentara Raja Sawang menderita kekalahan dan menyerah. Dan mereka yang hidup dijadikan tawanan dan dijadikan jipen atau budak beliannya.

Dari rakyat Raja Sawang dan Raja Nyaliwan (Raja Utara) yang masih hidup ada beberapa orang yang masih dapat melarikan diri dan membawa kabar tentang jalannya pertempuran. Setelah mendengar kabar inilah maka seluruh rakyat Raja Sawang berjanji akan menuntut balas untuk kematian Rajanya. Semua balatentara Raja Sawang yang menjadi tawanan tadi akhirnya kimpoi mengawin dengan suku dayak, sehingga mereka menjadi satu turunan yang besar yang akhirnya juga menjadi nenek moyang dari suku bakumpai ialah Tamanggung Pandung Tandjung Kumpai Dohong, dari suku barangas ialah Suan Ngantung Rangas Tingang, dari suku alalak ialah Imat Andjir Serapat.

Kabar bahwa Kerajaan Raja Sawang akan menyerang kota Pulau Kupang sampai pula ke Nyai Undang. Maka Nyai Undang mengirimkan utusannya ke Tumbang Pajangei. Dan bersama dengan utusannya itu dikirmkannya pula sebatang Lonjo Bunu atau tombak Bunu sebagai surat. Pesannya itu dikirimkannya kepada Rambang, Ringkai, Tambun, Bungai di Tumbang Pajangei. Yang mana maksud dari Tombak Bunu itu adalah meminta bala bantuan untuk berperang.

Dengan tidak berpikir panjang dan membuang-buang waktu lagi Rambang, Ringkai membawa Temanggung Bungai Andin Sindai anak Temanggung Sempung yang paling berani dan gagah perkasa, serta Raja Tambun Tandjung Ringkin Duhong anak Serupoi. Keduanya adalah pahlawan yang pangkamenteng pangkamamute. Karena kedua pahlawan ini belum pernah satu kalipun mengalami kekalahan.

Adapun nama-nama para panglima yang turut serta untuk membela Pulau Kupang adalah:
1. Njaring anak Ingoi dari Hulu Miri
2. Bungai anak Ramping dari Tumbang Miri
3. Temanggung Kandeng keponakan Piak Batu Nocoi Riang Naroi
4. Isoh Batu Nyiwuh
5. Etak kampong Tewah
6. Temanggaung Handjungan dari Sare Rangan
7. Temanggung Basi Atang dari Penda Pilang
8. Temanggung Sekaranukan dari Tumbang Manyangen
9. Temanggung Renda dari Baseha
10. Temanggung Rangka dari Tumbang Rio
11. Temanggung Kiting dari Tanjung Riu
12. Temanggung Lapas dari kampung Baras Tumbang Miwan
13. Temanggung Basir Rumbun dari teluk Haan
14. Temanggung Hariwung dari Tumbang Danau
15. Temanggung Dahiang bapa Buadang dari Sepang Simin
16. Temanggung Ringkai dan Tombong dari Tangkahen
17. Temanggung Uhen dari kampung Manen
18. Temanggung Kaliti dari Rawi
19. Rakau Kenan dari Tumbang Rungan
20. Temanggung Kandang Henda Pulang dari Sugihan (Guhong)
21. Temanggung Andin dari Pulau Kantan

Tiada berapa lamanya berkat kerjasama dan saling mengerti satu akan yang lainnya, maka siaplah kota itu lengkap dengan persenjataannya. Dan diberilah nama oleh mereka akan kota itu รข€ล“Kota Pematang Sawangรข€� yang selalu siap sedia menerima kedatangan musuh. Istana tempat Nyai Undang dikepalai oleh Temanggung Rambang. Semua Panglima Perang dari sungai Barito, Kapuas, Kahayan, Katingan , Seruyan telah berkumpul didalam kota itu. Semua menjadi satu dengan tekad dan satu dasar ialah kerjasama yang erat. Tidak berapa lamanya, musuh(asang) pun datanglah. Jumlah Asang yang datang itu kurang lebih 10.000 orang banyaknya.

Sebelum peperangan dimulai maka Temanggung Rambang dan Temanggung Ringkai menenung sambil menyanyi. Maka dengan tiba-tiba datanglah burung Elang dan memberi tanda menang. Dengan tidak takut akan maut, mereka melawan dan menyerang musuh yang jauh lebih besar jumlahnya dari mereka. Dengan alat-alat senjata yang ada dan segala pusaka dari nenek moyang suku Dayak pertempuran berlangsung dengan seramnya. Darah mengalir dari tubuh balatentara musuh yang mati, membasahi tanah dan menjadikan air sungai berubah menjadi merah warnanya. Tetapi Panglima-Panglima suku Dayak semuanya tidak ada satu orang pun yang luka atau mati terbunuh oleh senjata musuh, karena mereka memakai pusaka dari Ranying.

Melihat akan ketangkasan serta keunggulan dari balatentara Nyai Undang yang pantang mundur itu, maka akhirnya mereka menyerah dengan marup. Di dalam peperangan yang demikian sengitnya itu, Temanggung Rambang lah yang sangat berjasa karena dia dapat memotong kepala asang tersebut. Semua kepala pasukan musuh mati terbunuh.

Setelah peperangan selesai maka di adakan lah pesta besar untuk memalas Temanggung Rambang dengan darah ayam, babi, sapid an darah orang yang dibunuhnya tadi, supaya tidak tulah karena demikianlah Adat Dayak. Selagi mengadakan pesta itu semua utusan suku Dayak dari seluruh Kalimantan di undang. Dalam pesta itu sudah berkumpul lebih kurang 35 wakil suku Dayak. Yang nama-namanya ada tertulis sebagai berikut:
1. Manan dari hulu Kahayan
2. Londoi dari Tabahoi
3. Djato dari Bahoi
4. Ibong dari Buit Kalimantan Utara
5. Ikuh dari Tinggalan (Tidong)
6. Tingang dari Bukat (Dayak Bukat)
7. Kuit dari hulu Rundit Bt Lupar
8. Parekoi dari Serawai
9. Tunda Luting dari Samba Katingan
10. Dekoi dari Malahoi
11. Unei dari dayak Sahiei
12. Tamban dari Katingan
13. Mahat dari Mahalat
14. Etas dari hulu Kapuas
15. Dalong dari Hampotong
16. Umbing dari Manuhing
17. Tukoh dari Mamaruh
18. Gana dari Mentaya
19. Nuhan dari Saruyan
20. Bakan dari Rungan
21. Sindi dari Miri
22. Bahon dari Bahaun
23. Sawang dari Siang
24. Djohan dari Taran
25. Sota Munan dari Maanyan
26. Pahan dari Kalangan
27. Sakai dari Serawai
28. Manoui dari Rakaoi
29. Punan dari Heban
30. Hinan dari Dusun
31. Djaman dari Kabatan
32. Ritu dari Uru
33. Lati dari Pari
34. Nanau dari Lamandau

Setelah selesai pesta tadi maka sampailah giliran pesta besar lagi untuk mengawinkan Temanggung Sangalang dengan Nyai Undang di Pematang sawang Pulau Kupang. Dan selain itu Mangku Djangkan membikin pesta besar di Pulau Kantan mengawinkan Njaring anak Ingoi dengan Manjang anak Mangku Djangkan, pesta itu tujuh hari tujuh malam lamanya.

Sedikit catatan tentang Pulau Kupang Pematang Sawang. Kota ini turun temurun berganti-ganti orangnya yang menjadi Raja disitu. Dan kotanya juga sering berganti. Hanya dalam tetek tatum tidak diceritakan tentang perubahan kota itu. Jaman sekarang di tempat itu ada terdapat meriam dan bekas peninggalan-peninggalan. Ditempat itu juga sudah diadakan parit yang di namai Terusan Bataguh. Hingga sekarang sering disebut kota Bataguh. Kayu-kayu ulin yang menjadi tiang dan tembok kota itu luasnya tidak kurang dari 5 kilometer persegi. (sumber : Kalimantan Membangun Karya Tjilik Riwut)







Bookmark and Share

Tuesday, November 24, 2009

Asal Usul Tana Malai Tolung Lingu Dikatakan Juga Petak Malai Buluh Merindu


Legenda ini berasal dari daerah Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu. Tepatnya di daerah penduduk atau Desa Tumbang Topus kecamatan sekarang ut Murung dan di daerah penduduk kampung Talung Nyaling. Konon ceritanya Tana Malai Tolung Lingu ini asal mulanya ada di tanah Kayangan atau Danum Songiang.
Di tanah kayangan telah hidup dua orang perempuan yang sangat cantik yang bernama Bura dan Santaki ceritanya pada suatu hari kedua perempuan cantik ini turun kedunia atau anak Danum Kolunon untuk melihat dan mengamat-ngamati keadaan yang ada di anak Danum kolunon. Ketika sedang berjalan kedua perempuan cantik ini melihat bahwa di dunia atau anak Danum kolunan banyak sekali tempat-tempat yang sepi tidak ada sama sekali penghuninya. Sedang ketika kedua perempuan itu berjalan lagi ia melihat bahwa ada sekelompok manusia atau kolunon yang mendiami tempat tersebut.
Dalam hati kedua perempuan cantik itu bertanya kenapa di dunia manusia banyak sekali tempat-tempat sunyi dan sepi tidak ada penghuninya. Maka bersedihlah hati kedua perempuan yang bernama Bura dan Santaki itu. ketika kembali lagi ketanah kayangan, siang dan malam kedua perempuan itu merenungkan apa yang harus mereka perbuat. Supaya di dunia tidak ada lagi tempat sepi yang tidak ada penghuninya. Setelah berhari-hari kedua perempuan cantik itu memutuskan untuk menurunkan “Tana Malai Tolung Lingu tau petak Malai Buluh Merindu ke dunia atau anak Danum Kolunon sebagai songkolasan-songkolimo anak kolunon di muka bumi atau pindah ondou.Konon ceritanya Tana Malai Tolung Lingu adalah benda keramat milik manusia di tanah kayangan.
Tana Malai atau petak malai adalah tanah yang bertahun-tahun dikumpulkan oleh burung elang dari seluruh penjuru alam dimana ia pernah singgah. Tana Malai ini dikatakan tanah keramat, tanah ini menempel atau melekat pada kaki burung elang pada saat ia menempel atau melekat pada kaki burung elang pada saat ia terbang kea lam bebas dan pada saat kembali tanah itu akhirnya menumpuk dan akhirnya menjadi tempat burung elang itu tinggal atau menjadi tempat sarangnya.
Tana Malai itu berbau harum dan berwarna kuning keemasan. Konon cerita Tana Malai ini mempunyai kekuatan mistik yang bisa memikat siapapun yang pernah menyentuh tanah tersebut.
Seperti halnya burung elang, walau kemanapun ia pergi atau seberapa jauh burung elang itu pergi, burung elang akan berusaha kembali kesarangnya, yang dikarenakan pengruh dari Tana Malai atau Petak keramat tersebut yang menempel pada kakinya dan kemudian menjadi tempat sarangnya. Sedangkan Buluh merindu adalah bambu.
Pada suatu hari di tanah kayangan kedua perempuan cantik “ Bura dan Santaki pun menurunkan ke dunia atau pindah Ondou atau anak Danum kolunon Tana Malai Tolung Lingu atau petak Malai Buluh Marindu”. Bura Hoburup atau ngipas pertama Tana Malai Tolung Lingu atau menurunkan Tana Malai Tolung Lingu ke dunia yang jatuh tempatnya di Gunung Pancung Ampang Hulu Barito. Selatan itu yang kedua Santaki Hoburuh atau ngipas atau menurunkan Tana Malai Tolung lingu yang jatuh di Gunung Bondang tepatnya di hulu Sungai Laung Tana Malai Tolung lingu atau petak Malai Buluh Marindu ini telah ditemukan oleh orang di dunia atau anak kolunon panda ondou.
Tana Malai Tolung Lingu atau petak Malai Buluh Marindu ini di temukan oleh penduduk wilayah Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu yang berada di daerah pedalaman sekitar tahun 1720 dan 1721.
Sekitar tahun 1720 Nyahu bin Sangen dan Conihan penduduk yang pertama kali menemukan Tana Malai Tolung Lingu. Kedua orang ini masing-masing merupakan penduduk kampung suku siang Kono atau Desa Tumbang Topus kecamatan sekarang ut murung.
Keadaan penduduk suku siang kono pada waktu itu sangat primitive sekali baik cara berpakaian bahkan kondisi keberadaan mereka. Penduduk suku kono terkenal dengan daun telingga mereka yang lebar dan panjang yang disebabkan oleh benda-benda berat yang sengaja digantung pada dan telingga mereka sebagai anting agar tampak cantik bagi kaum perempuannya. Benda-benda itu berupa kayu, atau tulang-tulang binatang atau emas atapun perak. Hal tersebut sudah menjadi tradisi turun-menurun dari nenek moyang mereka selain itu penduduk kampung suku kono pada zaman dahulu tidak mengunakan bersama selayaknya manusia pada zaman sekarang.
Tetapi mereka hanya mengunakan penutup badan yang tebuat dari serat-serat kayu disebut juga dengan enah yang hanya digunakan untuk menutupi tubuh di daerah sekitar kemaluannya.
Kehidupan penduduk suku kono pada saat itu hanya mengandalkan mata pencaharian berburu dan bercocok tanam secara berpindah-pindah
Pada tahun 1720 penduduk Suku Siang Kono yang bernama Nyahu Bin Sangen dan Conihan melakukan perjalanan untuk mencari sarang Burung ke Liang Gunung pancung Ampang yang tepatnya berada di antara Hulu Sungai Karamu dan Sungai Busang dan juga Hulu Sungai Chan anak Sungai Mahakam mati yang terdapat di Gunung Pancung Ampang yang di namai Cahai Uhai. Di puncak Gunung Pancang Ampanglah Nyahu Bin Sangen dan Conihan berusaha untuk mencari Tana Malai di sekitar Gunung Pancung Ampang itu kedua orang penduduk suku kono impun menemukan juga Tana Malai atau petah malai di lereng gunungPancung Ampang yang terdapat pada dinding atau batu lereng gunung ampang tersebut.
Untuk dapat mengambil Tana Malai, Nyahu Bin sangen dan Conihan terlebih dulu mengambil Tolung Ling yang telah mereka temukan. Kemudian barulah Nyahu Bin Sangen dan Conihan dapat mengambi Tanah Malai dengan Tolung Lingu mereka berdua mengambil Tana Malai dengan cara menyambung-menyambungkan Tolung Lingu dan dengan bagian ujung atas bambu Tana Malai diambil. konon cerita Tana Malai di ambil dengan mengunakan Tolung Linggu dikarenakan jarak antara Tana Malai berada di tempat tinggi di atas permukaan tanah tempat Nyahu Bin Sangen dan Colihan berdiri sehingga mereka mengunakan tolung lingu yang disambung-sambungkan hingga menjadi panjang dan juga dikarenakan Tana Malai tidak dapat sembarang di sentuh oleh orang. Tana Malai di ambil dengan bambu atau tolung Lingu dan masuk ke dalam Tolung Lingu atau bambu tesebut melalui bagian ujung atas bambu.
Ketika telah menemukan Tana Malai Tolung Lingu, Nyahu Bin Sangen memutuskan untuk kembali ke kampungnya untuk menceritakan kejadian itu kepada penduduk kampung mereka. Setelah melalui perjalanan yang Nyahu Bin Sangen dan conihanpun akhirnya sampai di kampungnya
Kedua orang ini segera menceritakan perihal penemuan mereka tersebut kepada Tua-tua adat dan penduduk lainnya kemudian Tana Malai Tolung Lingu atau petak Malai Buluh Merindu bagi Suku Siang Kono dijadikan Songkolasan-Songkolimo atau pemikat atau penakluk hati. Konon ceritanya setiap orang asing atau tamu yang datang ke Hulu Barito, kalau mereka mandi atau minum air sungai barito mereka akan merasa lingo-lingo atau rasa ingin pulang kembali ke tempat asaalnya akan ditunda-tunda atau nanti-nanti saja dalam hatinya pada akhirnya tidak jadi pulang kembali ketempat asalnya tetapi akan kimpoi dan hidup menetap atau tinggal di Hulu Barito bersama dengan penduduk asli suku siang, punan, panyawung, ut Danum dan lain-lain. Sebab itu di Hulu Barito sekarang banayak sekali suku pendatang yang menetap disana.
Kemudian pada tahun 1721 Tana Malai Tolung Lingu telah di temukan oleh penduduk suku Siang Murung kampung Taluu Nyaling yang bernama “Nyaman” dan “Talawang Amai Meteh”. Tana Malai Tolung Lingu di temukan di gunung Bondang tepatnya di hulu sungai laung.
Kedu orang ini berjalan ke gunung Bondang, bermaksud untuk balampah atau bersemedi guna mencari alamat atau petunjuk yang baik agar memperoleh hidup sukses. Setelah melakukan perjalanan yang cukup dari kampungnya berhari-hari, kedua orang itu pun’ Nyaman dan Talawang Amai Meteh “akhirnya sampailah pada puncak gunung Bondang yang paling tinggi di antara gunung-gunung yang ada di daerah tersebut atau daerah murung Raya taua Puruk Cahu sekarang. Gunung Bondang yang paling tinggi itu disebut Lapak Pati.
Ketika Nyaman dan Talawang Amai Meteh telah berada di puncak Gunung Bondang di jumpailah Tolung lingu yang hidup di pncak Gunung Bondang tersebut. Kemudian mereka berdua mengambil Tolung Lingu dan mencari Tana Malai petak Malai dan akhirnyapun “Nyaman dan Talawang Amai Meteh” mendapatkannya.
“Nyaman dan Talawang Amai Meteh” telah menemukan Tana Malai buluh merindu sehingga mereka berdua memutuskan untuk membatalkan keinginan mereka untuk balampah atau bersemedi tetapi memutuskan untuk kembali ke kampung mereka kedua orang penduduk Suku Siang Murung ini melakukan perjalanan kembaali dengan melewati hutan belantara dan semak belukar dengan waktu yang berhari-hari. Sesampainya di kampung kedua orang itu menceritakan tentang Tana Malai Tolung Lingu yang telah mereka temukan kepada Tua-tua adat dan penduduk kampung mereka.
Tana Malai Tolung Lingu atau Petak Malai Buluh Merindu itu dijadikan Songkolasan-songkolimu penduduk Suku Siang Murung. Maka sebab itu kalau ada orang pendatang atau tamu yang mandi dan minum ari Sungai Laung, lalu merasa lingo-lingo atau lupa-lupa ingin pulang atau kembali ke daerah asalnya dan akhirnya menetap kimpoi dan menetap bersama penduduk asli di Hulu Sungai Laung yang sekarang menjadi Bumi Tana Malai Tolung Lingu Kabupaten Murung Raya.
Sampai pada saat inipun legenda ni masih di percaya oleh masyarakat di sepanjang sungai Barito Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu. Demikian Legenda rakyat Tana Malai Tolung Lingu Kabupaten Murung Raya.

Sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1531511#post73605820


Bookmark and Share

Monday, November 23, 2009

Jangkang dalam Rekam Jejak Zaman Kolonial

Oleh : R. Masri Sareb Putra

Adakah Jangkang dalam peta dunia? Terdeteksikah etnis ini dalam khasanah bahasa dan peradaban bangsa-bangsa?

Kita hampir musykil menemukan di mana posisi Jangkang sebelum merdeka dalam peta dunia. Wilayah yang mengelilingi Gunung Bengkawan itu belum terekam dalam khasanah dan pergaulan internasional.

Praktis, Jangkang hanya ada dalam satu dua wacana di masa prakemerdekaan. Yang hanya disebut sekelebat saja, ketika membahas suku-suku lain, misalnya Bidayuh, Iban, Kenyah, dan Kayan yang menjadi terkenal di mancanegara karena Sir James Brooke, “Rajah Putih Penguasa Sarawak”, yang memerintah negeri berpenduduk mayoritas Dayak itu gemar “menjual” etnis Dayak ke luar.

Lepas dari usahanya mengenalkan etnis Dayak ke luar, dan dari sana nantinya banyak etnolog dan peneliti menulis tentang Dayak, satu kelicikan Brooke patut untuk dicatat. Betapa tidak! Ia mahir menggunting dalam lipatan. Setelah membantu Sultan Brunei menumpas para pemberontak Dayak Bidayuh melawan Sultan Brunei, ia kemudian memreteli kekuasaan Sultan. Bahkan, dinobatkan menjadi raja putih bagi suku Dayak. The white king begun stealing in the Dayak’s land from here!

Pelajaran yang ditinggalkan Brooke pantas dicatat untuk kemudian disimak. Ia telah membangun dinasti di Negeri Sarawak, menerapkan nepotisme, kekuasaan dibuatnya berpusat pada satu tangan. James Brooke 27 tahun menjadi raja Sarawak (1841-1868). Ia digantikan keponakanya Charles Brooke (1868-1917), dan raja ketiga adalah Charles Vyner Brooke (1917-1941). Dengan demikian, dinasti Brooke ini berkuasa di Sarawak sampai tahun 1941.
Sir James Brooke, Si Raja Putih yang "menjajah" Negeri Dayak.

Karl Helbig, salah satu cendikiawan Barat yang jadi populer karena meneliti etnis Dayak.

Selain menempel ketenaran Dayak Bidayuh, Jangkang disebut sekilas dalam catatan Karl Helbig, seorang penjelajah dan etnologist berkebangsaan Jerman yang bernama lengkap Karl Martin Alexander Helbig. Itu pun disebut sambil lalu, tatkala Helbig mengisahkan ekspedisinya melintas Borneo dari Songkong (mestinya Sungkung)sebuah tempat tinggal Dayak Sarawak yang letaknya tidak jauh dari Jangkang.

Keraton Kerajaan Sambas, populer disebut “Alwatziqubillah”, punya hubungan historis dengan Sarawak dan Brunei. Hubungan historis ini yang menjadi latar, mengapa Dayak di Malaysia sudi membantu saudaranya di Kalimantan Indonesia waktu kerusuhan Sambas.

Tidak secara telak menyebut, namun Jangkang sempat dicatat sebagai salah satu subsuku Dayak di kerajaan Sanggau yang terkenal gagah berani dalam peperangan. Merekalah headhunting yang sesungguhnya.

Dibandingkan etnis Melayu, Dayak di wilayah kerajaan Sanggau cukup menjadi perhatian para pakar antropologi budaya dan menjadi pokok kajian (objek material) ilmiah sejak zaman kolonial. H.P.A Bakker misalnya, dalam jurnal Tijdschrift voor Indische Taal Land en Volkenkunde volume 29 yang terbit tahun 1884, sambil menyingung mengenai sejarah Kerajaan Sanggau, sempat menyentil tentang kepercayaan dan adat istiadat penduduk setempat.

Kemudian, M.C. Schadee, Controleur bij het Binnenlandsch Bestuur (Kontrolir Pamong Praja) mencatat kepercayaan suku Dayak di daerah Landak dan Tayan yang disebutnya sebagai shamanisme.

Karena Tayan merupakan asal nenek moyang Dayak Jangkang (Macan Luar alias Kek Gila), maka bolehlah ditarik kesimpulan bahwa pada masa sekitar awal abad 18, kepercayaan penduduk asli Tayan sama dengan yang kemudian dibawa ke Jangkang. Pendiri Jangkang, “Kek Gila” berasal dari Tayan.

Pada zaman kolonial, dan hingga masa pendudukan Jepang, Jangkang kurang menarik perhatian pemerintah jajahan. Hal ini karena luasnya kepulauan Borneo. Apalagi, waktu itu, Borneo belum menjadi wilayah kolonial sendiri. Dan baru pada tahun 1936 ditetapkan Ordonantie pembentukan Gouvernementen Sumatra, Borneo en de Groote-Oost (Stbld. 1936/68). Borneo Barat menjadi daerah Karesidenan dan sebagai Gouvernementen Sumatra, Borneo en de Groote-Oost yang pusat pemerintahannya adalah Banjarmasin.
Dua tahun kemudian, Gouvernementen van Borneo dibagi dua. Yakni Residente Zuideen en Oosterafdeling van Borneo dengan ibukota Banjarmasin dan Residente Westerafdeling dengan ibukotanya Pontianak.
Jangkang nan menawan terletak di kaki Gunung Bengkawan. Sejuk hawanya, segar udaranya, indah panorama alaminya.

Tiap-tiap Residente dikepalai seorang Resident dengan Besluit Gouverneur van Borneo tertanggal 10 Mei 1939 No.BB/A-I/3/Bijblad No. 14239 dan No.14239 a) Residensi Kalimantan Barat dibagi menjadi empat afdeling dan 13 onder afdeling.

Jarak Jangkang ke sebuah kota kecil tepi Sungai Mengkiang, Balai Sebut, yang kini menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Jangkang dan paroki Jangkang, adalah 7 km.
Hingga tahun 1980, transportasi hanya bisa dilalui dengan jalan kaki, sepeda, dan sepeda motor. Praktis, kontak dengan dunia luar dan pusat pemerintahan di luar daerah itu melalui sarana transportasi air yang harus dilayari dengan perahu bermotor 18-24 jam, menginap di perjalanan, dan baru diteruskan esok harinya.
Jika tidak memungkinkan, misalnya jika musim kemarau dan perahu motor terdampar di Riam Kaboja, maka perjalanan akan lebih lama lagi. Jika keadaan tidak memungkinkan, biasanya ke Sanggau orang Jangkang akan berjalan kaki. Melintasi kampung Sekantut, Parai, Jeropet, daerah Jungur Tanjung, Entakai, hingga masuk kota Sanggau.

Meski cukup jauh dari Jangkang, Sungai Mengkiang boleh dikatakan sangat strategis karena beberapa hal.

Pertama, sungai yang juga sering disebut Moncangk itu memberikan kehidupan bagi penduduk karena ikannya berlimpah dan terkenal lezat. Lais, baong, tuman, tapah, dan seluang merupakan ikan kegemaran. Orang Jangkang sering mencari ikan di sungai ini, bersama-sama dengan orang Melayu Balai Sebut, tapi tidak pernah berkelahi soal tempat. Bahkan, ada semacam kesepakatan di antara mereka tidak boleh mengambil ikan yang masuk alat penangkap ikan berupa pukat, tajor, kail, ijap, tabent, kolabant.

Kedua, Sungai Mengkiang menjadi strategis karena posisi muaranya yang jatuh tepat di Sungai Sekayam, letaknya tidak jauh dari kota Sanggau di mana Sungai Sekayam bermuara. Sedemikian strategisnya, sehingga Muara Mengkiang bahkan pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sanggau ketika didirikan Dara Nante yang bersuamikan Babai Cinga.

Akan tetapi, pada zaman pemerintahan Dayang Mas, kota raja dipindahkan dari Sanggau ke Nanga (Muara) Mengkiang. Lalu kembali berpusat di Sanggau lagi pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Jamaluddin.

Ditengarai bahwa dari Nanga Mengkiang inilah kaum Melayu berawal dan membangun pemukiman di sepanjang pesisir Sungai Mengkiang; meski pada zaman prasejarah, sebenarnya moyangnya satu dengan Dayak. Buktinya, kebanyakan kampung/desa di pesisir Sungai Mengkiang mayoritas, bahkan ada yang seluruhnya, Melayu. Sungai Mengkiang, Balai Sebut.

Perkampungan Melayu paling hulu, dan sekarang menjadi pusat ibukota kecamatan Jangkang, adalah Balai Sebut. Tahun 1970-an, 90% warganya Melayu, sisanya Dayak, dan sebagian kecil Tionghoa sebelum etnis ini ditarik ke kota sebagai buntut dari upaya penumpasan PGRS/Paraku. Kini warga Balai Sebut separuhnya Dayak. Mereka bermukim dan mendirikan rumah-rumah agak jauh dari pantai. Ini sesuai dengan kebiasaan orang Dayak pada umumnya. Karena itu, mereka disebut “Sidak Darat” (orang darat) oleh Melayu Balai Sebut.

Dan memang demikianlah kebiasaan orang Dayak. Mereka lebih suka mendirikan perkampungan dan bermukim jauh dari tepi sungai. Itu sebabnya, para pengamat dan penulis asing menyebut mereka Land Dayak, bukan riverside, tapi upperside, karena memang senang bermukim di daratan.

Ditilik dari pola pemukiman dan persebaran penduduk, penghuni Balai Sebut adalah etnis Melayu. Miskinnya sumber-sumber dan catatan tertulis tidak cukup adekwat untuk menyimpulkan kapan etnis Melayu pertama bermukim di Balai Sebut. Tahu-tahu sudah ada etnis yang oleh Dayak Jangkang disebut “Sinan” ini bermukim di pesisir Balai Sebut yang indah karena berbentuk terusan.

Akan tetapi, sumber tertulis seperti catatan seorang misionaris asal Belanda, Herman Josef van Hulten tahun 1940-an, sudah menyebut pemukiman Melayu ini. Dengan sedikit mendeskripsikan kekurangsenangan pemimpin Melayu pada misonaris Belanda, Herman antara lain mencatat,

...Maar weer terug naar Jangkang –tweemaal 70 km te voet, voor niks en strakjes weer opnieuw! Na een half jaar de tweede oproep; weer die 70 km afleggen. Ik sta weer voor het gebow en weer in habijt. Tientallen mensen staan te wachten. Eindelijk hoor ik duidelijk de naam Bong, burgemeester van Balai- Sebut, dus nu moet mijn naam ook volgen. Dan reoept iemand: “Pastor Herman van Jangkang”. Aller ogen zijn op mij gericht; ik ga de trap op, waar Bong al op het bankje zit en mij de plaats naast hem wordt aangewezen. De twee rechters zijn zeer vriendelijk en wensen mij n.b. in Nederlands goedemorgen, wat ik ook vriendelijk beantwoord, terwijl zij mij de hand geven. Een van de twee rechters –ze spreken nog steeds in het Nederlands—vraagt mij eerst een eed af te legen—wat gebeurt. Daarop: “Pastor Herman, vertelt U eens wat er is gebeurt... De rechter herhaale dit in het Maleis en zei erbij van nu af de Malaise taal te gebruiken, zodat de heer Bong het ook zou kunnen volgen. Nu gaf de rechter de heer Bong de gelegenheid om er iets tegenin te brengen....” (Hulten, 1983: 248-249).

Dari deskripsi mengenai Balai Sebut dan perlakuan salah satu pemimpin Melayu di pemukiman tepi sungai Mengkiang ini dapat disimpulkan bahwa ada semacam kekurangsukaan dari pihak Melayu atas kehadiran misionaris asing di Jangkang. Tidak semua, namun hanya sebagian.

Buktinya, ketika gereja dan sekolah Jangkang pertama kali didirikan, para tukang adalah etnis Melayu Balai Sebut yang mengerjakannya. Mereka melakukan kerja bangunan yang bukan merupakan tempat ibadahnya karena keterampilan bertukang memang jagonya kaum Melayu. Keterampilan ini masih diteruskan sampai hari ini. Di sepanjang pesisir Balai Sebut dapat kita saksikan sampan, perahu motor, dan pekerjaan pembuatan kusen dan bangunan tempat tinggal yang dikuasai Melayu.

Sangat boleh jadi, kekurangsenangan pemimpin Melayu pada misionaris asing didorong oleh rasa iri hati, mengapa yang dibantu misionaris justru Dayak dan bukan Melayu? Pada waktu itu, Melayu sudah memeluk agama Islam, sedangkan Dayak pada umumnya masih menganut kepercayaan nenek moyang. Maka etnis Dayak menjadi prioritas evangelisasi.
Dengan demikian, usaha para misionaris menyebarkan syiar agama Katolik kepada etnis Dayak adalah langkah tepat. Namun, cara yang dilakukan secara persuasif, tidak arogan, apalagi memaksa. Para misionaris masuk dan menjadi bagian hidup mereka. Menjadi bagian inetegral suku Dayak, berpola hidup, berperilaku, maupun berpikiran secara mereka pula. Itulah yang dilakukan misionaris asing, seperti Herman. Dalam istilah filsafat antropologi, para misionaris asing melakukan akulturasi dan adaptasi.

Menurut Bakker (1972: 48-49), akulturasi adalah usaha mentransponir ajaran, bahkan struktur-struktur Gereja dari lingkungan kebudayaan Greco-latina ke dalam alam pikiran setempat. Usaha itu merupakan perkembangan Gereja yang radikal dan menghasilkan struktur yang pluriform. Sifat pluriform mengganti sifat uniform yang nyata, lagi kokoh. Perbedaan dan differensiasi seperti sudah bukan saja tuntutan psikologis (human relation) saja seperti adaptasi, melainkan tuntutan teologis. Dalam differensiasi di antara makhluk-makhluk dinyatakan kesempurnaan Pencipta. Harta benda rahmat terlalu kaya daripada mungkin dapat dimuat dalam struktur rohani saja.

Akulturasi inilah awal proses pembribumian ajaran Katolik di antara Dayak Jangkang. Berikutnya, baru terjadi adaptasi di mana para misionaris mengomunikasikan ajaran Gereja Katolik melalui saluran-saluran kebudayaan dalam hal bahasa, sistem berpikir, pola peradaban, dan bentuk-bentuk sosial.

Corak asing semakin melemah, sedangkan kebudayaan bangsa yang didekati semakin diperkuat. Pewarta (misionaris) sekaligus ajaran yang disampaikan mengikuti kebudayaan penduduk setempat tanpa kehilangan sifat hakikinya. Inilah yang disebut adaptasi.

Option for the poor yang menjadi semangat Gereja sejak didirikan di atas Petrus, si batu karang, tetap dibawa misionaris asing ke Jangkang. Tahun 1939 umat Katolik Kobang sudah ada. Yang unik, mula-mula yang menjadi Katolik di Kobang adalah kepala kampungnya, yang digelari “Mangku”, baru kemudian diikuti rakyatnya. Mangku adalah calon temenggung yang otomatis menjalankan tugas tumenggung jika berhalangan atau bila tumenggung mangkat.

Umat Katolik Kobang tahun 1939. Pastor Ewald, “Kek Tuan” Kobang, mendirikan kapel di sini.

Sebelum nantinya berpusat di Jangkang, Ewald sebagai misionaris kerap memilih menginap di Kobang karena hawanya yang dingin, terletak di punggung bukit Bengkawan. Selain berhawa sejuk dan mirip dengan cuaca di negeri asalnya, Kobang dipilih Ewald karena kaki tangan dan tentara Jepang mengincar misionaris Kristen Barat ini. Karena lebih sering menginap di Kobang, maka Ewald digelari “Tuan Kobang”.

Di Kobang sudah berdiri rumah panjang. Ewald mendirikan kapel terpisah dari rumah panjang. Namun, beribu sayang, perpisahan umat Katolik Jangkang dengan Ewald harus terjadi karena ia diinternir Jepang ke kamp di Kuching. Umat menangis. Tiada hentinya mereka berdoa dan berharap “Kek Tuan” kembali lagi ke tengah-tengah mereka. Namun, orang yang dinantikan itu tak pernah kembali karena ia wafat di Kuching dan dimakamkan di sana.

Rumah panjang atau betang di masa-masa awal pembukaan lahan.

Mengapa misi pertama-tama memilih Kobangk, sebuah kampung Dayak di kaki bukit Bengkawan yang berpuncak setinggi 917m, dan berjarak sekitar 7 km dari Jangkang, bukan Balai Sebut sebagai pusat misi?

Pada saat misi pertama kali menginjakkan jejak di tengah Dayak Jangkang, Balai Sebut sudah mengenal agama. Lagi pula, waktu itu penduduknya mayoritas Islam.

Namun, selain Bong, banyak warga Melayu menghargai dan menghormati misionaris. Mereka menyebut “tuan pestor” (tuan pastor). Bahkan, sebelum Balai Sebut mendapat bantuan tenaga medis dari Pemerintah, sebelum tahun 1970-an, warga Melayu sering turun ke Jangkang untuk berobat pada pastor.

Biasanya, tiap-tiap hari raya keagamaan Katolik, mereka tumpah ruah ke Jangkang karena ada keramaian. Baik hiburan maupun pertandingan-pertandingan sering diadakan yang melibatkan hampir semua kampung di seluruh wilayah Paroki Jangkang.

Pada musim buah-buahan juga orang Melayu sering ke Jangkang dan Kobang. Mereka boleh memakan dan memetik buah sesuka hati. Jalinan persaudaraan Dayak-Melayu di Jangkang tetap harmonis. Sepanjang sejarah, tidak pernah ada clash di antara kedua suku.
Karena itu, Tuan Jangkang tetap menjalin dan memelihara hubungan dengan Balai Sebut. Ketika ada urusan di pusat pemerintahan Sanggau, atau tatkala verloop (cuti), para misionaris memerlukan uluran tangan warga Melayu Balai Sebut.

Orang Melayu memiliki perahu motor yang bisa disewa. Atau jika tidak, mereka mahir mengemudikannya, sangat paham liku-liku dan kedalaman sungai Mengkiang, mana alur yang berbahaya dan mana yang tidak, dan sangat mengenal titik paling kritis alur pelayaran sungai yang curam berbatu seperti riam Kaboja.

Menilik kesamaan bahasa, budaya, ditambah rekam jejak alur pelayaran, Balai Sebut merupakan pengembangan dan perluasan wilayah dari kerajaan Sanggau yang sempat berpusat di Nanga Mengkiang.

Sebelum tahun 1980-an, jalur pelayaran sungai Mengkiang menjadi satu-satunya sarana tercepat perjalanan Jangkang-Sanggau-Jangkang yang menempuh jarak sekitar 70 km. Pada waktu jam istirahat makan siang dan malam, biasanya kapal motor berhenti sebentar. Jika gelap dan malam menjelang, maka akan menginap di perjalanan.
Pada saat istirahat dan menginap itulah terjadi kontak dengan penduduk pesisir. Yang jatuh hati, akan menikah dengan warga setempat. Namun, karena mayoritas penduknya Melayu dan beragama Islam maka jika Dayak kawin dengan gadis Melayu ia menjadi Islam dan dikatakan “torojunt kok aik” (mencebur ke sungai). Sebaliknya, jika gadis Melayu kawin dengan Dayak atau pria Melayu kawin dengan gadis Dayak dan mau tinggal bersama orang Dayak, ia disebut “naingk kak darat” (naik ke darat).

Terlepas dari soal kawin-mawin di antara Dayak-Melayu, di wilayah Jangkang ada satu fenomenon menarik. Kedua suku mengikatkan tali persaudaraan dan saling menghormati layaknya saudara sedarah saja. Jika mengikatkan diri sebagai saudara, maka keluarga Dayak dan Melayu menyebut masing-masing dengan dompu. Karena itu, bodompu berarti bersaudara. Mereka saling mengunjungi jika ada hajatan dan hari raya, saling menolong, dan berbagi suka duka layaknya saudara sedarah.

Yang menarik, meski pada awal mula kerajaan Sanggau didirikan oleh bangsawan Melayu dan diteruskan ahliwaris dan putra mahkota Melayu pula, namun “raja” terakhirnya justru orang Dayak. Wasiat Sultan Muhammad Jamaluddin sebelum mangkat, agar penggantinya kelak adalah putra mahkota tetap dipegang teguh.

Demikianlah, meski sempat terjadi friksi dengan Sultan Akhmad Kamaruddin, adik Sultan Muhammad Jamaluddin, dinobatkanlah Abang Taberani yang bergelar Pangeran Ratu Suryanegara menjadi raja kerajaan Sanggau.

Suksesi kerajaan terus berlangsung hingga pemangku kekuasaan kerajaan Sanggau jatuh pada Panembahan Mohammad Ali Mangku Negara (1814-1825). Lalu, jatuh lagi ke tangan Sultan Ayub Paku Negara (1825-1830) yang, pada saat pemerintahannya, mendirikan Masjid Jami di pusat kerajaan Sanggau.

Sejarah kerajaan Sanggau unik. Barangkali sulit menemukan duanya di dunia. Kerajaan yang diawali dan didirikan bangsawan Melayu sejak zaman kolonial, dan masih berlangsung hingga zaman peralihan, akhirnya ditutup oleh “raja” dari keturunan Dayak.

Sejarah kerajaan Sanggau mencatat Panembahan Gusti Ali Akbar memerintah dari 1944-1956. Sayangnya, kurang beruntung bagi Gusti Ali Akbar, sebab pada saat pemerintahannya beliau diintervensi kekuasaan asing yang ditandai dengan dikirimkannya oleh Belanda Asisten Residennya bernama Riekerk. Dengan segera, Riekerk menjalankan politik divide et impera . Tindakan pertama yang dilakukannya ialah menurunkan Gusti Ali Akbar dari tahta kerajaan. Dan pada saat bersamaan mengangkat Panembahan Gusti Mohammad Thaufig sebagai panembah yang memerintah hingga penyerahan swapraja.

Swapraja terakhir dipimpin Uray Mohamad Johan. Pada saat inilah terjadi penyerahan pemerintahan Swapraja Sanggau ke tangan M.Th. Djaman, seorang Dayak, selaku Kepala Daerah Swatantra Tk. II Sanggau pada tanggal 2 Mei 1960. Penyerahan ini, sekaligus menandai berakhirnya era kerajaan Sanggau dan nantinya ganti menjadi ibukota Kabupaten Sanggau.


Sumber : http://masri-sareb.blogspot.com/2009/09/bab-2-buku-dayak-jangkang-from.html




Bookmark and Share

Sunday, November 22, 2009

Batu Menangis


Diceritakan oleh: Rachma

Di sebuah desa terpencil, tinggallah seorang gadis dan ibunya. Gadis itu cantik. Sayang, dia sangat malas. Ia sama sekali tak mau membantu ibunya mencari nafkah. Setiap hari gadis itu hanya berdandan. Setiap hari, ia mengagumi kecantikannya di cermin. Selain malas, gadis itu juga manja. Apa pun yang dimintanya, harus dikabulkan. Tentu saja keadaan ini membuat ibunya sangat sedih.

Darmi memandangi wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.

Darmi memang bukan anak orang kaya. Ibunya hanya seorang janda miskin. Untuk menghidupi mereka berdua, ibunya bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun dia lakukan. Mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga, mencucikan baju orang lain, apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh upah. Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja. Sedikit pun dia tidak iba melihat ibunya bekerja keras sepanjang hari. Bahkan dengan teganya dia memaksa ibunya untuk memberinya uang jika ada sesuatu yang ingin dibelinya.
“Ibu, ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan memakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya.
“Nak, kemarin kan kau baru beli baju baru. Pakailah yang itu saja. Lagipula uang ibu hanya cukup untuk makan kita dua hari. Nanti kalau kau pakai untuk membeli baju, kita tidak bisa makan nak!” kata ibunya mengiba.
“Alah itu kan urusan ibu buat cari uang lagi. Baju yang kemarin itu kan sudah aku pakai, malu dong pakai baju yang itu-itu lagi. Nanti apa kata orang! Sudahlah ayo berikan uangnya sekarang!” kata Darmi dengan kasar.
Terpaksa sang ibu memberikan uang yang diminta anaknya itu. Dia memang sangat sayang pada anak semata wayangnya itu.

Begitulah, hari demi hari sang ibu semakin tua dan menderita. Sementara Darmi yang dikaruniai wajah yang cantik semakin boros. Kerjaannya hanya menghabiskan uang untuk membeli baju-baju bagus, alat-alat kosmetik yang mahal dan pergi ke pesta-pesta untuk memamerkan kecantikannya.

Suatu hari Darmi meminta ibunya untuk membelikannya bedak di pasar. Tapi ibunya tidak tahu bedak apa yang dimaksud.
“Sebaiknya kau ikut saja ibu ke pasar, jadi kau bisa memilih sendiri,” kata ibunya.
“Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
“Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan sedih.
“Baiklah, ibu janji ya! Selama perjalanan ibu tidak boleh berjalan di sampingku dan tidak boleh berbicara padaku!” katanya.
Ibunya hanya memandang anaknya dengan sedih lalu mengiyakan.

Akhirnya mereka pun berjalan beriringan. Sangat ganjil kelihatannya. Darmi terlihat sangat cantik dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal dan dibelakangnya ibunya yang sudah bungkuk memakai baju lusuh yang penuh tambalan. Di tengah jalan Darmi bertemu dengan teman-temannya dari desa tetangga yang menyapanya.
“Hai Darmi, mau pergi kemana kau?” sapa mereka.
“Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.
“Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu?” tanya mereka.
“Oh bukan! Bukan!. Mana mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi cepat-cepat.
Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri. Namun ditahannya rasa dukanya di dalam hati.

Kejadian itu berulang terus menerus sepanjang perjalanan mereka. Semakin lama hati si ibu semakin hancur. Akhirnya dia tidak tahan lagi menahan kesedihannya. Sambil bercucuran air mata dia menegur anaknya.
“Wahai anakku sebegitu malunyakah kau mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang melahirkanmu ke dunia ini. Apakah ini balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?”
Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”
Usai mengucapkan kata-kata kasar tersebut Darmi dengan angkuh kembali meneruskan langkahnya.

Ibunya Darmi sambil bercucuran air mata mengadukan dukanya kepada Tuhan. Wajahnya menengadah ke langit dan dari mulutnya keluarlah kutukan, “Oh Tuhanku! Hamba tidak sanggup lagi menahan rasa sedih di hatiku. Tolong hukumlah anak hamba yang durhaka. Berilah dia hukuman yang setimpal!”

Tiba-tiba langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggelegar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi batu, lalu kini betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan berderai air mata.

“Ibu, tolong Darmi bu! Maafkan Darmi. Aku menyesal telah melukai hati ibu. Maafkan aku bu! Tolong aku…” teriaknya. Ibu Darmi tidak tega melihat anaknya menjadi batu, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya. Nasi sudah menjadi bubur. Kutukan yang terucap tidak bisa ditarik kembali. Akhirnya dia hanya bisa memeluk anaknya yang masih memohon ampun dan menangis hingga akhirnya suaranya hilang dan seluruh tubuhnya menjadi batu.

sumber : www.dongengperi.co.nr


Bookmark and Share

Saturday, November 21, 2009

Legenda Bujakng Nyangko ( 1 )

Oleh : Yohanes Supriyadi

Disebuah rumah panjang dikampung Angus, hidup seorang gadis tua, yang bernama Dayakng Gulinatn. Ia hidup sendiri, meskipun cukup banyak saudaranya yang telah menikah dikampung ini. pada suatu malam, ia bermimpi didatangi seorang pemuda tampan yang baik hati. Pemuda itu turun dari langit, dan tersenyum kepadanya. Ia mengulurkan tangannya kepada Dayakng Gulinatn.
“ Hai,..siapa namamu ? “
“ Saya Dayakng Gulinatn, kamu siapa ? “
“ Saya Santak Mantaari, dari negeri Sapangko Kanayatn”.
bersamaan dengan pemuda itu menyebutkan namanya, hujan turun dengan derasnya yang disertai petir. Karuan saja Dayakng Gulinatn terkejut. Ia sadar, bahwa ia telah bermimpi didatangi pemuda yang baik hatinya dan tampan. “ oh…alangkah indahnya hidup ini bila pemuda itu menjadi jodohku..” kata Dayakng Gulinatn.

Keesokan harinya, Dayakng Gulinatn selalu teringat dengan pemuda itu. Tiada yang lain dipikirkannya, ia semakin rindu dengan mimpi itu. Meskipun tidak menikah, namun tiba-tiba ia hamil. “ hahhhh ……., aku hamil ? “ kata Dayakng Gulinatn heran. Ia menangis sedih, selain takut aib, ia juga takut, bahwa anak siapa sesungguhnya yang dikandungnya.. Meskipun demikian ,dengan sifat keibuannya Dayakng Gulinatn tetap saja memelihara anak dalam kandungannya itu. Setelah cukup sembilan bulan sepuluh hari, lahirlah anak itu. Seorang bayi laki-laki. Lahirnya bayi dari rahim dayakng Gulinatn disertai gelegar petir yang sangat keras, hujan deras. Hujan ini tak pernah reda, malahan semakin deras saja. Berhari-hari lamanya.

Karena hujan tak juga berhenti, para orang tua dikampung itu mengadakan musyawarah, untuk mendiskusikan langkah-langkah apa yang akan diambil.
“ pasti ada sesuatu dikampung kita ini” kata seorang tua, pemimpin rapat.
“ iya..ya, kalau gadis lain melahirkan, tidak seperti dayakng Gulinatn. Saya pun heran, kenapa hujan terus tak pernah berhenti ? “ kata seorang lainnya, setengah bertanya.
“ kalau begitu, kita Tanya saja kepada Dayakng Gulinatn, ada apa sebenarnya “ kata seseorang lagi.
“ oh…janganlah. Nanti tidak enak dengan kampung tetangga. Menurut saya, ada baiknya kita mengadakan ritual notokng. Mungkin kepala kayo yang disimpan di tingaatn rumah itu marah atas perbuatan kita “ kata pemimpin rapat.
“ baiklah, kalau begitu. Pertemuan ini, mari langsung kita bentuk saja pelaksana ritual itu. “ kata seorang peserta rapat.
“ setujuuuuu..” secara serempak peserta berteriak pertanda setuju.
Malam itu, musyawarah berhasil menyepakati membentuk kepanitiaan untuk penyelenggaraan riual notokng. Semua penduduk bekerja menyiapkan acara itu, tua muda, laki-laki perempuan. Beberapa hari kemudian, persiapan telah selesai. Tempat ritual itu diadakan dihalaman rumah. Selesai ritual, semua penduduk menari. Namun, walaupun telah mengadakan ritual notokng, hujan tetap saja tak berhenti. Aneh, Dayak Gulinant tidak terlihat dipesta itu. Ia tetap saja mengurung dirinya dikamar.
“ o..begitu ya, Dayakng Gulinatn. “
“aneh ya, dia tidak menari ? “
Semua penduduk saling bertanya satu sama lain tentang Dayakng Gulinatn. Melihat situasi itu, seorang pemimpin ritual berkata;
“ coba kamu Palapi jemput Dayakng Gulinatn. Mungkin ia ada dirumah “
“ baiklah “ kata Palapi seraya pergi menjemput Dayakng Gulinatn. Saat itu pula Dayakng Gulinatn Keluar dari dalam Kelambunya dan bergabung dengan warga tumpuk dalam acara ritual tersebut.
Dayakng Gulinantn dengan malu-malu kemudian ikut menari bersama semua penduduk kampong. Tanpa sadar, bayinya telah ditinggalkan didalam kelambu. Semua senang dengan kepandaian dayakng Gulinatn menari. Tiba-tiba hujan berhenti disertai pelangi dan matahari menyinar terang ( ujatn darakng ).

Melihat kepandaian Dayakng Gulinatn, Santak Mantaari gemetar dalam hatinya, yang ia idamkan dari Dayakng Gulinatn supaya keluar dari dalam kelambunya. Ia bermaksud membawa Dayakng Gulinatn ke negerinya yang bernama Sapangko. Ketika Dayakng Gulinatn tidak tahu bahwa ada yang mengintainya, saat itulah Santak Mantaari berhasil menyambar dan membawa Dayakng Gulinatn pergi terbang ke negeri Sapangko.

Melihat Dayakng Gulinatn di culik, orang kampung menjadi begitu marah, Palapi lansung menyambar mandau untuk membuat perhitungan dengan Santak Matari, Melihat keadaan yang tidak menguntungkan, Santak Mantaari lari terbang dan lolos dari kejaran orang kampung.

Melihat kejadian yang menimpa adiknya, kakak Dayakng Gulinatn pergi melihat keponakannya anak Dayakng Gulinatn, ia kuatir keponakannya ikut di ambil oleh Santak Mantaari. Sepeninggal Dayakng Gulinatn, anaknya di pelihara dengan penuh kasih sayang oleh bibinya yaitu kakaknya Dayakng Gulinatn. Setelah beberapa hari, anak Dayakng gulinatn di kasih nama beserta dengan di lakukannya acara sukuran, anak tersebut di beri nama Nyangko. Bibinya sangat prihatin dengan keponakannya, karena masih kecil sudah di tinggalkan ibunya. Orang kampung sangat suka dengan kehadiran Nyangko, karena selain mempunyai banyak kemampuan, juga suka menolong orang-orang kampung tersebut. Nyangko tak ingin melihat kehidupan orang kampung di lilit oleh kemiskinan dan lain sebagainya. Beberapa kali kampung mereka di serang “Kayo” Nyangkolah yang nyelamatkan serta berhasil mengusir Kayo dari kampung mereka. Rasa suka orang kampung terhadap Nyangko semakin bertambah, karena dengan kehadiran Nyangko di kampung mereka keadaan menjadi aman dan tenteram.
Selama lima belas tahun bibinya memelihara Nyangko anak Dayakng Gulinatn, melihat keponakannya sudah beranjak dewasa dan di anggap sudah pantas mengetahui siapa Dia maupun orang tuanya. Bahwa sesungguhnya Nyangko mempunyai ibu, saat ibunya melahirkan Nyangko, hujan deras, petir menggelegar, pokoknya cuaca begitu tak menentu siang hari dan malam hari. Melihat keadaan cuaca yang begitu buruk dan tidak seperti biasanya, orang kampung membuat acara adat “Notokng”. Semua penduduk di kampung tersebut ikut menari tak terkecuali Dayakng Gulinatn ibunya Nyangko, Karena begitu keasyikan menari, Dayakng Gulinatn tidak sadar bahwa dirinya di intai oleh seorang laki-laki untuk di bawa lari ke kampung halamannya. Ibumu di bawa pergi oleh Santak Mantaari ke Negri Sapangko, “tutur bibinya kepada Nyangko”

Mendengar ceritera dari bibinya demikian tragis, Nyangko bermaksud pergi ketempat di mana ibunya berada, ia ingin sekali bertemu dengan ibunya, niatnya tersebut di utarakan sama bibinya. “ bagaimanapun aku harus pergi ke tempat di mana ibuku ke negeri Sapangko apapun resikonya “kata Nyangko kepada bibinya” bibinya tidak mau melarang niat keponakannya tersebut. Bahkan bibinya bertanya kepada Nyangko “kapan kamu mau berangkat” ? pagi besok “jawab Nyangko bertekad”

Pagi-pagi bibinya sudah menyiapkan bekal untuk Nyangko berangkat menuju negeri Sapangko, karena Nyangko memiliki beberapa kepandaian yang di sebut oleh orang kampung “jago” maka sekali melompat, Nyangko sudah sampai di Negeri Sapangko.

Santak Mantaari saat itu sedang membongkar (pumputn) sarang ikan yang terbuat dari timbunan kayu-kayu ladang di tumpuk di setiap lubuk sungai, ikan yang di dapat begitu banyak, satu “tingkalakng” ikannya di bawa pulang, karena begitu senang mendapat begitu banyak ikan sehingga Santak Mantaari lupa pada orang kampung dan keadaannya. Santak Mataaari tidak tahu bahwa Nyangko sudah berada di kampung untuk menjenguk ibunya.

Dayakng Gulinatn kaget melihat ada seorang anak muda datang ke tempatnya, dan bertanya ‘siapa kamu ? “ anak muda tersebut menjawab “aku Nyangko, aku mau pergi ketemu ibuku”
Siapa ibumu ? “tanya Dayakng Gulinatn”. Namanya Dayakng Gulinatn, ibuku tersebut di bawa lari oleh Santak Mantaari, “kata Nyangko”.
O o, kalau begitu akulah ibumu, kata Dayakng Gulinatn.
Karena terharu bertemu ibunya, Nyangko menangis, demikian pula dengan ibunya, mereka berdua saling bertangisan. Dah selesai menangis, Nyangko bertanya pada ibunya, “ kemana ayahku bu” ?, Ayahmu sedang membongkar sarang ikan yang di buatnya dari dahan dan ranting kayu yang di tumpuk pada lubuk-lubuk di sungai, sebentar lagi ayahmu datang, jawab ibunya.
Tak lama kemudian Santak Mantaari datang, sampai di tangga rumahnya, Santak Mantaari heran melihat seorang pemuda yang begitu belia berada di rumahnya. Santak Mantaari bertanya pada pemuda tersebut, “siapa kamu, ngapa di sini” ?
Aku sedang mencari ayah dan ibuku, “jawab Nyangko”
Tiba-tiba ibunya keluar dari dalam, dan berkata pada Nyangko “E e itulah ayahmu nak !
Sabar dulu, ! siapa sebenarnya anak muda ini ?jangan mudah percaya ! kata Santak Mantaari pada istrinya, ia begitu marah sama istrinya karena begitu mudah mempercayai orang asing.
Istrinya berusaha menjelaskan, oh… dia ini anakku yang kutinggalkan dalam kelambu saat kamu membawaku lari beberapa belas tahun yang lalu, aku tidak sempat membawanya, karena kamu merampasku dan membawaku terbang.
Mendengar penjelasan dari istrinya Santak Mantaari seolah-olah ikhlas menerima kehadiran Nyangko dirumahnya.
Baguslah kalau begitu, artinya kita masih mempunyai rejeki untuk bertemu dengan dia kembali, kata Santak Mantaari kepada istrinya. Katanya lagi pada Nyangko, “ sekarang kamu makan ikan ini kalau kau benar anakku, lalu di ambilnya ikan sepat yang paling besar seukuran empat jari, “ini kamu telan bulat-bulat” padahal niat sesungguhnya ingin membunuh Nyangko.

Nyangko mengambil ikan tersebut, tanpa susah payah ikan tersebut di telannya, Santak Mantaari menggelengkan kepala, karena ternyata Nyangko lebih hebat dari dirinya.
“Kalau begitu kamu benar anakku,” Kata Sanatak Mataari. Lalu di suruhnya Nyangko menyiang ikan-ikan yang yang ada, kemudian ibunya memasak, setelah ikan masak mereka bertiga makan bersama. Setelah selesai makan Santak Mantaari berkata pada Nyangko, “besok kita pergi ke hutan mencari kulit kayu”. Iyalah “ jawab Nyangko”.

Keesokan harinya mereka berangkat, Nyangko sengaja di ajak ke hutan yang berpenghuni banyak ular Tedung, Nyangko tidak menyadari akan niat busuk ayahnya untuk mencelakai dirinya, dan ia mau saja di ajak.
Dalam perjalanan ke hutan Ayahnya berjalan lebih dulu karena Ia lebih pahan situasi di hutan tersebut. Nyangko, melihat banyak sekali Ular Tedung lewat melintas di hadapannya dengan ukuran yang cukup besar, dalam hati ayahnya senang dan berpikir bahwa Nyangko akan mati oleh ular-ular Tedung tersebut. Di antara Tedung tersebut ada satu ekor yang paling besar dan berkata pada Nyangko “ kamu di sini jangan takut, kami tidak akan mengapa-ngapakan kamu”. Okelah kata Nyangko. Kemudian oleh raja Tedung, Nyangko di beri bekal sebotol kecil obat penawar bisa.
Sekian lamanya dalam perjalanan, melihat Nyangko baik-baik saja, sebentar-sebentar ayahnya menoleh ke belkang untuk mengetahui keadaan Nyangko, sang ayah kembali salut bercampur gusar menghadapi kehebatan Nyangko, dalam hatinya berkata “ini semakin tidak benar, baiklah besok akanku ajak kesarang Beruang biar dia mampus !

Sesampainya di rumah, Santak Mantaari langsung lapor sama isterinya, bahwa ia akan mengajak Nyangko jalan-jalan kehutan, menurutnya Nyangko sangat sukan di ajak ke hutan.
Kalau memang begitu pergilah, hanya hati-hati, kata isterinya.
Keesokan harinya lagi, Nyangko di ajak ke hutan lagi. “kita mencari sirih di hutan sana, cuman rumpun sirih itu dekat dengan sarang Beruang, apa kamu berani mengambilnya?” tanya ayahnya pada Nyangko. Iyalah, aku berani ! jawab Nyangko.
Sesungguhnya dalam hati Nyangko berpikir keder dan takut, kalau-kalau dirinya habis di cakar Beruang, karena beruang yang terlihat oleh Nyangko begitu besar-besar, banyak dan nampak ganas-ganas.
Dalam benak ayahnya, Nyangko kali ini takkan bisa lagi lolos, kamu pasti mati di cakar oleh beruang-beruang itu, apalagi kamu masuk di sarangnya ibarat ngantar nasib pada maut.

Diluar dugaan Nyangko, kedatangannya seolah-olah di sambut dengan gembira oleh Beruang tersebut, bahkan beruang yang paling besar langsung menghampiri Nyangko dan berkata “kamu jangan takut, kami tidak akan menyakiti kamu apalagi membunuhmu”
Melihat situasi seperti itu, sekali lagi Santak Mantaari ayah Nyangko menggelengkan kepalanya pertanda salut, tempat sirih Nyangko sudah penuh, dan ayahnya di ajak pulang oleh Nyangko.
Setibanya di rumah, ayahnya berkata pada Nyangko,”besok kita pergi lagi ke hutan mencari Gambir”. Mendengar itu ibunya mulai kuatir, karena ia tahu tempat mencari gambir tersebut banyak sarang lebahnya, dan mulai terasa perasaan tidak enak dengan ulah suaminya terhadap anak kandungnya sendiri. Ibunya berpesan Pada Nyangko, “hati-hati ya Nyangko. Setelah mengetahui akal bulus ayahnya, Nyangko pun bingung, namun karena ia pemberani, ia tetap merasa senang di ajak ayahnya, karena memang sifat Nyangko yang ringan tangan. Gambir tersebut tumbuh pada batang kayu Benuang yang cukup tinggi, dan ada sarang lebahnya.

Pagi-pagi sekali Nyangko sudah di bangunkan oleh ayahnya, mereka berdua pergi ke hutan, di mana dalam hutan tersebut memang banyak sarang lebahnya. Ayahnya sengaja membawa Nyangko melihat pohon Benuang yang sangat tinggi, dan gambirnya bagus-bagus. Lalu ayahnya berkata, “Nyangko, ! kamu yang naik, ayah nunggu dibawah. Nyangko nurut saja apa yang di perintahkan oleh ayahnya, Nyangko pun mulai naik diatas pohon Benuang tersebut, setibanya di atas, Raja lebah ngomong dengan Nyangko “jangan takut dengan kami ya Nyangko,” sambil menyerahkan pihamakng (sebentuk barang untuk memperingan badan)
Melihat Nyangko tidak apa-apa untuk kesekian kalinya ayahnya geleng kepala, dan bersungut,dalam hati
“hebat benar anak ini, apa lagi yang harus ku lakukan untuk mencelakainya ?” Setelah penuh tempat gambirnya, Nyangko turun dan mengajak ayahnya pulang.
Setibanya di rumah, ayahnya mengajak Nyangko belajar Mengayau besok kita bermain teka-teki, kata ayahnya pada Nyangko. Nyangko nampak selalu senang dengan kemauan ayahnya.


Sore harinya, Santak Mantaari ayah Nyangko mengajak teman-temannya Mengayau diantaranya bernama Catek Pak Caneng, Bias Pak Rega, Guranikng, dan Pak Lonos, besok kita Mengayau, “kata Santak Mantaari pada Catek Pak Caneng. Catek Pak Caneng merasa gembira di ajak oleh Santak Mantaari Mengayau, dan Catek Pak Caneng mengajak teman-temannya yang lain.
Keesokan harinya, Santak Mantaari dengan Nyangko berkemas-kemas untuk berangkat Ngayau, di pinggangnya diikatkan “Otot” sejenis alat untuk menyimpan kepala Kayau, “Burayakng” sejenis tombak dan “Tangkitn” mandau asli orang Dayak. Sampai di tempat yang mereka tuju, mereka berlima berhenti sejenak, di situlah ayahnya kembali mencobai Nyangko, ayahnya memotong sebatang buluh bala, seukuran betis sekali sentak langsung putus buluh bala tersebut. Nyangko ! kata ayahnya, kamu putuskan bulah bala ini !, Nyangko pun langsung menarik mandau dari sarungnya, dengan sekali sabet buluh bala tersebutpun putus. Lagi-lagi ayahnya geleng kepala. O…. kalau begitu, kita main lompat-lompatan, kita melompati sungai itu kata Santak Mantaari pada Nyangko sambil menunjuk sungai yang cukup besar di hadapannya.. Mereka berlima melompat bersama-sama, mereka berempat tidak mampu melompati sungai besar tersebut, namun sekali melompat Nyangko tiba di seberang sungai.

Kalau begitu, tiga hari tiga malam lagi kita berlima berangkat ngayau, ke “Timpurukng Pasuk, ke Lamak Bagelah, ke Akar ina’ di tatas, ke Rabukng ina’ di Sempo’” (nama tempat dalam bahasa istilah) kata Santak Mantaari kepada teman-temannya termasuk Nyangko.

Mendekati hari yang sudah di tentukan, mereka berlima membuat, pedupu/markas, serta mato’ (ritual adat untuk melemahkan lawan) dengan sebiji telur.
Disiang hari H nya, Santak Matari berkata pada rombongan ngayaunya, “kita berangkat sekarang” mereka berlima pun berangkat, Nyangko mengikuti dari belakang sambil memperhatikan permainan ayahnya. Nyangko benar-benar mau menunjukan kehebatannya pada ayahnya dan teman-temannya. Nyangko bersiasat, telur yng di pegangnya di pecahkan pada pantatnya dan ia bilang ia tidak jadi pergi, karena sakit perut dan berak-berak terus.
Sambil memegang perutnya Nyangko pura-pura kesakitan, ayahnya pun percaya, karena dari pantat Nyangko kelihatan keluar lendir dan darah.
O…. kalau begitu kamu tidak berguna, baiklah…. Kami berempat saja yang berangkat “kata ayahnya”
Mereka berempat langsung berangkat, berjalan beriringan, melihat ayah dan teman-temannya berangkat sudah jauh, Nyangko sekali melompat udah sampai di tempat yang akan di tuju oleh ayahnya. Kayau sudah habis di cincang-cincang oleh Nyangko, kepala yang besar-besar di bawanya, sedangkan kepala yang kecil-kecil di tinggalkannya, setelah selesai Nyangko melompat kembali ke pedupunya, sedangkan ayah dan teman-temannya baru tiba di tempat tujuan yang mau di kayau setelah Nyangko meninggalkan tempat tersebut. Ayah dan kawan-kawannya heran melihat bangkai sudah berseliweran mereka mengemaskan kepala yang di tinggal oleh Nyangko untuk di bawa pulang ke pedupu.
Usai mengemaskan sisa kepala kayau yang Nyangko tinggalkan, ayahnya dan kawan-kawan pulang ke pedupu.
Ini lihat, kepala kayau sampai tak terbawa oleh kami, kamu sendiri tidak berguna karena tidak mau berangkat Ngayau, “kata ayahnya kepada Nyangko.
O… kepala kayau yang besar-besar mana ? kata Nyangko
Entah kemana, hanya ini yang kami dapat, kata Catek Pak Caneng.
Ini punyaku, kepala pangalangoknya (pimpinan perang), lihatlah besar-besar, kalian sudah memungut bekas-bekas yang ku tinggalkan, kata Nyangko kemudian.
Mereka berempat heran dan bertambah bingung, merasa malu di dahului oleh Nyangko.
Sekarang kita pulang ke rumah, aku mau membawa ibuku kembali ke dunia, kalau kalian tidak menyetujuinya saat ini juga kita bekayau, kata Nyangko pada ayahnya. Sepatah katapun ayahnya tidak berbicara, karena ia takut dengan kehebatan Nyangko.
Sesampai di rumah/kampung Nyangko bilang sama ibunya bahwa ia mau mengajak Nya kembali ke Dunia. Ibunya mau saja, pagi hari berikutnya Nyangko dan ibunya turun ke dunia, Nyangko dan ibunya kembali menjadi seperti manusia biasa lagi.(Bersambung)

Sumber cerita : dawen/pak angkis, kampung Rees kecamatan menjalin.
sumber blog : http://yohanessupriyadi.blogspot.com/2008/03/legenda-bujakng-nyangko-1.html


Bookmark and Share
 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube