Menurut data yang kami peroleh dari catatan almarhum Pendeta A.R Nyaring (74), seorang cucu Damang Batu, yang tinggal di di desa Tampang, kecamatan kurun, yang memperolehnya dari salah seorang peserta Rapat Damai, yaitu Dambung Nyaring almarhum, sbb: ketika belanda mulai masuk pulau Borneo (kalimantan) pada zaman itu berada dalam keadaan yang sangat rawan, terutama di daerah pedalaman karena terjadi permusuhan antar suku yang dikenal dengan istilah “tiga H”: hakayau, habunu, hatetek (saling mengayau, saling membunuh, saling memenggal).
Belanda pun selalu merasa was-was bila masuk ke daerah pedalaman Borneo (Kalimantan). Penduduk setiap suku pun merasa tidak tentram di dalam susana yang selalu dibayangi rasa takut dan setiap saat selalu berjaga-jaga. Sehubungan dengan itu, maka atas prakarsa Belanda, diundanglah parakepala suku dan tokoh-tokoh masyarakat Adat Dayak di Borneo (Kalimantan) supaya berkumpul di kuala kapuas untuk membicarakan bagaimana caranya agar diselengaranya perdamaian di antara suku yang saling bermusuhan itu. Sesuai waktu yang telah di tetapkan, maka Residen Tuan Brus beserta Kontrolir (Kapuas) dan staf serta serdadu-serdadu Belanda datang ke Kuala Kapuas, sementara para kepala suku dan tokoh-tokoh masyarakat pun sudah tiba. Pada tanggal 14 Juni 1893 berlangsunglah “Rapat Kilat” untuk membahas upaya menghentikan “3H” itu.
Dalam rapat tersebut dibahas:
1.Memilih siapa yang berani dan sanggup menjadi ketua dan sekaligus menjadi tuan rumah penyelenggaraan perjanjian damai tersebut.
2.Menetapkan tempat penyelenggaraan
3.Menetapkan waktu penyelenggaraan
4.Berapa lama lagi rapat tersebut dapat dilaksanakan.
Residen Banjar berkali-kali bertanya kepada para kepala suku dan tokoh-tokoh masyarakat yang hadir supaya mengacungkan tanggan bila merasa sangup untuk menjadi ketua pelaksana sekaligus menjadi tuan rumah dan tempat pelaksanaan. Diantara sekian banyak tokoh, akhirnya Damang Batu mengangkat tanggan dan menyatakan kesediaannya. Kemudian mengingat Damang Batu juga memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas mengenai adat istiadat suku-suku Dayak, maka ia disetujui sebagai ketua, dan langsung disyahkan oleh Residen Brus.
Setelah itu rapat memutuskan:
1.Rapat Damai Dayak dilaksanakan di desa Tumabang Anoi tempat Damang Batu.
2.Diberi waktu kurang lebih 6 bulan untuk melakukan persiapan-persiapan, dan diharapkan pada awal tahun 1894 rapat tersebut sudah bisa dimulai. (catatan penyunting:ternyata masa persiapan memakan waktu kurang lebih satu tahun)
3.Lama persidangan ditetapkan tiga bulan di Betang Tumbang Anoi.
4.Undangan atau Parawei disampaikan melalui para kepala suku dan tokoh-tokoh masyarakat masing-masing daerah secara lisan dimulai setelah rapat tersebut.
5.Utusan atau peserta rapat haruslah tokoh atau kepala suku yang betul-betul mengetahui adat istiadat daerahnya masing-masing.
6.Direncanakan Rapat Damai Dayak di mulai pada tanggal 1 Januari s.d 30 Maret 1894. (namun Rapat Damai tersebut baru dapat dimulai pada tanggal 22 Mei s.d 24 Juli 1894)
Setelah rapat selesai, maka sejak saat itulah kegiatan-kegiatan dimulai seperti memberitahu dan menjelaskan maksud dari Rapat Damai tersebut dan menyampaikan undangan kepada para kepala suku dan tokoh masyarakat adat yang tidak sempat hadir pada rapat di Kuala Kapuas itu. Damang Batu pun pulang ke Tumbang Anoi untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan rencana rapat damai tersebut. Ia langsung mengundang warga-warga masyarakat yang berada di wilayahnya mulai dari Tumbang Miri dan sepanjang sungai Miri, sepanjang sungai Hamputung, dan sepanjang sungai Khayan Hulu mulai Tumbang Miri sampai Lawang Kaang atau Tumbang Dangoi, agar berkumpul di Tumbang Anoi.
Setelah mereka datang, maka Damang Batu memberikan penjelasan dan mengajak orang banyak untuk mulai membangun bipak (pondok) di sekitar hulu dan hilir Tumbang Anoi dan juga di seberangnya. Pondok itu dilengkapi dengan dapur tempat memasak, dan di sekelilingnya ditanami ubi kayu, yang dimaksudkan sebagai makanan sampingan bagi para peserta nanti. Dalam masa satu bulan, pondok dan kebun ubi kayu telah selesai. Orang banyakpun kembali lagi kedesa masing-masing dan membantu mengumpulkan bahan makanan seperti beras dan semuanya yang akan dikumpulkan di Tumbang Anoi.
Sementara orang mengerjakan pondok itu, Damang Batu mengajak orang-orang tersebut ikut bersama ke desa-desa lain untuk mengumpulkan bahan makanan seperti padi dan beras. Selama kurang lebih 5 bulan, Damang Batu tidak pernah menetap di desanya. Sementara itu, 100 ekor kerbau milik Damang Batu sendiri telah disiapkan. Menjelang akhir bulan Desember 1893 atau bulan keenam sesuai janji, segala sesuatu telah siap.
Akibat hujan yang turun sesudah tanggal 26 April 1894 di daerah hulu sungai, maka Kontrolir Tanah Dayak berusaha berhasil tiba di Tumbang Anoi tanggal 8 Mei 1894. Hujan itu telah menyebabkan keterlambatan yang tidak kecil dalam perjalanan Kontrolir Melawi, walaupun telah berangkat satu hari lebih awal. Ketika mudik mengarungi sungai Melawi di dekat muara Ambaloh, perahunya mengalami kecelakaan waktu melewati sebuah riam yang deras dan sangat sukar untuk dilalui. Setiap kali menjumpai riam-riam yang lebih besar di sungai Ambolah mereka harus menunggu hingga air turun cukup rendah untuk dilalui oleh perahu yang sebelumnya telah dikosongkan.
Ketika sampai di huluan sungai Ambaloh yang juga berarti hulu sungai Kahayan hujan pun berhenti, dan perahu pun harus ditarik melalui pinggiran sungai yang berbatu-batu sehingga hampir semua perahu rusak dan tidak dapat digunakan lagi.
Karena beberapa hal rombongan ini berada dalam keadaan yang sangat sulit: tidak dapat maju maupun mundur, karena tidak adanya sarana perhubungan di sepanjang sungai, kecuali menempuh jalan di hutan belantara. Sementara, jika tetap tinggal lebih lama dalam perjalanan mereka akan kekurangan bahan makanan. Untunglah Kapten Staf V.D Willigen, yang mendampingi rombongan, dapat mencapai Tumbang Anoi dengan satu-satunya perahu yang masih dapat dipakai dan memperoleh pertolongan dari sana, sehingga Kontrolling Melawi, dapat hadir di Tumbang Anoi yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu tanggal 20 Mei 1894.
Tempat penginapan diatur sesuai petunjuk Damang Batu, pondok-pondok di seberang Tumbang Anoi disiapkan untuk orang-orang Ot agar agak jauh dari kelompok-kelompok orang lain sehingga mudah pengawasannya. Yang ditugaskan sebagai pengawas keamanan ialah seorang Ot yang di kepalai oleh Tingang Kuai yang terkenal pemberani atau mamut menteng dan disegani karena ketangguhannya dalam berkelahi. Ia dibantu oleh Temanggung Numai dan 15 orang Ot lainnya. Kedua tokoh itu terkenal pemberani dan tangguh dalam membela kebenaran, sehingga selama berlangsungnya sidang perdamaian, tak ada seorangpun yang berani berbuat onar.
Bersambung..
Sumber :
- Catatan dari almarhum Damang Nyaring yang dicatatnya dari almarhum Lahing Tabias, dan dicatat kembali oleh almarhum Pendeta A.R. Nyaring, desa Tampang, seorang cucu Damang Batu: Tentang riwayat Damang Batu, Beteng, dan Perdamaian.
- Catatan Yakup Sawung, S.H, 1972 : Tentang nama-nama peserta rapat perdamaian (catatan penyunting : sebagian tercantum dalam catatan yang diperoleh W.A.Gara)
- Catatan almarhum Damang A. Pijar, Tumbang Mahurai mengenai nama-nama peserta rapat damai.
- Damang Salilah, AGAMA KAHARINGAN : SUSUN GAWI TIWAH SAMPAI BALAKU UNTUNG, LBSB UNPAR, Palangkaraya, 1977, h.116-118
- Prof.Dr. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta. 1990
- Prof. KMA M. Usop, M.A, ADAT ISTIADAT DAERAH KALIMANTAN TENGAH, Universitas Palangkaraya, PNPKD DPK, 1977/1978
- Bahan-bahan yang dihimpun oleh Panitia Pemugaran Makam Damang Batu di desa Tumbang Anoi, kecamatan Kahayan Hulu Utara, Kabupaten Kapuas, 1989/1990.
Belanda pun selalu merasa was-was bila masuk ke daerah pedalaman Borneo (Kalimantan). Penduduk setiap suku pun merasa tidak tentram di dalam susana yang selalu dibayangi rasa takut dan setiap saat selalu berjaga-jaga. Sehubungan dengan itu, maka atas prakarsa Belanda, diundanglah parakepala suku dan tokoh-tokoh masyarakat Adat Dayak di Borneo (Kalimantan) supaya berkumpul di kuala kapuas untuk membicarakan bagaimana caranya agar diselengaranya perdamaian di antara suku yang saling bermusuhan itu. Sesuai waktu yang telah di tetapkan, maka Residen Tuan Brus beserta Kontrolir (Kapuas) dan staf serta serdadu-serdadu Belanda datang ke Kuala Kapuas, sementara para kepala suku dan tokoh-tokoh masyarakat pun sudah tiba. Pada tanggal 14 Juni 1893 berlangsunglah “Rapat Kilat” untuk membahas upaya menghentikan “3H” itu.
Dalam rapat tersebut dibahas:
1.Memilih siapa yang berani dan sanggup menjadi ketua dan sekaligus menjadi tuan rumah penyelenggaraan perjanjian damai tersebut.
2.Menetapkan tempat penyelenggaraan
3.Menetapkan waktu penyelenggaraan
4.Berapa lama lagi rapat tersebut dapat dilaksanakan.
Residen Banjar berkali-kali bertanya kepada para kepala suku dan tokoh-tokoh masyarakat yang hadir supaya mengacungkan tanggan bila merasa sangup untuk menjadi ketua pelaksana sekaligus menjadi tuan rumah dan tempat pelaksanaan. Diantara sekian banyak tokoh, akhirnya Damang Batu mengangkat tanggan dan menyatakan kesediaannya. Kemudian mengingat Damang Batu juga memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas mengenai adat istiadat suku-suku Dayak, maka ia disetujui sebagai ketua, dan langsung disyahkan oleh Residen Brus.
Setelah itu rapat memutuskan:
1.Rapat Damai Dayak dilaksanakan di desa Tumabang Anoi tempat Damang Batu.
2.Diberi waktu kurang lebih 6 bulan untuk melakukan persiapan-persiapan, dan diharapkan pada awal tahun 1894 rapat tersebut sudah bisa dimulai. (catatan penyunting:ternyata masa persiapan memakan waktu kurang lebih satu tahun)
3.Lama persidangan ditetapkan tiga bulan di Betang Tumbang Anoi.
4.Undangan atau Parawei disampaikan melalui para kepala suku dan tokoh-tokoh masyarakat masing-masing daerah secara lisan dimulai setelah rapat tersebut.
5.Utusan atau peserta rapat haruslah tokoh atau kepala suku yang betul-betul mengetahui adat istiadat daerahnya masing-masing.
6.Direncanakan Rapat Damai Dayak di mulai pada tanggal 1 Januari s.d 30 Maret 1894. (namun Rapat Damai tersebut baru dapat dimulai pada tanggal 22 Mei s.d 24 Juli 1894)
Setelah rapat selesai, maka sejak saat itulah kegiatan-kegiatan dimulai seperti memberitahu dan menjelaskan maksud dari Rapat Damai tersebut dan menyampaikan undangan kepada para kepala suku dan tokoh masyarakat adat yang tidak sempat hadir pada rapat di Kuala Kapuas itu. Damang Batu pun pulang ke Tumbang Anoi untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan rencana rapat damai tersebut. Ia langsung mengundang warga-warga masyarakat yang berada di wilayahnya mulai dari Tumbang Miri dan sepanjang sungai Miri, sepanjang sungai Hamputung, dan sepanjang sungai Khayan Hulu mulai Tumbang Miri sampai Lawang Kaang atau Tumbang Dangoi, agar berkumpul di Tumbang Anoi.
Setelah mereka datang, maka Damang Batu memberikan penjelasan dan mengajak orang banyak untuk mulai membangun bipak (pondok) di sekitar hulu dan hilir Tumbang Anoi dan juga di seberangnya. Pondok itu dilengkapi dengan dapur tempat memasak, dan di sekelilingnya ditanami ubi kayu, yang dimaksudkan sebagai makanan sampingan bagi para peserta nanti. Dalam masa satu bulan, pondok dan kebun ubi kayu telah selesai. Orang banyakpun kembali lagi kedesa masing-masing dan membantu mengumpulkan bahan makanan seperti beras dan semuanya yang akan dikumpulkan di Tumbang Anoi.
Sementara orang mengerjakan pondok itu, Damang Batu mengajak orang-orang tersebut ikut bersama ke desa-desa lain untuk mengumpulkan bahan makanan seperti padi dan beras. Selama kurang lebih 5 bulan, Damang Batu tidak pernah menetap di desanya. Sementara itu, 100 ekor kerbau milik Damang Batu sendiri telah disiapkan. Menjelang akhir bulan Desember 1893 atau bulan keenam sesuai janji, segala sesuatu telah siap.
Akibat hujan yang turun sesudah tanggal 26 April 1894 di daerah hulu sungai, maka Kontrolir Tanah Dayak berusaha berhasil tiba di Tumbang Anoi tanggal 8 Mei 1894. Hujan itu telah menyebabkan keterlambatan yang tidak kecil dalam perjalanan Kontrolir Melawi, walaupun telah berangkat satu hari lebih awal. Ketika mudik mengarungi sungai Melawi di dekat muara Ambaloh, perahunya mengalami kecelakaan waktu melewati sebuah riam yang deras dan sangat sukar untuk dilalui. Setiap kali menjumpai riam-riam yang lebih besar di sungai Ambolah mereka harus menunggu hingga air turun cukup rendah untuk dilalui oleh perahu yang sebelumnya telah dikosongkan.
Ketika sampai di huluan sungai Ambaloh yang juga berarti hulu sungai Kahayan hujan pun berhenti, dan perahu pun harus ditarik melalui pinggiran sungai yang berbatu-batu sehingga hampir semua perahu rusak dan tidak dapat digunakan lagi.
Karena beberapa hal rombongan ini berada dalam keadaan yang sangat sulit: tidak dapat maju maupun mundur, karena tidak adanya sarana perhubungan di sepanjang sungai, kecuali menempuh jalan di hutan belantara. Sementara, jika tetap tinggal lebih lama dalam perjalanan mereka akan kekurangan bahan makanan. Untunglah Kapten Staf V.D Willigen, yang mendampingi rombongan, dapat mencapai Tumbang Anoi dengan satu-satunya perahu yang masih dapat dipakai dan memperoleh pertolongan dari sana, sehingga Kontrolling Melawi, dapat hadir di Tumbang Anoi yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu tanggal 20 Mei 1894.
Tempat penginapan diatur sesuai petunjuk Damang Batu, pondok-pondok di seberang Tumbang Anoi disiapkan untuk orang-orang Ot agar agak jauh dari kelompok-kelompok orang lain sehingga mudah pengawasannya. Yang ditugaskan sebagai pengawas keamanan ialah seorang Ot yang di kepalai oleh Tingang Kuai yang terkenal pemberani atau mamut menteng dan disegani karena ketangguhannya dalam berkelahi. Ia dibantu oleh Temanggung Numai dan 15 orang Ot lainnya. Kedua tokoh itu terkenal pemberani dan tangguh dalam membela kebenaran, sehingga selama berlangsungnya sidang perdamaian, tak ada seorangpun yang berani berbuat onar.
Bersambung..
Sumber :
- Catatan dari almarhum Damang Nyaring yang dicatatnya dari almarhum Lahing Tabias, dan dicatat kembali oleh almarhum Pendeta A.R. Nyaring, desa Tampang, seorang cucu Damang Batu: Tentang riwayat Damang Batu, Beteng, dan Perdamaian.
- Catatan Yakup Sawung, S.H, 1972 : Tentang nama-nama peserta rapat perdamaian (catatan penyunting : sebagian tercantum dalam catatan yang diperoleh W.A.Gara)
- Catatan almarhum Damang A. Pijar, Tumbang Mahurai mengenai nama-nama peserta rapat damai.
- Damang Salilah, AGAMA KAHARINGAN : SUSUN GAWI TIWAH SAMPAI BALAKU UNTUNG, LBSB UNPAR, Palangkaraya, 1977, h.116-118
- Prof.Dr. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta. 1990
- Prof. KMA M. Usop, M.A, ADAT ISTIADAT DAERAH KALIMANTAN TENGAH, Universitas Palangkaraya, PNPKD DPK, 1977/1978
- Bahan-bahan yang dihimpun oleh Panitia Pemugaran Makam Damang Batu di desa Tumbang Anoi, kecamatan Kahayan Hulu Utara, Kabupaten Kapuas, 1989/1990.
menarik artikelnya dan menambah iinformasi yang ada. tkb
ReplyDeletePerlu juga dicari Sejarah Tamputn Juah,tempat berasal Suku-suku Dayak Ibanic Group, karena Bukti2 sejarah masih terdapat di sana.
ReplyDeleteKalau saya tidak salah, buka "Kalimantan Membangun" oleh Djilik Riwut mengenai Perdamaian Tumbang Anoi juga ada disampaikan disana. Tks
ReplyDeleteMohon Informasi waktu pelaksanaan Rapat Besar Tumbang Anoi 2014, demikian Terima Kasih
ReplyDelete