BREAKING

Monday, November 2, 2009

ARUH GANAL

Dimensi Sosial-Religius Masyarakat Dayak

Aruh Ganal atau kenduri besar merupakan salah satu khazanah kebudayaan lokal ataupun tradisi turun-temurun masyarakat suku Dayak (masyarakat Dayak), etnik mayoritas di Kalimantan Selatan.

Aruh Ganal adalah istilah yang digunakan masyarakat Dayak untuk menyebut ritual upacara ataupun pesta setelah panen raya. Upacara ini dilakukan masyarakat Dayak sebagai wujud ungkapan syukur atas hasil panen. Disebut Aruh Ganal karena upacara ini dilakukan selama lima, tujuh, atau 12 hari dengan melibatkan warga kampung, baik dari kampung dalam maupun kaum luar masyarakat Dayak. Upacara ini juga melibatkan aparat pemerintahan sebagai tamu undangan.
Dalam sejarahnya, tidak diketahui secara pasti kapan tradisi Aruh Ganal ada dan resmi sebagai ritual yang terlembagakan di masyarakat Dayak. Namun, apabila melihat latar belakang dan substansi upacara Aruh Ganal, upacara ini diduga lahir bersamaan dengan dikenalnya tradisi berladang ataupun bercocok tanam masyarakat Dayak. Jadi ini merupakan tradisi yang usianya sama tuanya dengan aktivitas ekonomi (berladang) di Kalimantan Selatan.

Pelaksanaan prosesi upacara Aruh Ganal biasanya dilakukan setahun sekali yakni sesudah musim panen berakhir, antara Juli dan Agustus. Upacara ini dilaksanakan di Balai Adat, tempat utama seluruh pelaksanaan acara adat suku Dayak. Upacara Aruh Ganal dipimpin seorang balian/dukun. Balian, tokoh spiritual dan ritual yang dikenal memiliki pengetahuan luas akan seluk beluk adat dan tradisi masyarakat Dayak.

Sebelumnya, prosesi tradisi masyarakat Dayak ini diawali dengan musyawarah warga kampung yang dipimpin ketua suku utama (penghulu utama). Dalam musyawarah--musyawarah adat--itu, mereka, warga kampung dan ketua suku, membicarakan hasil panen dan kemungkinan diadakannya Aruh Ganal. Karena itu, jadi dan tidak dilangsungkannya upacara Aruh Ganal terkait dengan hasil panen yang diperoleh warga suku Dayak. Apabila hasil panennya dalam jumlah besar dan dianggap cukup memuaskan, musyawarah membahas penentuan hari pelaksanaan upacara, tamu-tamu undangan, dan persiapan peralatan upacara. Sebaliknya, jika hasil panennya mengecewakan, upacara Aruh Ganal secara otomatis dibatalkan.

Peralatan yang digunakan dalam ritual Aruh Ganal adalah alat-alat khusus yang wajib dipersiapkan seluruh warga atas petunjuk seorang balian. Alat-alat seperti langatan, tali rotan, dan kelangkung merupakan peralatan upacara yang tidak pernah ketinggalan ketika upacara itu dilaksanakan. Langatan merupakan induk acak dan sajian yang disusun lima tingkat berdasarkan besar dan kecilnya ukuran sesajian. Biasanya, sajian dalam ukuran terkecil yang berada di tingkat teratas. Sajian atau langatan ini memiliki nama-nama tertentu, seperti Ancak ka Gunung (tidak bertingkat) dan Ancak Balai Raden (berbentuk perahu). Nama-nama langatan tersebut merupakan simbol yang disesuaikan dengan isi dan tujuan upacara. Kelangkung adalah alat-alat berjumlah tiga buah yang dibuat sebagai simbol dari nama-nama dewa ataupun nenek moyang suku Dayak. Sementara itu, tali rotannya berfungsi untuk mengikat sajian yang digantungkan di tengah balai adat.

Setelah peralatan upacara lengkap, sempurna, dan siap digunakan, seorang balian kemudian memimpin jalannya ritual upacara Aruh Ganal. Rangkaian acara itu meliputi barnamang (berdoa dengan membaca mantra-mantra), bakanjar (tarian menyerupai burung elang oleh para pemuda), dan bakapur (berkapur dengan minyak kelapa dan kapur sirih).

Hal yang menarik sekaligus menjadi puncak dari rentetan rangkaian upacara tersebut adalah diselenggarakannya tarian-tarian khas suku Dayak yang mereka sebut dengan Maratus atau Batandik. Tarian ini dibawakan seluruh warga kampung, baik laki-laki maupun perempuan, muda ataupun tua. Mereka membaur jadi satu, tenggelam dalam gerakan tarian khas.

Nilai religius

Bagi masyarakat Dayak, upacara Aruh Ganal merupakan puncak ritual religius yang dilakukan secara kolektif. Lebih dari itu, ritual ini diyakini sebagai salah satu medium paling utama untuk memperkuat tali persaudaraan. Dengan kata lain, ritual Aruh Ganal merupakan tradisi yang menyimpan nilai-nilai religius dan sosial.
Nilai religius dan sosial dalam upacara Aruh Ganal ini bermula dari pemahaman filosofis yang dianut masyarakat Dayak. Dalam masyarakat Dayak, pemahaman filosofis berkenaan dengan pemaknaan akan seluruh aktivitas keseharian mereka. Misalnya, dalam aktivitas ekonomi yang meliputi aktivitas berladang ataupun bercocok tanam. Menurut filosofis orang Dayak, berladang tidak semata-mata sebagai sebuah aktivitas ekonomi an-sich yang terlepas dari pemaknaan nilai-nilai ketuhanan.
Selain itu, Aruh Ganal juga menyimpan nilai sosial. Nilai ini terletak pada fungsi dan tujuan sosial dari upacara itu. Bagi masyarakat Dayak, upacara Aruh Ganal seolah menjadi ajang paling efektif untuk menumbuhkan rasa solidaritas, saling mengenal pribadi atau individu lain. Hal itu tecermin dari aktivitas mereka dalam mempersiapkan peralatan upacara dan pemberian hasil panen kepada warga lain yang kurang mampu. Dengan senang hati dan penuh kesadaran mereka mempersiapkan peralatan agar upacara dapat berlangsung dengan baik. Tanpa kerja sama yang sehat, upacara Aruh Ganal mustahil dapat diselenggarakan. Oleh karena itu, dalam upacara tersebut sangat dibutuhkan tenaga manusia dalam jumlah yang besar.
Selain nilai-nilai di atas, upacara Aruh Ganal juga menyimpan nilai politik. Nilai itu tecermin pada tradisi mengundang tamu dari kampung-kampung lain dan dari aparat pemerintah. Tradisi undangan pada dasarnya bertujuan agar eksistensi tradisi--representasi eksistensi komunitas suku Dayak--tetap diakui di kalangan lain. Artinya, dengan upacara Aruh Ganal, masyarakat Dayak ingin memperlihatkan kepada pada komunitas lain bahwa eksistensi mereka sebagai manusia yang berada dalam ruang lingkup komunitas terbatas juga dianggap dan tidak dimarginalkan.
Sesungguhnya, upacara Aruh Ganal menjadi sebuah legitimasi atas tradisi kebudayaan lokal khas suku Dayak.
Akhirnya, meskipun masyarakat Dayak mayoritas berdomisili di pedalaman yang terpisah dari komunitas luar, mereka tidak seharusnya dikucilkan. Sebab, bagaimanapun mereka tetaplah warga negara Indonesia yang berhak atas hak-hak mereka sebagai warga negara, seperti hak mendapatkan pengakuan, pendidikan, dan kesejahteraan. Setidaknya, lewat tradisi upacara Aruh Ganal, masyarakat Dayak berusaha menjalin interaksi dengan masyarakat luar. Sudah sewajarnya, semua pihak merespons positif usaha yang mereka lakukan. Sebagai warga negara, kita harus bangga sebab bangsa ini kaya akan budaya lokal.
Upacara Aruh Ganal adalah khazanah lokal yang wajib dilestarikan sebagai harta kekayaan kebudayaan kita itu.
Oleh Yanuar Arifin Pemerhati Sosial dan Budaya pada Hasyim Asy'ari Institute dan Center for Developing Indonesian Culture (CDIC) Yogyakarta

sumber : catatan Dayak Revolutions

No comments :

Post a Comment

 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube