BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Wednesday, November 14, 2012

Penduduk Madagaskar Diyakini Berasal Dari Indonesia



Penduduk Madagaskar Diyakini Berasal Dari Indonesia   google.comPeta Madagaskar
PALANGKARAYA, KOMPAS.com - Sebagian penduduk Madagaskar, sebuah negara di Afrika, diyakini berasal dari Indonesia. Penduduk itu disebut suku Merina dengan bahasa yang mirip Dayak Maanyan. Masyarakat Merina dan Maanyan memiliki ribuan kosa kata yang sama.
Kami berencana melakukan penelitian dan pengumpulan data tentang kesamaan suku Merina dan Maanyan. Langkah itu akan dilaksanakan dengan verifikasi.
-- Lasro Simbolon
Menurut Direktur Afrika, Kementerian Luar Negeri, Lasro Simbolon di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa (13/11/2012), pihaknya berencana melakukan penelitian dan pengumpulan data tentang kesamaan suku Merina dan Maanyan. Langkah itu akan dilaksanakan dengan verifikasi.
"Mungkin kami akan melibatkan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Jadi, informasi tidak hanya berasal dari perpustakaan," ujarnya. Penelitian diharapkan dapat membuat hubungan antara Indonesia dengan Afrika khususnya Madagaskar, semakin erat.
Hubungan sosial budaya Merina dan Maanyan tercermin melalui kontak kedua pihak sekitar 1.200 tahun lalu dengan misi dagang dari Indonesia ke Madagaskar. Bukti kontak budaya misalnya ditunjukkan dengan bahasa Malagasy yang dipakai Merina. Malagasy punya k aitan erat dengan bahasa-bahasa Malayo-Polynesia.
Malayo-Polynesia digunakan penduduk Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Tapi, Malagasy amat mirip dengan bahasa Maanyan, tutur Lasro. Sebagai contoh, kata belum memiliki arti yang sama dengan bรงlum dalam bahasa Malagasy. Sistem bercocok tanam khususnya padi kedua suku itu juga menunjukkan persamaan.

sumber : kompas.com
Editor :
Robert Adhi Ksp

Thursday, November 8, 2012

Tokoh Dayak Menentang Pemberian Gelar bagi Jupe

Rabu, 7 November 2012 19:47 WIB
Metrotvnews.com, Kotabaru: Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) memprotes pemberian gelar Intan Garinda terhadap Julia Perez (Jupe). Gelar tersebut diberikan tokoh adat Dayak di Kalimantan Tengah.

Wakil Majelis Adat Dayak Nasional Haspan Hamdan di Kotabaru, Kalimantan Selatan, Rabu (7/11), menyebut pemberian gelar kepada Jupe sangat tidak objektif dan tidak profesional, dan keliru. Bahkan, kata dia, merendahkan martabat orang Dayak di Kalimantan.

Pemberian gelar bangsawan bagi masyarakat Dayak, kata Hamdan, tidak gampang. Seseorang harus melewati proses yang sangat objektif melalui musyawarah. Menurut dia, pihak penerima gelar harus punya integritas yang tinggi serta kontribusi yang luar biasa terhadap masyarakat adat.

"Saya selaku tokoh adat Dayak di kalimantan sekaligus sebagai Wakil Sekjen Majelis Adat dayak Nasional Wilayah Kalsel mengecam sekaligus keberatan atas pemberian gelar kepada Jupe itu," tegasnya.

Kepada pihak pemberi gelar, Hamdan berharap, segera mencabut pemberian gelar tersebut sekaligus meminta maaf kepada seluruh masyarakat Dayak di Kalimantan.

Hamdan mengungkapkan, pihaknya akan berkoordinasi dengan MADN, langkah-langkah yang akan dilakukan terkait pemberian penghargaan tersebut. "Kami masih mencari informasi apa yang menjadi dasar sehingga salah seorang tokoh adat di Kalteng itu memberi penghargaan kepada Jupe," imbuhnya.(Ant/TII)

Pemberian Gelar untuk Jupe Menuai Kecaman

PALANGKARAYA, KOMPAS.com - Pemberian gelar Nyai Intan Garinda untuk aktris, penyanyi, dan model iklan Julia Perez saat berkunjung ke Kalimantan Tengah, menuai kecaman.
Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng menyampaikan keberatan, dan menuntut gelar perempuan yang kerap dipanggil Jupe itu dicabut.
Ketua DAD Kalteng, Sabran Achmad, di Palangkaraya, Rabu (7/11/2012), mengatakan, Jupe datang ke Kalteng untuk melakukan pengambilan gambar. Kegiatan untuk pembuatan film berjudul Perawan Dayak itu tak diketahui DAD Kalteng. Demikian pula Pemerintah Kabupaten Katingan dan Pemerintah Provinsi Kalteng.
Citra Jupe di mata sebagian masyarakat juga miring. Sebelumnya, Jupe melakukan pengambilan gambar di Desa Tumbang Manggu, Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Kalteng, pekan lalu. Dalam kegiatan itu, ia menerima gelar dari damang (tokoh adat) setempat.
"Kami menolak pemberian gelar itu. Pemberian gelar diberikan tak sesuai ketentuan yang berlaku, sehingga dinilai melecehkan dan tidak baik," kata Sabran.
Karena itu, DAD Kalteng juga tak ingin film yang dibintangi Jupe beredar, baik di Indonesia maupun Kalteng.
Menurut Sabran, pihaknya sedang mengusut alasan pemberian gelar untuk Jupe. Namun, sanksi untuk pemberi gelar belum ditetapkan.
"Hukuman itu harus diputuskan melalui sidang adat. Kami khawatir, jika diedarkan, film akan menimbulkan kesan negatif terhadap masyarakat Dayak," katanya.
 
Editor :
Agus Mulyadi

Saturday, October 13, 2012

PESTA SENI DAN BUDAYA DAYAK SE-KALIMANTAN

Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka' Jubata...!!!
Salam Budaya..

HADIRILAH.....!!! PESTA SENI DAN BUDAYA DAYAK SE-KALIMANTAN X 2012-YOGYAKARTA (PSBDK X 2012)

Tanggal, 18 s/d 20 Oktober 2012, di gedung PKKH Koesnadi Hardjasoemantri, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pukul 09.00-22.00 wib.

TEMA:  "Aktualisasi Spirit Kearifan Tradisi Bagi Pemahaman Budaya Dayak Antar Generasi"

Rangkaian Acara:
1. Acara Pembukaan dengan Ritual Adat Dayak Bidayuh
18 Oktober 2012
waktu : 10.00 - 15.00 WIB
tempat : Halaman Gedung Koesnadi Hardjasoemantri
Tebuka untuk umum

2. Pameran Seni dan Kerajinan Memayet
waktu : 18 OKtober 2012
Tempat : Lorong Kanan Gedung Pertunjukan Koesnadi Hardjasoemantri

3. Stand Pameran
18 - 20 Oktober 2012
Waktu : 15.00 - 22.00 WIB
Tempat : Halaman Gedung Koesnadi Hardjasoemantri
Pameran Seni & Kerajinan mengangkat tema "Kampung Dayak"
Setiap stand pameran menghadirkan nuansa dari dimensi kehidupan suku Dayak.
Terbuka untuk umum

4. Malam Kesenian I & Festival Vocal Group
18 Oktober 2012
Waktu : 19.00 - 22.00 WIB
Tempat : Gedung Pertunjukan Koesnadi Hardjasoemantri
HTM : 10.000; (Tempat Terbatas)

5. Talkshow & Workshop "Bidai"
19 Oktober 2012
Waktu : 09.00 - 12.00 WIB
Terbuka untuk umum (Gratis)

6. Perlombaan Tradisional I
Menyumpit
19 Oktober 2012
Waktu : 13.00 - 15.00 WIB
Tempat Halaman Gedung Pertunjukan Koesnadi Hardjasoemantri

7. Malam Festival Tari Kreasi Dayak
19 Oktober 2012
Waktu : 19.00 - 22.00 WIB
Tempat : Gedung Pertunjukan Koesnadi Hardjasoemantri
HTM : 15.000; (Tempat Terbatas)

8. SeMinar Budaya
20 Oktober 2012
Waktu : 09.00 - 12.00 WIB
Tempat : Gedung Pertunjukan Koesnadi Hardjasoemantri
Terbuka untuk umum (gratis)

9. Perlombaan Tradisional II
20 Oktober 2012
Pangka' Gasing, Waktu : 13.00 - 15.00 WIB
Menampi Beras, Waktu : 15.00 - 17.00 WIB
Tempat : Halaman Gedung Pertunjukan Koesnadi Hardjasoemantri

10. Malam Kesenian II
20 Oktober 2012
Waktu : 18.30 - 21.30 WIB
Tempat : Gedung Pertunjukan Koesnadi Hardjasoemantri
HTM : 15.000; (Tempat Terbatas)

11. Penutupan dengan Ritual Upacara Adat Dayak Bidayuh
20 Oktober 2012
Waktu : 21.30 - 23.30 WIB
Tempat : Tempat : Halaman Gedung Pertunjukan Koesnadi Hardjasoemantri
Terbuka Untuk Umum

Monday, October 1, 2012

Batik Bermotif Kaltim Dipatok Harga Rp 7 Juta



google.com
Ilustrasi
SAMARINDA, KOMPAS.com--Kain Batik dengan motif Kalimantan Timur, yang dipamerkan pada Kaltim Expo 2012 dibandrol hingga Rp7 juta.
Pemilik stand Rezadya Batik, Rr. Retno Widowati SK, Selasa, mengatakan, kain batik bermotif tradisional Kaltim itu dibuat di Kota Pekalongan, Jawa Tengah.
"Kain batik tradisional Kaltim ini dibuat di Kota Pekalongan namun untuk penjualan sehari-hari warga bisa mendapatkan di ’show room’ kami di Jalan Sempaja Lestari," ungkap Rr. Retno Widowati.
Kain bermotif batik tradisional Kaltim itu kata Rr. Retno Widowati dibandrol mulai Rp250 ribu hingga Rp7 juta. "Kain yang terbuat dari bahan katun harganya Rp250 ribu dan termahal Rp7 juta yang dibuat dari sutra dan tenun. Untuk ukuran kain itu mulai dua hingga tiga meter," kata Rr. Retno Widowati yang menyebut, kain batif motif Kaltim buatannya tersebut memiliki ciri khusus.
Pembuatan kain batik bermotif ukiran Dayak itu lanjut Rr. Retno Widowati dilakukan di Kota Pekalongan karena keterbatasan alat dan dan SDM (sumber daya manusia) serta jenis air yang ada di Samarinda bersifat asin sehingga akan mempengaruhi kualitas pewarnaan.
"Selain biayanya tinggi, banyak bahan yang sulit di peroleh di Samarinda sehingga rencana memproduksi kain batik khas Kaltim itu disini (Samarinda) urung kami lakukan," katanya.
"Jenis air juga disini tidak memungkinkan untuk membuat batik sebab akan sangat mempengaruhi kualitas warna juga menjadi salah satu masalah sehingga produksi batik khas Kaltim itu tetap kami lakukan di Pekalongan. Belum lagi masalah SDM (sumber daya manusia) sebab minimal kami harus membawa delapan pembatik," ungkap Rr. Retno Widowati.
Walaupun tergolong mahal, namun animo masyarakat terhadap batik khas Kaltim produksi Rr. Retno Widowati cukup mendapat respon cukup besar dari masyarakat.
"Produksi kami cukup dikenal karena memiliki ciri khusus. Sejauh ini, animo masyarakat cukup tinggi dan kami meresponnya dengan terus melakukan inovasi dengan memberikan berbagai variasi tetapi tidak menghilangkan motif Kaltim yakni ukiran Dayak," kata Rr. Retno Widowati.
Selain berbagai jenis kain, Rr. Retnowati juga mendesain berbagai pakaian dengan menggunakan kain batik tradisional Kaltim.
Sumber :
ANT/Kompas
Editor :
Jodhi Yudono

Saturday, August 11, 2012

Lahir dan Besar di Hutan, Sejengkal Tanah Pun Tak Punya

Hidup di tengah-tengah kepungan kegiatan tambang batu bara, tak menjamin warganya bisa hidup layak. Ini bisa dilihat dari keberadaan warga Dayak Punan yang tinggal di Satuan Permukiman (SP) Punan di Kampung Birang-Gunung Tabur Kabupaten Berau. Berikut cerita perjalanan General Manager Berau Post (Kaltim Post Group) Endro S Efendi dengan gaya bertutur.
 
Endro S. Efendi, Gunung Tabur

SINAR matahari sedang panas-panasnya ketika mobil yang saya tumpangi bersama kawan dari dunia politik, Zulkarnain Tanjung, meluncur di ruas jalan tanah. Ya, jalan menuju Kampung Birang memang belum tersentuh aspal. Untuk menuju kampung ini, dari Kota Tanjung Redeb menyusuri jalan menuju ke Gunung Tabur hingga ke arah yang akan menuju Tanjung Selor. Tak jauh dari pertigaan jalan yang akan menuju Tanjung Batu dan Tanjung Selor, terdapat jalan tanah di sebelah kiri jalan, dengan sebuah papan nama berwarna hijau bertuliskan Kampung Birang.

Dari ujung jalan ini, jangan pernah lagi berharap ada jalan beraspal. Semua jalan masih berupa tanah dengan debu yang pekat. Apalagi kondisi cuaca sedang panas, debu seketika berterbangan ketika terusik dengan laju kendaraan yang melintas di atasnya.

Tapi saya justru beruntung cuaca sedang panas, sebab jika kondisi hujan, dijamin mobil Suzuki APV milik kantor yang saya tumpangi tak akan bisa tembus hingga sampai SP Punan yang jaraknya mencapai 10 kilometer.

Tak jauh dari SP Punan, terdapat sebuah pos penjagaan. Pos ini bukan untuk menjaga keberadaan warga Punan, melainkan pos jaga milik perusahaan tambang di lokasi itu. Sebab di ujung pos ini terdapat dua jalur jalan, yang sebelah kiri milik perusahaan, sebelah kanan barulah jalan menuju kawasan kampung.

Tiba di SP Punan yang terletak di bibir sungai itu, terlihat 10 rumah kayu saling berhadapan. Lima di sebelah kiri, sisanya di sebelah kanan. Rumah-rumah panggung berukuran 4 x 6 meter itu dihuni 14 kepala keluarga. Tak heran jika ada rumah yang terpaksa ditempati hingga 3 kepala keluarga. Ada 40-an jiwa yang hidup di satuan permukiman ini.

Rumah-rumah bantuan perusahaan yang dibuat sejak 2004 itu belum pernah tersentuh kegiatan renovasi. Ini terlihat beberapa bagian rumah sudah mulai rapuh, bahkan terlihat miring dan nyaris roboh.  

Sebelumnya, sudah ada satu bangunan yakni balai kampung roboh dan kini diupayakan dilakukan perbaikan kembali dengan membangun baru. Yang kini terancam adalah bangunan rumah yang dijadikan Taman Pendidikan Alquran (TPA) Al Muallafin.

Atap beberapa rumah lainnya pun sudah mengalami kerusakan, sehingga jika hujan terpaksa air masuk hingga ke dalam rumah. Kalau sudah seperti itu, penghuni rumah hanya bisa pasrah. Sebagai penangkal sementara, beberapa atap rumah terlihat dilapisi dedaunan. Rumah pun tak dilengkapi plafon sehingga jika siang hari terasa sangat panas, sebaliknya saat malam terasa dingin mencekat. Tak ada mebel seperti kursi di dalam rumah, semua dilakukan serba lesehan. Begitu pula ranjang tidur. Tidur hanya beralaskan lantai kayu.

Warga Dayak yang bermukim di kawasan ini mengakui, sudah lama mengajukan permohonan perbaikan rumah pada pemerintah, termasuk pada perusahaan. Namun hasilnya masih jauh panggang dari api.

“Kami juga kesulitan mendapatkan air bersih. Dulu, kami masih bisa minum pakai air sungai. Tapi sekarang air sungai sudah tercemar, sudah kena limbah,” sebut Husin, warga Dayak Punan.

Sejak warna dan rasa air sungai itu berubah, warga pun tak berani lagi mengonsumsi air sungai di dekat kampung ini. Sebagai gantinya, mereka mengandalkan tadahan air hujan. 

Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, dia mengaku dibantu perusahaan tambang di kawasan ini berupa bahan pokok. Itu pun hanya berupa beras 20 kilogram, gula 5 kilogram, dan minyak goreng 5 liter.

Cukup tidak cukup, bantuan itu harus dikelola dengan maksimal. Sisanya, berusaha sendiri dengan mencoba mencari cincangan kayu gaharu atau rotan. Ada pula yang kerja serabutan dengan menjaga pos perusahaan, atau menjaga alat berat milik perusahaan. 

“Kami sebenarnya juga ingin bisa berburu dan memasang jerat untuk hewan liar, itu kehidupan kami sebelumnya. Tapi semua hutan sudah dikuasai perusahaan,” sambungnya. 

Untuk mencari ikan di sungai pun, saat ini diakui sangat sulit. “Dulu, memancing sebentar saja sudah banyak dapat ikan dan bisa dijual. Sekarang, satu saja susah. Airnya sudah kena limbah. Belum lagi warga dari luar banyak yang mencari ikan dengan racun dan setrum,” tuturnya.

Madu yang dahulu mudah didapat, sekarang juga susah. Pasalnya, lampu sorot perusahaan menyulitkan upaya warga mengunduh madu. “Kalau dulu kan gelap, nggak ada lampu. Gampang ngambilnya. Sekarang mau ngambil madu, tawonnya marah, Pak. Habis badan kami disengat,” tuturnya didampingi Malik, pria yang dianggap sebagai ketua di satuan pemukiman tersebut.
 
Malik kemudian mengaku, pernah dijanjikan mendapatkan bantuan mesin jahit dari pemerintah.
Nyatanya, seperti apa wujud mesin jahit itu pun belum pernah ia ketahui. Instansi sosial pemerintah, menurutnya belum pernah melihat keberadaan mereka dan memberikan bantuan nyata. Malik mengaku, sepertinya mereka sering dibohongi dan hanya menjadi objek proposal untuk kepentingan pribadi orang lain.  Semua janji yang mereka dapatkan, seolah seperti angin surga yang tak pernah terwujud. 

“Kami sebenarnya ingin diberi lahan untuk berkebun. Tapi selalu dipersulit karena hampir semua hutan di kawasan ini sudah dimiliki perusahaan,” katanya. Ia mengaku malu dan tak mau terus-menerus mengemis untuk kebutuhan hidup sehari-hari pada perusahaan. “Kami juga ingin mandiri, tidak mau bergantung dengan perusahaan ,” tuturnya.

Ia mengaku iri dengan pejabat di daerah ini yang dengan mudah mendapatkan sepetak tanah. “Kalau kami mana bisa bikin surat tanah. Cuma orang yang bertitel yang bisa. Kami tidak bisa, kami tidak punya uang. Kami selalu tersingkir. Lahir dan besar di hutan, tapi sejengkal tanah pun kami tak punya,” keluhnya.

Untuk urusan pendidikan juga mengkhawatirkan. Anak-anak warga harus sekolah di lokasi yang lumayan jauh di Kampung Rantau Panjang. Untuk pergi ke sekolah harus menggunakan perahu ketinting. “Kalau minyak lagi kosong, terpaksa jalan kaki, karena ketinting nggak bisa dipakai,” katanya. Karena itu, ia sangat berharap anak-anak bisa sekolah tak terlalu jauh. Bisa saja dengan didatangkan guru untuk mengajar rutin anak-anak di kawasan ini.

Zulkarnain Tanjung, kawan saya tadi, mengaku prihatin dengan kondisi warga Dayak Punan di kawasan ini. “Seandainya setiap kepala keluarga memiliki lahan 2 hektare saja, mereka sudah bisa hidup mandiri. Bisa untuk menanam sawit, atau berkebun lainnya. Selain itu juga bisa beternak,” ucapnya.

Ia mengakui, secara jangka panjang bantuan yang diberikan sebaiknya dalam bentuk mengajak warga kawasan ini mandiri. “Jadi tidak selamanya bergantung dari pemberian perusahaan,” tuturnya. Jika tidak, sampai kapan pun tidak akan pernah mandiri. 

Zulkarnain menyebutkan, semestinya warga Dayak di kawasan ini mendapatkan kompensasi atas kerugian kehilangan mata pencaharian. Dampak sosial ini, menurutnya tak bisa diabaikan. Dari mulai sulit mendapatkan air bersih, hingga sulit mencari madu dan berburu. (*/che)

Sumber : Kaltimpos

Kalimantan Menolak Freeport

Aktivis lingkungan di Kalimantan Tengah menolak eksplorasi oleh PT Kalimantan Surya Kencana yang bekerja sama dengan Freeport-McMoran Copper & Gold. Mereka cemas eksplorasi yang berujung pada penambangan emas di Kalteng itu akan memicu konflik agraria.
Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng Arie Rompas, pertimbangan penolakan adalah eksplorasi di Papua oleh PT Freeport Indonesia.
Perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai Freeport-McMoran Copper & Gold itu telah melakukan kegiatan sejak tahun 1967.
Namun, menurut Arie, sampai 45 tahun kemudian, rakyat Papua tak mendapatkan kesejahteraan, bahkan hanya menimbulkan konflik, bencana lingkungan, dan kemiskinan.
Dalam konteks eksplorasi di Kalteng, kata Arie, ketidakadilan dalam penguasaan sumber daya alam dicemaskan akan berujung pada konflik, termasuk konflik lahan.
“Sangat patut untuk dipikirkan ulang agar pemerintah menolak Freeport dan perusahaan industri ekstraktif skala raksasa lain yang masuk ke Kalteng,” papar Arie, Selasa (24/7/2012) di Palangkaraya seperti dilansir kompas.com.
Arie mengemukakan, lahan yang menjadi sasaran eksplorasi sekitar 120.900 hektar, yang tersebar di Kabupaten Murung Raya, Katingan, dan Gunung Mas. Namun, dalam data Dinas Pertambangan dan Energi Kalteng tercantum luasnya sekitar 61.000 ha.
Direktur Eksekutif Save Our Borneo (SOB) Nordin mengatakan, pihaknya menolak bentuk penguasaan sumber daya alam yang dilakukan investor asing, termasuk PT KSK bersama Freeport, karena mengancam kedaulatan hak-hak masyarakat adat serta lingkungan di Kalteng.
Nordin mengatakan, selain Walhi Kalteng dan SOB, penolakan juga disampaikan Komisi Keadilan dan Perdamaian Palangkaraya dan Mitra Lingkungan Hidup.
“Investasi yang propasar kerap tak menghargai kearifan lokal, peran masyarakat, serta keberlanjutan lingkungan,” ujar Nordin.

Wednesday, June 20, 2012

Adat Mangkok Merah dan Pamabakng

F.Bahaudin
Oleh F. Bahaudin Kay (Timanggong Sangah Ulu 2 Kab. Landak)

“Adil Ka’ Talino Bacuramin Ka’ Saruga Basengat Ka’ Jubata “
Sebuah tulisan yang kami sajikan dengan judul “Adat Mangkok Merah dan Pamabakng” adalah sebuah judul yang sengaja kami angkat dari permukaan, karena adat mangkok merah dan pamabakng telah di kenal oleh masyarakat luas diluar etnis Dayak terutama dalam gerakan meyeluruh masayarakat Dayak takala penumpasan gerakan Paraku G-30-S PKI di Kalimantan Barat pada tahun 1967. Demikian pula adat Pamabakng yang cukup dikenal karena telah beberapa kali diberlakukan terutama dalam upaya perdamayan akibat kerusuhan etnis yang terjadi di Kalimantan Barat dan tragedy berdarah di markas Armet Nagabang beberapa tahun yang lalu. Walupun Adat ini sudah cukup dikenal dikalangan masyarakat luas, namun adat ini perlu diangkat dalam suatu tulisan demi untuk persamaan presepsi tentang adat itu karena selama ini mungkin terdapat perbedaan presepsi dikalangan masayarakat luas bahkan dikalangan masayarakat Dayak sendiri.

Kedua jenis adat ini mempunyai keunikan tersendiri ibarat dua sisi yang bersebaranagan namaun mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Mangkok Merah adalah adat yang bersifat sakral dan memaksa untuk mengarahkan masa demi tujuan tertentu sementara pamabakng adalah adat yang bersipat sakral yang harus dipatuhi dalam upaya perdamaian akibat adanya suatu komplik berdarah.

Dengan demikian selain bersebrangan dan mempunyai keterkaitan yang sangat erat, kedua adat ini fungsinya seolah-olah bertentangan. Terlepas dari pendapat pro dan kontra secara esensi adat ini perlu dipertahankan dan di lesatarikan, namun apakah ia masih tetap dipertahankan dan dilestarikan, namun apakah ia masih tetap ditaati dan di patuhi terutama di era globalisasi yang serba moderen ini.

ADAT MANGKOK MERAH
Berdasarkan jenis alat peraganya, pada mulanya adat ini bernama mangkok jaranang. Jaranang adalah sejenis tanaman akar yang mempunyai getah berwrana merah. Getah akar jaranang ini di pergunakan sebagai penganti warna cat merah karena pada waktu itu orang belum mengenal cat. Akar jaranang yang berwarna merah ini dioleskan pada dasar mangkuk bagian dalam.

Oleh karena itu ia disebut mangkok merah. Pada jaman dahulu apabila dalam suatu kasus pihak pelaku tidak bersedia di selesaikan secara adat maka pihak ahli waris korban yang merasa dihina dan dilecehkan kehormatan, harkat dan martabatnya atas kesepakatan dan musyawarah ahli waris segera melakukan aksi belas dendam melalui pengerah masa secara adat yang disebut adat mangkok merah. Kasus tersebut biasanya mangkuk menyangkut kasus parakng- bunuh ataupun kasus pelecehan seksual dan lain sebagainya yang sifatnya mengarah kepada pelecehan dan penghinaan terhadap ahli waris.
 

Alat Peraga dan Maknanya
Alat paraga mangkok merah terdiri dari :
  • Sebuah mangkuk sebagi tempat/sarana untuk meletakkan alat paraga lainnya. 
  • Dasar mangkuk bagian dalam dioles dengan getah jaranang berwarna merah yang mengandung pengertian “ Pertumpahan darah “.
  • Bulu/sayap ayam yang mengandung pengertian “ Cepat “, segera, kilat, seperti terbang”.
  • Tabur atap daun ( ujung atap yang terbuat dari daun rumbia) mengandung pengertian bahwa yang membawa berita itu tidak boleh terhambat oleh hujan karena ada terinak ( payung ).
  • Longkot api ( bara kayu api baker yang sudah di pakai untuk memasak di dapur ) yang mempunyai pengertian bahwa yang membawa berita tidak boleh terhambat oleh petang/gelap malam hari, karena sudah disedikan penerangan api colok dsb.
Alat para mangkok merah dikemas dalam mangkok yang telah diberi warna merah jaranang kemudian di bungkus dengan kain. Beberapa orang yang di tunjuk utnuk menyampaikan berita sekaligus mengajak seluruh jajaran ahli waris itu sebelumnya di berikan arahan mengenai maksud dan tujuan mangkok merah itu, siapa saja yang harus ditemui, kapan berkumpul, tempat berkumpul dan lain sebagainya. Tentu saja mereka yang membawa berita mangkok merah tersebut tidak boleh menginap bahkan singah terlalu lamapun tidak boleh. Walau hujan lebat dan petang gelap sekalipun mereka harus meneruskan perjalanannya.

Seperti yang diuraikan dalam pendahuluan, bahwa yang melatar belakangi terjadinya adat mangkok merah itu karena akibat adanya suatu yang tidak mau diselasaikan secara adat oleh pelakunya sehingga dianggap telah menghina dan melecahkan harkat dan martabat ahli waris korban. Damai kehormatan,harakat dan maratabat ahli waris sehingga mereka mengadakan upaya pembalasan dengan mengumpulkan ahli waris melalui adat mangkok merah. Misalnya seorang yang mati terbunuh apabila dalam waktu 24 jam tidak ada tanda-tanda upaya penyelesaian secara adat maka pihak ahli waris korban segera menyikapinya dengan suatu upaya pembelasan, karena perbuatan sipelaku di anggap telah menentang pihak ahli waris korban dan ia pantas dihajar sebagai binatang karena tidak beradat. Selanjutnya digelarlah adat mangkok mereah seperti yang telah di jelaskan di atas.

Sebagai mana di jelaskan di atas bahwa gerakan mangkok merah muncul untuk membela kehormatan, harkat dan martabat ahli waris yang telah dihina dan dilecehkan. Dengan demikian tentu saja gerakan ini menjadi tangung jawab ahli waris. Menurut masyarakat adat Dayak Kanayatn susunan/turunan page waris samdiatn itu dapat digambarkan menurut garis lurus yaitu : 
  1. Saudara Sekandung ( tatak pusat ) disebut samadiatn. 
  2. Sepupu satu kali ( sakadiritan ) di sebut kamar kapala. 
  3. Sepupu dua kali ( dua madi’ ene’ ) di sebut waris. 
  4. Sepupu tiga kali ( dua madi’ ene’ saket ) di sebut waris. 
  5. Sepupu empat kali ( saket ) di sebut waris. 
  6. Sepupu lima kali ( duduk dantar ) di sebut waris. 
  7. Sepupu enam kali ( dantar ) di sebut waris. 
  8. Sepupu tujuh kali ( dantar page ) di sebut waris. 
  9. Sepupu delepan kali ( page ) masih tergolong waris. 
  10. Sepupu sembilan kali, dah baurangan tidak tergolong waris.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa yang mulai disebut waris adalah pada turunan sepupu tiga kali atau dua madi’ene’, sehinga mereka yang termasuk dalam turunan ini di anggap sebagai kepala waris atau waris kuat. Merekalah yang berhak memimpin gerakan ini sifatnya mangkok mereah.

Sebagai mana telah di jelaskan dalam pendahuluan maka sifat-sifat yang terkandung didalam adat mengkok merah tersebut adalah :
  1. Seluruh acara pelaksanaan adat mangkok merah dari mulai bermusyawarah/mufakat hinga pemberangkatan bala, sarat prilaku-prilaku mistik relegius, oleh karena itu adat bersifat sakral. 
  2. Pihak ahli waris yang dituju atau yang menerima berita mengkok merah demi menjunjung tinggi harkat dan martabat serta kehormatan ahli waris mereka harus ikut. Apabila mereka tidak ikut, mereka dapat dicap sebagai pengecut dan tidak menaruh rasa malu. Dengan demikaian mereka terpaksa harus ikut. Jadi dalam adat mangkok merah terdapat sifat mengikat atau memaksa.
Menelusuri proses pelaksanaan adat mangkok mereah, ternyata bahwa pelkasanan dan penangung jawab adat mengkok merah adalah selauruh jajaran ahli waris korban di pimpin oleh ahli waris dua madi’ ene’ sebagai kepala waris. Sedangkan sasarannya adalah pihak pelaku yang tidak bersedia membayar hukuman adat senhinga di anggap telah melecahkan dan menghina pihak ahli waris korban. Apabila bala telah bernagkat menuju sasaran hampir tidak ada alternatif lain untuk pencegahan, kecuali dengan upaya adat dimana pihak pelaku harus memasang adat pamabang.

ADAT PAMABAKNG
Sebagai mana telah diuraikan diatas bahwa adat mangkok merah dan adat pamabang ibarat dua sisi yang berseberangan dan mengandung makna yang bertentangan namun keduanya mempunyai keterikatan yang sangat erat. Telah diuraikan pula pelaksanaan adat mangkok merah mempunyai dampak yang sangat negatif, akan tetapi sebagai alat ia sangat tergantung kepada pemakaiyannya. Dengan demikian ia dapat pula berdampak positif, misalnya penggunaan adat mangkok merah pada saat pemumpasan paraku G-30-S PKI di Kalimantan Barat pada tahun 1967.

Alat Peraga
Sementara itu adat pamabankng mempunyai dampat yang sangat positip mengupayakan penyelasaian komplik sejarah damai. Bala yang akan menyerag setelah mengadakan pengerahan masa melalaui adat mangkok merah. Harus cepat di antisipasi oleh pengurus adat , dalam hal ini temenggung dibantu oleh pasirah dan pangaraga. Mereka harus segera memeberi tahu sekaligus memerintahkan kepada ahli waris di bantu oleh msayarkat kampung untuk memasang adat pamabakng, dengan alat paraganya sebagai berikut 
  • 1 buah tempayan jampa diletakkan di atas jarungkakng banbu kuning ditutup pahar dengan posisi telungkup. 
  • Kemudian ada pelantar di taruh di atas talam lengkap dengan topokng ( tempat sirih ) dan beras beserta alat-alat palantar lainnya lengkap dengan ayam 1 ekor sedapatnya berwarna putih, tidak berwarna merah. 
  • 1 buah bendera berwarana putih yang dipasang di dekat tampayan jampa. 
  • Kemudian di dekat tempayan jampa harus ada papangokng ( penggung kecil dari kayu ) untuk meletakkan palantar. 
  • Disekitar pamabang terhampar bide untuk tempat duduk dan bermusyawarah dengan bala yang akan datang. 
  • Tempayan jamba melambangkan tubuh korban jika terjadi pada kasus pembunauhan, dan sebagai tanda pengakuan adat bagi pelaku. 
  • Ayam putih dan bendera putih sebagai simbol perdamaian. 
  • Beras banyu sebagai simbol perampunan sekaligus untuk menenangkan hati yang sedang dilanda emosi. 
  • Topokng tempat sirih dipergunakan untuk menyapa bala yang datang.
Pamabankng harus ditunggu oleh temenggung dan jika temenggung tidak ada/berhalangan, pamabakng di tunggu oleh pasirah atau oleh tua-tua adat yang dianggap mengerti tentang adat. Selain mengerti tentang adat orang yang menunggu pemabankng haruslah orang yang bijaksana dan biasanya pula harus orang yang punya ilmu dalam mengatasi kasus seperti itu misalnya mantra dan jampi-jampi yang di sebut sanga bunuh, bungkam, kata gampang, pelembut hati seperti pangasih dan lain-lain masksudnya agar saran serta naseihat dsb. Dapat dipakai oleh pihak bala yang sedang emosi.

Apa bila keadaan yang sangat gawat dan rawan, pamabankng dapat di pasang lebih dari satu yaitu dipersimpangan jalan masuk dan di ujung pante ( pelataran ). Maksudnya adalah apabila pamabakng yang satu tetap dilangar, masih adalagi pamabnag lain yang terakhir. Pamabakng yang terakhir ini merupakan pertahanan terakhir sehinga apabila pamabang terakhir inipun di langar maka tidak ada alternatif lain selain harus mengadakan perlawanan dan perang kelompok ahli warispun tidak dapat terelakan. Perbuatan ini dapat menyebabkan ririkngnya adat raga nyawa, artinya adat raganyawa tidak dibayar. Namun sepanjang sejarah perjalanan adat hal seperti ini tidak pernah terjadi. Pada saat bala tiba di tempat pamabang, segera penunggu pamabakng menyapanya dengan topokng sekaligus di persilakan duduk. Ia mulai membentakangkan arti dan makana pamabakng bahwa pihak pelaku mengaku bersalah dan bersedia menyelasaikannya secara hukum adat. Biasanya setelah mendengar penjelasan itu pihak bala melampisan emosinya dengan menikamkan senjatnya ketanah di sertai dengan tangisan karena hatinya kesal tidak mendapat perlawanan.
Maka yang paling penting dari adat pamabakng ini adalah : 
  • Jika pamabakng tidak di pasang, dapat diartikan : 
  1. Bahwa pihak pelaku menetang pihak ahli waris korban untuk berkelahi atau perang antar kelompok ahli waris. 
  2. Pihak pelaku tidak mau sama sekalai membayar adat. 
  3. Pengurus adat seolah-olah membiarkan dan malahan menghasut kedua belah pihak untuk saling menyerang. 
  • Jika pamabakng sudah terpasang dapat di artikan : 
  1. Kasus tersebut sudah di tangan pengurus adat 
  2. Pihak pelaku sudah mengakui kesalahannya dan besedia membayar hukuman adat.
Adat pamabakng adalah adat bahoatn artinya hanya untuk dipajang bukan untuk di bayarkan. Setelah bala datang mereka harus di bore baras banyu dan selanjutnya dilakukan persembanhan kepada jubata. Pamabakng teteap terpasang selama adat belum diselesaikan dan paling lama selama 3 hari.

Tulisan ini pernah di posting Bapak Yohanes Supriyadi di http://www.akademidayak.com


Sunday, June 3, 2012

Panglima Kumbang Hanya Nama Julukan untuk Udin Balok Bukan Gelar


Ceritadayak - Bagi masyarakat Dayak gelar Pangkalima (baca Panglima-red) bukanlah gelar sembarang gelar. Seseorang yang menyandang gelar Pangkalima adalah sosok yang di anggap terpandang di masyarakat karena memiliki kelebihan dan selalu menjadi pelindung masyarakat Dayak. Seroang Pangkalima juga jarang mau menampakan diri di masyarakat sebagai seorang Pangkalima melainkan sebagai rakyat biasanya, makanya ada beberapa Pangkalima yang masih misterius keberadaannya. Sosok Pangkalima selalu di gambarkan sebagai seorang yang sederhana dan bersahabat dengan semua orang. 

Berita Udin Balok yang akhir-akhir ini mencuat ke public setelah Udin tampil di beberapa acara infotaimen di station tv swasta nasional bersama musisi ternama Ahmad Dhani dan mengaku sebagai Pangkalima Burung sangat mengelitik perasaan saya sebagai putra Dayak. Juga membingungkan masyarakat Dayak khusnya yang ada di Kalimantan Timur dan bertanya-tanya siapa sbenarnya Udin Balok?

Sebenarnya sosok Udin Balok bukan asing di telinga saya masyarakat Dayak, saya ingat persis ketika kami melakukan aksi dami di Bundaran HI Jakarta pada tanggal 8 januari 2011 lalu saat mengecam pernyataan professor Thamrin Amal Tamagola yang melecehkan masyarakat Dayak, Udin Balok hadir di sana dan mengaku Pangkalima Kumbang. Saya ingat betul waktu itu ketika ada yg bertanya bapak siapa? Udian menjadwab “Orang-orang memanggilku Pangkalima Kumbang”. 

Saya mencoba memburu informasi dari berbagai pihak untuk mencari kebenaran tentang Udin Balok. Saya ingat sahabat saya di Balikpapan Kalimantan Timur, pernah sedikit bercerita tentang sosok Udin Balok kepada saya ketika kami berkunjung ke Samarinda dan Balikpapan pada awal mei 2012 lalu saat menghadiri rakernas MADN di Samarinda. 

Saya menghubungi pak Thoeseng Asang via telfon seleler, beliau adalah Anggota Pengurus MADN di Bidang Kebudayaan dan Pariwisata yang hari Jumat (01/06/2012) lalu datang ke Samarinda untuk menemui secara langsung Udin Balok. Beliau menjelakan bahwa nama Pangkalima Kumbang yang di sandang Dia (Udin Balok) hanya julukan kepadanya. 

“Pangkalima Kumbang itu sesungguhnya hanya julukan kepada dirinya karena dia sering berpergian kesana-sini seperti Kumbang (binatang-red) dan lama-kelamaan orang di sekitarnya memanggil dia dengan sebutan Pangkalima Kumbang. Jadi panggilan Pangkalima Kumbang pada Udin Balok bukan merupakan gelar Pangkaliman Dayak seperti berita di masyarakat selama ini” Tegas Thoeseng yang mendengar cerita langsung dari Udin Balok 

Mengakhiri percakapan dengan kami, pak Thoeseng mengatakan bahwa ini di lakukan untuk memberikan klarifikasi kepada masyarakat agar tidak ada masyarakat yang sesat infomrasi jelasnya.  

Sunday, May 20, 2012

Ngampar Bide dalam Tradisi Gawai Dayak

Ritual Ngampar Bide
Oleh Nurul Hayat
Tradisi tak lekang oleh zaman. Sebaris kalimat yang biasa digunakan untuk mengingatkan kita bahwa sesuatu yang tradisional pun layak ditampilkan meski tahun terus berganti, hingga 26 tahun kemudian.

Begitu pula yang dilakukan masyarakat dari suku Dayak di Kalimantan Barat yang masih mempertahankan tradisi leluhur saat akan memulai "Gawe", yang selanjutnya disebut Gawai atau pesta. Yakni upacara "Ngampar bide" atau menghampar tikar. Upacara yang hanya digelar saat akan memulai Gawai Dayak di rumah Betang Panjang Pontianak.

Upacara tersebut selalu dilakukan saat menjelang Pekan Gawai Dayak,yakni pesta panen padi masyarakat Dayak yang dilaksanakan di Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalbar.

"Ngampar bide", menurut Ketua Panitia Pekan Gawai Dayak XXVI Kalbar, Herculanus Didi, dilaksanakan pada Rabu (18/5) atau dua hari sebelum pembukaan secara resmi Pekan Gawai Dayak oleh Gubernur Kalbar.

Ritual itu diadakan supaya mendapatkan kemudahan dari sang pencipta untuk melaksanakan acara tahunan tersebut yang akan dimulai pada Jumat (20/5).

"Ritual ’ngampar bide’ artinya ’bepinta’ (meminta), ’bepadah’ (memberitahu) kepada Jubata atau Tuhan supaya kegiatan kita mendapatkan kemudahan dan kelancaran," kata Herculanus Didi di Rumah Betang Panjang, Jl Sutoyo, Pontianak.

Ritual tersebut dari bahasa Kanayatn, yakni sub suku yang menggunakan bahasa Bekati atau Ahe yang tersebar dari Kabupaten Kubu Raya, Pontianak, Bengkayang, Landak dan kini di Kota Pontianak.

"Ngampar" yang berarti menggelar atau menghamparkan, sementara "Bide" mengandung pengertian sebagai tikar atau tempat untuk berserah. "Upacara ini harus digelar sebelum memulai Gawai (pesta)," kata Didi lagi.
Tak berbeda jauh dengan Didi, Ketua Harian Dewan Adat Dayak (DAD) Kalbar, Yakobus Kumis, mengatakan "Ngampar bide" upacara adat yang dilaksanakan untuk memulai acara Pekan Gawai Dayak.

Intinya izin permisi. Kehadirat Jubata serta meminta pertolongan kepadanya agar pelaksanaan Pekan Dawai dapat berjalan dengan lancar dan sukses. "Hanya untuk Pekan Gawai Dayak," katanya.

Ritual itu juga tidak ada dalam acara Naik Dango atau upacara sejenisnya dengan tujuan yang sama, untuk bersyukur kepada Jubata setelah keberhasilan dalam panen padi, yang digelar oleh warga Dayak di sejumlah kabupatem/kota di Kalbar.

Dalam ritual tersebut ada tiga tahapan, pertama upacara Nyangahatn manta’ atau bapipis yakni doa adat sebelum seluruh peragaan adat disiapkan.

Kedua, Bapadah kapanyuku atau pantak pantulak atau upacara adat yang dilakukan untuk meminta perlindungan kepada penjaga di sekitar kompleks Rumah Betang agar tidak ada hambatan atau rintangan sehingga pelaksanaan berjalan lancar dan sukses.

Dan ketiga, upacara Nyangahatn masak atau upacara adat doa puncak dari seluruh proses "Ngampar bide", di mana seluruh peraga adat sudah tersaji dan merupakan inti dari doa atau nyangahatn.

Imam
Sejumlah hidangan, tempayan, nampan, tempat sirih dan isinya berupa pinang, gambir, daun sirih, kapur, potongan daging babi, ayam, beras pulut (ketan), beras putih, telur ayam, lemang dan kue cucur terhidang di ruang pertemuan Rumah Betang Panjang.

Seorang imam (pemimpin doa) didampingi seseorang yang menyiapkan bahan-bahan tersebut, duduk di hadapan sesajian dengan mulut komat-kamit membaca doa. Imam terlihat sesekali menepis lembaran daun selasih, pandan dan rijuang, ke hidangan itu setelah dibasahi air.

Sang imam, Kanisius Kasan (61), sudah memimpin upacara tersebut selama lima tahun terakhir, tampak tekun membaca doa. salah satu doa yang dibacakan Kasan, terdengar menyebut nama beberapa orang yang dianggap "raja" atau pemimpin di masyarakat Dayak. Di antaranya Gubernur Kalbar, Cornelis.

"Kami mendoakan beliau (Gubernur Cornelis) karena kami menganggapnya sebagai raja bagi orang Dayak," kata Kasan ketika ditemui usai ritual.

Kasan secara turun-temurun memiliki kemampuan sebagai seorang ahli spiritual atau dukun di masyarakat Dayak.

Pada Pekan Gawai Dayak XXVI 2011, Kasan diminta kembali memimpin upacara tersebut.
Ia mengatakan "Ngampar bide" sebagai ritual yang dihadiri para tokoh Dayak untuk menyiapkan Gawai, membahas persiapan gawai atau pesta termasuk memohon perlindungan Jubata (Tuhan Yang Maha Esa) agar Pekan Gawai Dayak yang berlangsung 20-24 Mei dapat berjalan lancar dan sukses.

Menurut dia lagi, dalam bacaan yang disampaikan saat "Ngampar bide" yang menggunakan bahasa Kanayatn, disebutkan akan ada pertemuan (bahaum) untuk pesta. Dalam ritual itu juga disampaikan jadwal dan tanggal berapa pesta diadakan. Supaya orang-orang yang mendengarkan menjadi tahu tentang acara tersebut.

"Bapak pergi, ibu tidak. Jadi dikasih tahu. Gawai tahun ini, Ngampar bide diadakan tanggal 18 Mei. Jadi orang dikasih tahu ada bahan-bahan yang dipakai seperti bambu dan kayu api untuk masak," kata dia.
"Ngampar bide" dilakukan juga agar saat pesta tidak ada gangguan, katanya.

Ritual itu berlangsung di ruang pertemuan Rumah Betang, berlanjut ke sebuah pondok yang disebut pagugu padagi terdapat patung kayu yang disimbolkan sebagai "nek nukukng" atau patung keramat, kemudian ke pintu gerbang kompleks rumah Betang yang terdapat sebuah tempayan penolak bala, "nek pantulak" supaya orang tidak bertengkar atau berkelahi.

Sebagian sesaji ditinggalkan di sekitar patung kayu dan di dalam mangkuk, kemudian diletakkan di atas tempayan dan digantung pada dua tombak penyangga tempayan tersebut. Bahan-bahan tersebut seperti sirih, pinang, kapur, gambir, dan rokok daun nipah ditambah sedikit air. "Itu untuk menghentikan perkelahian," kata Kasan lagi.

Ia mengatakan, pernah saat Pekan Gawai beberapa tahun lalu terjadi perkelahian di sekitar kompleks Rumah Betang karena ada peserta Gawai yang mabuk, dan bahan-bahan yang ada di dalam tempayan, berfungsi untuk menghentikan perkelahian itu.

Kebiasaan mabuk saat Gawai kini pelan-pelan ditinggalkan generasi muda Dayak. Pelarangan mabuk karena banyak mengkonsumsi tuak, salah satu minuman khas Dayak, berulang kali diingatkan para tokoh dan pemimpin Dayak, termasuk Gubernur Cornelis yang dibanggakan warga Kanayatn.

Ada Ngampar bide, maka ada pula "Gulung bide", yakni ritual menutup Pekan Gawai Dayak yang akan diadakan pada Selasa (24/5) pagi. Ritual itu sebagai tanda berakhirnya pesta panen padi tersebut secara adat.

Sedangkan secara resmi, Pekan Gawai akan ditutup oleh Gubernur pada malam harinya. "Ngampar bide", merupakan satu dari sekian banyak tradisi dan budaya Dayak yang belum dikenal masyarakat umum, bahkan oleh sebagian generasi muda suku yang mendiami pulau Kalimantan itu sendiri. Masih ada ritual adat lainnya, namun akankah sama dengan "Ngampar bide" yang tetap dipertahankan hingga tak lekang oleh zaman? 
 

Ngampar Bide, Upacara Jelang Gawai Dayak

Cornelsi,MH Sedang membuka acara pekan Gawai Dayak
PONTIANAK, KOMPAS.com--Panitia Pekan Gawai Dayak XXVI Kalimantan Barat, Rabu, menggelar upacara "Ngampar Bide" sebagai ritual sebelum pembukaan supaya mendapatkan kemudahan dari sang pencipta untuk melaksanakan acara tahunan tersebut yang akan dimulai pada 20 Mei.

"Ritual ’ngampar bide’ artinya ’bepinta’ (meminta), ’bepadah’ (memberitahu) kepada Jubata atau Tuhan supaya kegiatan kita mendapatkan kemudahan dan kelancaran," kata Ketua Panitia Pekan Gawai Dayak Kalbar XXVI, Herculanus Didi di Rumah Betang Panjang, Jl Sutoyo, Pontianak.

Ia mengatakan, "Ngampar Bide" selalu dilaksanakan setiap akan memulai "Gawe" atau Gawai (pesta).
Ritual tersebut merupakan khas Suku Dayak Kanayatn yang mendiami sebagian wilayah di Kalbar. "Ngampar" yang berarti menggelar atau menghamparkan, sementara "Bide" mengandung pengertian sebagai tikar atau tempat untuk berserah.

Pelaksanaan "ngampar bide" berlangsung hari ini pada pagi tadi dan menjelang siang. Merupakan satu rangkaian ritual yang diharapkan Tuhan merestui kegiatan yang akan dilaksanakan selama sepekan ke depan.

Menurut Didi, pada "ngampar bide" kali ini, dipimpin oleh seorang imam atau seorang pemimpin doa, bernama Kasan. Acara tersebut dihadiri para "timanggung" adat Kota Pontianak, para Ketua Sanggar Seni Dayak dan panitia. Acara tersebut juga dihadiri Pengurus Harian Ketua Dewan Adat Dayak Kalbar, Yakobus Kumis.

Sejumlah sesajian, di antaranya potongan daging ayam, babi, telur ayam, dan beberapa hidangan lainnya. Bahan-bahan tersebut diletakkan dalam tampah dan bakul yang terbuat dari kulit kayu. Pemimpin upacara membacakan doa keselamatan menggunakan Bahasa Dayak sambil memegang rangkaian daun-daunan.

Upacara tersebut berlangsung di halaman Rumah Betang, berlanjut di ruang upacara dalam rumah Betang dan di tempat sesajian yang terdapat patung manusia dari bahan kayu yang berada di samping kanan bangunan rumah panjang tersebut. "Upacara ini harus digelar sebelum memulai Gawai (pesta)," kata Didi lagi.
Sementara berkaitan dengan Pekan Gawai Dayak Kalbar yang akan dibuka pada Jumat (20/5), sejumlah acara telah disiapkan panitia, di antaranya Upacara Adat Baliant yang akan diadakan pada malam sebelum pembukaan atau Kamis (19/5) malam.

Kemudian pameran, pawai adat, dan sejumlah lomba di antaranya pemilihan bujang dan dara Dayak, menyumpit, melukis perisai, memahat patung, mendongeng, menganyam bakul, tari-tarian kreasi Dayak, menganyam manik, menumbuk dan menampik, membuat kue tradisional, dan parade busana anak.

Menurut Didi, Gawai Dayak diadakan untuk melestarikan budaya khas SukuDayak yang ada di Kalbar. "Ini program Gubernur kita (Cornelis), diharapkan berjalan lancar dan dikunjungi banyak orang, bukan hanya warga Dayak," katanya.

Dia mengatakan, target dari kegiatan tersebut, peningkatan dan pengembangan pelestarian kebudayaan. Panitia berupaya menampilkan kegiatan yang pada tahun sebelumnya tidak ada menjadi ada.
"Misalnya menganyam bakul. Pada tahun lalu tidak ada dan tahun ini kita selenggarakan. Ini permintaan  gubernur supaya tidak punah," katanya lagi.

Peserta menganyam bakul dapat menggunakan bahan-bahan seperti kulit kayu pilihan bernama kayu tarap, rotan dan daun bengkuang. 
Sumber : ANT & Kompas.com

Wednesday, May 2, 2012

Manfaat Rehabilitasi Mangrove di Kalbar mulai Dirasakan Warga

Manfaat Rehabilitasi Mangrove di Kalbar mulai Dirasakan Warga
Mangrove--ANTARA/Rosa Panggabean/bb
Penulis : Aris Munandar


REHABILITASI mangrove di Desa Karimunting, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, mulai membuahkan hasil. Warga setempat kini bisa memanen tengkuyung saat musim pasang laut. 

"Setiap hari ada 2-3 kilogram tengkuyung yang di panen warga saat air pasang," kata Idham,35, warga Karimunting, Selasa (1/5). 

Biota laut sejenis kerang ini hanya sebagian kecil dari manfaat yang dirasakan warga sejak kawasan mangrove direhabilitasi. Manfaat lainnya, warga kini bisa merasakan hidup tenang karena pemukiman mereka aman dari ancaman abrasi dan terjangan angin serta ombak laut. 

"Mangrove bisa menahan hembusan angin laut yang kencang," ujar Idham. 

Rehabilitasi mangrove di wilayah pesisir Kecamatan Sungai Raya Kepulauan ini dilakukan berbagai kalangan sejak 2009. Upaya itu dilakukan karena degradasi mangrove di jalur Pontianak-Singkawang tersebut sangat mengkhawatirkan. 

"Hampir seluruh mangrove yang kami tanam bersama teman-teman LSM dan Polisi Perairan Kalbar pada 2009, tumbuh sempurna. Ketinggian poho rata-rata 4-5 meter," kata staf Program Kelautan WWF-Indonesia Dwi Suprapti. 

Dia menjelaskan mangrove berfungsi sebagai kawasan penyangga dan pelindung pantai dari abrasi, erosi, dan pendangkalan serta terjangan badai. Selain itu, mangrove menyaring air laut ke daratan dan menetralisasi cairan limbah beracun. 

"Mangrove juga menjadi penghasil oksigen, penyerap karbondioksida, sumber pakan bagi plankton dan biota laut lainnya serta unggas," jelas dokter hewan tersebut. (AR/OL-3)


sumber : http://www.mediaindonesia.com

Saturday, April 28, 2012

Petani Landak Rayakan Pesta Panen


persiapan-adat.jpg
TRIBUN PONTIANAK/HADI SUDIRMANSYAH
Seorang Nyangahan memimpin doa jelang dilaksanakanya pesta panen oleh masyarakat di Dusun Anyang Desa Amboyo Selatan Kecamatan Ngabang Kabupaten Landak, Jumat (27/4/2012)
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, LANDAK - Setelah enam bulan bercocok tanam di  sawah, akhirnya pada Jumat (27/4/2012) saatnya warga Dusun Anyang Desa Amboyo Selatan Kecamatan Ngabang merayakan pesta panen atau biasa di sebut dengan naik dango.

Sebelum merayakan pesta panen tersebut, terlebih dahulu masyarakat setempat melakukan ritual adat yang di pimpin oleh seorang warga yang biasa di sebut Nyangahan atau pemimpin ritual adat yang disertai beberapa sesaji untuk di berikan kepada Jubata dan serta para arwah leluhur.

Ritual yang di lakukan dalam rangka  mensyukuri hasil panen yang di dapat setiap tahun dan dalam kesempatan yang sama dilakukan memohon do'a dan restu dari Jubata dan arwah leluhur. Dengan harapan agar cocok tanam yang di lakukan nanti juga di limpahkan hasil panen yang meningkat.

Icep (55) warga dusun Anyang menuturkan ia bersyukur hasil panen tahun ini, dirinya mendapat hasil panen padi sekitar dua ton dan jika di olah menjadi beras sekitar 1,7 ton beras. "Kalau sekitar padi dua ton padi bisa jadi 1,7 ton beras, ini lebih dari cukup untuk persediaan setahun,"ungkap ayah dua orang anak ini.

Penulis : Hadi Sudirmansyah
Editor : Bowo

685 Kayu Illegal Sambas Disita

Kayu-Ilegal-3.jpg
FOTO ANTARA/Jessica Wuysang
Polda Kalbar amankan ribuan batang kayu ilegal, beberapa waktu lalu.
 
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SAMBAS - Sebanyak 685 batang kayu hasil illegal loging diamankan pihak kepolisian Polres Sambas. Saat barang bukti berupa kayu campuran diamankan di dua Mapolsek yaitu Mapolsek Teluk Keramat dan Sejangkung.

"Pelaku ada enam orang, dua diantaranya juragan kapal yang mengangkut kayu dari Galing dan kita tangkap di Teluk Keramat, sedangkan empat lainnya merupakan pemilik sawmill di Sejangkung," ujar Kapolres Sambas, AKBP Pahala HM Panjaitan kepada Tribunpontianak.co.id, Jumat (27/4/2012).

Empat pelaku di Sejangkung diantaranya WG, DW, BB, dan SP sedangkan tersangka di Teluk Keramat yaitu HM dan RH.

Dikatakan,  untuk penangkapan di Sejangkung pada Selasa (24/4/2012) dan untuk penangkapan di Teluk Keramat pada Rabu (25/4/2012).

"Untuk penangkapan di Teluk Keramat sebanyak 183 batang kayu campuran dan di Sejangkung sekitar 400 batang. Saat ini keenam pelaku diamankan di Mapolres Sambas," katanya.

Penulis : Suhendra Yusri
Editor : Bowo

"Credit Union : Kendaraan Menuju Kemakmuran"

Segera dapatkan buku
"Credit Union : Kendaraan Menuju Kemakmuran"

Penulis :
1. Munaldus (Penggagas, pendiri dan Ketua CU.Keling Kumang & Ketua Pusat Koperasi Kredit Khatulistiwa, Pontianak)
2. Yuspita Karlena (Manager Pusat Koperasi Kredit Khatulistiwa, Pontianak)
3. Yohanes RJ (General Manager CU.Keling Kumang)
4. B.Hendi Candra (General Manager CU. Semandang Jaya)
5. Saniansah (General Manager CU.Banuri Harapan Kita)

Editor : A.M. Lilik Agung
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo

"Pendirian Credit Union (CU) bermula dari kesetiakawanan sebagai anggota kelompok sosial, terutama dari kalangan masyarakat kelas bawah.
CU telah merebut hati masyarakat. Malah, sekarang CU telah menjadi milik semua lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat akar rumput hingga ke masyarakat kelas atas. (dikutib dari kata sambutan Mgr. Hieronymus Bumbun, OFMCap. Uskup Agung Pontianak)"

"... Pelayanan keuangan yang disediakan oleh Credit Union telah dimanfaatkan dengan baik oleh anggota yang setia ber-CU. Mereka rela memberi dulu baru menerima, rela berkorban dulu baru mendapatkan hasil. Tidak ada jalan pintas. Seperti para petani berladang, untuk mendapatkan hasil panen yang berlimpah, harus mulai dengan menentukan lahan pertanian, menebas, mengolah, menyemai, menanam, menyiangi, mengairi dan barulah memanen. sebuah proses yang panjang, tekad bulat, kesabaran dan kedisiplinan. (dikutib dari kata sambutan tim penulis)"

"..CU sekarang menjadi salah satu lembaga yang sangat terbukti membantu meningkatkan perekonomian masyarakat mengengah kebawah khusunya masyarakat Dayak. Saat ini kehidupan masyrakat Dayak sangat tergantung dengan Credit Union, karena dengan ber-CU masyarakat Dayak bisa meningkatkan perekonomian sedikit demi sekidit untuk mencapai kebebasan finansial" (Bonny Bulang admin Cerita Dayak)

Untuk pemesanan buku ini bisa menghubungi kami di
Bonny Bulang 0889653111113 atau dapat dibeli di toko buku Gramedia
 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube