|
Ritual Ngampar Bide |
Oleh Nurul Hayat
Tradisi tak lekang oleh
zaman. Sebaris kalimat yang biasa digunakan untuk mengingatkan kita
bahwa sesuatu yang tradisional pun layak ditampilkan meski tahun terus
berganti, hingga 26 tahun kemudian.
Begitu pula yang dilakukan
masyarakat dari suku Dayak di Kalimantan Barat yang masih mempertahankan
tradisi leluhur saat akan memulai "Gawe", yang selanjutnya disebut
Gawai atau pesta. Yakni upacara "Ngampar bide" atau menghampar tikar.
Upacara yang hanya digelar saat akan memulai Gawai Dayak di rumah Betang
Panjang Pontianak.
Upacara tersebut selalu dilakukan saat
menjelang Pekan Gawai Dayak,yakni pesta panen padi masyarakat Dayak yang
dilaksanakan di Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalbar.
"Ngampar
bide", menurut Ketua Panitia Pekan Gawai Dayak XXVI Kalbar, Herculanus
Didi, dilaksanakan pada Rabu (18/5) atau dua hari sebelum pembukaan
secara resmi Pekan Gawai Dayak oleh Gubernur Kalbar.
Ritual itu
diadakan supaya mendapatkan kemudahan dari sang pencipta untuk
melaksanakan acara tahunan tersebut yang akan dimulai pada Jumat (20/5).
"Ritual
’ngampar bide’ artinya ’bepinta’ (meminta), ’bepadah’ (memberitahu)
kepada Jubata atau Tuhan supaya kegiatan kita mendapatkan kemudahan dan
kelancaran," kata Herculanus Didi di Rumah Betang Panjang, Jl Sutoyo,
Pontianak.
Ritual tersebut dari bahasa Kanayatn, yakni sub suku
yang menggunakan bahasa Bekati atau Ahe yang tersebar dari Kabupaten
Kubu Raya, Pontianak, Bengkayang, Landak dan kini di Kota Pontianak.
"Ngampar"
yang berarti menggelar atau menghamparkan, sementara "Bide" mengandung
pengertian sebagai tikar atau tempat untuk berserah. "Upacara ini harus
digelar sebelum memulai Gawai (pesta)," kata Didi lagi.
Tak
berbeda jauh dengan Didi, Ketua Harian Dewan Adat Dayak (DAD) Kalbar,
Yakobus Kumis, mengatakan "Ngampar bide" upacara adat yang dilaksanakan
untuk memulai acara Pekan Gawai Dayak.
Intinya izin permisi.
Kehadirat Jubata serta meminta pertolongan kepadanya agar pelaksanaan
Pekan Dawai dapat berjalan dengan lancar dan sukses. "Hanya untuk Pekan
Gawai Dayak," katanya.
Ritual itu juga tidak ada dalam acara Naik
Dango atau upacara sejenisnya dengan tujuan yang sama, untuk bersyukur
kepada Jubata setelah keberhasilan dalam panen padi, yang digelar oleh
warga Dayak di sejumlah kabupatem/kota di Kalbar.
Dalam ritual
tersebut ada tiga tahapan, pertama upacara Nyangahatn manta’ atau
bapipis yakni doa adat sebelum seluruh peragaan adat disiapkan.
Kedua,
Bapadah kapanyuku atau pantak pantulak atau upacara adat yang dilakukan
untuk meminta perlindungan kepada penjaga di sekitar kompleks Rumah
Betang agar tidak ada hambatan atau rintangan sehingga pelaksanaan
berjalan lancar dan sukses.
Dan ketiga, upacara Nyangahatn masak
atau upacara adat doa puncak dari seluruh proses "Ngampar bide", di mana
seluruh peraga adat sudah tersaji dan merupakan inti dari doa atau
nyangahatn.
Imam
Sejumlah hidangan,
tempayan, nampan, tempat sirih dan isinya berupa pinang, gambir, daun
sirih, kapur, potongan daging babi, ayam, beras pulut (ketan), beras
putih, telur ayam, lemang dan kue cucur terhidang di ruang pertemuan
Rumah Betang Panjang.
Seorang imam (pemimpin doa) didampingi
seseorang yang menyiapkan bahan-bahan tersebut, duduk di hadapan
sesajian dengan mulut komat-kamit membaca doa. Imam terlihat sesekali
menepis lembaran daun selasih, pandan dan rijuang, ke hidangan itu
setelah dibasahi air.
Sang imam, Kanisius Kasan (61), sudah
memimpin upacara tersebut selama lima tahun terakhir, tampak tekun
membaca doa. salah satu doa yang dibacakan Kasan, terdengar menyebut
nama beberapa orang yang dianggap "raja" atau pemimpin di masyarakat
Dayak. Di antaranya Gubernur Kalbar, Cornelis.
"Kami mendoakan
beliau (Gubernur Cornelis) karena kami menganggapnya sebagai raja bagi
orang Dayak," kata Kasan ketika ditemui usai ritual.
Kasan secara turun-temurun memiliki kemampuan sebagai seorang ahli spiritual atau dukun di masyarakat Dayak.
Pada Pekan Gawai Dayak XXVI 2011, Kasan diminta kembali memimpin upacara tersebut.
Ia
mengatakan "Ngampar bide" sebagai ritual yang dihadiri para tokoh Dayak
untuk menyiapkan Gawai, membahas persiapan gawai atau pesta termasuk
memohon perlindungan Jubata (Tuhan Yang Maha Esa) agar Pekan Gawai Dayak
yang berlangsung 20-24 Mei dapat berjalan lancar dan sukses.
Menurut
dia lagi, dalam bacaan yang disampaikan saat "Ngampar bide" yang
menggunakan bahasa Kanayatn, disebutkan akan ada pertemuan (bahaum)
untuk pesta. Dalam ritual itu juga disampaikan jadwal dan tanggal berapa
pesta diadakan. Supaya orang-orang yang mendengarkan menjadi tahu
tentang acara tersebut.
"Bapak pergi, ibu tidak. Jadi dikasih
tahu. Gawai tahun ini, Ngampar bide diadakan tanggal 18 Mei. Jadi orang
dikasih tahu ada bahan-bahan yang dipakai seperti bambu dan kayu api
untuk masak," kata dia.
"Ngampar bide" dilakukan juga agar saat pesta tidak ada gangguan, katanya.
Ritual
itu berlangsung di ruang pertemuan Rumah Betang, berlanjut ke sebuah
pondok yang disebut pagugu padagi terdapat patung kayu yang disimbolkan
sebagai "nek nukukng" atau patung keramat, kemudian ke pintu gerbang
kompleks rumah Betang yang terdapat sebuah tempayan penolak bala, "nek
pantulak" supaya orang tidak bertengkar atau berkelahi.
Sebagian
sesaji ditinggalkan di sekitar patung kayu dan di dalam mangkuk,
kemudian diletakkan di atas tempayan dan digantung pada dua tombak
penyangga tempayan tersebut. Bahan-bahan tersebut seperti sirih, pinang,
kapur, gambir, dan rokok daun nipah ditambah sedikit air. "Itu untuk
menghentikan perkelahian," kata Kasan lagi.
Ia mengatakan, pernah
saat Pekan Gawai beberapa tahun lalu terjadi perkelahian di sekitar
kompleks Rumah Betang karena ada peserta Gawai yang mabuk, dan
bahan-bahan yang ada di dalam tempayan, berfungsi untuk menghentikan
perkelahian itu.
Kebiasaan mabuk saat Gawai kini pelan-pelan
ditinggalkan generasi muda Dayak. Pelarangan mabuk karena banyak
mengkonsumsi tuak, salah satu minuman khas Dayak, berulang kali
diingatkan para tokoh dan pemimpin Dayak, termasuk Gubernur Cornelis
yang dibanggakan warga Kanayatn.
Ada Ngampar bide, maka ada pula
"Gulung bide", yakni ritual menutup Pekan Gawai Dayak yang akan diadakan
pada Selasa (24/5) pagi. Ritual itu sebagai tanda berakhirnya pesta
panen padi tersebut secara adat.
Sedangkan secara resmi, Pekan
Gawai akan ditutup oleh Gubernur pada malam harinya. "Ngampar bide",
merupakan satu dari sekian banyak tradisi dan budaya Dayak yang belum
dikenal masyarakat umum, bahkan oleh sebagian generasi muda suku yang
mendiami pulau Kalimantan itu sendiri. Masih ada ritual adat lainnya,
namun akankah sama dengan "Ngampar bide" yang tetap dipertahankan hingga
tak lekang oleh zaman?