BREAKING

Saturday, August 11, 2012

Lahir dan Besar di Hutan, Sejengkal Tanah Pun Tak Punya

Hidup di tengah-tengah kepungan kegiatan tambang batu bara, tak menjamin warganya bisa hidup layak. Ini bisa dilihat dari keberadaan warga Dayak Punan yang tinggal di Satuan Permukiman (SP) Punan di Kampung Birang-Gunung Tabur Kabupaten Berau. Berikut cerita perjalanan General Manager Berau Post (Kaltim Post Group) Endro S Efendi dengan gaya bertutur.
 
Endro S. Efendi, Gunung Tabur

SINAR matahari sedang panas-panasnya ketika mobil yang saya tumpangi bersama kawan dari dunia politik, Zulkarnain Tanjung, meluncur di ruas jalan tanah. Ya, jalan menuju Kampung Birang memang belum tersentuh aspal. Untuk menuju kampung ini, dari Kota Tanjung Redeb menyusuri jalan menuju ke Gunung Tabur hingga ke arah yang akan menuju Tanjung Selor. Tak jauh dari pertigaan jalan yang akan menuju Tanjung Batu dan Tanjung Selor, terdapat jalan tanah di sebelah kiri jalan, dengan sebuah papan nama berwarna hijau bertuliskan Kampung Birang.

Dari ujung jalan ini, jangan pernah lagi berharap ada jalan beraspal. Semua jalan masih berupa tanah dengan debu yang pekat. Apalagi kondisi cuaca sedang panas, debu seketika berterbangan ketika terusik dengan laju kendaraan yang melintas di atasnya.

Tapi saya justru beruntung cuaca sedang panas, sebab jika kondisi hujan, dijamin mobil Suzuki APV milik kantor yang saya tumpangi tak akan bisa tembus hingga sampai SP Punan yang jaraknya mencapai 10 kilometer.

Tak jauh dari SP Punan, terdapat sebuah pos penjagaan. Pos ini bukan untuk menjaga keberadaan warga Punan, melainkan pos jaga milik perusahaan tambang di lokasi itu. Sebab di ujung pos ini terdapat dua jalur jalan, yang sebelah kiri milik perusahaan, sebelah kanan barulah jalan menuju kawasan kampung.

Tiba di SP Punan yang terletak di bibir sungai itu, terlihat 10 rumah kayu saling berhadapan. Lima di sebelah kiri, sisanya di sebelah kanan. Rumah-rumah panggung berukuran 4 x 6 meter itu dihuni 14 kepala keluarga. Tak heran jika ada rumah yang terpaksa ditempati hingga 3 kepala keluarga. Ada 40-an jiwa yang hidup di satuan permukiman ini.

Rumah-rumah bantuan perusahaan yang dibuat sejak 2004 itu belum pernah tersentuh kegiatan renovasi. Ini terlihat beberapa bagian rumah sudah mulai rapuh, bahkan terlihat miring dan nyaris roboh.  

Sebelumnya, sudah ada satu bangunan yakni balai kampung roboh dan kini diupayakan dilakukan perbaikan kembali dengan membangun baru. Yang kini terancam adalah bangunan rumah yang dijadikan Taman Pendidikan Alquran (TPA) Al Muallafin.

Atap beberapa rumah lainnya pun sudah mengalami kerusakan, sehingga jika hujan terpaksa air masuk hingga ke dalam rumah. Kalau sudah seperti itu, penghuni rumah hanya bisa pasrah. Sebagai penangkal sementara, beberapa atap rumah terlihat dilapisi dedaunan. Rumah pun tak dilengkapi plafon sehingga jika siang hari terasa sangat panas, sebaliknya saat malam terasa dingin mencekat. Tak ada mebel seperti kursi di dalam rumah, semua dilakukan serba lesehan. Begitu pula ranjang tidur. Tidur hanya beralaskan lantai kayu.

Warga Dayak yang bermukim di kawasan ini mengakui, sudah lama mengajukan permohonan perbaikan rumah pada pemerintah, termasuk pada perusahaan. Namun hasilnya masih jauh panggang dari api.

“Kami juga kesulitan mendapatkan air bersih. Dulu, kami masih bisa minum pakai air sungai. Tapi sekarang air sungai sudah tercemar, sudah kena limbah,” sebut Husin, warga Dayak Punan.

Sejak warna dan rasa air sungai itu berubah, warga pun tak berani lagi mengonsumsi air sungai di dekat kampung ini. Sebagai gantinya, mereka mengandalkan tadahan air hujan. 

Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, dia mengaku dibantu perusahaan tambang di kawasan ini berupa bahan pokok. Itu pun hanya berupa beras 20 kilogram, gula 5 kilogram, dan minyak goreng 5 liter.

Cukup tidak cukup, bantuan itu harus dikelola dengan maksimal. Sisanya, berusaha sendiri dengan mencoba mencari cincangan kayu gaharu atau rotan. Ada pula yang kerja serabutan dengan menjaga pos perusahaan, atau menjaga alat berat milik perusahaan. 

“Kami sebenarnya juga ingin bisa berburu dan memasang jerat untuk hewan liar, itu kehidupan kami sebelumnya. Tapi semua hutan sudah dikuasai perusahaan,” sambungnya. 

Untuk mencari ikan di sungai pun, saat ini diakui sangat sulit. “Dulu, memancing sebentar saja sudah banyak dapat ikan dan bisa dijual. Sekarang, satu saja susah. Airnya sudah kena limbah. Belum lagi warga dari luar banyak yang mencari ikan dengan racun dan setrum,” tuturnya.

Madu yang dahulu mudah didapat, sekarang juga susah. Pasalnya, lampu sorot perusahaan menyulitkan upaya warga mengunduh madu. “Kalau dulu kan gelap, nggak ada lampu. Gampang ngambilnya. Sekarang mau ngambil madu, tawonnya marah, Pak. Habis badan kami disengat,” tuturnya didampingi Malik, pria yang dianggap sebagai ketua di satuan pemukiman tersebut.
 
Malik kemudian mengaku, pernah dijanjikan mendapatkan bantuan mesin jahit dari pemerintah.
Nyatanya, seperti apa wujud mesin jahit itu pun belum pernah ia ketahui. Instansi sosial pemerintah, menurutnya belum pernah melihat keberadaan mereka dan memberikan bantuan nyata. Malik mengaku, sepertinya mereka sering dibohongi dan hanya menjadi objek proposal untuk kepentingan pribadi orang lain.  Semua janji yang mereka dapatkan, seolah seperti angin surga yang tak pernah terwujud. 

“Kami sebenarnya ingin diberi lahan untuk berkebun. Tapi selalu dipersulit karena hampir semua hutan di kawasan ini sudah dimiliki perusahaan,” katanya. Ia mengaku malu dan tak mau terus-menerus mengemis untuk kebutuhan hidup sehari-hari pada perusahaan. “Kami juga ingin mandiri, tidak mau bergantung dengan perusahaan ,” tuturnya.

Ia mengaku iri dengan pejabat di daerah ini yang dengan mudah mendapatkan sepetak tanah. “Kalau kami mana bisa bikin surat tanah. Cuma orang yang bertitel yang bisa. Kami tidak bisa, kami tidak punya uang. Kami selalu tersingkir. Lahir dan besar di hutan, tapi sejengkal tanah pun kami tak punya,” keluhnya.

Untuk urusan pendidikan juga mengkhawatirkan. Anak-anak warga harus sekolah di lokasi yang lumayan jauh di Kampung Rantau Panjang. Untuk pergi ke sekolah harus menggunakan perahu ketinting. “Kalau minyak lagi kosong, terpaksa jalan kaki, karena ketinting nggak bisa dipakai,” katanya. Karena itu, ia sangat berharap anak-anak bisa sekolah tak terlalu jauh. Bisa saja dengan didatangkan guru untuk mengajar rutin anak-anak di kawasan ini.

Zulkarnain Tanjung, kawan saya tadi, mengaku prihatin dengan kondisi warga Dayak Punan di kawasan ini. “Seandainya setiap kepala keluarga memiliki lahan 2 hektare saja, mereka sudah bisa hidup mandiri. Bisa untuk menanam sawit, atau berkebun lainnya. Selain itu juga bisa beternak,” ucapnya.

Ia mengakui, secara jangka panjang bantuan yang diberikan sebaiknya dalam bentuk mengajak warga kawasan ini mandiri. “Jadi tidak selamanya bergantung dari pemberian perusahaan,” tuturnya. Jika tidak, sampai kapan pun tidak akan pernah mandiri. 

Zulkarnain menyebutkan, semestinya warga Dayak di kawasan ini mendapatkan kompensasi atas kerugian kehilangan mata pencaharian. Dampak sosial ini, menurutnya tak bisa diabaikan. Dari mulai sulit mendapatkan air bersih, hingga sulit mencari madu dan berburu. (*/che)

Sumber : Kaltimpos

No comments :

Post a Comment

 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube