MARI
bertualang ke pedalaman Kalimantan. Mari berkunjung ke rumah adat Dayak,
Betang Antang Kalang. Untuk itu, kita harus menyusuri curamnya
riam-riam sungai dan melintasi lebatnya hutan. Menantang dan
mengasyikkan.
Betang adalah sebutan untuk rumah besar milik
keluarga. Betang Antang Kalang terletak di Desa Tumbang Gagu, Kecamatan
Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Tahap
pertama menuju Tumbang Gagu ditempuh dari ibu kota Kalteng,
Palangkaraya, menuju Kecamatan Tumbang Samba, Kabupaten Katingan,
Kalteng. Perjalanan sebaiknya ditempuh dengan mobil berpenggerak empat
roda.
Pada akhir Februari lalu, kami menggunakan mobil Hardtop
untuk menempuh jarak 185 kilometer dengan waktu tempuh sekitar lima jam.
Hingga Kasongan, ibu kota Katingan, jalan masih mulus. Namun, jalan
selanjutnya merupakan jalur off road dengan lubang-lubang cukup
dalam. Maklum, jalur itu dilalui truk-truk pengangkut sawit setiap
hari. Meski mobil masih lincah menaklukkan medan berat, tubuh terguncang
juga. Sekitar pukul 21.00, rombongan tiba di Tumbang Samba untuk
bermalam di losmen sederhana.
Menempuh riam dan rimba
Perjalanan
dilanjutkan dengan menumpang kapal kelotok. Pagi-pagi sekali, sekitar
pukul 06.00, kelotok sudah bertolak. Perjalanan menyusuri Sungai
Katingan selama hampir tujuh jam itu ditempuh dengan beberapa kali
mengarungi riam. Ini bagian yang mendebarkan. Namun, jangan khawatir.
Juru mudi kelotok dengan cekatan meliuk-liukkan perahunya, sementara
batu-batu besar di depan menghadang.
Lebih dari 10 riam dilewati
sepanjang perjalanan, termasuk Mangkikit dan Leleng yang dikenal terjal.
Begitu ganasnya medan di kedua tempat itu sehingga semua penumpang
harus turun dulu, sementara pengemudi perahu berjuang menerjang riam.
Perahu terlihat bersusah payah melawan arus, bahkan tak jarang harus
terseret mundur untuk kemudian maju lagi. Penumpang dapat naik lagi ke
perahu setelah berjalan kaki sekitar 200 meter menyusuri hutan dan rumah
penduduk setempat.
Sesekali saat melintasi riam-riam kecil, air
sungai terciprat dan membasahi sebagian pakaian. Jika dirasa perlu, awak
perahu memasang terpal untuk melindungi penumpang, tetapi tetap saja
ada sedikit cipratan air yang masuk. Susur sungai menempuh jarak 118
kilometer berakhir ketika perahu merapat di Desa Penda Tanggaring,
Kecamatan Sanaman Mantikei, Katingan.
Petualangan dilanjutkan
dengan berjalan kaki menjelajah rimba belantara sejauh 6 kilometer.
Perjalanan dua jam itu menjadi menyenangkan dengan hawa segar karena
lebatnya pepohonan seperti durian, karet, dan ulin. Ada pula durian
hutan dengan buah berwarna merah.
Setidaknya di dua tempat
terlihat onggokan kayu-kayu ulin berdiameter 50 sentimeter dan panjang
hingga 5 meter. Kayu-kayu itu semula hendak digunakan untuk membangun
Betang Antang Kalang. Suatu ketika kayu yang dibutuhkan ternyata sudah
cukup dan gelondongan-gelondongan itu dibiarkan di hutan. Meski sudah
hampir 1,5 abad lalu, kayu itu masih kokoh dan keras.
Setelah
berjalan kaki sekitar dua jam, Betang Antang Kalang akhirnya dapat
dicapai. Mira Rindu (53), penghuni betang tersebut, menerima dengan
ramah rombongan wisatawan yang datang. Ia mempersilakan kami untuk
melepas lelah dengan menyuguhkan teh panas nan legit.
Hening dan sejuk
Pagi
datang dengan kicauan burung terdengar di sana-sini. Kabut tipis
terlihat di kejauhan. Udara sejuk terasa. Menikmati suasana di Betang
Antang Kalang berarti merasakan keheningan yang jauh dari hiruk-pikuk
kota besar.
Kehidupan di Antang Kalang berjalan sederhana. Warga
memasak makanan menggunakan kayu bakar. Mereka mencukupi kebutuhan
makanan dari kebun sendiri. Mereka mandi di Sungai Kalang. Ada juga bau
teknologi berupa generator yang menyala sekitar pukul 18.00-24.00.
Mereka perlu generator antara lain untuk menyalakan televisi, sekadar
hiburan bagi penghuni betang.
Mira Rindu menuturkan riwayat
singkat Betang Antang Kalang. Rumah itu dibangun Singa Jaya Antang pada
tahun 1870 dan mulai dihuni tahun 1878. Singa Jaya Antang berasal dari
Desa Bukit Rawi, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau,
Kalteng. Singa membangun betang karena mencari daerah baru yang subur.
”Kalau
letak rumah, Singa menentukannya berdasarkan petunjuk elang berdasarkan
kepercayaan zaman dulu,” kata Mira yang merupakan generasi ketiga
keturunan keluarga Singa.
Betang Antang Kalang sehari-hari dihuni
hanya oleh lima orang. Namun, pada saat kumpul keluarga besar, betang
bisa kedatangan hingga 100 orang. ”Soalnya, banyak penghuni betang
bekerja di kota besar, menggarap kebun, dan menyadap karet di tempat
yang jauh,” papar Mira.
SUmber : Kompas.com
No comments :
Post a Comment