|
Foto : Ilustrasi |
Pada usia sembilan tahun, Roesina mulai mempelajari tari. Sekitar 33
tahun kemudian, dia mendirikan sanggar tari di kampung halamannya dan
bertahan sampai sekarang. Tujuan utamanya, melestarikan kesenian asli
Dayak di Kalimantan, khususnya Dayak Deyah, dari kepunahan. DEFRI WERDIONO
Dalam
suatu kesempatan pada November 2011, wajah Roesina menyiratkan rasa
bahagianya seusai menyaksikan rekannya, Hasan (50), berhasil memanjat
batang manau, sejenis pohon berduri.
Pagi itu Roesina banyak
mengumbar senyum. Dia bersama timnya tampil sebagai pengisi kegiatan
tahunan Festival Budaya Pasar Apung 2011 di Banjarmasin, Kalimantan
Selatan.
Hasan, laki-laki bertubuh kekar itu, mampu memanjat
batang manau yang penuh duri dengan telanjang kaki dan dada. Tidak
tampak luka gores atau luka tusuk sedikit pun di tubuhnya. Senyum Hasan
juga terus mengembang ketika sejumlah penonton yang dipenuhi rasa heran
mendekat dan menyapanya.
Bagi Roesina, tari Balian Bawo Panjat
Manau hanyalah salah satu kekayaan budaya Dayak yang sudah ada sejak dia
bisa mengingatnya. Awalnya, masyarakat penganut Kaharingan menggunakan
tarian ini sebagai media penyembuhan pada orang yang sakit.
Di
samping itu, tari Balian Bawo Panjat Manau juga kerap ditampilkan untuk
membayar nazar masyarakat setempat. Kegiatan tersebut biasanya
diselenggarakan sehabis merayakan panen.
Dalam perkembangannya
sekarang, tari Balian Bawo Panjat Manau tidak lagi terpaku pada waktu
dan keperluan ritual tertentu. Aksi yang bisa membuat bulu kuduk
bergidik itu belakangan ini dapat ditampilkan di muka umum, kapan saja
dan untuk kesempatan apa saja, mulai dari hajatan sunatan sampai pesta
pernikahan.
Menurut Roesina, tari Balian Bawo Panjat Manau hanya
salah satu dari tari tradisi warga Dayak Deyah. Selain tarian itu,
setidaknya ada juga lima jenis tarian Dayak Deyah lainnya, yakni tari
Balian Dadas, Gintur, Mengundang, Nande, dan tari Balian Bukit.
Tarian
pada masyarakat Dayak Deyah memiliki sedikit perbedaan dengan tari-
tarian pada subsuku Dayak lainnya, yakni pada penggunaan alat.
Tari-tarian Dayak Deyah umumnya lebih menekankan pada gintur (bambu).
Pemakaian
gintur dalam tradisi Dayak Deyah bukannya tanpa sebab. Konon, bambu
merupakan alat yang menjadi andalan nenek moyang Dayak Deyah untuk
bergerilya melawan penjajah.
”Jadi penggunaan gintur tidak bisa digantikan,” ujar Roesina menegaskan.
Kaya bersuluh emas
Hampir
selama 20 tahun terakhir ini, tari-tarian Dayak Deyah diajarkan Roesina
kepada generasi muda setempat. Dia mengajarkan tari-tarian tradisi itu
melalui sanggar Tatau Silu Bulau di Desa Pengelak, Kecamatan Upau,
Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
Sanggar Tatau Silu Bulau
berdiri pada tahun 1992. Kata ”tatau silu bulau” mengandung arti ”kaya
bersuluh emas”. Tatau berarti kaya, silu artinya suluh, dan bulau sama
dengan emas.
Lewat nama tersebut, Roesina berharap sanggar Tatau
Silu Bulau bisa seperti emas yang tidak akan luntur selamanya. ”Semoga
demikian pula dengan kesenian Dayak, tidak akan luntur selamanya”
ujarnya.
Maksud dia seperti emas yang tidak akan luntur, begitulah
kesenian Dayak di mata Roesina. Meski seni budaya dari luar budaya
Dayak masuk ke wilayah tersebut, masyarakat tetap menjaga dan memelihara
tradisi itu. ”Kesenian peninggalan leluhur kami bisa tetap bertahan,
tidak lalu menjadi tergeser.”
Roesina lalu bercerita tentang awal
didirikannya sanggar Tatau Silu Bulau. ”Modal utamanya adalah semangat
melestarikan tari-tarian Dayak Deyah,” ujarnya.
Untuk melengkapi
peralatan menari, ia upayakan secara swadaya. Sebuah babun, semacam
gendang, ia beli seharga Rp 750.000. Ia kembali merogoh kocek untuk
melengkapinya dengan tiga babun kecil seharga Rp 750.000.
Sedangkan
untuk kelengkapan instrumen lainnya, seperti kenong, Roesina mencari
pinjaman. ”Tahun 1992-1994 kami meminjamnya sebelum ada bantuan dari
pemerintah kabupaten. Begitu pula untuk kostum penari, tahun 2006 kami
berinisiatif mengirim proposal ke perusahaan tambang untuk mendapatkan
bantuan,” ujarnya.
Tentang inovasi
Sejak
berdiri hingga kini, empat kali Roesina mengirim proposal kepada
pemerintah daerah dan perusahaan tambang batubara di daerah setempat.
Sebagian uang itu dibelikan peralatan dan sebagian lainnya disimpan
untuk keperluan sanggar di kemudian hari.
Cara ini ditempuh karena
dia tak menarik iuran dari anak didiknya. Ia juga tak menyisihkan uang
hasil pentas karena honor itu dibagi habis untuk anggota. Tak ada hasil
pentas yang masuk kas operasional sanggar. Dalam setahun anggota sanggar
bisa tampil hingga lima kali.
Bagi Roesina, menampilkan tarian
tradisi kepada publik relatif tak ada kesulitan, termasuk saat ia
melakukan ritual khusus sebelum memulai pertunjukan.
”Tahun 2009
rombongan kami pernah mengalami kecelakaan di jalan,” cerita mantan guru
sekolah dasar itu tentang musibah yang pernah mereka alami berkaitan
dengan pertunjukan.
Sejauh ini, lanjut Roesina, hanya tari Nande
yang sulit ditampilkan sebab tarian ini harus dilakukan pada tengah
malam. Apalagi dalam pertunjukan tari Nande, nyaris tidak ada
penerangan. Penari bergerak dengan mengandalkan tali yang dipegangnya.
Meski
permintaan naik panggung cukup banyak, sampai sekarang Roesina tetap
mengandalkan gerakan- gerakan asli tari tradisi dalam pengajaran di
sanggarnya.
”Kami sebenarnya terbuka untuk melakukan inovasi asal
tidak meninggalkan gerakan-gerakan asli tarian warisan nenek moyang.
Tetapi kendalanya justru dari pelatih yang punya kemampuan dan mau
melakukan inovasi tersebut,” katanya.
Roesina keberatan bila untuk
keperluan inovasi gerakan tari itu, dia harus mengambil pelatih dari
luar sanggar. Masalahnya, dia tidak punya cukup dana untuk membayar
honor bagi pelatih tari tersebut.
Lewat pengabdiannya pada
kesenian tradisi Dayak Deyah pula, Roesina dikenal masyarakat.
Kesungguhannya melestarikan tarian tradisi itu juga membuat dia
mendapatkan penghargaan dari pemerintah kabupaten sebagai pelestari
budaya.
Penghargaan pertama diterima Roesina tahun 1990 seusai dia
berpentas di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Penghargaan
berikutnya diterima pada tahun 2006.
”Satu hal yang membuat saya senang, kelima anak saya semuanya bisa menarikan tarian tradisi Dayak Deyah,” ujar Roesina bangga.
Sumber : Kompas.com