BREAKING

Saturday, February 5, 2011

Pelestari Musik Dayak Sape

Agustinus Handoko

”Sape’ benutah tulaang to’ awah”. Petikan ungkapan itu termuat dalam ”Tekuak Lawe’”, sastra lisan yang turun-temurun ada di kalangan masyarakat Dayak Kayaan-Kenyah. Secara harfiah, ungkapan itu berarti alat musik sape’ mampu meremukkan tulang belulang hantu yang bergentayangan.

” Ungkapan itu menggambarkan bahwa alat musik sape’ mampu membuat orang yang mendengarkan merinding hingga menyentuh tulang atau perasaan kita. Kalangan tetua adat zaman dulu memang betul bisa merasakannya karena nuansa pedesaan saat itu masih ’kental’,” kata Dominikus Uyub, pemain sekaligus pelestari alat musik sape’.

Sape’ adalah alat musik petik dari Dayak Kayaan-Kenyah. Bentuknya seperti gitar. Perbedaannya terdapat pada posisi grip dan tak adanya lubang untuk menggaungkan bunyi petikan senar. Sumber bunyi sape’ hanya berasal dari petikan senar.

Alat musik ini biasa dimainkan dalam acara-acara adat. Dulu, alat musik sape’ juga sering dimainkan kaum muda ketika mereka berkumpul pada malam hari. Di perkampungan masyarakat Dayak Kayaan- Kenyah pada masa lalu, sape’ juga sering dipakai kaum muda untuk mendekati perempuan yang ditaksirnya.

Biasanya sape’ dimainkan di rumah panjang atau rumah betang, yaitu rumah komunal masyarakat Dayak. Rumah betang itu disekat-sekat untuk ruang pribadi masing-masing keluarga. Di rumah betang juga tersedia ruang besar untuk acara adat atau berkumpul keluarga besar yang tinggal di rumah betang tersebut. Di ruang besar itulah, pada masa lalu, para pemuda Dayak unjuk kebolehan bermain sape’.

”Dari cerita-cerita orang tua, dulu, pemain sape’ yang mahir biasanya mendekati wanita yang disukainya dengan menggunakan sape’. Sangat romantis,” ujar Uyub.

Dewasa ini, sape’ juga sering dimainkan dalam acara-acara seremoni pemerintah, terutama ketika ada tamu dari luar daerah. Sape’ terdiri dari minimal tiga senar. Di Dayak Kenyah, grip-grip akan menghasilkan 14 nada tunggal, sedangkan di Kayaan grip sape’ biasanya menghasilkan delapan nada.

Ditertawakan

Uyub mengenal alat musik sape’ sejak masih kecil. Ayahnya adalah pemain sape’ yang diakui mahir di kampungnya, Dusun Pagung, Desa Datah Diaan, Kecamatan Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

”Awal ketertarikan saya justru dari rasa heran. Waktu masih anak-anak, saya menyangka sape’ adalah sampan, tetapi kok sangat kecil dan bisa mengeluarkan bunyi,” cerita Uyub mengenang masa kecilnya.

Pada umur tujuh tahun, dia mulai belajar memetik sape’. Sebelum mengenal alat musik itu, Uyub lebih dulu mahir menari. Ini juga karena darah seni dari ayahnya. Dia belajar sape’ secara otodidak.

”Saya sering ditertawakan kawan- kawan semasa kecil dulu karena mereka menganggap sape’ itu alat musik kuno. Mereka lebih senang belajar gitar, alat musik yang lebih modern,” tutur Uyub.

Sape’ biasanya dimainkan mengikuti perasaan pemainnya. Dalam tradisi masyarakat Dayak yang dekat dengan alam, alunan sape’ biasanya mengikuti suasana alam di sekitarnya. Indah atau tidaknya permainan sape’ juga dipengaruhi perasaan pemainnya.

”Memainkan sape’ benar-benar harus dalam kondisi stabil. Kalau kita sedang emosi, permainan yang dihasilkan biasanya jelek. Tetapi, kalau hati kita sedang senang, permainan bisa bagus,” ujarnya.

Bakat dan ketekunan seseorang menentukan kualitas permainan sape’ karena alat musik ini tak memiliki kunci baku seperti layaknya gitar. Sape’ mengandalkan perpaduan petikan dan loncatan jari pemainnya dari satu grip ke grip yang lain.

Pola permainan alat musik pentatonik ini biasanya mengulang- ulang beberapa birama. Keindahan alunan sape’ justru karena birama pertama tiba-tiba bisa muncul lagi pada birama ke-10 dan seterusnya.

Keunikan inilah yang membuat Uyub makin mencintai sape’, bahkan saat alat musik modern semakin gencar masuk dalam komunitas-komunitas budaya lokal. Ketika duduk di kelas V SD, ia sudah tampil pada gawai Dayak Dange, pesta adat setelah panen, di kampungnya.

”Saya mainkan sape’ dengan instrumentasi ciptaan sendiri. Ketika itu, saya menciptakan lagu berdasarkan perasaan saja,” katanya.

Sanggar seni

Tantangan menciptakan lagu untuk sape’ berasal dari diri setiap pemainnya. Uyub bercerita, setiap pemain sape’ dari Dayak Kayaan- Kenyah akan berupaya mewujudkan ungkapan sape’ benutah tulaang to’ awah.

”Musik yang dihasilkan tetap harus indah, tetapi bagaimana membuat tulang belulang itu remuk, membuat yang mendengarnya bisa merinding. Itulah tantangannya,” kata Uyub.

Selain nuansa yang dihasilkan selaras dengan bunyi-bunyian di alam, sape’ pada masa lalu juga terbuat dari bahan alam. Badan sape’ terbuat dari kayu yang diperoleh di hutan. Senar berasal dari imaan, serat pohon sejenis enau atau aren. Grip sape’ terbuat dari potongan rotan.

Persinggungan Uyub dengan alat musik sape’ kemudian benar-benar intens ketika ia meninggalkan kampung. Tahun 1990 ia pindah ke Kota Pontianak. Saat itu sape’ relatif masih asing bagi warga perkotaan. Kecintaan kepada sape’ mendorong dia membentuk sanggar dengan merekrut kaum muda Dayak.

”Saya berterima kasih kepada sape’ karena dari alat musik inilah saya bisa kuliah,” katanya.

Tahun 1997, Uyub ditawari kontrak bermain di sebuah hotel selama setahun setiap pukul 11.00-14.00. Dari situlah Uyub bisa membiayai kuliahnya, sekaligus menggembleng kaum muda Dayak yang diajaknya ikut bermain di hotel itu. Bisa dikatakan 70 persen dari biaya kuliahnya dipenuhi dari hasil bermain sape’. Sisanya dia peroleh dari sang kakak yang ketika itu sudah bekerja di Pontianak.

Sanggar seni yang didirikan Uyub kemudian menjadi tempat bagi banyak generasi muda Dayak belajar seni tradisi dan sape’. Namun, bagi dia, itu pun belum cukup.

”Saya merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelangsungan alat musik sape’ yang unik ini. Melalui sanggar, saya juga berusaha melestarikan sape’,” kata Uyub yang mengajari pula cara membuat sape’ kepada kaum muda Dayak.

Hingga kini, Uyub tetap menyediakan waktu berbagi ilmu di sanggarnya, di tengah-tengah kesibukan dia memimpin rekan-rekannya mengelola majalah Kalimantan Review.

***

Dominikus Uyub

• Lahir: Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, 16 Juni 1975

• Istri: Maria Yanti (almarhumah)

• Pendidikan: - SD Negeri Datan Diaan, Kapuas Hulu - SMP Datan Kayaan, Kapuas Hulu - SMA Karya Budi, Putussibau, Kapuas Hulu - Akademi Manajemen Panca Bakti, Pontianak

• Pekerjaan: Pemimpin redaksi majalah ”Kalimantan Review”

sumber : kompas.com

1 comment :

  1. Keren mas bro,... kagum aku sama kalian yang tetep melestarikannya.. Aku cinta Dayak dan Aku cinta Indonesia.!!

    ReplyDelete

 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube