Gambaran orang Dayak bertelinga panjang berjuntai anting, bercawat, bersongket, makan sirih, tinggal di rumah panjang, pemburu kepala manusia (headhunters); hanyalah kenangan masa lalu. Labeling sebagai suku bangsa primitif dan sejumlah stereotype miring, tinggal cerita.
Dayak Jangkang adalah salah satu Land Dayak yang menuturkan dialek Bokidoh. Ditutur lebih dari 45.000 penduduk, bahasa dengan sandi "Djo" di kencah dunia linguistik ini masih, dan akan tetap, aksis.
seiring modrenisasi dan pembangunan, etnis Dayak asuk dalam peradapan baru. Tua muda, laki maupun perempuan, anak-anak hingga dewasa; semua berperilaku dan ber-modus vivendi seperti layaknya manusia modern. Telepon seluler, antena parabola, kulkas, televisi berwarna, mobil, dan motor sudah jadi hal biasa bagi mereka. pendeknya, teknologi canggih dan informasi terkini dari penjuru dunia sudah merasuk, bahkan mempengaruhi, peradaban dan cara hidup mereka. Ini membuktikan bahwa etnis Dayak pun punya kemampuan adaptif untuk menghadapi perubahan zaman yang turbulen.
Diimbuni sejumlah gambar kuno zaman kolonial yang didapat dari Herman Jozef an Hulten, misionaris Belanda yang menginjakkan kaki di bumi Borneo tahun 1938, foto koleksi Kon. Institut v.d Tropen Amsterdam, Romer Museum Hildesheim, dan koleksi pribadi. Menjadikan buku ini bukan saja bernilai historis, tetapi juga sebuah studi komprehensif yang membahas kearifan lokal Dayak Jangkang hingga partisipasi politik mereka dalam Perang Manjang Desa, Filosofi di balik "Ngayau" dan tradisi "Mangkok Merah". Perjanjian "Tumbang Anoi" antara Dayak Borneo 22 Mei - 24 Juli 1894 di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu, Kalimantan Tengah yang belum banyak diketahui publik, riak-riak politik Dayak dalam pemilu 1955, serta mengupas tuntas akar dan sumber konflik eknik di Kalimantan Barat.
Inilah buku pertama yang membahas etnis Dayak dari pendekatan semiotika Roland Barthes tentang bahasa dan mitos dan hubungannya dengan peanda (signifier) dan yang ditandakan (signified). Buku ini membatu siapa saja untuk memahami cara hidup dan cara berada etnis Dayak, selain memberikan perspektif baru tentang cross culture, akar clash sosial, potensi konflik, dan pendekatan baru untuk mengatasinya.
Dayak Jangkang adalah salah satu Land Dayak yang menuturkan dialek Bokidoh. Ditutur lebih dari 45.000 penduduk, bahasa dengan sandi "Djo" di kencah dunia linguistik ini masih, dan akan tetap, aksis.
seiring modrenisasi dan pembangunan, etnis Dayak asuk dalam peradapan baru. Tua muda, laki maupun perempuan, anak-anak hingga dewasa; semua berperilaku dan ber-modus vivendi seperti layaknya manusia modern. Telepon seluler, antena parabola, kulkas, televisi berwarna, mobil, dan motor sudah jadi hal biasa bagi mereka. pendeknya, teknologi canggih dan informasi terkini dari penjuru dunia sudah merasuk, bahkan mempengaruhi, peradaban dan cara hidup mereka. Ini membuktikan bahwa etnis Dayak pun punya kemampuan adaptif untuk menghadapi perubahan zaman yang turbulen.
Diimbuni sejumlah gambar kuno zaman kolonial yang didapat dari Herman Jozef an Hulten, misionaris Belanda yang menginjakkan kaki di bumi Borneo tahun 1938, foto koleksi Kon. Institut v.d Tropen Amsterdam, Romer Museum Hildesheim, dan koleksi pribadi. Menjadikan buku ini bukan saja bernilai historis, tetapi juga sebuah studi komprehensif yang membahas kearifan lokal Dayak Jangkang hingga partisipasi politik mereka dalam Perang Manjang Desa, Filosofi di balik "Ngayau" dan tradisi "Mangkok Merah". Perjanjian "Tumbang Anoi" antara Dayak Borneo 22 Mei - 24 Juli 1894 di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu, Kalimantan Tengah yang belum banyak diketahui publik, riak-riak politik Dayak dalam pemilu 1955, serta mengupas tuntas akar dan sumber konflik eknik di Kalimantan Barat.
Inilah buku pertama yang membahas etnis Dayak dari pendekatan semiotika Roland Barthes tentang bahasa dan mitos dan hubungannya dengan peanda (signifier) dan yang ditandakan (signified). Buku ini membatu siapa saja untuk memahami cara hidup dan cara berada etnis Dayak, selain memberikan perspektif baru tentang cross culture, akar clash sosial, potensi konflik, dan pendekatan baru untuk mengatasinya.
No comments :
Post a Comment