Oleh: Masayu Yulien Vinanda
Sanksi Adat Efektifkan Upaya Konservasi
Sanksi adat yang tegas merupakan salah satu kunci keberhasilan konservasi wilayah Tana’ Ulen. Menurut keterangan Sekretaris Desa Long Alango, Trisno, pada tahun 2005 lalu, pernah didapati seseorang yang menggesek kayu di Koala. Karena orang tersebut belum mendapatkan izin dari Kepala Adat, maka ia dikenakan denda satu juta rupiah dan papan kayunya pun disita oleh pemuka adat setempat. Tidak hanya kayu, sumber daya alam lainnya seperti ikan juga tidak lepas dari aturan Tana’ Ulen. Trisno juga menceritakan kasus pengambilan ikan dengan menggunakan setrum yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di Sungai Nggeng. Pelaku dikenakan denda 10 juta rupiah,mesin dan alat setrumnya pun diambil paksa.
Besarnya sanksi yang dikenakan bagi mereka yang “nakal” dan telah merusak kelestarian hutan dan sungai ditentukan oleh musyawarah adat yang dipimpin oleh Kepala Adat Besar. Berdasarkan keterangan dari Camat Bahau Hulu, Unya’ Bawan, sanksi tidak selamanya dalam bentuk uang, bisa juga dalam bentuk barang seperti memberikan parang, mandau, ataupun gong (alat musik pukul tradisional).
Tidak hanya pelanggaran orang perseorangan yang mendapat perhatian hukum adat, aktivitas pengusaha-pengusaha hasil hutan juga diatur secara adat. Aturan adat yang dikeluarkan oleh musyawarah Kepala Desa-Kepala Desa dan Kepala Adat Bahau Hulu membatasi pengusaha dalam memungut hasil hutan seperti gaharu, rotan, kayu manis,dan damar. Pengusaha-pengusaha hasil hutan dari luar tidak boleh mengambil langsung sumber daya hutan tersebut, tetapi mereka diperbolehkan membeli dari masyarakat dengan izin Bupati.
Pengusaha yang masuk Tana’ ulen tanpa izin dikenai denda 500.000 per orang. Sementara ,mereka yang sudah mengantongi izin, harus tetap menyetor pada kas adat sebesar 500.0000. Rombongan yang masuk Tana’ Ulen maksimum hanya lima orang. Sedangkan untuk batas waktu aktivitas pengusaha tersebut ditentukan oleh Kepala Desa.
Ancaman terhadap Tana’ Ulen
Dalam perjalanannya, eksistensi Tana’ Ulen sempat mendapat ancaman. Pasalnya pada tahun 1980 kawasan hulu-hulu Sungai Kayan sampai Sungai Mentarang ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 847/Kpts/Um/II/1980, yang luasnya mencapai 1.360.500 ha. Namun pada 1990, Ditjen PHPA berkerjasama dengan WWF-Indonesia dan LIPI mengadakan kegiatan untuk penyusunan rencana pengelolaan kawasan Kayan Mentarang. Survei yang dilakukan WWF dan LIPI menyimpulkan adanya ketergantungan masyarakat dayak terhadap hutan yang sangat tinggi. Akhirnya pada kurun waktu 1992-1994, WWF dan Camat Punjungan mengeluarkan rekomendasi agar setiap desa memiliki Tana’ Ulen. Sekaligus pula mengusulkan agar Kayan Mentarang diubah menjadi Taman Nasional.
Upaya ini membuahkan hasil. Maka pada 7 Oktober 1996, Cagar Alam Kayan Mentarang secara resmi menjadi Taman Nasional Kayan Mentarang berdasarkan SK Menhut No. 631/Kpts-/1996. Perubahan ini menjadi angin segar bagi masyarakat lokal dan eksistensi Tana’ Ulen. Masyarakat bisa tetap tinggal di wilayah tersebut, dan menggunakan SDA yang tertentu sesuai peraturan Tana’ Ulen masing-masing desa.
Namun status Taman Nasional ini juga tidak sepenuhnya mampu menjamin eksistensi Tana’ Ulen, mengingat dalam aturan pemerintah, wilayah yang berada dalam kawasan taman nasional adalah tanah negara. Maka, WWF sebagai organisasi konservasi global harus senantiasa mengawal pemanfaatan Tana’ Ulen tersebut agar selalu selaras dengan misi konservasi.
sumber : WWF Indonesia
Sejak berabad-abad lamanya, masyarakat Dayak sudah mengenal konsep konsrvasi atau yang lebih akrab dengan istilah Tana' Ulen. Dalam wilayah Tana’ Ulen, orang dilarang menebang pohon, membakar hutan, membuat ladang, dan melakukan aktivitas-aktivitas lain yang menimbulkan kerusakan hutan. Semula Tana’Ulen hanya dimiliki oleh para bangsawan di Long Alango, Long Uli, dan Long Pujungan. Tana’ Ulen sendiri merupakan kawasan hutan rimba yang dilindungi secara adat. Wilayahnya meliputi satu sungai atau beberapa sungai kecil mulai dari muaranya sampai ke ujung-ujung anak sungai di titik mata airnya.
Sanksi Adat Efektifkan Upaya Konservasi
Sanksi adat yang tegas merupakan salah satu kunci keberhasilan konservasi wilayah Tana’ Ulen. Menurut keterangan Sekretaris Desa Long Alango, Trisno, pada tahun 2005 lalu, pernah didapati seseorang yang menggesek kayu di Koala. Karena orang tersebut belum mendapatkan izin dari Kepala Adat, maka ia dikenakan denda satu juta rupiah dan papan kayunya pun disita oleh pemuka adat setempat. Tidak hanya kayu, sumber daya alam lainnya seperti ikan juga tidak lepas dari aturan Tana’ Ulen. Trisno juga menceritakan kasus pengambilan ikan dengan menggunakan setrum yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di Sungai Nggeng. Pelaku dikenakan denda 10 juta rupiah,mesin dan alat setrumnya pun diambil paksa.
Besarnya sanksi yang dikenakan bagi mereka yang “nakal” dan telah merusak kelestarian hutan dan sungai ditentukan oleh musyawarah adat yang dipimpin oleh Kepala Adat Besar. Berdasarkan keterangan dari Camat Bahau Hulu, Unya’ Bawan, sanksi tidak selamanya dalam bentuk uang, bisa juga dalam bentuk barang seperti memberikan parang, mandau, ataupun gong (alat musik pukul tradisional).
Tidak hanya pelanggaran orang perseorangan yang mendapat perhatian hukum adat, aktivitas pengusaha-pengusaha hasil hutan juga diatur secara adat. Aturan adat yang dikeluarkan oleh musyawarah Kepala Desa-Kepala Desa dan Kepala Adat Bahau Hulu membatasi pengusaha dalam memungut hasil hutan seperti gaharu, rotan, kayu manis,dan damar. Pengusaha-pengusaha hasil hutan dari luar tidak boleh mengambil langsung sumber daya hutan tersebut, tetapi mereka diperbolehkan membeli dari masyarakat dengan izin Bupati.
Pengusaha yang masuk Tana’ ulen tanpa izin dikenai denda 500.000 per orang. Sementara ,mereka yang sudah mengantongi izin, harus tetap menyetor pada kas adat sebesar 500.0000. Rombongan yang masuk Tana’ Ulen maksimum hanya lima orang. Sedangkan untuk batas waktu aktivitas pengusaha tersebut ditentukan oleh Kepala Desa.
Ancaman terhadap Tana’ Ulen
Dalam perjalanannya, eksistensi Tana’ Ulen sempat mendapat ancaman. Pasalnya pada tahun 1980 kawasan hulu-hulu Sungai Kayan sampai Sungai Mentarang ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 847/Kpts/Um/II/1980, yang luasnya mencapai 1.360.500 ha. Namun pada 1990, Ditjen PHPA berkerjasama dengan WWF-Indonesia dan LIPI mengadakan kegiatan untuk penyusunan rencana pengelolaan kawasan Kayan Mentarang. Survei yang dilakukan WWF dan LIPI menyimpulkan adanya ketergantungan masyarakat dayak terhadap hutan yang sangat tinggi. Akhirnya pada kurun waktu 1992-1994, WWF dan Camat Punjungan mengeluarkan rekomendasi agar setiap desa memiliki Tana’ Ulen. Sekaligus pula mengusulkan agar Kayan Mentarang diubah menjadi Taman Nasional.
Upaya ini membuahkan hasil. Maka pada 7 Oktober 1996, Cagar Alam Kayan Mentarang secara resmi menjadi Taman Nasional Kayan Mentarang berdasarkan SK Menhut No. 631/Kpts-/1996. Perubahan ini menjadi angin segar bagi masyarakat lokal dan eksistensi Tana’ Ulen. Masyarakat bisa tetap tinggal di wilayah tersebut, dan menggunakan SDA yang tertentu sesuai peraturan Tana’ Ulen masing-masing desa.
Namun status Taman Nasional ini juga tidak sepenuhnya mampu menjamin eksistensi Tana’ Ulen, mengingat dalam aturan pemerintah, wilayah yang berada dalam kawasan taman nasional adalah tanah negara. Maka, WWF sebagai organisasi konservasi global harus senantiasa mengawal pemanfaatan Tana’ Ulen tersebut agar selalu selaras dengan misi konservasi.
sumber : WWF Indonesia
aku bkn conservasi jd concern ku dsn tp kijang ini
ReplyDelete