BREAKING

Friday, February 5, 2010

SISTEM KEKUASAAN DALAM MASYARAKAT DUSUN TABOYAN

Kekuasaan dalam konteks ini dimaknai sebagai keseluruhan dari bentuk kewenangan yang dimiliki adalah kewenangan seseorang atau segolongan orang dalam suatu kesatuan masyarakat tertentu.

Dalam hal mana untuk konteks ini adalah dalam masyarakat Dayak Dusun dan Taboyan.Kedua suku ini adalah merupakan bagian dari puluhan suku Dayak di pedalaman Borneo (Kalimantan), yaitu di pedalaman Barito, kedua suku ini dari aspek budayanya hampir sama, malah ada yang menyebutkan suku Dusun semula berasal atau merupakan pecahan (pemekaran) dari suku Taboyan. Pendapat ini didasarkan fakta bahwa dari aspek budaya, terutama bahasa, kesenian dan adat istiadat keduanya hampir sama. Termasuk dalam hal sistem kekuasaan yang secara adat diakui dan dihormati keberadaannya.

Guna membahas hal ini, penulis akan mengacu kepada sistem kekuasaan negara yang secara universal diterapkan oleh sejumlah negara, yaitu mengacu kepada teori Montesqeu yang sangat populer dengan nama "Trias Politica". Dalam hal mana kekuasaan dalam suatu negara dibagi menjadi tiga bentuk kekuasaan, yaitu; kekuasaan Eksektif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Sungguhpun ketiga kekuasaan ini juga terdapat dalam masyarakat Dusun dan Taboyan yang mana penerapannya kini mulai bergeser, bukan lagi seperti aslinya dulu.

Dalam konteks ini, masyarakat Dusun (dusun Bayan dan Dusun Malang) serta masyarakat Taboyan mengenal, bahwa Kekuasaan eksekutif dipegang dan dipimpin oleh oleh "Pambekal" yang sekarang diganti nama Kepala Desa, nama jabatan "Pembakal" nampaknya ditinggalkan, sementara di Kaltim dinamai 'Patinggi". Pembakal atau Patinggi memimpin staf mulai dari "Pangirak" yang bertugas semacam hubungan masyarakat, hingga ke wakil pembakal orang kedua yang bertugas membantu tugas-tugas Pembakal sehari-harinya.

Kekuasaan kedua adalah kekuasaan yudikatif, dalam konteks ini dipegang oleh "Pangulu" untuk tingkat desa dan Damang untuk tingkat kecamantan. Tugas pokok Pangulu adalah memegang kekuasan adat. Dengan dibantu para "Mantir", semacam dewan adat desa Pangulu memutuskan semaua perkara adat atas dasar musyawarah dengan para Mantir yang juga ahli adat setempat.

Keputusan tersebut umumnya bersifat final, sangat jarang ada banding ke tingkat Damang di kecamantan selaku pemangku adat tertinggi, karena di tingkat kabupaten tidak ada ladi lembaga adat yang memiliki kekuasaan memutuskan perkara adat.

Pada tingkat kabupaten hanya ada Majelis Adat, lembaga ini masih relatif baru, perannya difokuskan kepada kebijakan Pemerintah Daerah yang berkaitan dengan adat, terutama dalam hal pembentukan

Peraturan Daerah, Keputusan kepala daerah dan kebijakan lainnya yang menyangkut adat. Lembaga ini nampaknya merupakan pemegang kekuasaan legislatif dalam masyarakat adat.Lembaga ini setidaknya proses pembentukannya melalui mekanisme perwakilan, yaitu mencerminkan representasi suku-suku Dayak yang ada dalam wilayah kabupaten tertentu. Namun demikian, baik Pambakal maupun Pangulu tidak bertanggung jawab kepada Majelis Adat ini, sebagaimana kekuasaan eksekutif dan yudikatif dalam pemerintahan suatu negara.

Dulunya Pambakal bertanggung jawab kepada Camat, akan tetapi sekarang Pembakal atau Kepala Desa bertanggung jawab kepada Badan Perwakilan Desa (BPD), BPD sesuai undang-undang Pemerintahan Desa adalah dipilih oleh warga desa, sama halnya dengan Kepala Desa sekarang ini.

Ketika jabatan tersebut masih dinamakan Pembakal, maka calon Pembakal tidak dipilih langsung oleh semua warga desa, namun dia dipilih, atau ditunjuk secara musyawarah oleh para tokoh adat desa, ketua Padang (semacam RT saat ini). masa kekuasaan Pambakal adalah 8 tahun, bukan 5 tahun seperti masa jabatan kepala desa saat ini. Dalam menjalankan kekuasaannya seorang Pambakal dapat saja diberhentikan oleh para tokoh adat dan ketua padang yang mengangkatnya, bila terjadi yang bersangkutan melakukan perbuatan tercela atau melanggar adat, namun kasus demikian sangat jarang sekali terjadi.

Baik Pambakal maupun Pangulu dan Dewan Adat adalah tidak digaji, mereka bekerja sukarela. berbeda dengan para kepala desa saat ini. Mereka digaji dan kerap melakukan perbuatan tercela, bahkan pelanggaran hukum.

Sejumlah undang-undang, peraturan daerah yang mengatur Pemerintahan Desa saat ini menghapus semua tatanan yang sebenarnya cukup baik dipertahankan dalam masyarakat Dayak Dusun dan Taboyan. Praktek politik uang dalam setiap pemilihan kepala desa dan BPD sudah bukan rahasia lagi, demikian juga dalam hal pemilihan Damang kepala adat Kecamatan selalu ada tudingan adanya praktek politik uang. Karena kini Damang selain dipilih oleh pada Panghulu, juga para Kepala Desa, padahal para kepala Desa ini sebenarnya adalah kepanjangan tangan eksekutif. Sehingga hal ini merupakan campur tangan eksekutif (pemerintah) terhadap independensi pimpinan adat.

Praktek semacam ini diakui ataupun tidak akan mempengaruhi pejabat desa dan pejabat adat tadi dalam melaksanakan tugas mereka melayani masyarakat, karena uang telah menjadi sesuatu yang utama dalam setiap pertimbangan mereka, yaitu guna mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan dalam proses pemilihan mereka sebelumnya. Kesimpulannya, aspek positif dari budaya Dayak, khususnya Dayak Dusun dan Taboyan telah bergeser kepada budaya "demokrasi semu" (dalam proses pemilihan pejabat desa dan pemangku adat secara langsung) yang berorientasi libralis karena ada kekuatan materi dan uang dalam mendapatkan kekuasaan.

Sumber : http://beritabarito.multiply.com

No comments :

Post a Comment

 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube