Budaya tutur intootn suku Dayak nyaris punah. Tergusur modernisasi dan kurangnya minat generasi muda.
KISAH Tengtengak diceritakan kembali olehYuvenalis Kedoy. Mengalir lancar di tengah dinginnya angin malam dan ramai suar serangga hutan pedalaman Kalimantan Timur. Kepala Divisi kebudayaan Yayasan Anum Lio ini mencoba menggali ingatan tentang cerita rakyat yang sering didongengkan sang ibu. Menggali kenangan saat dia berumur enam tahun (1980-an), serta mengingat rengekan pada sang bunda agar mau mendongeng. "Begitulah dulu. Karena tidak ada hiburan, kami minta dongengan dari orang tua," kenang Yuvenalis yang kini berusia 32 tahun, saat berbincang dengan Media Indonesia . Dilakukan menjelang tengah malam di Kampung Bigung Baru, Kecamatan Linggang Bigung,. Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Minggu (30/07).
Bagi Yuvenalis, masa kanak-kanaknya penuh dengan cerita rakyat yang oleh masyarakat setempat disebut dengan istilah intootn. Saat itu, cerita rakyat menjadi satu-satunya hiburan. Pasalnya, Kecamatan Linggang Bigung, tepatnya di Kampung Linggang Mapan tempat dia tinggal, belum teraliri listrik. Tidak ada radio, apalagi televisi. Kala itu, kawasan yang terletak sekitar 450 kilometer arah barat laut Balikpapan tersebut masih terisolasi.
Kondisi itu memengaruhi ritme kehidupan suku Dayak, semisal etnik Tunjung Linggang —biasa dikenal Rentenuukng— yang mendiami dataran tinggi Linggang. Mereka bekerja mulai pukul 07.00 dan berakhir pukul 15.00. Selanjutnya memasuki masa istirahat. Beratnya pekerjaan membuat orang dewasa cepat terlelap. Namun, anak-anak sering kali sulit tidur. Mereka akhirnya merengek meminta dongeng pengantar tidur. Dalam istilah mereka disebut intootn, budaya tutur atau lisan.
Bercerita tentang masa kecil, senyum Yuvenalis selalu mengembang. Namun, setelah itu, wajahnya menunjukkan keprihatinan. Maklum, kini cerita rakyat di pedalaman Kalimantan tak bisa lagi sepenuhnya unjuk diri. Modernisasi mengikis kebiasaan intootn. Dimulai 1985, bersamaan dengan masuknya PT Kelian Equatorial Mining (KEM). Dataran tinggi Linggang berkembang pesat. Memasuki 1990, pembangunan akses jalan dan aliran listrik gencar dilakukan. Sebagai perbandingan, bila dahulu lama perjalanan Balikpapan- dataran tinggi Linggang 24 jam, kini hanya dua jam. Satu jam melalui jalur udara, Bandara Sepinggan, Balikpapan, menuju Bandara Melak, Sendawar. Sisanya dilakukan menyusun jalan darat.
Produk televisi lengkap dengan antena yang langsung terhubung ke satelit sudah bukan barang aneh lagi. Alternatif hiburan malam hari pun bertambah. Selain tradisi tutur intootn, ada pula pukauan hiburan dari televisi satelit yang dapat diakses 24 jam. "Daya tarik intootn tentu sudah jauh berkurang," papar Yuvenelis.
Menjelaskan lebih jauh, antropolog lulusan Universitas Gadjah Mada Yuvenalis Lahajir mengatakan, memasuki era-1990-an, tanda-tanda kepunahan tradisi tutur intootn mulai tampak. "Sebab utamanya bukan pengaruh televisi, tetapi generasi muda Linggang sendiri ternyata tidak lagi berminat mempelajari kebudayaan tersebut," ungkap pria yang biasa dipanggil Lahajir,
dan sejak 1980-an terus mendalami kebudayaan Dayak, Kabupaten Kutai Barat.
Ancaman kepunahan itu memunculkan gelisah. Akhirnya, lelaki berusia 49 tahun ini berinisiatif mendokumenfasikan segala cerita rakyat yang berasal dari suku Dayak di dataran tinggi Linggang. Dataran tinggi ini didiami empat etnik mayoritas suku Dayak, yakni Tunjung Linggang atau Rentenuukng, Tunjung Tengah yang juga disebut Tonyooi, Benuaq, dan Bahau.
Bagi Lahajir, tujuan pendokumentasian sangatlah sederhana. "Sebagai bahan pengingat bahwa ada suatu bentuk kebudayaan yang pernah hidup di dataran Linggang. Dan, itu sangat bernilai! "tegas lelaki yang juga menjabat sebagai Direktur Yayasan Anum Lio (YAL).
Gagasan mendokumentasikan cerita rakyat suku Dayak bukan soal gampang. Pasalnya, perjalanan peradaban kebudayaan Dayak belum sampai pada tahap membuat abjad. Artinya, sama sekali tidak ada risalah tertulis. "Semua khazanah kebudayaan Dayak diturunkan secara lisan," ungkap pria berkacamata ini.
Cerita-cerita rakyat, lanjut dia, hanya hidup di alam pikiran para tetua adat yang berusia lanjut. "Karena itu kami harus bergegas mendatangi mereka dan merekam segala cerita. Bisa jadi ketika ajal datang, cerita pun ikut menghilang."
Seiring perjalanan waktu, idealisasi pendokumentasian intootn sebagai bahan pengingat pun mengalami peningkatan. Kini, Lahajir mengingini kumpulan intootn menjadi mata ajaran kurikulum lokal di sekolah-sekolah Kabupaten Kutai Barat. "Intootn juga merupakan bagian dari kekayaan khazanah berpikir masyarakat Dayak," ujar Lahajir.
Ia juga berharap dokumentasi itu sampai ke public di luar suku Dayak. Jika kumpulan intootn ini selesai, berisikan cerita rakyat dari Kabupaten Kutai Barat. (DvD/M-1)
Sumber : http://rafflesia.wwf.or.id
KISAH Tengtengak diceritakan kembali olehYuvenalis Kedoy. Mengalir lancar di tengah dinginnya angin malam dan ramai suar serangga hutan pedalaman Kalimantan Timur. Kepala Divisi kebudayaan Yayasan Anum Lio ini mencoba menggali ingatan tentang cerita rakyat yang sering didongengkan sang ibu. Menggali kenangan saat dia berumur enam tahun (1980-an), serta mengingat rengekan pada sang bunda agar mau mendongeng. "Begitulah dulu. Karena tidak ada hiburan, kami minta dongengan dari orang tua," kenang Yuvenalis yang kini berusia 32 tahun, saat berbincang dengan Media Indonesia . Dilakukan menjelang tengah malam di Kampung Bigung Baru, Kecamatan Linggang Bigung,. Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Minggu (30/07).
Bagi Yuvenalis, masa kanak-kanaknya penuh dengan cerita rakyat yang oleh masyarakat setempat disebut dengan istilah intootn. Saat itu, cerita rakyat menjadi satu-satunya hiburan. Pasalnya, Kecamatan Linggang Bigung, tepatnya di Kampung Linggang Mapan tempat dia tinggal, belum teraliri listrik. Tidak ada radio, apalagi televisi. Kala itu, kawasan yang terletak sekitar 450 kilometer arah barat laut Balikpapan tersebut masih terisolasi.
Kondisi itu memengaruhi ritme kehidupan suku Dayak, semisal etnik Tunjung Linggang —biasa dikenal Rentenuukng— yang mendiami dataran tinggi Linggang. Mereka bekerja mulai pukul 07.00 dan berakhir pukul 15.00. Selanjutnya memasuki masa istirahat. Beratnya pekerjaan membuat orang dewasa cepat terlelap. Namun, anak-anak sering kali sulit tidur. Mereka akhirnya merengek meminta dongeng pengantar tidur. Dalam istilah mereka disebut intootn, budaya tutur atau lisan.
Bercerita tentang masa kecil, senyum Yuvenalis selalu mengembang. Namun, setelah itu, wajahnya menunjukkan keprihatinan. Maklum, kini cerita rakyat di pedalaman Kalimantan tak bisa lagi sepenuhnya unjuk diri. Modernisasi mengikis kebiasaan intootn. Dimulai 1985, bersamaan dengan masuknya PT Kelian Equatorial Mining (KEM). Dataran tinggi Linggang berkembang pesat. Memasuki 1990, pembangunan akses jalan dan aliran listrik gencar dilakukan. Sebagai perbandingan, bila dahulu lama perjalanan Balikpapan- dataran tinggi Linggang 24 jam, kini hanya dua jam. Satu jam melalui jalur udara, Bandara Sepinggan, Balikpapan, menuju Bandara Melak, Sendawar. Sisanya dilakukan menyusun jalan darat.
Produk televisi lengkap dengan antena yang langsung terhubung ke satelit sudah bukan barang aneh lagi. Alternatif hiburan malam hari pun bertambah. Selain tradisi tutur intootn, ada pula pukauan hiburan dari televisi satelit yang dapat diakses 24 jam. "Daya tarik intootn tentu sudah jauh berkurang," papar Yuvenelis.
Menjelaskan lebih jauh, antropolog lulusan Universitas Gadjah Mada Yuvenalis Lahajir mengatakan, memasuki era-1990-an, tanda-tanda kepunahan tradisi tutur intootn mulai tampak. "Sebab utamanya bukan pengaruh televisi, tetapi generasi muda Linggang sendiri ternyata tidak lagi berminat mempelajari kebudayaan tersebut," ungkap pria yang biasa dipanggil Lahajir,
dan sejak 1980-an terus mendalami kebudayaan Dayak, Kabupaten Kutai Barat.
Ancaman kepunahan itu memunculkan gelisah. Akhirnya, lelaki berusia 49 tahun ini berinisiatif mendokumenfasikan segala cerita rakyat yang berasal dari suku Dayak di dataran tinggi Linggang. Dataran tinggi ini didiami empat etnik mayoritas suku Dayak, yakni Tunjung Linggang atau Rentenuukng, Tunjung Tengah yang juga disebut Tonyooi, Benuaq, dan Bahau.
Bagi Lahajir, tujuan pendokumentasian sangatlah sederhana. "Sebagai bahan pengingat bahwa ada suatu bentuk kebudayaan yang pernah hidup di dataran Linggang. Dan, itu sangat bernilai! "tegas lelaki yang juga menjabat sebagai Direktur Yayasan Anum Lio (YAL).
Gagasan mendokumentasikan cerita rakyat suku Dayak bukan soal gampang. Pasalnya, perjalanan peradaban kebudayaan Dayak belum sampai pada tahap membuat abjad. Artinya, sama sekali tidak ada risalah tertulis. "Semua khazanah kebudayaan Dayak diturunkan secara lisan," ungkap pria berkacamata ini.
Cerita-cerita rakyat, lanjut dia, hanya hidup di alam pikiran para tetua adat yang berusia lanjut. "Karena itu kami harus bergegas mendatangi mereka dan merekam segala cerita. Bisa jadi ketika ajal datang, cerita pun ikut menghilang."
Seiring perjalanan waktu, idealisasi pendokumentasian intootn sebagai bahan pengingat pun mengalami peningkatan. Kini, Lahajir mengingini kumpulan intootn menjadi mata ajaran kurikulum lokal di sekolah-sekolah Kabupaten Kutai Barat. "Intootn juga merupakan bagian dari kekayaan khazanah berpikir masyarakat Dayak," ujar Lahajir.
Ia juga berharap dokumentasi itu sampai ke public di luar suku Dayak. Jika kumpulan intootn ini selesai, berisikan cerita rakyat dari Kabupaten Kutai Barat. (DvD/M-1)
Sumber : http://rafflesia.wwf.or.id
No comments :
Post a Comment