(Puslit Arkenas)
Mau tempayan antik yang berasal dari masa Dinasti Han? Mau mangkuk berelief dari Dinasti Sung? Atau mau tempayan dililit naga dari Dinasti Ming? Pelbagi bentuk keramik asli tiruan yang betul-betul “seindah aslinya” itu dapat kita peroleh di Desa Sedau: Bahkan kalaupun mau tempayan antik yang sudah aus atau retak-retak, juga bisa mereka sediakan. Tentu saja dengan harga yang jauh di bawah harga keramik kuno yang sesungguhnya. Atau kalau mau memperbaiki keramik antik yang sudah aus, mereka sanggup menghipnotisnya menjadi indah kembali.
Dilihat sepintas lalu, Desa Sedau memang tidak menampakkan keunikan dan keanehan yang mencolok mata. Desa terpencil yang terletak di Kota Adminis-tratif Singkawang, Kalimantan Barat, itu sebenarnya mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan, terutama sekali dalam kegiatan pembuatan keramik purba tiruannya. Jenis komoditi yang menjadi idaman golongan “the have”, dan impian golongan “the have not”.
Desa Sedau, yang kini termasuk wilayah Kecamatan Tujuhbelas itu nampaknya memang memiliki latarbelakang sejarah yang cukup panjang. Kota Singkawang sendiri pemah disebut-sebut dalam tradisi kuno, yang menyebutkan bahwa Singkawang didirikan oleh orang-orang Cina pada abad ke-13 Masehi.
Konon menurut kisah rakyat yang pernah beredar di Singkawang, kota ini didirikan oleh 7 opsir anggota pasukan Kubilai Khan. Pasukan yang dipimpin oleh 3 jenderal itu – I-heh Mishih, Shihpi, dan Kau Hsing – dikirim oleh kaisar untuk menghukum “raja Jawa” yang pernah menghina utusan kaisar. Raja Jawa yang dimaksud adalah Sri Kertanegara, raja Singasari. Akan terapi pasukan Cina itu berhasil diperdayai oleh Sri Wijaya (pendiri kerajaan Majapahit). Sehingga pada tanggal 31 Mei 1293 seluruh pasukan Cina itu tergopoh-gopoh mening-galkan Jawa. Dalam pelayaran kembali ke daratan Cina itulah, dalam keadaan kelelahan, kapal mereka diserang badai. Mereka terpaksa mendarat di pantai barat Kalimantan untuk memperbaiki kapal. Pada waktu berlayar kembali, 7 orang opsir temyata tidak terbawa serta. Ketujuh opsir itu kemudian hidup menetap di Singkawang dan menikah dengan gadis-gadis setempat.
Sampai di mana kebenaran ceritera rakyat itu sulit dibuktikan. Yang jelas sampai sekarang sebagian besar penduduk Kota Singkawang adalah orang-orang Tionghoa. Bahkan masih banyak di antara mereka yang sama sekali belum mengenal Bahasa Indonesia dan masih menggunakan bahasa leluhurnya sebagai alat komunikasi.
Singkawang, kota kecil berpenduduk puluhan ribu jiwa yang terletak sekitar 140 km di utara Pontianak,. nampaknya memang mempunyai hubungan historis yang erat dengan budaya Cina. Banyaknya Klenteng di sana agaknya membuktikan hal itu, di samping ciri biologis orang-orang Singkawang yang seratus prosen merupakan ciri ras Mongolid. Pada saat hari-hari raya Konfusius atau keper-cayaan dari Cina daratan lainnya, suasana Kota Singkawang memang nyaris mirip perkampungan di tanah asalnya. Celoteh dalam bahasa Cina totok terdengar di mana-mana. Tidak aneh kalau ada yang menjuluki Singkawang sebagai Kota Cina di Indonesia.
Ciri budaya Cina lainnya yang juga terdapat di Singkawang adalah adanya pabrik-pabrik keramik Cina.
Dalam budaya Cina sendiri, pembuatan keramik telah sejak ribuah tahun silam menjadi kegiatan utama negeri itu. Bahkan setiap dinasti mengembangkan. teknik pembuatan tersendiri yang berbeda dengan dinasti lainnya. Demikianlah keramik-keramik Cina dapat diusut umumya ber-dasarkan ciri-ciri keramik setiap dinasti. Oleh karena itu, bagi ahli arkeologi, temuan benda keramik sangat berarti, karena dapat digunakan untuk menaksir umur suatu situs (tempat penemuan benda-benda arkeologis).
Di Indonesia sendiri, temuan keramik Cina terdapat di hampir seluruh daerah Indonesia. Keramik Cina tertua yang pemah ditemukan di Indonesia adalah yang berasal dari masa Dinasti Han Abad 1-2 Masehi (berupa tempat membakar dupa di situs Kerini, Jambi, Sumatra, hadi).
Keramik Cina yang berasal dari masa ratusan sampai ribuan tahun silam itu, selain diburu oleh para ahli arkeologi temyata juga menjadi incaran para kolektor barang-barang antik. Kelompok yang terakhir ini, yang kerap disebut kelompok “antiquarian”, berani membeli keramik-keramik Cina kuno dengan harga jutaan rupiah. Di Singkawang sendiri, puluhan tahun yang lalu, tempayan atau tempayan keramik kuno banyak dipakai sebagai wadah untuk menampung air hujan. Wadah-wadah keramik itu ditempatkan di sekeliling rumah, untuk menampung curahan air hujan yang turun dari genteng atau talang air. Kesulitan akan air bersih di daerah ini menyebabkan air hujan dianggap anugerah dari langit. Air bersih bahkan dianggap jauh lebih berharga dibandingkan keramikkeramik antik itu.
Dari mana mereka memperoleh keramikkeramik antik itu? Entahlah, ada yang mengaku warisan dari orang tua. Akan tetapi mungkin juga ada yang menemukannya dari dalam tanah. Namun keramik-keramik antik itu lambat laun menghilang, digantikan oleh tempayan-tempayan semen atau sumuran-sumuran berkonstruksi beton. Pasalnya keramik antik yang semula dianggap tidak lebih berharga dari air hujan itu, temyata mampu mendatangkan sejumlah uang yang cukup besar bila dibeli oleh para pemburu barang antik. Tentu saja keramik antik itupun berpindah tangan menjadi milik para Antiquarian.
Lenyapnya keramik-keramik antik dari halaman rumah-rumah penduduk Singkawang, sementara kaum antiquarian masih saja berdatangan mencarinya, menyebabkan timbulnya ide bagi segelintir penduduk Desa Sedau untuk mencoba berkiprah di bidang pembuatan keramik-keramik antik tiruan. Memasuki abad ke-20 di desa kecil berpenduduk ratusan jiwa itu pernah menjamur usaha pembuatan keramik antik tiruan seperti itu. Namun lemahnya manajemen dan terbatasnya upaya pemasaran menyebabkan terjadinya “seleksi alam” yang tak kenal ampun. Sampai saat ini yang tinggal hanyalah 4 pabrik saja. Kemiripan industri keramik Singkawang dengan negara leluhurnya tidak hanya nampak dalam bentuk hasil produksinya saja. Teknologi yang mereka gunakan pun nyaris sempurna seperti yang digunakan nenek moyang mereka ribuan tahun silam di Daratan Cina sana. Tungku pembakarannya, misalnya, berbentuk sama dengan yang dahulu dipakai para pengrajin sejak jaman Dinasti Han ribuan tahun lalu. Tungku yang karena bentuknya mirip “naga” itu, populer dengan sebutan Tungku Naga.
Tapi dari demikian banyak pengrajin keramik di Singkawang kini, yang mampu membangun Tungku Naga tinggal satu orang tukang saja. Hon Ka Lung (37 tahun), salah seorang pengrajin di pabrik Sinar Terang di Desa Saliung, adalah satu-satunya pengrajin yang memiliki keahlian itu. Ilmu Naga yang dikuasainya boleh jadi akan segera lenyap dari muka bumi Singkawang, jika Hon Ka Lung tiada. Sebab tidak satupun pengrajin lain yang punya “bakat” untuk mewaris ilmu naga itu.
“Liauw A Tjui datang ke Indonesia tahun 1927 dari Cina Selatan. Mula-mula dari Kanton ia ke Singapura dan bekerja di sana sebagai kuli pelabuhan.
Dari Singapura ia pindah ke Singkawang sini dengan membuka usaha toko obat tradisional Cina. Setelah memperoleh cukup modal, maka tahun 1936 Liauw A Tjiu mendirikan pabrik keramik di Desa Sedau. Pabrik itu diberinya nama Tajau Mas. Pabrik itu mulai berproduksi tanggal 1 Agustus 1937″, jelas Budi Riyanto, pengelola pabrik Tajau Mas.
Budi Riyanto yang semula bemama Liauw Hai Leng (42 tahun) adalah putra dari Liaw A Tjiu. “Liauw A Tjiu mendirikan pabrik itu dengan bantuan dari teman-temannya, pengrajin keramik dari Cina”, ujar Budi Riyanto lagi. Sedangkan nama Tajau Mas, menurut Budi Riyanto, dipilih orangtuanya karena nama itu berarti “tempayan emas”, yang dalam bahasa Cina disebut “Yu Hua”. Nama yang terakhir ini bagi masyarakat Cina juga mengandung makna “kekayaan dan perdamaian”. Jadi pabrik keramik tiruan itu diharapkan memberi kekayaan dan perdamaian. Seperti juga Tajau Mas, ketiga pabrik lainnya, yaitu pabrik Dinamis, Semangat Baru, dan Tri Murni, didirikan oleh imigran Cina yang datang ke Indonesia sekitar tahun 1930-an. Pabrik keramik Dinamis merupakan pabrik tertua, didirikan tahun 1934. Sedangkan Tri Murni didirikan tahun 1940 dan Semangat Baru tahun 1943. Pabrik-pabrik itu kini dikelola oleh anak-anak dari para pendirinya. Sayangnya tidak banyak informasi yang dapat dikorek dari mereka, karena sebagian besar pengelola dan buruh pabrik-pabrik itu hanya bisa berbicara dalam bahasa Cina.
No comments :
Post a Comment