BREAKING

Monday, May 24, 2010

Dange, Ritual Pasca Panen Dayak Kayaan

By Edi Petebang and D.Uyub

Musik sape’ mengiringi tarian para pria dan perempuan dengan pakaian adat yang sangat indah. Beraneka ragam minuman dan makanan dihidangkan. Semua orang bergembira. Riuh pesta itu selalu terjadi setiap bulan Mei dan Juni sejak ratusan tahun silam. Itulah pesta ritual Dange orang Dayak Kayaan di sungai Mendalam, Putusibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Dalam pesta dange semua orang Kayaan berkumpul dan itulah saat mereka menunjukkan keterampilan seni menyanyi, memainkan alat musik sape’ (sejenis gitar-Red.), menari dan pakaian adat disertai asesori yang indah.

Dange dirayakan sehabis panen padi ladang sebagai ungkapan syukur atas tahun padi yang telah berjalan, sekaligus doa permohonan untuk tahun padi berikutnya.

Upacara dange dilengkapi sebuah pondok yang disebut Dange Uma’ Pagung. Prosesi awal dange adalah mendirikan pondok itu. Seluruh prosesi ritual pesta dange dipimpin oleh Dayung (pemimpin upacara. “Dayung haruslah keturunan seorang Hipui, semacam keturunan bangsawan dalam masyarakat lain,”ungkap Hermanus Abeh, puteraKayaan dari Mendalam. Fungsi Dayung adalah perantara masyarakat dengan Tuhan mereka. Dayung mempunyai peranan yang amat penting, yaitu menyampaikan maksud warga secara simbolis.

Dange memerlukan dua hari persiapan. Pada hari ketiga barulah ritual dilaksanakan, yang dibuka dengan ngaraang bakaat (tarian perang-Red) sejak pagi. Jaman dahulu, penari itu haruslah orang yang pernah membunuh atau mendapat kepala kayau; kecuali Dayung hipui yang memimpin.

Gerakan tarian ini empat kali ngaju’ (mengambil ancang-ancang) empat kali mulu (menombak). Setelah itu baru lah mitang (memotong) kayu senggalaang sama seperti cara mulu. Penari bakaat ini di beri usut (upah). Dulu, upahnya sebuah gong sebesar lima kilan atau satu buah haruk (perahu-Red) yang di keluarkan oleh orang yang di mela (pembersihan badan) dalam dange.

Setelah karang bakaat selesai, hari keempat sejak 09.00 WIBA dilanjutkan ngiaan (tarian yang mengeliling babi yang akan di sembelih) sebanyak delapan putaran. Penarinya enam belas remaja putri dan seorang Dayung. “Dulu dange sampai tujuh hari namun kini hanya dua hari. Bahkan pernah hilang karena pengaruh luar,”tambah Abeh.

Akhir prosesi dange adalah penyembelihan babi. Babi dihitung berdasarkan jumlah bilik sebetang raya (sekampung-Red). Setelah itu dilanjutkan dengan mela (pembersihan badan dengan mengunakan darah babi yang baru di sembelih dengan daun havaang. Tradisi lisan Kayaan mempercayai bahwa mela membebaskan orang dari beban lali’tepang (pantangan adat).

Untuk melakukan mela, masyarakat menyiapkan babi, ayam dan itun havaang atau daun rinjuang/sabang. Darah kedua jenis binatang itu dioleskan ke daun sabang lalu dikibaskan pada masyarakat yang dimela. Orang yang dimela adalah kaum balita dan ibunya. Atau pasangan suami istri yang baru menikah. Mela untuk anak kecil, khususnyadi bawah setahun, selain untuk selamatan dalam kelahirannya, juga pemberian nama baru dalam Dange.

Para ibu, pengantin baru melakukan mela agar mereka terbebas dari tepang. Tepang ini biasanya makan ikan dari tangkapan nuva’(nuba), bua’ ulap (buah rambai), makan diaan, buah tuva’ dan pantangan-pantangan lain.

Di hari keempat itu dange juga dilakukan di hawa amin aii’ (pelataran ruang tengah milik Hipui). Warga yang ber-dange berkumpul dengan berbagai permainan. Sehingga di sana Dayung aii dan uk (Imam senior dan junior) menari sambil mesoi utaam atau menunjukan roh leluhur. Leluhur ini menurut kepercayaan Kayaan adalah karaang lalang Buko, seorang tokoh perempuan yang mempunyai kelebihan dalam memainkan musik Sape’ untuk menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia, bersama-sama Lawe’.

Kebiasaan ibu-ibu dalam acara Dange adalah menyiapkan uting (makanan dari babi kampung) yang di sembelih dalam prosesi tadi. Dari babi itu mereka membuat Arungberupa dua bungkus kecil nasi, dua potong kecil daging uting dan dua buah pitoh (kue tradisional-red) yang dibagikan ke setiap rumah. Dari arung ini warga makan di rumah mereka masing-masing bersama dengan para Hakai (tamu) yang datang.

Di hari kelima, warga biasanya makan dana minum ataupun membuat hiburan-hiburan. Sorenya dibagikan arung ataa’ (daging babi mentah) bersama bahan-bahan lain yang telah masak, misalnya nasi. Namun arung kedua kalinya ini dari Hipui, yang di bagi kepada warganya.

Kegiatan akhir Dange adalah purah baraang bulit (semacam permainan tradisi) dengan delapan peserta anak remaja putra, dan dua putri. Caranya putra mengelilingi itun pute’ (daun pisang) yang ditumpuk sebanyak delapan daun utuh Di atas daun itu ditaburkan nasi basi. Kedua perempuan tadi naik ke atas parung (ruangan tanpa langit-langit). Mereka menyirami ke delapan putra dengan air dari atas, dimana kedelapan putra itu memperebut daun pisang dengan aksi saling memukul antara satu dengan yang lainnya.

Ketika acara purah batang built selesai, para ibu-ibu pergi nyinah (membaca mantra untuk memanggil kembali roh padi) dalam bentuk nasi yang dimainkan oleh anak-anak saat purah batang bulit. Hal itu karena dalam tradisi Kayaan kaum ibu diyakini memegang peranan penting dalam mengurus padi, oleh karena itu ibu-ibulah yang memegang beruaan parai (roh padi).

Terancam

Sekarang menurut Uku’ Lirung Anya’(80 tahun), tetua yang pernah memegang adat Dange Pagung, Dange Bakaat orang Pagung sulit di lakukan karena bahan untuk bangunan Dange sulit didapat akibat hutan semakin habis. “Pengaruh modernisasi menyebabkan kepeduliaan anak muda dalam bergotong royong dan ingin mengetahui serta mempelajari adat istiadat kurang,”ujar Lirung Anya. Lirung berharap generasi Kayaan menjaga kebudayaan orang Kayaan. Salah satu wujud konkrit pengaruh modernisasi adalah adanya misa Katolik dalam setiap pesta Dange sejak tahun 1970-an.

Harapan tetua Kayaan dan masyarakat Dayak semua. Semoga generasi Kayaan terutama, dimanapun berada mendengar harapan Uku’ Lirung Anya’.***

Siapakah Orang Kayaan Mendalam?

Ratusan tahun silam orang Kayaan tinggal di Apo Kayaan (Apo adalah daratan tinggi-red) Kalimantan Timur. Kemudian mereka menyebar. Menurut cerita di kalangan orang Kayaan, saat itu terdapat serombongan besar dan kecil dalam penyebaran itu.

Sewaktu melewati sungai rombongan besar menyeberang dengan ja’it (jambatan yang terbuat dari tali). Namun saat itu kelompok kecil telah tiba di seberang sungai. Sehingga kelompok yang tertinggal berteriak ‘Payo (rusa). Mendengar teriakan ini kelompok yang terlebih dahulu tiba di seberang beranggapan teriakan untuk menyatakan Ayo (musuh) sehingga mereka sama-sama berteriak. Saat itu juga ja’it di putuskan. Kondisi ini membuat mereka kebinggungan karena panik. Akhirnya mereka secara masing-masing lari menyelamatkan diri.

Peristiwa inilah yang membuat masyarakat Kayaan berpencar di mana-mana. Sekelompok menuju ke arah Kalbar, yang kemudian mendiami aliran Sungai Mendalam. Kelompok lain menuju ke bagian Sarawak lalu mendiami Telaang Usaan, Baram dan sekitarnya. Namun ada pula yang kembali ke tempat awal keberangkatan yaitu Sungai Mahakam, Sungai Kayaan dan sekitarnya. “Orang-orang Kayaan di Mendalam tidak merupakan satu suku, tetapi semua orang Bahau, yang mempunyai tanah asal di pegunungan hulu sungai Kayan atau Apo Kayan,” ungkap Anton.

Secara umum fisik masyarakat Kayaan mudah dikenal. Mereka kebanyakan bermata sipit dan bertampang seperti orang dari daratan Cina atau Jepang. Mereka juga memiliki nama keluarga, misalnya Ngo, Irang dan lain sebagainya.

Orang Kayaan juga mengenal aliran bangsawan atau Hippui. “Bukan hanya lelaki, anak perempuan pun dapat menjadi kepala. Walaupun anak laki-laki lebih diutamakan,”tambah Anton.

Masyarakat itu juga menjadikan alam sebagai partner hidup. Sehingga pencarian pokok pendahulu Kayaan adalah bertani. Tahun 1800-an Dr. Anton menemukan 17 jenis padi yang ditanam masyarakat Kayaan di Mendalam. Di era itu, Anton juga menemukan pemuda-pemuda Kayaan yang bercacah atau bertato ataupun memanjangkan daun telinga. Para orang-orang kaya juga menyimpan hamba-hamba di rumahnya untuk membantu pekerjaan sang emban.***

sumber : www.edipetebang.blog.friendster.com
foto : www.borneophotography.org (prosesi penyembelihan babi pada upacara Dange - foto Eko Supriyanto Daulay- Rumah Betang Pontianak, 20009)

No comments :

Post a Comment

 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube