Eksploitasi sumber daya alam besar?besaran, pemasungan hak?hak ulayat, penghancuran nilai?nilai kearifan lokal dan seragamisasi nilai dan perilaku budaya serta banyak lagi kasus yang memposisikan manusia Dayak semakin tidak berdaya. Meskipun katanya Indonesia sudah merdeka, namun kehidupan manusia Dayak masih berkutat dalam kubangan kemiskinan, berdiri dipinggiran pembangunan, menjadi penonton di negerinya sendiri, dan bahkan menjadi pengemis di kampungnya sendiri.
Rentetan sejarah penjajahan anak bangsa Dayak di tanah Kalimantan tidak hanya merampas seluruh kekayaan alam dan sumber?sumber kehidupan yang mereka miliki, tetapi juga menempatkan mereka sebagai “orang buangan” di atas tanah sendiri. Mereka
kehilangan akses dan kontrol terhadap sumber?sumber penghidupannya, bahkan harkat dan martabat mereka dihancurkan secara sistematis oleh skema pembangunan yang tidak berpihak. Manusia Dayak terus menjadi inferior, tidak berdaya dan tertindas secara ekonomi, politik dan sosial kultural bahkan dialienasikan.
Lalu bagaimana semua itu harus diperbaiki? Sesuatu yang besar selalu mengandung konotasi tertentu yang bisa bersifat positif maupun negatif, begitu juga pulau besar seperti Borneo, yaitu pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland dan Papua. Jadi tidaklah berlebihan jika Kalimantan melihat potensi besar dan berusaha menginspirasi orang?orang di dalamnya untuk hidup merdeka, makmur dan berdaulat.
Namun apa yang ada? Kita masih dipandang sebagai suku bangsa yang kerdil, kelas bawah dan pelengkap saja. Tidak ada yang istimewa, bahkan dari data statistik 3% penduduknya masuk dalam golongan miskin nasional.
Dari berbagai sumber, kami berhasil mendapatkan data yang akurat mengenai tingkat perekonomian di Kalimantan pada tahun 2007 lalu. Data ini membuka mata kita bahwa pulau besar yang dihuni oleh manusia dari tiga Negara berbeda ini ternyata hanyalah sebuah pulau dengan orang?orang didalamnya yang masih miskin dan ketinggalan zaman. Data penduduk miskin di empat provinsi di Kalimantan pada maret 2007 tercatat 1.352.900 jiwa atau 3,64 persen dari total penduduk miskin di Indonesia. Kondisi itu sungguh ironis dengan kekayaan alam Kalimantan yang melimpah. Di antara empat provinsi itu, penduduk miskin terbanyak di Kalimantan Barat, yakni 584.300 jiwa atau 12,91 persen dari jumlah penduduk di provinsi itu. Berikutnya Kalimantan Timur 324.800 jiwa 11,04 persen, Kalimantan Selatan 233.500 jiwa (7,01 persen), dan Kalimantan Tengah 210.300 jiwa (9,39 persen). Kompas Februari 2008.
Menanti kebijakan Pemerintah
Kenyataan ini menjadi sebuah bahan refleksi kita dan pekerjaan rumah akankah kita mengurangi jumlah masyarakat miskin atau menambah persentase kemiskinan itu menjadi lebih besar. Jika kebijakan pemerintah dalam mendesain program?program tidak berdasarkan kebutuhan masyarakat dan tidak menyentuh golongan bawah, maka bukan tidak mungkin angka kemiskinan akan bertambah.
Persoalan mendasar dari kemiskinan adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dibangun, kesempatan kerja yang sempit, peluang berusaha yang kecil. Dampaknya terjadilah pengangguran yang besar, perputaran ekonomi yang seret dan dampak?dampak lainnya yang mampu menghambat pertumbuhan ekonomi sebuah daerah. Alhasil, masyarakat terjun kedalam kehidupan yang sulit dan menggiring mereka kedalam jurang kemiskinan.
Jika Kalimantan ingin makmur, kebijakan yang ada harus berpihak dan menyentuh kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Sarana dan prasarana harus dibangun. Pendidikan diutamakan, kesehatan, infrastruktur, strategi investasi harus berjalan dengan baik. Desain pembangunan harus dialokasikan ke pedalaman dan kebijakan lebih berpihak terhadap masyarakat golongan bawah. Selama ini fasilitas lebih dominan diberikan kepada para investor, padahal mereka mengeruk kekayaan Kalimantan dengan seenak hati, sementara masyarakat Kalimantan sendiri (Dayak) ditinggalkan dan dibiarkan merana hidup di jurang kemiskinan dengan harga diri yang terpasung.
_Penulis buku Dayak Menggugat_
No comments :
Post a Comment