BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Sunday, February 28, 2010

Taman Nasional Danau Sentarum

Taman Nasional Danau Sentarum merupakan perwakilan ekosistem lahan basah danau, hutan rawa air tawar dan hutan hujan tropik di Kalimantan. Danau Sentarum sebagai danau musiman yang berada di taman nasional ini terletak pada sebelah cekungan sungai Kapuas, yaitu sekitar 700 km dari muara yang menuju laut Cina Selatan. Dibatasi oleh bukit-bukit dan dataran tinggi yang mengelilinginya, Danau Sentarum merupakan daerah tangkapan air dan sekaligus sebagai pengatur tata air bagi Daerah Aliran Sungai Kapuas. Dengan demikian, daerah-daerah yang terletak di hilir Sungai Kapuas sangat tergantung pada fluktuasi jumlah air yang tertampung di danau tersebut.
Taman Nasional Danau Sentarum memiliki tumbuhan khas dan asli yaitu tembesu/tengkawang (Shorea beccariana). Selain itu juga terdapat tumbuhan hutan dataran rendah seperti jelutung (Dyera costulata), ramin (Gonystylus bancanus), meranti (Shorea sp.), keruing (Dipterocarpus sp.), dan kayu ulin (Eusideroxylon zwageri).

Sistem perairan dari danau air tawar dan hutan tergenang ini menjadikan Danau Sentarum tidak seperti danau-danau lainnya. Airnya bewarna hitam kemerah-merahan karena mengandung tannin yang berasal dari hutan gambut di sekitarnya. Pada saat musim hujan, kedalaman air danau tersebut dapat mencapai 6-8 meter dan menyebabkan tergenangnya hutan sekitarnya. Tetapi, pada saat musim kemarau, dimana tinggi air di Sungai Kapuas berangsur-angsur turun, air dari Danau Sentarum akan mengalir ke Sungai Kapuas sehingga debit air di sungai tersebut relatif stabil. Akhirnya pada saat puncak musim kemarau, keadaan Danau Sentarum dan daerah sekitarnya akan menjadi hamparan tanah yang luas. Ikan-ikan yang tadinya berada di danau, akan terlihat di kolam-kolam kecil.

Kehidupan masyarakat yang berada di sekitar taman nasional yaitu suku Dayak Iban, Sebaruk, Sontas, Kenyah dan Punan masih tradisional. Rumah panjang (Betang) yang dihuni oleh suku tersebut beragam besarnya, ada yang dihuni lima sampai delapan kepala keluarga dan ada yang dihuni 15 sampai 30 kepala keluarga. Rumah panjang yang dihuni 15 – 30 kepala keluarga, mempunyai panjang rata-rata 186 meter dan lebar 6 meter. Kehidupan di rumah betang memperlihatkan suatu kerukunan, kepolosan dan keramahtamahan suku tersebut, dan biasanya wisatawan akan disuguhi tarian dayak.

Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi:
Bukit Lanjak, Nanga Kenelang dan Bukit Tekenang. Melihat panorama danau, bersampan dan pengamatan satwa burung dan penelitian yang dilengkapi sarana laboratorium.

Cara pencapaian lokasi: Pontianak-Sintang-Semitau menggunakan kendaraan roda empat sekitar 11 jam atau Sintang-Semitau menggunakan longboat (bandong) ditempuh sekitar tujuh jam. Dari Semitau ke lokasi menggunakan perahu motor jurusan Lanjak. Pontianak-Putussibau dengan pesawat terbang sekitar dua jam dan dari Putussibau ke Nanga Suhaid dengan longboat sekitar tujuh jam.[dephut/hep/foto: dephut]

Friday, February 26, 2010

Prinsip dan Kriteria EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT

Kerjasama Direktorat Produk Pariwisata
Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan WWF-Indonesia
Januari 2009

I. Sekilas Ekowisata berbasis masyarakat dan definisi
Environmentally responsible travel and visits to relatively undisturbed natural areas, in order to enjoy and appreciate nature (and any accompanying cultural features, both past and present), that promote conservation, has low visitor impact, and provides for beneficially active socio-economic involvement of local population (Ceballos-Luscurain, 1996).
Ekowisata
Istilah “ekowisata” dapat diartikan sebagai perjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil dengan tujuan menikmati dan mempelajari mengenai alam, sejarah dan budaya di suatu daerah, di mana pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan mendukung pelestarian alam.

Para pelaku dan pakar di bidang ekowisata sepakat untuk menekankan bahwa pola ekowisata sebaiknya meminimalkan dampak yang negatif terhadap linkungan dan budaya setempat dan mampu meningkatkan pendapatan ekonomi bagi masyarakat setempat dan nilai konservasi. Beberapa aspek kunci dalam ekowisata adalah:
- Jumlah pengunjung terbatas atau diatur supaya sesuai dengan daya dukung lingkungan dan sosial-budaya masyarakat (vs mass tourism)
- Pola wisata ramah lingkungan (nilai konservasi)
- Pola wisata ramah budaya dan adat setempat (nilai edukasi dan wisata)
- Membantu secara langsung perekonomian masyarakat lokal (nilai ekonomi)
- Modal awal yang diperlukan untuk infrastruktur tidak besar (nilai partisipasi masyarakat dan ekonomi).
Ekowisata berbasis masyarakat (community-based ecotourism)
Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang diperoleh.

Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola.

Ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi; homestay; menjual kerajinan, dll. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata.

Dengan adanya pola ekowisata berbasis masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat akan menjalankan usaha ekowisata sendiri. Tataran implementasi ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di suatu daerah. Untuk itu, pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan organisasi non pemerintah diharapkan membangun suatu jaringan dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing-masing.

Beberapa aspek kunci dalam ekowisata berbasis masyarakat adalah:
- Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan kegiatan ekowisata di daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi masyarakat (nilai partisipasi masyarakat dan edukasi)
- Prinsip local ownership (=pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat setempat) diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana dan pra-sarana ekowisata, kawasan ekowisata, dll (nilai partisipasi masyarakat)
- Homestay menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di lokasi wisata (nilai ekonomi dan edukasi)
- Pemandu adalah orang setempat (nilai partisipasi masyarakat)
- Perintisan, pengelolaan dan pemeliharaan obyek wisata menjadi tanggungjawab
masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya (=fee) untuk wisatawan (nilai ekonomi dan wisata).

II. Ekowisata dan konservasi
Sejak 1970an, organisasi konservasi mulai melihat ekowisata sebagai alternatif ekonomi yang berbasis konservasi karena tidak merusak alam ataupun tidak “ekstraktif” dengan berdampak negatif terhadap lingkungan seperti penebangan dan pertambangan. Ekowisata juga dianggap sejenis usaha yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi.

Namun agar ekowisata tetap berkelanjutan, perlu tercipta kondisi yang memungkinkan di mana masyarakat diberi wewenang untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan usaha ekowisata, mengatur arus dan jumlah wisatawan, dan mengembangkan ekowisata sesuai visi dan harapan masyarakat untuk masa depan.

Ekowisata dihargai dan dkembangkan sebagai salah satu program usaha yang sekaligus bisa menjadi strategi konservasi dan dapat membuka alternatif ekonomi bagi masyarakat. Dengan pola ekowisata, masyarakat dapat memanfaatkan keindahan alam yang masih utuh, budaya, dan sejarah setempat tanpa merusak atau menjual isinya.

III. Sarana dan penyediaan jasa pendukung dalam mengembangkan ekowisata yang bernilai konservasi dan ekonomi tinggi
Industri parawisata adalah industri yang diperkirakan akan terus berkembang, dan
nuansa alam dalam industri ini akan semakin jauh meningkat. Ekowisata dapat
menciptakan nilai ekonomis bagi kawasan-kawasan konservasi. Agar bisnis ekowisata
dapat menguntungkan sebagai mana yang diharapkan, beberapa kondisi harus
diciptakan, yaitu antara lain:
• Meningkatkan dan menambah sarana prasarana pendukung serta
mendorong terbuka dan terhubungnya akses ke/dari dan antar daerah
tujuan ekowisata tanpa merusak aset utama ekowisata yaitu alam yang
asli melalui peningkatan dan optimalisasi jalur transportasi udara.
• Mendorong kebijakan pemerintah Indonesia di bidang keimigrasian di
daerah tujuan ekowisata yang terletak di perbatasan, khususnya di
daerah Heart of Borneo.
IV. Memahami pemasaran produk ekowisata
Ada dua aspek yang sangat terkait dan perlu dibahas secara bersamaan jika ingin
mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat sebagai satu usaha yang berhasil.
Usaha harus layak secara ekonomi, menghasilkan pendapatan yang signifikan untuk
masyarakat setempat, dan dikelola secara profesional. Kemudian, usaha tersebut perlu
adil, bermanfaat buat masyarakat lokal sebagai mitra utama, dan mendukung
konservasi secara nyata.
Dalam mengembangkan pemasaran, strategi pencitraan (branding) dan promosi untuk
produk ekowisata sangat penting, melalui:
• Mengikuti kegiatan promosi dan pemasaran berskala internasional
• Melakukan survei pasar secara berkala untuk mengetahui dinamika pasar
• Mengidentifikasi target pasar untuk produk ekowisata yang
dikembangkan
• Menyelenggarakan promosi secara khusus (fam trip, media trip, dll.)
• Membuka dan menjalin hubungan terbuka dengan pihak swasta dan
mendorong adanya kesepakatan antara organisasi masyarakat dengan
tour operator.
V. Prinsip-prinsip pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dan
konservasi
1. Keberlanjutan Ekowisata dari Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan
(prinsip konservasi dan partisipasi masyarakat)
Ekowisata yang dikembangkan di kawasan konservasi adalah ekowisata yang “HIJAU
dan ADIL” (Green& Fair) untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan dan
konservasi, yaitu sebuah kegiatan usaha yang bertujuan untuk menyediakan alternatif
ekonomi secara berkelanjutan bagi masyarakat di kawasan yang dilindungi, berbagi
manfaat dari upaya konservasi secara layak (terutama bagi masyarakat yang lahan dan
sumberdaya alamnya berada di kawasan yang dilindungi), dan berkontribusi pada
konservasi dengan meningkatkan kepedulian dan dukungan terhadap perlindungan
bentang lahan yang memiliki nilai biologis, ekologis dan nilai sejarah yang tinggi.
Kriteria:
• Prinsip daya dukung lingkungan diperhatikan dimana tingkat kunjungan
dan kegiatan wisatawan pada sebuah daerah tujuan ekowisata dikelola
sesuai dengan batas-batas yang dapat diterima baik dari segi alam
maupun sosial-budaya
• Sedapat mungkin menggunakan teknologi ramah lingkungan (listrik
tenaga surya, mikrohidro, biogas, dll.)
• Mendorong terbentuknya ”ecotourism conservancies” atau kawasan
ekowisata sebagai kawasan dengan peruntukan khusus yang
pengelolaannya diberikan kepada organisasi masyarakat yang
berkompeten
2. Pengembangan institusi masyarakat lokal dan kemitraan (Prinsip partisipasi
masyarakat)
Aspek organisasi dan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan ekowisata juga
menjadi isu kunci: pentingnya dukungan yang profesional dalam menguatkan organisasi
lokal secara kontinyu, mendorong usaha yang mandiri dan menciptakan kemitraan yang
adil dalam pengembangan ekowisata. Beberapa contoh di lapangan menunjukan bahwa
ekowisata di tingkat lokal dapat dikembangkan melalui kesepakatan dan kerjasama
yang baik antara Tour Operator dan organisasi masyarakat (contohnya: KOMPAKH,
LSM Tana Tam). Peran organisasi masyarakat sangat penting oleh karena masyarakat
adalah stakeholder utama dan akan mendapatkan manfaat secara langsung dari
pengembangan dan pengelolaan ekowisata.
Koordinasi antar stakeholders juga perlu mendapatkan perhatian. Salah satu model
percontohan organisasi pengelolaan ekowisata yang melibatkan semua stakeholders
termasuk, masyarakat, pemerintah daerah, UPT, dan sektor swasta, adalah ”Rinjani
Trek Management Board.” Terbentuknya Forum atau dewan pembina akan banyak
membantu pola pengelolaan yang adil dan efektif terutama di daerah di mana ekowisata
merupakan sumber pendapatan utama bagi masyarakat setempat.
Kriteria:
• Dibangun kemitraan antara masyarakat dengan Tour Operator untuk
memasarkan dan mempromosikan produk ekowisata; dan antara
lembaga masyarakat dan Dinas Pariwisata dan UPT
• Adanya pembagian adil dalam pendapatan dari jasa ekowisata di
masyarakat
• Organisasi masyarakat membuat panduan untuk turis. Selama turis
berada di wilayah masyarakat, turis/tamu mengacu pada etika yang
tertulis di dalam panduan tersebut.
• Ekowisata memperjuangkan prinsip perlunya usaha melindungi
pengetahuan serta hak atas karya intelektual masyarakat lokal, termasuk:
foto, kesenian, pengetahuan tradisional, musik, dll.
3. Ekonomi berbasis masyarakat (Prinsip partisipasi masyarakat)
Homestay adalah sistem akomodasi yang sering dipakai dalam ekowisata. Homestay
bisa mencakup berbagai jenis akomodasi dari penginapan sederhana yang dikelola
secara langsung oleh keluarga sampai dengan menginap di rumah keluarga setempat.
Homestay bukan hanya sebuah pilihan akomodasi yang tidak memerlukan modal yang
tinggi, dengan sistem homestay pemilik rumah dapat merasakan secara langsung
manfaat ekonomi dari kunjungan turis, dan distribusi manfaat di masyarakat lebih
terjamin. Sistem homestay mempunyai nilai tinggi sebagai produk ekowisata di mana
soerang turis mendapatkan kesempatan untuk belajar mengenai alam, budaya
masyarakat dan kehidupan sehari-hari di lokasi tersebut. Pihak turis dan pihak tuan
rumah bisa saling mengenal dan belajar satu sama lain, dan dengan itu dapat
menumbuhkan toleransi dan pemahaman yang lebih baik. Homestay sesuai dengan
tradisi keramahan orang Indonesia.
Dalam ekowisata, pemandu adalah orang lokal yang pengetahuan dan pengalamannya
tentang lingkungan dan alam setempat merupakan aset terpenting dalam jasa yang
diberikan kepada turis. Demikian juga seorang pemandu lokal akan merasakan
langsung manfaat ekonomi dari ekowisata, dan sebagai pengelola juga akan menjaga
kelestarian alam dan obyek wisata.
Kriteria:
• Ekowisata mendorong adanya regulasi yang mengatur standar kelayakan
homestay sesuai dengan kondisi lokasi wisata
• Ekowisata mendorong adanya prosedur sertifikasi pemandu sesuai
dengan kondisi lokasi wisata
• Ekowisata mendorong ketersediaan homestay
• Ekowisata dan tour operator turut mendorong peningkatan pengetahuan
dan keterampilan serta perilaku bagi para pelaku ekowisata terutama
masyarakat
4. Prinsip Edukasi:
Ekowisata memberikan banyak peluang untuk memperkenalkan kepada wisatawan
tentang pentingnya perlindungan alam dan penghargaan terhadap kebudayaan lokal.
Dalam pendekatan ekowisata, Pusat Informasi menjadi hal yang penting dan dapat juga
dijadikan pusat kegiatan dengan tujuan meningkatkan nilai dari pengalaman seorang
turis yang bisa memperoleh informasi yang lengkap tentang lokasi atau kawasan dari
segi budaya, sejarah, alam, dan menyaksikan acara seni, kerajinan dan produk budaya
lainnya.
Kriteria:
• Kegiatan ekowisata mendorong masyarakat mendukung dan
mengembangkan upaya konservasi
• Kegiatan ekowisata selalu beriringan dengan aktivitas meningkatkan
kesadaran masyarakat dan mengubah perilaku masyarakat tentang
perlunya upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
• Edukasi tentang budaya setempat dan konservasi untuk para turis/tamu
menjadi bagian dari paket ekowisata
• Mengembangkan skema di mana tamu secara sukarela terlibat dalam
kegiatan konservasi dan pengelolaan kawasan ekowisata selama
kunjungannya (stay & volunteer).
5. Pengembangan dan penerapan rencana tapak dan kerangka kerja pengelolaan
lokasi ekowisata (prinsip konservasi dan wisata).
Dalam perencanaan kawasan ekowisata, soal daya dukung (=carrying capacity) perlu
diperhatikan sebelum perkembanganya ekowisata berdampak negative terhadap alam
(dan budaya) setempat. Aspek dari daya dukung yang perlu dipertimbangkan adalah:
jumlah turis/tahun; lamanya kunjungan turis; berapa sering lokasi yang “rentan” secara
ekologis dapat dikunjungi; dll. Zonasi dan pengaturannya adalah salah satu pendekatan
yang akan membantu menjaga nilai konservasi dan keberlanjutan kawasan ekowisata.
Kriteria:
• Kegiatan ekowisata telah memperhitungkan tingkat pemanfaatan ruang
dan kualitas daya dukung lingkungan kawasan tujuan melalui
pelaksanaan sistem zonasi dan pengaturan waktu kunjungan
• Fasilitas pendukung yang dibangun tidak merusak atau didirikan pada
ekosistem yang sangat unik dan rentan
• Rancangan fasilitas umum sedapat mungkin sesuai tradisi lokal, dan
masyarakat lokal terlibat dalam proses perencanaan dan pembangunan
• Ada sistem pengolahan sampah di sekitar fasilitas umum.
• Kegiatan ekowisata medukung program reboisasi untuk menyimbangi
penggunaan kayu bakar untuk dapur dan rumah
• Mengembangkan paket-paket wisata yang mengedepankan budaya, seni
dan tradisi lokal.
• Kegiatan sehari-hari termasuk panen, menanam, mencari ikan/melauk,
berburu dapat dimasukkan ke dalam atraksi lokal untuk memperkenalkan
wisatawan pada cara hidup masyarakat dan mengajak mereka
menghargai pengetahuan dan kearifan lokal.
Sekilas ekowisata berbasis masyarakat di Heart of Borneo
Pemerintah Daerah di pedalaman Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimatan Tengah, Kalimantan Timur)
telah melihat potensi ekowisata sebagai aset pembangunan kabupaten dan mulai mengembangkan
ekowisata serta menjadikannya sebagai sumber pendapatan daerah. Hal ini terutama terjadi di Kabupaten
Malinau dan Kabupaten Kapuas Hulu yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai “Kabupaten Konservasi”
dan berkomitmen untuk menjadikan konservasi sebagai dasar pembangunan yang mampu mensejahterakan
masyarakat dan ramah lingkungan.
Heart of Borneo terletak di perbatasan kawasan kerjasama BIMP-EAGA yang menjangkau negara
Indonesia, Malaysia dan Brunei. Di dalam lingkup Indonesia, kawasan ini terbentang di daerah pedalaman
pegunungan yang umumnya didiami oleh masyarakat Dayak, dengan tutupan hutan tropis yang masih luas
dan mosaik lanskap lahan pertanian buatan manusia, telah menjadikan Heart of Borneo sebagai perbatasan
baru untuk pengembangan ekowisata.
Bersama-sama dengan masyarakat, WWF-Indonesia di Taman Nasional Betung Kerihun dan Taman
Nasional Kayan Mentarang telah membangun kapasitas setempat untuk mengelola usaha ekowisata
berbasis masyarakat dalam rangka membangun alternatif ekonomi yang berkelanjutan dan membantu
masyarakat melindungi hutan mereka. Kawasan proyek percontohan ekowisata ini memiliki potensi yang
besar yaitu keindahan lanskap, alam yang menarik, peninggalan bersejarah dan keramahan masyarakat
lokalnya. Jaringan kerja strategis antara masyarakat dan berbagai inisiatif ekowisata di sepanjang
perbatasan dengan Malaysia (Sarawak dan Sabah) telah terbentuk di kawasan Heart of Borneo.
Proyek percontohan; Hulu Bahau dan Hulu Pujungan, Kab. Malinau, Kalimantan Timur
Atraksi utama: petualangan rimba dan trekking, petualangan sungai; budaya Dayak (tarian, pahat, kerajinan); peninggalan
arkeologi (batu dan gua pemakaman); stasiun penelitian hutan tropis; pengamatan hidupan liar (rusa, lembu liar, babi
hutan); cocok untuk trekking selama 5-7 hari/malam ke daerah lain.
Akomodasi: Rumah tinggal di semua desa dan kamar inap (sederhana) di pusat-pusat kecamatan (Long Pujungan dan
Long Alango)
Pengelola lokal: Panitia ekowisata di tingkat desa
Akses: dengan perahu panjang/perahu sungai dari Tanjung Selor atau menyewa pesawat kecil dengan rute
Tarakan/Malinau-perlu diperhatikan mengenai fleksibilitas waktu dalam penjadwalan
Promosi: Lonely Planet Guide ("Borneo"); website www.borneo-ecotourism.com; buku panduan travel.
Proyek percontohan: Krayan dan Krayan Selatan, Kab. Nunukan, Kalimantan Timur
Atraksi utama: trekking hutan dan jalan-jalan di ladang padi; keindahan bentang lahan; kebudayaan (tari tradisional, musik,
kerajinan tangan); kuliner lokal (menu masakan dari tumbuhan alam dan organic); peninggalan arkeologi (batu dan gua
pekuburan; pahat batu; cocok untuk trekking lintas batas dan ekowisata di dataran tinggi Sarawak.
Akomodasi: Rumah tinggal di semua desa dan kamar inap (sederhana) di pusat-pusat kecamatan (Long Bawan)
Pengelola lokal: FORMADAT di Krayan dan LSM Tana Tam di Krayan Selatan, plus panitia ekowisata di tingkat desa.
Akses: melalui transportasi udara dari Indonesia (regular dan sewa penerbangan dari Nunukan/Tarakan/Malinau) dan
melalui jalan logging dari Sarawak di sepanjang perbatasan Indonesia-Malysia.
Promosi: Lonely Planet Guide ("Borneo"); website www.borneo-ecotourism.com; buku panduan travel; leaflet dan
website Borneo Jungle Safari.
Kemitraan: Borneo Jungle Safari (BJS), Tour Operator in Sarawak.
Proyek percontohan: Betung Kerihun National Park, Kab Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
Atraksi utama: trekking hutan dan petualangan; budaya (tari tradisional, musik, kerajinan); rumah panjang; trekking jauh ke
Hulu Mahakam (Kalimantan Timur); cocok untuk ekowisata lintas batas bersama Taman Nasional Lanjak Entimau
(Sarawak).
Akomodasi: Rumah tinggal di semua desa dan rumah panjang
Pengelola lokal: KOMPAKH di Putussibau dan panitia ekowisata di tingkat desa
Akses: transportasi darat atau transportasi udara dari Pontianak, menggunakan boat dari Putussibau ke kawasan
taman nasional
Materi promosi: web-site (KOMPAKH); leaflet dan buku panduan travel.
Kemitraan: kolaborasi dengan operator perjalanan Jerman dan Indonesia

Wednesday, February 24, 2010

Raja Singa Bansa; Simbol Kebersahajaan Orang Dayak

Raja identik dengan kekuasaan (wilayah kekuasaan) dan kekayaan. Tidak demikian halnya dengan raja Dayak: tanpa kekuasaan dan kekayaan. Belum ada setitikpun tercantum dalam berbagai buku sejarah Indonesia. Lebih tragis lagi, jangankan orang luar, orang Dayakpun banyak yang tidak tahu kalau mereka mempunyai raja. Penduduk kampung sekitarnyapun tidak tahu lagi apakah raja mereka masih ada. Sebaliknya, sebagian warga Dayak dari luar kabupatan Ketapang (di Kalbar) dan sebagian kecil Dayak di Sarawak (Malaysia) sampai kini datang memberi upeti dan masih percaya dan menghormatinya sebagai raja; apalagi mereka yang akrab dengan dunia kebathinan/supranatural.

Memang, jika pertama kali berjumpa kita akan terkejut melihat sosok seorang Raja Hulu Aik. Pembawaannya tenang, pendiam. Jika bicara dan mengambil keputusan barulah kharismanya sebagai raja nampak. Sangat bersahaja, sederhana, jujur dan apa adanya. Dialah Raja Singa Bansa (27 th), pewaris ke-6 tahta Raja Hulu Aik; satu-satunya Raja Dayak di Indonesia.

Raja Hulu Ai adalah sebutan untuk pemimpin Kerajaan Hulu Aik. Awal mula Kerajaan Hulu Aik di wilayah Pancur Sembore dan Tanjung Porikng, udik sungai Krio (kini masuk Desa Menyumbung, Kec. Sandai, Kab. Ketapang-Kalbar), sekitar tahun 1700-an. Pemimpin pertamanya Pang Ukir Empu Geremeng. Ia digantikan Bihukng Tiung. Sejak Bihukng inilah wilayah Pancur Sembore- Tanjung Porikng dinamakan kerajaan Hulu Aik. Bihukng sebagai raja I. Bihukng digantikan Bansa Pati (II), Ira Bansa (III), Temenggung Jambu (IV), Bebek (ayah Raja Singa Bansa, raja ke-5). Dan Raja Hulu Aik VI adalah Singa Bansa. Karena tidak ada wilyah kekuasaan yang jelas, pusat kerajaan Hulu Aik berpindah-pindah mengikuti siapa rajanya di sepanjang daerah aliran sungai Krio.

Secara material kehidupan keluarga Raja Singa Bansa memang sangat sederhana, bahkan bisa dikatakan miskin. ?Istana?-nya(rumah-red.) terletak di daerah terpencil nun jauh di pedalaman, di kampung Sengkuang, Desa Menyumbung, Kec. Sandai, Kabupaten Ketapang (Kalbar). Dari Pontianak ke Ketapang, dan dari kota kabupaten Ketapang naik speed boat 6 jam,dilanjutkan speed boat kecil 15 PK sekitar 4 jam mudik menerjang jeram sungai Krio.

Rumahnya 8 X 7 meter3, berlantai dan berdinding papan, beratap kayu sirap. Tangga dari sebatang balok kayu besi yang diberi buku-buku. Tidak ada satu kursipun di ruang tamu. Tetamu duduk di lantai beralaskan tikar pandan. ?Ini rumah pemberian pemerintah,?katanya. Sebagai Raja Hulu Aik ia tidak boleh kerja keras, sehingga tidak mungkin bisa mempunyai rumah. Dulu rakyatnyalah yang membuatkan rumah. Di salah satu ruangan tersimpan pusaka keramat Kerajaan Hulu Aik, yakni Bosi Koling Tungkat Rakyat; berujud sebuah keris dari besi kuning.

Bagi Singa Bansa, predikat Raja Hulu Aik merupakan kewajiban yang teramat berat. ?Sebenarnya saya sangat berat menerima jabatan ini. Namun karena sudah keturunan, tidak boleh ditolak. Mungkin inilah jalan hidup saya,? katanya pasrah.

Agama Katolik yang dianutnya sejak kecilpun terpaksa harus ditinggalkan setelah dinobatkan sebagai Raja Hulu Aik VI. Istrinya, Anastasia Bijan (33 th), juga harus meninggalkan agama Katolik. Ia dan isterinya kembali ke kepercayaan kepada Duwata (Tuhan—Dayak Krio) menurut orang Dayak Krio disana. Sedangkan Edi Kurniawan, anaknya, masih boleh beragama Katolik.

Kewajiban utama setiap Raja Hulu Aik melaksanakan adat Meruba setiap tahun. Yaitu adat memandikan/mencuci Bosi Koling Tungkat Rakyat (artinya Besi Kuning Penopang Rakyat-red). Benda keramat itu berujud keris terbuat dari besi kuning, yang merupakan sumberkehidupan manusia menurut orang Dayak Krio. Benda keramat itu harus dipelihara para Raja Hulu Aik. Sebab jika habis, maka dunia pun akan berakhir.

Mulanya Bosi Koling Tungkat Rakyat panjang nya sekitar 20 cm. Namun kini menurut RajaSinga Bansa tinggal 5 cm. ?Keris itu makin tahun mengecil karena banyak kesalahan yang dibuat oleh masyarakat,?ujar Raja Singa Bansa.

Agar barang keramat tersebut tidak habis, maka setiap tahun harus dilaksanakan adat Meruba. Namun adat Meruba bukan semata-mata Raja Hulu Aik mencuci Bosi Koling Tungkat Rakyat, tetapi juga mengetahui apa yang bakal terjadi tahun yang akan datang.

Sewaktu dilaksanakan adat Meruba tahun 1997 didalam peti tempat Bosi Koling Tungkat Rakyat, terdapat pasir kering. Itu artinya, alam ini akan kemarau panjang dan semua makhluk hidup akan kesusahan. Kebetulan atai tidak, ternyata tahun 1997 Elnino menyebabkan kekeringan.

Sewaktu Meruba tahun 1998, di dalam peti terdapat lumpur dan air. Sedangkan Bosi koling tungkat rakyat yang dibalut kain kuning tujuh lilitan itu juga terasa panas. Artinya, situasi dunia penuh ketegangan, keruh dan kotor seperti lumpur, serta akan musim penghujan. Sampai kinipun orang Dayak Krio disana masih sangat percaya dengan pertanda alam dari adat Meruba. Para petani sangat berkepentingan untuk mengetahui kondisi alam.

Selama mencuci keris dengan minyak kelapa, Raja pun tidak boleh melihat, hanya meraba sambil mengeluarkan kotoran di dalam peti. Jika dilihat, maka pelan tapi pasti akan akan buta. Ketika dilantik untuk pertama dan terakhir kalinya Raja Hulu Aik melihat keris itu, matanya pelan tapi pasti akan buta. Karena biasanya hanya melihat dengan sebelah mata, maka ciri khas Raja Hulu Aik adalah buta mata sebelah.

Raja Hulu Aik wajib berladang. Selain ladang adalah sumber dan pusat kebudayaan Dayak, hanya berladang aktivitas hidup yang tidak tergantung dengan orang lain. Hasil ladang bisa langsung dinikmati petaninya. Kalau pekerjaan lain, misalnya menyadap karet, terlebih dahulu harus dijual kepada orang lain. Mendapatkan upah dari orang lain tidak diperbolehkan bagi seorang Raja Hulu Aik.

Ketika dinobatkan sebagai Raja Hulu Aik ke-6, Ia menyadari bahwa bekal ilmu pengetahuannya sebagai raja sangatlah kurang mengingat kompleksitas permasalahan manusia dewasa ini. Ia hanya sempat menamatkan SLTP. ?Saya rajin membaca buku-buku yang dikirimi teman-teman dari Pontianak untuk menambah wawasan,?ujarnya.

Harapan Raja Singa Bansa kini tertumpu pada anak satu-satunya, Elius Edi Kurniawan (7 th) yang kini duduk di kelas 2 SDN Sengkuang, Kec. Sandai (Ketapang-Kalbar). Dialah calon Raja Hulu Aik VII. “Kalau bisa, Edi bukan hanya berpredikat Raja Hulu Aik, tetapi juga berpendidikan yang memadai,?harap Singa Bansa pasrah. Bahkan pendidikan anaknya terancam gagal karena kesulitan biaya. Ia sadar, sebagai raja, sebagai panutan rakyatnya, dituntut mengikuti perkembangan jaman. Di sisi lain, setelah menjadi raja nanti aktivitas duniawinya banyak dikurangi, termasuk bekerja, dan banyak larangan (tabo).

Symbol

Raja Hulu Aik bukanlah raja yang mempunyai daerah kekuasaan secara definitif.Dulu wilayah kekuasaannya meliputi Laman Sembilan Domong Sepuluh. Wilayah ini sekarang meliputi kabupaten Ketapang, sebagian Kab. Sanggau, dan sebagian kecil orang Dayak di Sarawak (Malaysia). Dulu, merekalah yang menghidupi Raja Hulu Aik. Raja Hulu Aik sebagai pemersatu dan perantara mereka mohon bantuan kepada Tuhan, karena raja memelihara Bosi Koling Tungkat Rakyat.

Kekuasan Raja Hulu Aik mulai pudar ketika datang penjajah Belanda. Dengan politik devide et impera, Dayak dan Melayu diadudomba. Menurut Mill Rockaert, sejarahwan dari Belgia, Belanda menguasai orang-orang Dayak dengan menjadikan golongan Melayu sebagai proxy-nya, sehingga makin memperlemah eksistensi Raja Hulu Aik.

Setelah penjajahan berakhir, di alam kemerdekaan nasib Raja Hulu Aik malah nyaris tidak ada tempat di negara Indonesia. Dengan berbagaiteknik, model penundukkan dan penjajahan kultural gaya baru yang dibungkus pembangunan, modernisasi selama 53 tahun Indonesia merdeka, pelan tapi pasti kini Raja Hulu Aik hampir-hampir tidak ada lagi.

?Kami bukan tidak mau mengakui, menjunjung tinggi eksistensi Raja Hulu Aik. Tapi memang rakyat tidak pernah tahu karena dibuat sedemikian rupa agar tidak mengetahui Raja Hulu Aik,?ujar Unus (65 tahun), kepala adat Dayak Kayong dan Patinggi Aris, kepala adat Dayak Simpang.

Kemunculan pertama kali Raja Singa Bansa ke publik ketika pelaksanaan adat tolak bala mencegah kerusuhan di Ketapang pertengahan Juli 1998 lalu, sangat membanggakan masyarakat Dayak. Mereka kini tahu mempunyai raja. Bukan raja sebagai penguasa, punya wilayah kekuasaan; tapi raja sebagai simbol pemersatu orang Dayak untuk membangun Republik Indonesia ini.

?Raja Hulu Aik adalah simbol keterpinggiran orang Dayak di Republik ini. Maka kemunculannya ke muka umum dan diketahui masyarakat luas, semoga bisa membangkitkan semangat orang Dayak untuk menjadi subyek pembangunan,?kata S. Djuweng, Direktur Institut Dayakologi (Pontianak).

Raja Hulu Aik memang bukan raja seperti biasanya. Mungkin Ia raja luar biasa karena kesederhanaan dan keagungan prinsip hidupnya. Dia simbol kesederhanaan, kebersahajaan manusia Dayak yang dari dulu hingga kini termarjinalisasi di tanah tumpah darahnya sendiri.

Dulu Ia dihormati, menjadi pemersatu. Kini tidak lagi. Menurut para ahli tentang Dayak, penjajahan, pembangunan dan modernisasi telah pelan tapi pasti berperan besar menghilangkan eksistensi Raja Hulu Aik. ?Orang Dayak itu mayoritas dalam jumlah, tapi minoritas dalam peranan,”kata Mill Rockaert(1996). Lebih parah lagi, “masyarakat Dayak itu antara ada dan tiada,”ujar GP. Djaoeng, tokoh Dayak di Pontianak yang juga mantan anggota MPR 1993-1998.

Mungkin pelajaran 53 tahun berbangsa dan bernegara di Indonesia dengan berbagai akibatnya kini bisa mengubah pandangan para pejabat di Jakarta tentang konsep “merdeka” yang dituntut masyarakat adat di berbagai pelosok Nusantara, termasuk Dayak. Yakni merdeka untuk mengurus daerah sendiri dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia. ***

Sumber : www.edipetebang.blog.friendster.com

Sunday, February 21, 2010

Cerita dari Kutai Timur Buaya Sangata

Ditulis oleh Thomas Djuma

Buaya Sangata terkenal dengan keganasannya karena sering menyerang dan memangsa manusia. Namun ini tak terjadi begitu saja. Konon, kawanan buaya bertindak sedemikian lantaran keserakahan manusia sendiri.

JAUH sebelum Sangata menjadi ibukota Kutai Timur, daerah itu hanyalah sebuah perkampungan kecil di pinggiran sungai. Pada waktu itu Sangata dipimpin oleh seorang Kepala Kampung bernama Tua Sohor. Ia mendapat restu dari Sultan Kutai untuk memimpin masyarakat di desa tersebut. Tua Sohor ini terpilih karena selain memiliki keberanian juga selalu menjadi pemimpin dalam menghadapi berbagai gangguan, baik dari suku suku pedalaman maupun bajak laut Mindanau. Tua Sohor selain pemberani juga memiliki ilmu kekebalan tubuh dari berbagai senjata tajam. Karenanya dia disegani baik lawan maupun kawan.

Keberadaan Tua Sohor sebagai Petinggi di Sanggata sekitar tahun 1920. Pada tahun 1925 Belanda menemukan beberapa sumur minyak yang hingga kini masih terus ditambang dan dilanjutkan oleh Pertamina. Sejak itulah daerah Sangatta mulai berkembang dan berada di kawasan Kabupaten Kutai. Kemudian, berdasarkan UU. No.47 Tahun 1999 daerah ini memisahkan diri menjadi satu Kabupaten dengan sebutan Kabupaten Kutai Timur berwilayah seluas 35,057,40 km2 berpenduduk saat itu berjumlah 164.362 jiwa.

Kabupaten ini berbatasan sebelah Utara dengan Kabupaten Berau, Selatan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Samarinda, sedang sebelah Timur dengan Kota Bontang dan selat Makassar. Sangata memiliki sumber daya alam yang cukup potensial yaitu batubara, emas dan hutan yang luas kemudian ditunjang oleh hasil perikanan dan perkebunan. Obyek wisata pun mendukung keberadaan kabupaten ini yaitu seperti Pantai Pangandaran di daerah Sangkulirang, Goa Pengadan, Goa Kombeng, Desa Miau Baru, Desa Long Noran, Desa Mekar Baru yang terdapat sebuah lamin besar milik suku Dayak.

Untuk daerah wisata masing-masing memiliki riwayat yang berlatarbelakang sebuah riwayat atau legenda. Misal sepereti Goa Kombeng, disini terdapat beberapa arca peninggalan para pendeta asal kerajaan Mulawarman, begitu pula dengan Goa Pengadan, yang selain terdapat pula bekas-bekas pertapaan dan batu bertulis, disini didalam goa dahulunya tempat bersarang seekor ular naga besar yang mampu melingkari gunung goa Pengadan. Belum lagi riwayat tentang keberadaan Desa Long Noran, Miau Baru, dan ada lagi satu kawasan yang bernama “Sandaran Babu”.

Sekilas diceritakan akan keberadaan beberapa arca Hindu yang terdapat di dalam Goa Kombeng. Dahulu ketika terjadi peperangan Kerajaan Mulawarman melawan Kerajaan Kutai Kartanegara, banyak para pendeta dan kerabat bangsawan Mulawarman yang mengungsi atau melarikan diri menghindari peperangan ke pedalaman hingga sampai ke daerah Goa Kombeng. Pada saat itu goa ini masih belum bernama Kombeng. Cerita nama Kombeng ini mempunyai latar belakang tersendiri setelah peristiwa peperangan antara pihak Mulawarman dan Kutai Kartanegara.

Dalam pengungsian atau pelarian para bangsawan dan pendeta membawa pula harta benda mereka serta peralatan pemujaan pada dewa-dewa Hindu seperti Patung Siwa dan Ganesha. Dalam pengungsian banyak tercecer benda benda berharga di sepanjang jalan yang mereka lalui. Hal ini karena para pengungsi ini dalam keadaan tergesa-gesa karena ketakutan diburu oleh laskar kerajaan Kutai Kartanegara. Begitulah sekilas tentang keberadaan goa yang disebut Kombeng itu.

Lain lagi tentang cerita daerah yang disebut Sandaran Babu. Sandaran Babu ini bukanlah merupakan sebuah desa atau kampung. Sandaran Babu ini adalah suatu kawasan hutan dan pantai yang tak berpenghuni. Namun pada zaman sekitar tahun 1970-an atau pada waktu awal penggundulan hutan yang disebut “Banjir Kap“, daerah ini dimasuki oleh ribuan orang penebang kayu. Dari mulut ke mulut yang awalnya cerita dari masyarakat yang berdiam di Sangkulirang beredarlah cerita tentang suatu pantangan yang kalau dilanggar taruhannya adalah maut. Ceritanya setiap orang tak boleh duduk atau tidur bersandar pada baner-baner kayu yang terdapat di dalam hutan daerah tersebut. Karena jika ada yang berani tidur bersandar di baner-baner kayu orang tersebut akan mati sambil duduk bersandar. Korban pertama terjadi pada seorang yang bernama Babu.

Entah bagaimana cerita awal keberadaan si orang bernama Babu tersebut. Yang jelas si Babu ditemukan mati dalam keadaan duduk bersandar pada baner sebatang pohon besar. Sebelumnya diceritakan si Babu telah diperingati oleh suara suara gaib yang ada di hutan tersebut. Namun karena tak percaya maka dia tidur dan bersandar pada sela baner kayu yang kemudian ditemukan oleh beberapa temannya si Babu telah tak bernyawa tersandar di bawah pohon berbaner besar. Sejak itulah daerah ini disebut sebagai daerah Sandaran Babu.

Sedangkan asal-usul nama Sangata sendiri adalah seekor Raja Buaya yang berkuasa di sepanjang sungai di sana. Buaya ini adalah buaya jadi-jadian yang katanya memiliki tempat tinggal besar dan megah terbuat dari kayu ulin dan bangris. Ketika itu si Sangata raja buaya ini jatuh cinta pada seorang gadis yang ada di kampung tersebut. Dalam bentuk manusia dia melamar gadis tersebut. Lamaran diterima dan pesta perkawinan berlangsung dengan meriah.

Pihak keluarga wanita samasekali tak mengetahui asal usul lelaki menantu mereka yang sebenarnya adalah seekor Raja Buaya. Setelah sebulan bersuami isteri si Raja Buaya mengajak isterinya pulang ke kediamannya di pedalaman sungai. Atas persetujuan keluarga maka keduanya diizinkan untuk pergi ke rumah mereka.

Setelah beberapa hari si isteri tinggal dirumah tersebut barulah sadar kalau dia bersuamikan seekor buaya jadi-jadian. Si isteri akhirnya merasa takut dan dalam suatu kesempatan dia melarikan diri menaiki sebuah perahu pulang ke kampungnya. Kepada keluarganya si wanita bercerita tentang keberadaan suaminya yang jadi-jadian itu. Tak berapa hari berselang si suami datang menyusul isterinya seraya mengajak pulang ke rumah mereka. Namun hal tersebut ditolak oleh sang isteri, walau si suami berkali-kali membujuk dan meminta agar keinginannya dipenuhi.

Si Raja Buaya sangat kecewa dan akhirnya menjadi marah kemudian mengamuk bersama para perajurit buaya menyerang kampung tersebut dan membantai siapa saja yang bisa didapat mereka di darat apalagi di sungai. Korban dari masyarakat kampung berjatuhan. Masyarakat kampung akhirnya kewalahan dan sudah tak lagi berani melakukan perlawanan terhadap para buaya jadi-jadian ini.

Dalam keadaan krisis, datanglah seseorang yang tak diketahui asal usulnya membantu masyarakat kampung yang sudah terjepit serta tak berdaya. Orang tersebut bernama Tua Empoi, yang katanya masih merupakan Nenek datuk dari Tua Sohor Petinggi Kampung. Raja Buaya bernama Sangatta ini akhirnya dapat dikalahkan oleh Tua Empoi dalam suatu pertarungan. Karena tak sanggup melawan Tua Empoi akhirnya si Sangatta menyerah dengan suatu perjanjian “batas hulu dan hilir”. Masyarakat kampung tidak akan dimangsa asal saja tidak melanggar wilayah hulu yang dijanjikan apalagi sampai merusak alam di sekitar pemukiman masyarakat wilayah Raja Buaya yang bernama Sangatta.

Lalu kenapa akhir-akhir ini Buaya sungai Sangatta mengamuk dan memangsa penduduk. Menurut cerita karena pihak manusia sudah melanggar perjanjian selain memasuki wilayah larangan juga sudah memporak-porandakan hutan dan sungai yang menjadi habitat berkembang biaknya buaya-buaya yang konon sebenarnya jadi-jadian itu. Menurut kabar selama manusia masih merusak lingkungan hutan dan sungai Sangatta selama itu pula mereka tak akan berhenti memangsa dan mencari korban. Pernyataan ini disampaikan melalui mimpi pada Tua-tua kampung juga pada pawang-pawang buaya yang berada di Sangatta. Namun demikian cerita yang berkembang di masyarakat ini sebaliknya ada yang menyebut mengada-ada. Bahkan sebagian lainnya malah hendak memburu ke tempat-tempat yang dikatakan ada buayanya.

Dalam kaitannya, semua itu terserah mau percaya atau tidak. Yang jelas Buaya Sangatta hingga kini masih berkeliaran dan memangsa. Untuk itu benar atau tidak perjanjian “ Hulu dan Hilir “ yang pernah disepakati bagi anda yang memasuki sungai Sangatta atau daerah rawa di sepanjang tepi sungai sebaiknya berhati-hati. Bukan tidak mungkin sang buaya bisa saja secara tiba-tiba berada di hadapan anda. Untuk itu patutlah berhati-hati jika berada di daerah dekat sungai Sangatta.*habis

Sumber : www.bongkar.co.id

Mengenang Tradisi Rimba Sungai Kelian

Budaya tutur intootn suku Dayak nyaris punah. Tergusur modernisasi dan kurangnya minat generasi muda.
KISAH Tengtengak diceritakan kembali olehYuvenalis Kedoy. Mengalir lancar di tengah dinginnya angin malam dan ramai suar serangga hutan pedalaman Kalimantan Timur. Kepala Divisi kebudayaan Yayasan Anum Lio ini mencoba menggali ingatan tentang cerita rakyat yang sering didongengkan sang ibu. Menggali kenangan saat dia berumur enam tahun (1980-an), serta mengingat rengekan pada sang bunda agar mau mendongeng. "Begitulah dulu. Karena tidak ada hiburan, kami minta dongengan dari orang tua," kenang Yuvenalis yang kini berusia 32 tahun, saat berbincang dengan Media Indonesia . Dilakukan menjelang tengah malam di Kampung Bigung Baru, Kecamatan Linggang Bigung,. Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Minggu (30/07).

Bagi Yuvenalis, masa kanak-kanaknya penuh dengan cerita rakyat yang oleh masyarakat setempat disebut dengan istilah intootn. Saat itu, cerita rakyat menjadi satu-satunya hiburan. Pasalnya, Kecamatan Linggang Bigung, tepatnya di Kampung Linggang Mapan tempat dia tinggal, belum teraliri listrik. Tidak ada radio, apalagi televisi. Kala itu, kawasan yang terletak sekitar 450 kilometer arah barat laut Balikpapan tersebut masih terisolasi.

Kondisi itu memengaruhi ritme kehidupan suku Dayak, semisal etnik Tunjung Linggang —biasa dikenal Rentenuukng— yang mendiami dataran tinggi Linggang. Mereka bekerja mulai pukul 07.00 dan berakhir pukul 15.00. Selanjutnya memasuki masa istirahat. Beratnya pekerjaan membuat orang dewasa cepat terlelap. Namun, anak-anak sering kali sulit tidur. Mereka akhirnya merengek meminta dongeng pengantar tidur. Dalam istilah mereka disebut intootn, budaya tutur atau lisan.

Bercerita tentang masa kecil, senyum Yuvenalis selalu mengembang. Namun, setelah itu, wajahnya menunjukkan keprihatinan. Maklum, kini cerita rakyat di pedalaman Kalimantan tak bisa lagi sepenuhnya unjuk diri. Modernisasi mengikis kebiasaan intootn. Dimulai 1985, bersamaan dengan masuknya PT Kelian Equatorial Mining (KEM). Dataran tinggi Linggang berkembang pesat. Memasuki 1990, pembangunan akses jalan dan aliran listrik gencar dilakukan. Sebagai perbandingan, bila dahulu lama perjalanan Balikpapan- dataran tinggi Linggang 24 jam, kini hanya dua jam. Satu jam melalui jalur udara, Bandara Sepinggan, Balikpapan, menuju Bandara Melak, Sendawar. Sisanya dilakukan menyusun jalan darat.

Produk televisi lengkap dengan antena yang langsung terhubung ke satelit sudah bukan barang aneh lagi. Alternatif hiburan malam hari pun bertambah. Selain tradisi tutur intootn, ada pula pukauan hiburan dari televisi satelit yang dapat diakses 24 jam. "Daya tarik intootn tentu sudah jauh berkurang," papar Yuvenelis.

Menjelaskan lebih jauh, antropolog lulusan Universitas Gadjah Mada Yuvenalis Lahajir mengatakan, memasuki era-1990-an, tanda-tanda kepunahan tradisi tutur intootn mulai tampak. "Sebab utamanya bukan pengaruh televisi, tetapi generasi muda Linggang sendiri ternyata tidak lagi berminat mempelajari kebudayaan tersebut," ungkap pria yang biasa dipanggil Lahajir,
dan sejak 1980-an terus mendalami kebudayaan Dayak, Kabupaten Kutai Barat.

Ancaman kepunahan itu memunculkan gelisah. Akhirnya, lelaki berusia 49 tahun ini berinisiatif mendokumenfasikan segala cerita rakyat yang berasal dari suku Dayak di dataran tinggi Linggang. Dataran tinggi ini didiami empat etnik mayoritas suku Dayak, yakni Tunjung Linggang atau Rentenuukng, Tunjung Tengah yang juga disebut Tonyooi, Benuaq, dan Bahau.

Bagi Lahajir, tujuan pendokumentasian sangatlah sederhana. "Sebagai bahan pengingat bahwa ada suatu bentuk kebudayaan yang pernah hidup di dataran Linggang. Dan, itu sangat bernilai! "tegas lelaki yang juga menjabat sebagai Direktur Yayasan Anum Lio (YAL).

Gagasan mendokumentasikan cerita rakyat suku Dayak bukan soal gampang. Pasalnya, perjalanan peradaban kebudayaan Dayak belum sampai pada tahap membuat abjad. Artinya, sama sekali tidak ada risalah tertulis. "Semua khazanah kebudayaan Dayak diturunkan secara lisan," ungkap pria berkacamata ini.

Cerita-cerita rakyat, lanjut dia, hanya hidup di alam pikiran para tetua adat yang berusia lanjut. "Karena itu kami harus bergegas mendatangi mereka dan merekam segala cerita. Bisa jadi ketika ajal datang, cerita pun ikut menghilang."

Seiring perjalanan waktu, idealisasi pendokumentasian intootn sebagai bahan pengingat pun mengalami peningkatan. Kini, Lahajir mengingini kumpulan intootn menjadi mata ajaran kurikulum lokal di sekolah-sekolah Kabupaten Kutai Barat. "Intootn juga merupakan bagian dari kekayaan khazanah berpikir masyarakat Dayak," ujar Lahajir.

Ia juga berharap dokumentasi itu sampai ke public di luar suku Dayak. Jika kumpulan intootn ini selesai, berisikan cerita rakyat dari Kabupaten Kutai Barat. (DvD/M-1)

Sumber : http://rafflesia.wwf.or.id

Saturday, February 20, 2010

Legenda Apokayan

Ditulis oleh Thomas Djuma

Jika kita berbicara soal orang-orang Dayak, maka suku yang paling pantas disebut pertama adalah suku Dayak Kenyah yang populasinya lebih besar ketimbang suku-suku dayak lainnya di seluruh Pulau Kalimantan. Termasuk Serawak dan Sabah Malaysia dan Brunai Darussalam. DARI kebesaran suku ini selain sangat populer dengan seni dan adatnya, mereka termasuk suku yang paling dihormati. Tetapi sebutan Dayak Kenyah ini bukanlah berdiri sendiri melainkan mereka memiliki anak suku yang cukup banyak. Untuk itu keberadaan mereka tak terlepas dari apa yang disebut sebagai Legenda Apokayan. Wilayah Apokayan termasuk ke dalam daerah Bulungan yang merupakan basis dari suku dan anak suku (Uma) Dayak Kenyah terletak di ujung barat Kabupaten Bulungan, berbatasan langsung dengan Serawak Malaysia Timur.

Dari Apokayan inilah orang orang Kenyah berkembang pesat, baik secara budaya maupun adat sebelum akhirnya mereka berpencar ke berbagai wilayah di Kalimantan, seperti Kutai, Berau, Paser, kemudian memasuki pula Kalimantan Barat serta Serawak dan Sabah. Wilayah yang disebut Apokayan saat ini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kayan Hulu dengan luas sekitar 3.500 Kilometer persegi dengan penyebaran pada 14 desa dengan jumlah sekitar 5.000 jiwa. Jumlah ini adalah jumlah mereka yang menetap di Kayan Hulu, belum termasuk di daerah Kecamatan Kayan Hilir serta yang tersebar diberbagai wilayah Kalimantan secara keseluruhan.

Asal cerita orang orang Apokayan ini berawal dari daerah perkampungan “Lundaye“ warga yang berdiam di perbatasan Serawak dan Bulungan, yang bertujuan mencari daerah baru karena populasi mereka kian berkembang. Mereka secara berkelompok menyebar meninggalkan daerah Lundaye. Dari penyebaran tersebut salah satu kelompok terbesar mereka adalah orang orang yang disebut sebagai suku Kenyah sampai ke daerah Apau Da’a Bulungan dan bermukim di tempat tersebut karena daerah ini subur dan kaya dengan hasil bumi yang mereka butuhkan.

Setelah cukup lama bermukim di Apau Da’a, populasi mereka kian pula bertambah, maka untuk lebih berkembang mereka membentuk 12 kelompok keluarga dan mengembara mencari wilayah baru untuk didiami. 12 kelompok tersebut terdiri dari 40 anak suku (Uma) atau keluarga menyusuri daratan dan sungai Kayan hingga sampai kemana mana. Mereka yang keluar meninggalkan Apau Da’a, adalah Uma Bakung, Uma Lepu Tau, Uma Tukung, Uma Jalan, Uma Timai, Uma Baja, Uma Bem, Uma Badeng, Uma Ujok, Uma Pawa, Uma Awai, dan Uma Kayan Ma’ Leken.

Anak suku Kenyah ini amat ulet, berani, dan sangat menjaga kekerabatan serta adat budaya leluhur mereka sampai kemanapun. Pada setiap pemukiman mereka selalu ada balai adat atau Lamin Pertemuan keluarga, selain untuk upacara dan penyambutan tamu. Pada saat kini yang telah menetap seperti Uma Tau dan Uma Bakung mendiami Desa Sungai Barang, Desa Long Uro di Apokayan, sedang Uma Jalan menempati Desa Long Ampung, Long Nawang, dan Nawang Baru. Sedang anak suku lainnya menyebar dan menempati dibeberapa desa wilayah adad Apokayan , seperti Desa Long Bata’oh, Long Temuyat, Long Top,Long Lebusan, Long Anye, Lidung Payau, Long Payau, Mahak Baru, dan Dumu Mahak. Namun walau desa mereka berjauhan mereka tetap menjaga kekerabatan dan saling kunjung mengunjungi bila ada upacara perkawinan, kematian, dan pesta panen tahunan.

Daerah Apokayan ditemukan oleh orang orang Kenyah asal Lundaye pada abad ke 16 dan menjadikan Apokayan sebagai basis dan kawasan adat Suku Dayak Kenyah, dimana setelah berkembang pesat dan berjalan selama dua abab maka pada abad ke 18 mereka mulai eksodus dan menyebar ke arah Kabupaten Kutai menyusuri Sungai Mahakam, Sungai Kapuas Hulu, memasuki daerah kerajaan Berau, terus kehilir Sungai Kayan menuju Tanjung Peso, Tanjung Palas dan Tanjung Selor.

Perubahan adat kepercayaan terjadi pada awal abad 20 pada Suku Kenyah yang dibawa oleh Pemerintah kolonialis Belanda. Mereka mulai mengenal peradaban baru dan secara perlahan mengikis kepercayaan pada kepercayaan leluhur serta tradisi lain yang tak sejalan dengan hukum masyarakat modern, termasuk mereka mulai memeluk kepercayaan Kristen dan Islam, pendidikan serta sosial kemasyarakatan. Yang mengenal perubahan ini adalah masyarakat yang telah meninggalkan daerah Apokayan dengan jumlah tak sedikit, yaitu sekitar 12 ribu jiwa sehingga di Apokayan sendiri tersisa sekitar 3.000 jiwa yang bertahan.

Namun demikian walau tersisa sudah tak banyak, mereka yang tinggal tetap teguh dengan segala kepercayaan dan adat yang mereka percayai semenjak leluhur mereka. Pada setiap waktu mereka selalu melaksanakan upacara sakral yang mereka yakini. Mereka juga tidak perduli dengan keadaan di luar kawasan adat mereka.

Tetapi orang orang Kenyah ini adalah orang yang selalu menjaga kekerabatan secara utuh. Pada kenyataannya walau mereka pergi jauh dan terpencar kemana mana, namun tetap saja mereka pada waktu waktu tertentu kembali ke Apokayan untuk bertemu dengan warga dan tetuha adat yang masih ada. Selain mereka kembali ke Apokayan dalam urusan adat dan keluarga, pada waktu waktu tertentu, mereka juga tak melupakan asal usul mereka yaitu daerah pertama yang disebut desa orang-orang Lundaye dan desa desa asal usul pertama di pedalaman perbatasan Bulungan Serawak.

Dasar utama mereka meninggalkan Apokayan adalah berkaitan pada masalah ekonomi. Karena lahan di Apokayan kian sempit terjadilah perpindahan mereka ke berbagai daerah di samping menghindari persaingan dan perebutan sesuatu wilayah subur yang bisa terjadi antara anak suku (Uma ) Kenyah. Perginya penduduk ke daerah daerah subur yang ditemukan atau diberitakan oleh keluarga dan kerabat yang telah lebih dahulu pergi membuat Apokayan bertambah sepi.

Dalam upaya mengembalikan kehidupan Apokayan untuk menjadi sentral seni budaya dan adat Suku Kenyah, serta mengupayakan agar orang-orang Kenyah yang tadinya pergi bisa kembali ke Apokayan dan membangun Apokayan sebagai pusat keberadaan Suku Kenyah, pada tahun 1994 lalu di Apokayan dilaksanakan pertemuan adat seluruh anak suku (Uma ) Kenyah disertai pesta penen dan pagelaran budaya yang mereka sebut “Bangen Jenai Lale.” Atau dengan arti Bangen adalah Pesta, Jernai adalah Makanan dan Beras, Lale adalah Adat. Yang diambil dari kebiasaan sakral Suku Kenyah.

Sejak itulah kebanggaan sebagai Suku Kenyah ditampakkan ke berbagai wilayah. Semua orang yang berasal dari Suku Kenyah memiliki atau memakai tanda kalau mereka adalah orang orang Dayak Kenyah yang terbesar dan tersebar di seluruh pelosok Kalimantan.. Apokayan yang termasuk di dalam wilayah Bulungan ini memang tak berkaitan budaya atau darah dengan masyarakat atau bangsawan Bulungan. Orang Dayak Kenyah tak memiliki raja atau kerajaan, namun mereka memiliki Kepala Suku dan Kepala Adat yang kedudukannya hampir sama dengan seorang raja. Apa kata Kepala Suku atau Kepala Adat, itulah yang menjadi putusan hukum bagi masyarakat Kenyah.

Sebenarnya daerah Apokayan ini adalah suatu daerah yang sangat indah dan alami, sehingga banyak turis mancanegara yang bertualang di daerah ini untuk menikmati keindahan alam serta ragam budaya yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Suku Kenyah. Selain itu banyak pula dari kalangan budayawan asing melakukan penelitian sejarah dan budaya keberadaan Kenyah yang mereka anggap unik serta langka.

Keindahan alam Apokayan kini sudah dikenal oleh masyarakat mancanegara. Apalagi Apokayan juga memiliki hutan yang masih utuh penuh dengan flora dan fauna sehingga merupakan asset jual yang bernilai tinggi. Keindahan Apokayan adalah salah satu dari seribu keindahan alam Kabupaten Bulungan, yang membentang dari ujung Apokayan hingga ke sisi pegunungan Kerayan, membujur kea rah Lumbis, Malinau dan Mentarang; Kemudian dari Long Peso memanjang ke Long Pujungan, Sesayap, Sembakung, dan Nunukan, sampai ke pulau Sebatik. Keadaan ini ketika Kabupaten Bulungan belum terbagi menjadi empat bagian yaitu Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kota Tarakan. Namun demikian hal tersebut adalah hanya persoalan pembagian administrasi dan untuk kepentingan percepatan pembanguan di wilayah utara Kalimantan Timur.

Walau demikian alamnya serta seni budaya dan kondisi lingkungan tetap saja sama tak berubah. Keramahan penduduk Suku Kenyah ini sangat membuat siapapun akan terkesan selama hidupnya. Apalagi bagi kalangan turis mancanegara. Ada diantara mereka yang jatuh cinta dengan Apokayan. Mereka rela tinggal dan mengawini gadis Apokayan yang kebanyakan cantik-cantik alami.

Pada umumnya mereka yang bertualang ke pedalaman dan desa desa di kawasan ini sudah merasa jenuh hidup di tengah tengah kota yang penuh bangunan bangunan beton. Apalagi dengan kebebasan dan cara hidup mereka juga sangat berbeda, walau agama kepercayaan mereka ada yang sama yaitu Kristen Protestan atau Katolik. Di lain itu disini mereka menemukan ketenangan dan kedamaian jiwa terlepas dengan segala tututan hidup yang selalu dalam persaingan.

Sebagai orang Kalimantan apalagi Kalimantan Timur sendiri amatlah rugi jika belum pernah menikmati keindahan dan keramahan masyarakat Apokayan. Penulis yakin jika Anda kesana, Anda pasti jatuh hati dengan situasi yang sangat mempersona. Terutama pada pemuda-pemuda kekar dan tampan serta gadis gadis semampai yang cantik di samping alam yang begitu indah mempersona. Saya yakin Anda tak akan kecewa .Cobalah jangan disia siakan semasa kesempatan masih ada.- *habis

Sumber : www.bongkar.co.id

Peradilan Adat : KeadilanYang Ternafikan

Oleh : Laurensius Gawing
(Pendamping Hukum Rakyat, Staf Lembaga Bela Banua Talino Kalimantan Barat)
”Jika rasa keadilan tidak lagi menjadi milik semua orang, dan ketika rasa keadilan itu terpasung dalam bingkai institusi pengadilan kenegaraan yang harus dibayar mahal olehrakyat. Maka, Peradilan adat adalah pilihan tepat.”

Dalam konteks kekinian peradilan adat mungkin telah menjadi kata-kata yang maknanya sulit dipahami oleh banyak pihak. Alasannya mungkin saja karena informasi tentang peradilan adat sangat minim atau disebabkan adanya upaya sistematis oleh para pihak terutama negara yang mencoba mengaburkan makna hakiki dari peradilan adat itu sendiri. Faktanya sampai saat ini peradilan adat hanyalah tinggal cerita-cerita lama, yang terbungkus dalam bingkai usang sejarah negara ini. Memang tidak banyak pihak yang mengerti apa dan bagaimana perkembangan praktek peradilan adat saat ini, sehingga kesimpulan yang meraba-raba sepertinya menjadi pilihan oleh penyelenggara negara untuk mendefinisikan apa dan bagaimana peradilan adat seharusnya diposisikan. Dengan demikian hasil yang terlihat adalah tidak proporsional dan menyudutkan eksistensi peradilan adat. Mengaburnya makna peradilan adat kini semakin kentara, apalagi bagi masyarakat yang kini jauh di perkotaan dan tercerabut dari realitas peradilan adat yang sesungguhnya. Tetapi di beberapa wilayah riak peradilan adat sesungguhnya masih kental mewarnai kehidupan masyarakat, terlebih pada komunitas-komunitas adat yang mendiami berbagai kawasan di Indonesia.

Sebagai sebuah sistem hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, peradilan adat sesungguhnya mengemban peranan penting bagi peradaban komunitas adat di Indonesia. Terutama karena fungsinya sebagai pilar yang menjaga keseimbangan hubungan sosial maupun perilaku kearifan lokal masyarakat adat seperti, menjaga harmonisasi hubungan antara masyarakat dan alamnya. Dengan demikian peradilan adat tidak lagi hanya berfungsi sebagai pilar penyeimbang tetapi telah menjelma menjadi entitas budaya masyarakat adat.

Pasang surut eksistensi peradilan adat, tidak terlepas dari pengaruh kuatnya cara berpikir positivisme di tataran penyelenggara negara, sikap yang mengagungkan legalitas formal tersebut memaklumkan bahwa, tidak akan ada peradilan lain selain peradilan negara. Sehingga peradilan adat yang telah ada sejak ratusan tahun lalu di Indonesia dihapus dari sistem hukum Indonesia. Padahal,Von Savigny (W.Friedmann 1967: 211) mengemukakan beberapa pendapat yang berkenaan dengan hukum diantaranya pertama, Hukum ditemukan, tidak dibuat. Pertumbuhan hukum merupakan proses yang tidak disadari dan organis, oleh karena itu perundang -undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan. Kedua,undang-undang tidak berlaku atau tidak dapat diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan hukum kebiasaannya sendiri, karena mempunyai bahasa, adat istiadat dan konstitusi yang khas,sehingga volkgeist dari suatu bangsa akan terlihat dalam hukumnya.

Realita Peradilan Adat di Indonesia
Unifikasi sistem hukum Indonesia yang dibangun berdasarkan alasan kepastian hukum serta kepentingan kemudahan dalam penyelenggaraannya, seakan harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar. Hal ini dapat dilihat kasat mata di setiap napas peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang tidak memberi ruang gerak kepada peradilan adat untuk menunjukan nilai-nilai keadilan substantifnya. Penyeragaman dalam pembentukan, penerapan serta penegakannya ini, semakin berdiri angkuh dengan segala keadilan normatif yang terkandung di dalamnya seperti yang terpancar dari setiap bunyi bab serta pasal-pasal yang terkodifikasi dengan rapi. Pemaksaan unifikasi yang mengharamkan keberagaman di negara ini, sesungguhnya telah merenggut peradilan adat dari habitat sesungguhnya yaitu masyarakat adat. Sehingga kehancuran sistem asli masyarakat adat terjadi hampir di semua komunitas adat di negeri ini.

Di Kalimantan Barat saja kepunahan praktek peradilan adat akibat intervensi negara telah mendekati titik nadir. Sistem pemerintahan asli yang mendukung praktek peradilan adat seperti Kampokng di kabupaten Sanggau, Banua di Ketapang serta Menua di Dayak Iban dan Titing di masyarakat Dayak Punan Uheng Kereho kabupaten Kapuas Hulu menjadi hilang, sebagai akibat keluarnya peraturan dan kebijakan negara yang tidak berpihak. Peraturan dan kebijakan anti peradilan adat ini secara pasti berdampak terhadap hilangnya kuasa para Kepala Adat dan para Temenggung, karena dengan adanya penyeragaman tersebut tugas dan fungsinya sebagai satu-kesatuan dari sistem hukum adat tergantikan oleh aparatus desa.

Pembelajaran dari Kalbar
Walaupun secara terus-menerus diingkari keberadaannya, namun peradilan adat tetap saja menjadi pilihan utama bagi masyarakat adat, terutama yang aksesnya ke institusi peradilan negara tak terpenuhi. Nun jauh di perhuluan sungai Kapuas kecamatan Kedamin Kalimantan Barat, masyarakat Dayak Punan Uheng Kereho tetap menggunakan sistem peradilan adatnya. Dengan berbagai semboyan seperti “kenucu maram kenucu te mulok “ yang artinya telunjuk busuk telunjuk dipotong, merupakan salah satu cerminan sikap tegas dalam penegakan hukum adat oleh komunitas ini.

Dalam menjalankan sistem peradilan adat, berbagai komunitas sesungguhnya memiliki keyakinan dan nilai keadilan sesuai dimensi masing-masing. Seperti contoh masyarakat adat Dayak Kanayatn di Kabupaten Landak dan Pontianak, dalam menjatuhkan sanksi adat selalu mengacu prinsip kade’labih Jubata bera kade’ Kurakng Antu bera” yang artinya, jika berlebihan Tuhan akan marah, tetapi jika kurang roh nenek moyang /hantu yang marah. Prinsip ini secara jelas menyatakan bahwa dalam menjatuhkan sanksi adat, haruslah menganut nilai-nilai keadilan dan keseimbangan.

Tidak hanya sampai pada tataran itu, jika telah diputuskan hukumannya oleh ketua adat, maka untuk perkara-perkara yang diyakini dapat membawa dampak buruk bagi komunitas tersebut seperti kasus hamil diluar nikah”Ngampakng” atau kasus -kasus pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain, akan selalu dilakukan upacara perdamaian antara kedua belah pihak serta kedua belah pihak dengan masyarakat kampung dan alam sekitarnya atau “Mua Tana” dalam masyarakat Dayak Punan. Tergambar jelas bahwa penyelesaian sengketa dalam peradilan adat tidak hanya memvonis benar-salah atau menang-kalah tetapi juga bagaimana mendamaikan para pihak termasuk berdamai dengan alam. supaya kampung dan masyarakat tersebut terbebas dari wabah penyakit, bencana alam dan hal-hal negatif lainnya.

Realitas kearifan seperti inilah yang menggugah 25 suku Dayak di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat, untuk secara bersama-sama mendokumentasikan proses peradilan adat di masing-masing sukunya. Pendokumentasian yang dimulai pertengahan tahun 2005 ini, kini berhasil menuliskan secara umum praktek-praktek serta nilai-nilai yang diacu oleh peradilan adat seperti nilai keadilan, keseimbangan dan kepastian hukum yang biasa praktekan oleh peradilan adat. Dengan keyakinan yang tinggi komunitas Dayak di 25 suku di Kabupaten Sanggau mencoba menyelami kembali, bagaimana peradilan adat yang pemberlakuannya telah diabaikan oleh pemerintah hingga saat ini, tetap menjadi sarana penyelesaian sengketa yang cocok dan mengerti situasi mereka.

Semangat pendokumentasian peradilan adat yang bertujuan merenda kembali semangat dan nilai-nilai keadilan yang memang lahir dan hidup dari kebudayaan asli mereka. Diharapkan pendokumentasian ini menjadi penyemangat bagi mereka untuk terus mempraktekkan peradilan adat sebagai pilihan utama dalam penyelesaian perkara di masyarakat adat. Selain itu, pendokumentasian ini menjadi bukti bagi pihak lain, bahwa di 25 Suku Dayak di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat masih berlaku praktek peradilan adat hingga saat ini.

Akui dan Hormati Peradilan Adat.
Sesuai dengan UUD 1945 semangat pasal 18 I ayat (3) disebutkan bahwa Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban. Aturan tersebut di kuatkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pada pasal 6 ayat (1) menyebutkan“ Dalam rangka penegakan hak asai manusia, perbedanan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,masyarakat dan pemerintah”.Sudah barang tentu pengakuan, penghormatan serta memajukan hukum adat dan peradilan adat adalah kewajiban bagi pemerintah. Karena peradilan adat merupakan manifestasi utuh dari identitas budaya masyarakat adat. Maka pengabaian, penyingkiran serta pemusnahan
peradilan adat kategorinya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pengakuan dan penghormatan yang dimaksud di atas juga dapat bermanfaat bagi banyak tempat yang tidak terjangkau oleh peradilan negara. Peradilan adat dapat menjadi pilihan pemecahan yang tepat untuk penyelesaian perkara. Alasan lain, sampai saat ini masih banyak masyarakat terutama di luar pulau Jawa yang masih menggunakan peradilan adat sebagai sarana penyelesaian sengketa adalah karena biayanya yang murah, tidak bertele-tele serta sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat.

Realitas semangat untuk tetap menjaga dan menjalankan peradilan adat ini hingga saat ini masih tergambar dari pepatah Dayak Iban “Bejalai Betungkat ke Adat Tinduk Bepanggal ke Pengingat” yang artinya berjalan bertongkatkan adat, tidur beralaskan sejarah. Sehingga urgensi pengakuan, penghormatan dan pemajuan peradilan adat serta memasukannya kedalam sistem hukum di Indonesia adalah sebuah langkah pasti menuju peran peradilan yang menyediakan keadilan secara substantif.

Friday, February 19, 2010

SANG-KEU-JONG,

Nurhadi Rangkuti
Staf Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

KOTA CINA DI BELANTARA KALIMANTAN BARAT

Siang yang amat panas bikin badan jadi lemas, enerji cepat terkuras sengatan matahari. Apalagi pasir putih memantulkan cahaya sang surya ke atas, hingga keringat semakin deras mengucur. Bentangan pasir putih yang tebal memang bikin kaki makin berat mengayun. Namun bukan karena itu langkah mendadak berhenti.

Di depan, tampak seonggok kayu hitam yang separuh terbenam pasir. Di dalam kayu yang berongga itu tergolek sebuah tengkorak manusia berikut tulang-belulang. Mata pun otomatis menyapu daerah sekitar. Benar juga tak jauh dari situ berserakan pecahan-pecahan peti kayu yang berisi kerangka manusia.

Tak pelak lagi, ini tanah kuburan. Ditilik dari bentuk peti mati yang membulat dengan sudut melengkung, jelas bahwa itu adalah peti mati orang Cina yang oleh masyarakat Singkawang disebut "kon choi". Peti ini dibuat dari kayu belian yang kuat dan tahan kikisan waktu.

"Kuburan itu paling lama usianya seratus tahun", kata Budi Rijanto alias Liauw Hai Leng (51 tahun), pemilik pabrik keramik Tajau Mas di dusun Padang Pasir. Dusun ini termasuk Desa Sedau, Kecamatan Tujuhbelas, dan terletak sekitar 6 km di sebelah selatan Kota Singkawang. Kuburan yang dimaksud berada sekitar 100 meter di belakang pabriknya. "Kuburan itu dibongkar penduduk yang kerjanya mengambil pasir untuk bahan bangunan", katanya lagi. Aneh juga, biasanya orang Cina punya tradisi kuat merawat makam leluhurnya. "Mungkin kerangka itu dulunya seorang imigran Cina yang datang ke sini dan tak punya sanak saudara", kilah Liauw Hai Leng.

Kuburan yang relatif kuno serta nama Kampung Padang Pasir, yang kenyataannya memang ada hamparan pasir laut di tengah daratan, merangsang rasa ingin tahu tentang asal muasal tempat dan nama Singkawang. "Singkawang itu berasal dari kata Sang-KeuJong, artinya kuala dan gunung", kata lelaki Cina itu menerangkan.

Setelah dicek pada kitab sejarah lokal milik pemda, Sang-Keu-Jong memang merupakan nama asal Singkawang. Namun kitab itu tidak menerangkan artinya. Meskipun demikian, pemyataan Liau Hai Leng mengandung kebenaran juga. Apalagi kalau dilihat geografi Singkawang terdiri dari dataran rendah daerah pantai yang dilingkungi bukit dan gunung. Antara lain Gunung Poteng (atau Keu Theu San, menurut bahasa Cina Kek) yang bentuknya seperti ibu jari. Satu bukti bertambah tatkala melihat kegiatan orang menggali tanah liat untuk mebuat keramik di belakang pabrik Tajau Mas. Kira-kira pada kedalaman 3 meter, para penggali sudah menemukan tanah laut.

Kaki pun kembali melangkah mengikuti jalan yang ditunjukkan Hu Tjhiung Fo. Kira-kira sepuluh menit menapaki jalan raya, di kejauhan terlihat kelenteng merah berdiri di atas "bukit" batu besar. Ada anak-anak tangga semen mendaki munuju kelenteng. Bangunan pemujaan ini tidak besar, pada dinding batu terpahat kepala singa. "Toh pe kong ini sekarang namanya Tri Dharma Bumi Raya dan papan namanya yang kini telah rusak menyebutkan angka tahun 1661 Masehi", ujar Hu Tjhiung Fo. Kemudian ia mengisahkan legenda tentang kuil kuno itu. Dulu para pendeta santai duduk memancing di atas batu yang dibawahnya air lauL

Dan penduduk sekitar hidup membuat garam.

Dan memang.di bawah tangga semen terdapat alat penggiling garam yang terbuat dari batu berbentuk silinder bergaris tengah 50 cm.

Beberapa tahun yang lalu di sekitar Padang Pasir yang masuk daerah Tanjung Batu, penduduk melakukan penggalian dan menemukan sisa-sisa sampan kuno serta keramik Cina asal Dinasti Ming, kata Liauw Hai Leng sungguh-sungguh, meskipun Kanwil Depdikbud Singkawang menyatakann belum menerima laporan penemuan purbakala itu.

Hati jadi penasaran, maka langkah jadi ringan menelusuri daerah sekitamya, untuk mencari informasi tentang kepurbakalaan di sana. Tak terasa tibalah di Desa Kali Asin, sebuah kampung Cina yang letaknya 2 km di selatan Desa Sedau. Bukankah nama Kali Asin ada hubungannya dengan laut?

Dulu desa ini narnanya jam Tang, artinya lapangan garam", kata Bapak A Tet (74 tahun), sesepuh kampung itu. "Menurui ceriteranya, daerah ini dulunya pantai tempat membuat dan menjemur garam". Pantai yang ada sekarang letaknya 3 km di barat kampung yang dibelah oleh jalan raya Singkawang-Pontianak itu. Salah seorang penduduk, Hu Thiung Fo (35 tahun), menambahkan sewaktu ia membuat sumur pada kedalaman dua meter telah menemukan pasir laut dan airnya payau. "Kampung ini memang tanah kuno, tak jauh dari sini ada bukti-buktinya", ajaknya antusias.

Sejarah Kota Singkawang memang tak bisa dipisahkan dengann orang Cina. Semua nama tempat, gunung dan sungai mempunyai nama yang berasal dari Cina; misalnya, Gunung Tanjung Batu yang dulu bernama Ha Sha Kok, atau Gunung Keu Theu San yang sekarang berganti nama menjadi Gunung Raya, atau Jam Tang yang kini menjadi Kali Asin, atau nama Kota Singkawang itu sendiri yang dulunya Sang-Keu-Jong.

Dalam sejarah memang disebutkan, sebelumnya orang Cina berpusat di Montrado, 40 km di sebelah tenggara Singkawang. Mereka mendirikan kongsi-kongsi dalam usaha penambangan emas di sana.

Sekarang hampir tidak ditemukan orang Cina di Montrado, habis tergusur sewaktu peristiwa PGRS / Paraku tahun 1967. Yang tinggal sekarang orang Melayu, Dayak dan Bugis berikut perusahaan penambangan emas milik pemerintah yang bekerja sama dengan perusahaan asing.

Bukti bahwa Montrado pemah menjadi pusat kegiatan orang-orang Cina, adalah tugu peringatan yang didirikan Belanda atas pertempurannya dua kali dengan orang-orang bermata sipit itu, yaitu tahun 1852-1854 dan 1914-1916.

Bukti-bukti lainnya, pecahan-pecahan keramik yang banyak tersebar di tanah Montrado, namun terabaikan. Untunglah ada seorang keramolog amatir, Ny. Marquerite Wyntje, istri pimpinan perusahaan, yang tekun mengumpulkan dan menyambung pecahan-pecahan itu menjadi utuh, maka terlihatlah mangkuk, piring, guci, pipa opium, wadah emas, kebanyakan berasal dari Dinasti Qing, Belanda dan lokal. Siapa tahu lewat beling-beling itu dapat dilihat perpindahan pusat kegiatan masyarakat Cina dari Montrado ke Singkawang.

Sang-Keu-Jong memang masih miskin dengan penelitian purbakala.

Warisan budayanya banyak yang masih terkubur, menunggu kedatangan ilmuwan menguak misteri tanah ini.

KERAMIK KUNO BARU DARI PERUT SANG NAGA

M. Th. Naniek Harkatiningsih
(Puslit Arkenas)

Mau tempayan antik yang berasal dari masa Dinasti Han? Mau mangkuk berelief dari Dinasti Sung? Atau mau tempayan dililit naga dari Dinasti Ming? Pelbagi bentuk keramik asli tiruan yang betul-betul “seindah aslinya” itu dapat kita peroleh di Desa Sedau: Bahkan kalaupun mau tempayan antik yang sudah aus atau retak-retak, juga bisa mereka sediakan. Tentu saja dengan harga yang jauh di bawah harga keramik kuno yang sesungguhnya. Atau kalau mau memperbaiki keramik antik yang sudah aus, mereka sanggup menghipnotisnya menjadi indah kembali.

Dilihat sepintas lalu, Desa Sedau memang tidak menampakkan keunikan dan keanehan yang mencolok mata. Desa terpencil yang terletak di Kota Adminis-tratif Singkawang, Kalimantan Barat, itu sebenarnya mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan, terutama sekali dalam kegiatan pembuatan keramik purba tiruannya. Jenis komoditi yang menjadi idaman golongan “the have”, dan impian golongan the have not”.

Desa Sedau, yang kini termasuk wilayah Kecamatan Tujuhbelas itu nampaknya memang memiliki latarbelakang sejarah yang cukup panjang. Kota Singkawang sendiri pemah disebut-sebut dalam tradisi kuno, yang menyebutkan bahwa Singkawang didirikan oleh orang-orang Cina pada abad ke-13 Masehi.

Konon menurut kisah rakyat yang pernah beredar di Singkawang, kota ini didirikan oleh 7 opsir anggota pasukan Kubilai Khan. Pasukan yang dipimpin oleh 3 jenderal itu – I-heh Mishih, Shihpi, dan Kau Hsing – dikirim oleh kaisar untuk menghukum raja Jawa” yang pernah menghina utusan kaisar. Raja Jawa yang dimaksud adalah Sri Kertanegara, raja Singasari. Akan terapi pasukan Cina itu berhasil diperdayai oleh Sri Wijaya (pendiri kerajaan Majapahit). Sehingga pada tanggal 31 Mei 1293 seluruh pasukan Cina itu tergopoh-gopoh mening-galkan Jawa. Dalam pelayaran kembali ke daratan Cina itulah, dalam keadaan kelelahan, kapal mereka diserang badai. Mereka terpaksa mendarat di pantai barat Kalimantan untuk memperbaiki kapal. Pada waktu berlayar kembali, 7 orang opsir temyata tidak terbawa serta. Ketujuh opsir itu kemudian hidup menetap di Singkawang dan menikah dengan gadis-gadis setempat.

Sampai di mana kebenaran ceritera rakyat itu sulit dibuktikan. Yang jelas sampai sekarang sebagian besar penduduk Kota Singkawang adalah orang-orang Tionghoa. Bahkan masih banyak di antara mereka yang sama sekali belum mengenal Bahasa Indonesia dan masih menggunakan bahasa leluhurnya sebagai alat komunikasi.

Singkawang, kota kecil berpenduduk puluhan ribu jiwa yang terletak sekitar 140 km di utara Pontianak,. nampaknya memang mempunyai hubungan historis yang erat dengan budaya Cina. Banyaknya Klenteng di sana agaknya membuktikan hal itu, di samping ciri biologis orang-orang Singkawang yang seratus prosen merupakan ciri ras Mongolid. Pada saat hari-hari raya Konfusius atau keper-cayaan dari Cina daratan lainnya, suasana Kota Singkawang memang nyaris mirip perkampungan di tanah asalnya. Celoteh dalam bahasa Cina totok terdengar di mana-mana. Tidak aneh kalau ada yang menjuluki Singkawang sebagai Kota Cina di Indonesia.

Ciri budaya Cina lainnya yang juga terdapat di Singkawang adalah adanya pabrik-pabrik keramik Cina.

Dalam budaya Cina sendiri, pembuatan keramik telah sejak ribuah tahun silam menjadi kegiatan utama negeri itu. Bahkan setiap dinasti mengembangkan. teknik pembuatan tersendiri yang berbeda dengan dinasti lainnya. Demikianlah keramik-keramik Cina dapat diusut umumya ber-dasarkan ciri-ciri keramik setiap dinasti. Oleh karena itu, bagi ahli arkeologi, temuan benda keramik sangat berarti, karena dapat digunakan untuk menaksir umur suatu situs (tempat penemuan benda-benda arkeologis).

Di Indonesia sendiri, temuan keramik Cina terdapat di hampir seluruh daerah Indonesia. Keramik Cina tertua yang pemah ditemukan di Indonesia adalah yang berasal dari masa Dinasti Han Abad 1-2 Masehi (berupa tempat membakar dupa di situs Kerini, Jambi, Sumatra, hadi).

Keramik Cina yang berasal dari masa ratusan sampai ribuan tahun silam itu, selain diburu oleh para ahli arkeologi temyata juga menjadi incaran para kolektor barang-barang antik. Kelompok yang terakhir ini, yang kerap disebut kelompok antiquarian”, berani membeli keramik-keramik Cina kuno dengan harga jutaan rupiah. Di Singkawang sendiri, puluhan tahun yang lalu, tempayan atau tempayan keramik kuno banyak dipakai sebagai wadah untuk menampung air hujan. Wadah-wadah keramik itu ditempatkan di sekeliling rumah, untuk menampung curahan air hujan yang turun dari genteng atau talang air. Kesulitan akan air bersih di daerah ini menyebabkan air hujan dianggap anugerah dari langit. Air bersih bahkan dianggap jauh lebih berharga dibandingkan keramikkeramik antik itu.

Dari mana mereka memperoleh keramikkeramik antik itu? Entahlah, ada yang mengaku warisan dari orang tua. Akan tetapi mungkin juga ada yang menemukannya dari dalam tanah. Namun keramik-keramik antik itu lambat laun menghilang, digantikan oleh tempayan-tempayan semen atau sumuran-sumuran berkonstruksi beton. Pasalnya keramik antik yang semula dianggap tidak lebih berharga dari air hujan itu, temyata mampu mendatangkan sejumlah uang yang cukup besar bila dibeli oleh para pemburu barang antik. Tentu saja keramik antik itupun berpindah tangan menjadi milik para Antiquarian.

Lenyapnya keramik-keramik antik dari halaman rumah-rumah penduduk Singkawang, sementara kaum antiquarian masih saja berdatangan mencarinya, menyebabkan timbulnya ide bagi segelintir penduduk Desa Sedau untuk mencoba berkiprah di bidang pembuatan keramik-keramik antik tiruan. Memasuki abad ke-20 di desa kecil berpenduduk ratusan jiwa itu pernah menjamur usaha pembuatan keramik antik tiruan seperti itu. Namun lemahnya manajemen dan terbatasnya upaya pemasaran menyebabkan terjadinya “seleksi alam” yang tak kenal ampun. Sampai saat ini yang tinggal hanyalah 4 pabrik saja. Kemiripan industri keramik Singkawang dengan negara leluhurnya tidak hanya nampak dalam bentuk hasil produksinya saja. Teknologi yang mereka gunakan pun nyaris sempurna seperti yang digunakan nenek moyang mereka ribuan tahun silam di Daratan Cina sana. Tungku pembakarannya, misalnya, berbentuk sama dengan yang dahulu dipakai para pengrajin sejak jaman Dinasti Han ribuan tahun lalu. Tungku yang karena bentuknya mirip “naga” itu, populer dengan sebutan Tungku Naga.

Tapi dari demikian banyak pengrajin keramik di Singkawang kini, yang mampu membangun Tungku Naga tinggal satu orang tukang saja. Hon Ka Lung (37 tahun), salah seorang pengrajin di pabrik Sinar Terang di Desa Saliung, adalah satu-satunya pengrajin yang memiliki keahlian itu. Ilmu Naga yang dikuasainya boleh jadi akan segera lenyap dari muka bumi Singkawang, jika Hon Ka Lung tiada. Sebab tidak satupun pengrajin lain yang punya bakat” untuk mewaris ilmu naga itu.

“Liauw A Tjui datang ke Indonesia tahun 1927 dari Cina Selatan. Mula-mula dari Kanton ia ke Singapura dan bekerja di sana sebagai kuli pelabuhan.

Dari Singapura ia pindah ke Singkawang sini dengan membuka usaha toko obat tradisional Cina. Setelah memperoleh cukup modal, maka tahun 1936 Liauw A Tjiu mendirikan pabrik keramik di Desa Sedau. Pabrik itu diberinya nama Tajau Mas. Pabrik itu mulai berproduksi tanggal 1 Agustus 1937″, jelas Budi Riyanto, pengelola pabrik Tajau Mas.

Budi Riyanto yang semula bemama Liauw Hai Leng (42 tahun) adalah putra dari Liaw A Tjiu. “Liauw A Tjiu mendirikan pabrik itu dengan bantuan dari teman-temannya, pengrajin keramik dari Cina”, ujar Budi Riyanto lagi. Sedangkan nama Tajau Mas, menurut Budi Riyanto, dipilih orangtuanya karena nama itu berarti tempayan emas”, yang dalam bahasa Cina disebut “Yu Hua”. Nama yang terakhir ini bagi masyarakat Cina juga mengandung makna “kekayaan dan perdamaian”. Jadi pabrik keramik tiruan itu diharapkan memberi kekayaan dan perdamaian. Seperti juga Tajau Mas, ketiga pabrik lainnya, yaitu pabrik Dinamis, Semangat Baru, dan Tri Murni, didirikan oleh imigran Cina yang datang ke Indonesia sekitar tahun 1930-an. Pabrik keramik Dinamis merupakan pabrik tertua, didirikan tahun 1934. Sedangkan Tri Murni didirikan tahun 1940 dan Semangat Baru tahun 1943. Pabrik-pabrik itu kini dikelola oleh anak-anak dari para pendirinya. Sayangnya tidak banyak informasi yang dapat dikorek dari mereka, karena sebagian besar pengelola dan buruh pabrik-pabrik itu hanya bisa berbicara dalam bahasa Cina.

Sunday, February 7, 2010

Lahirnya AURI dibumi Kalimantan / Borneo

Tanggal 10 Oktober 1945 para pemimpin rakyat di Kalimantan berhasil membentuk Pemerintah Daerah yang merupakan bagian dari RI dan ber ibukota di Banjarmasin. Namun pada tanggal 24 Oktober 1945, tentara sekutu yang menduduki Kalimantan, menyerahkan Pemerintahan Sipil di Kalimantan kepada NICA ( Belanda ) hal ini yang menciptakan kemarahan rakyat Kalimantan Para pejuang mulai menyusun kekuatan untuk berjuang dan Pemerintah Pusat RI juga mengirimkan pasukan bersenjata namun selalu kandas karena blokade Belanda yang begitu ketat, akhirnya timbul gagasan dari Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Moh. Noer, pada bulan Juli 1947, beliau mengirimkan surat kepada Pimpinan AURI Komodor Udara R. Suryadarma agar KSAU menerjunkan pasukan payung yang terdiri dari putra-putra daerah Kalimantan untuk membantu perjuangan rakyat Kalimantan. KSAU sangat memperhatikan permintaan tersebut, maka ditunjuklah MBT untuk membentuk staf khusus guna menyusun pasukan payung, pasukan ini berada dibawah KSAU dan Mayor Udara Tjilik Riwut putra daerah Kalimantan diangkat sebagai Perwira Operasi.

Setelah melalui seleksi maka terpilihlah 13 orang yang siap diterjunkan ditambah dua orang PHB AURI, selama seminggu mereka dilatih teori dan praktek di daratan ( Ground Training ) kemudian mulai ditentukan pesawat yang digunakan untuk penerjunan rahasia itu adalah pesawat Dakota RI-002, pilotnya adalah Bob Freeberg, co pilot adalah Opsir Udara III Makmur Suhodo, jumping master adalah Opsir Muda Udara III Amir Hamzah, penunjuk jalan adalah Mayor Udara Tjilik Riwut dan Iskandar , bertindak sebagai Komandan. Setelah segala persiapan yang diperlukan dianggap selesai maka pada tanggal 17 Oktober 1947 waktu dini hari sekitar pukul 01.30 WIB mereka menerima briefing singkat dari KSAU.

Pada pagi hari sekitar pukul 07.00 WIB mereka diterjunkan di Desa Sambi Kecamatan Arut Utara Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah dengan membawa perlengkapan secukupnya, dengan tujuan membantu perjuangan rakyat Kalimantan dengan membentuk dan menyusun satuan-satuan gerilya dipulau Kalimantan dan sumber kekuatan utama adalah suku Dayak Kalimantan. Mereka juga bertugas untuk membuka pemancar induk agar dapat terjalin hubungan telekomunikasi antara Kalimantan dengan Pulau Jawa, khususnya pemerintahan RI di Jogyakarta. Selain itu mereka juga mempunyai tugas lain yaitu membentuk dan menyempurnakan daerah pendaratan dan penerjunan untuk rencana operasi udara dikemudian hari.

Kemudian mereka menuju Sepanbiha tempat yang menjadi sasaran operasi, namun pada tanggal 23 Nopember 1947 mereka terjebak di suatu gubuk milik Kepala Desa Sambi maka terjadilah tembak menembak dengan tentara sekutu mengakibatkan 3 orang gugur dan yang lainnya dapat meloloskan diri namun akhirnya tertangkap juga oleh pihak belanda. Meskipun misi ini tidak dapat berhasil seperti yang direncanakan, tetapi nilai yang terkandung dalam kegiatan operasi tersebut sangat penting artinya karena merupakan satu misi operasi lintas udara yang pertama kali dilakukan. Tiga belas orang yang diterjunkan tersebut semula dapat bertahan dengan melakukan perang gerilya yang dibantu oleh rakyat setempat selama tiga puluh lima hari. Namun akhirnya tertangkap oleh musuh sehingga tiga diantaranya gugur sedangkan sisanya ditawan oleh belanda hingga awal tahun 1950. Peristiwa ini disamping merupakan misi operasi lintas udara (Linud) yang pertama bagi Angkatan Bersenjata kita sekaligus juga sebagai tonggak dimulainya kiprah TNI Angkatan Udara di Bumi Kalimantan. Dan untuk memperingati peristiwa yang bersejarah, serta pengorbanan tanpa pamrih dari para pahlawan kusuma bangsa tersebut maka pada setiap tanggal Tanggal 17 Oktober ditetapkan sebagai hari jadi Korps Komando Pasukan Gerak Cepat (KOPASGAT) yang sekarang menjadi Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara ( KORPASKHAS TNI AU ).

sumber : http://www.tni-au.mil.id
 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube