SAMARINDA - Alinasi Masya-rakat Adat Nusan-tara (Aman) Kal-tim dan Jaringan Advokasi Masya-rakat Tambang (Jatam) Kaltim menggelar peri-ngatan Hari Masyarakat Adat Sedunia pada 9 Agustus 2011 di Kampung Muara Tae Kabupaten Kutai Barat (Kubar). Peringatan tersebut sebagai wujud perhatian dan perwu-judan terhadap Hari Masyarakat Adat Sedunia dicanangkan Perserikatan Bang-sa-Bangsa (PBB) sejak 1994. Demikian diungkapkan Dinamisator Jatam Kaltim Kahar Al Bachri didampingi Margareta Setting dari Aman Kaltim saat ditemui Koran Kaltim siang kemarin.
“Masyarakat adat merupakan komunitas pertama yang terpinggirkan oleh industri ekstraktif. Karena itu pada 9 Agustus merupakan momentum bagi masyarakat adat di seluruh dunia memeringatinya dengan menggelar berbagai macam kegiatan. Seperti mengevaluasi gerakan mereka, menyerukan tuntutan mereka kepada dunia untuk memahami kondisi dan mengakui eksistensi mereka,” jelas Kahar.
Bahkan Kampung Muara Tae menjadi pusat pelaksanaan peringatan Hari Masyarakat Adat di Kaltim itu merupakan salah satu anggota Aman Kaltim. Karena masyarakat di desa itu berjuang dalam Kelompok Sempekat Pesuli Lati Tana Adat Takaq yang bertekad menjaga dan melestarikan hutan dan adat Dayak Benuaq.
“Muara Tae merupakan gambaran umum mewakili kondisi kesengsaraan, ketertindasan dan kemiskinan melingkupi masyarakat adat di Kaltim di tengah aksi pengerukan kekayaan alam oleh investor raksasa masuk ke kampung mereka. Bahkan di desa itu terdapat dua investor asing berskala internasional telah lama mengeruk kekayaan alam di kampung itu yakni perusahaan tambang batu bara PT Gunung Bayan dan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Lonsum,” ungkapnya.
Kondisi dialami warga desa yang dijanjikan kesejahteraan dari perusahaan nampaknya tak hanya mengancam mereka secara ekologi melainkan secara sosial budaya. Sebab berbagai permainan politik lokal mengancam kedaulatan mereka terhadap wilayah diwariskan nenek moyangnya.
“Atas nama pembangunan, cara pandang itulah yang acapkali disuarakan kala sebuah perusahaan mendapat izin operasi di sebuah kawasan. Sebuah kawasan terlihat ramah dan bersahabat bagi mereka menginginkan modernitas dan perubahan secara cepat. Namun menolak rencana beroperasinya sebuah perusahaan sama saja dengan tak menghendaki terjadinya pembangunan di wilayah tersebut. Hal ini berarti bagi pemerintah kampung sama saja melawan atasannya namun di balik langkah prestisius tersebut negara selalu mengabaikan dampak sosial, lingkungan serta budaya atas izin telah mereka terbitkan,” urainya.
Ia menjelaskan PT Gunung Bayan Pratamacoal (GBPC) tergabung dengan PT Bayan Resourches adalah salah satu aktor yang turut memberikan kontribusi besar akan kehancuran di kawasan tersebut. Operasionalnya berdampingan dengan PT Lonsum merupakan perusahaan kelapa sawit. Kedua perusahaan ini telah mengambil 60 persen wilayah kelola masyarakat adat Kampung Muara Tae. “Gunung Bayan ini perusahaan PKP2B generasi kedua yang mendapat izin seluas 24.055 hektare selama 30 tahun dari pemerintah pusat. Izin itu diterbitkan sejak 1994. Kerakusan tambang tak hanya terhadap lahan tapi juga berimbas pada air. Kondisi ini berawal dari perusakan kawasan tangkapan dan resapan air digali batunya kemudian dilanjutkan kebutuhan air dalam jumlah besar untuk mencuci batu bara tersebut. Potret buram hancurnya sumber penghidupan warga bisa terlihat dari Sungai Nayan yang nasibnya semakin terancam. Padahal sungai itu salah satu sungai besar melintasi perkampungan Muara Tae dan kehadirannya sangat berperan penting. Selain menjadi sarana memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti mandi, cuci dan kakus serta kebutuhan memasak dan minum hingga ritual adat. Tapi kondisi itu sirna dan rusak serta air yang ada tak bisa dikonsumsi warga karena tercemar akibat aktivitas pertambangan batu bara tersebut,” katanya.
Margaretha Setting menambahkan penyebab sungai tersebut tak dapat dikonsumsi karena air Sungai Nayan tercemar air asam tambang. Hal Ini tak mengherankan jika sehari-hari warga dengan mudah bisa melihat kapur yang ikut larut di sungai. Sedangkan daya dukung Sungai Nayan semakin menurun tak lain akibat anak sungai yang menjadi sumber mata air dari Sungai Nayan ikut dihancurkan dan berganti menjadi lubang tambang.
“Mata air Telaga One, Telaga Batu, Sungai Jebor, Sungai Tengeliwas dan anak Sungai Telonyok telah diluluhlantakkan sejak kehadiran GBPC . Kini masih ada empat sumber air tersisa yakni Sungai Olukng, Gunung Mani, Gunung Penawang dan Sungai Melinau. Namun keberadaannya terancam atas rencana hadirnya tambang baru bernama PT Gemuruh Perkasa,” ungkap Margaretha.
Dampak dari kondisi itu menyebabkan Kaltim sebagai lumbung energi nasional diibaratkan seperti ayam mati di lumbung padi. Karena kehadiran PT Gunung Bayan tak menyelesaikan krisis energi dihadapi warga kampung. Melainkan membagi hasil produksinya untuk menerangi empat kampung dan sekitarnya yakni Desa Muara Tae, Gunung Bayan, Lempunah, Muara Nayan. Untuk menerangi negeri orang yang justru menjadi perhatian perusahaan ini. Setiap tahunnya GGBPC mengekspor 4 juta ton ke Jepang, Cina, Korea Selatan, India, wilayah Asia Tenggara serta Eropa. Kemudian India merupakan negara paling banyak memakai batu bara GBPC dengan persentase 26,4 persen. Ketimpangan memang terjadi dengan kampung di desa tersebut masih gelap gulita dan belum bisa menikmati penerangan listrik. Hal itu diatasi warga dengan menggunakan mesin genset dan harus merogoh kocek Rp8 ribu untuk BBM. “Selain terjadi gelap gulita kemerosotan pangan dan generasi suram juga terjadi. Dengan kawasan kelola tersisa hanya 40 persen praktis membuat warga Muara Tae menggantungkan kebutuhan pangannya dari luar. Tentu saja ini memengaruhi asupan gizi seharusnya terpenuhi di kampung ini. Sementara jaminan perlindungan warga akan kesehatan seringkali diabaikan pihak perusahaan. Ke depan 40 persen kawasan kelola masih tersisa akan digarap oleh PT Gemuruh Perkasa dan PT Borneo Surya Mining Jaya. Namun tak dilakukan evaluasi dampak dari kerusakan dan kehancuran telah ditimbulkan. Pemkab Kubar justru menerbitkan izin baru di kampung ini. Bahaya akan mengancam,” katanya. (ca)
sumber : www.korankaltim.co.id
“Masyarakat adat merupakan komunitas pertama yang terpinggirkan oleh industri ekstraktif. Karena itu pada 9 Agustus merupakan momentum bagi masyarakat adat di seluruh dunia memeringatinya dengan menggelar berbagai macam kegiatan. Seperti mengevaluasi gerakan mereka, menyerukan tuntutan mereka kepada dunia untuk memahami kondisi dan mengakui eksistensi mereka,” jelas Kahar.
Bahkan Kampung Muara Tae menjadi pusat pelaksanaan peringatan Hari Masyarakat Adat di Kaltim itu merupakan salah satu anggota Aman Kaltim. Karena masyarakat di desa itu berjuang dalam Kelompok Sempekat Pesuli Lati Tana Adat Takaq yang bertekad menjaga dan melestarikan hutan dan adat Dayak Benuaq.
“Muara Tae merupakan gambaran umum mewakili kondisi kesengsaraan, ketertindasan dan kemiskinan melingkupi masyarakat adat di Kaltim di tengah aksi pengerukan kekayaan alam oleh investor raksasa masuk ke kampung mereka. Bahkan di desa itu terdapat dua investor asing berskala internasional telah lama mengeruk kekayaan alam di kampung itu yakni perusahaan tambang batu bara PT Gunung Bayan dan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Lonsum,” ungkapnya.
Kondisi dialami warga desa yang dijanjikan kesejahteraan dari perusahaan nampaknya tak hanya mengancam mereka secara ekologi melainkan secara sosial budaya. Sebab berbagai permainan politik lokal mengancam kedaulatan mereka terhadap wilayah diwariskan nenek moyangnya.
“Atas nama pembangunan, cara pandang itulah yang acapkali disuarakan kala sebuah perusahaan mendapat izin operasi di sebuah kawasan. Sebuah kawasan terlihat ramah dan bersahabat bagi mereka menginginkan modernitas dan perubahan secara cepat. Namun menolak rencana beroperasinya sebuah perusahaan sama saja dengan tak menghendaki terjadinya pembangunan di wilayah tersebut. Hal ini berarti bagi pemerintah kampung sama saja melawan atasannya namun di balik langkah prestisius tersebut negara selalu mengabaikan dampak sosial, lingkungan serta budaya atas izin telah mereka terbitkan,” urainya.
Ia menjelaskan PT Gunung Bayan Pratamacoal (GBPC) tergabung dengan PT Bayan Resourches adalah salah satu aktor yang turut memberikan kontribusi besar akan kehancuran di kawasan tersebut. Operasionalnya berdampingan dengan PT Lonsum merupakan perusahaan kelapa sawit. Kedua perusahaan ini telah mengambil 60 persen wilayah kelola masyarakat adat Kampung Muara Tae. “Gunung Bayan ini perusahaan PKP2B generasi kedua yang mendapat izin seluas 24.055 hektare selama 30 tahun dari pemerintah pusat. Izin itu diterbitkan sejak 1994. Kerakusan tambang tak hanya terhadap lahan tapi juga berimbas pada air. Kondisi ini berawal dari perusakan kawasan tangkapan dan resapan air digali batunya kemudian dilanjutkan kebutuhan air dalam jumlah besar untuk mencuci batu bara tersebut. Potret buram hancurnya sumber penghidupan warga bisa terlihat dari Sungai Nayan yang nasibnya semakin terancam. Padahal sungai itu salah satu sungai besar melintasi perkampungan Muara Tae dan kehadirannya sangat berperan penting. Selain menjadi sarana memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti mandi, cuci dan kakus serta kebutuhan memasak dan minum hingga ritual adat. Tapi kondisi itu sirna dan rusak serta air yang ada tak bisa dikonsumsi warga karena tercemar akibat aktivitas pertambangan batu bara tersebut,” katanya.
Margaretha Setting menambahkan penyebab sungai tersebut tak dapat dikonsumsi karena air Sungai Nayan tercemar air asam tambang. Hal Ini tak mengherankan jika sehari-hari warga dengan mudah bisa melihat kapur yang ikut larut di sungai. Sedangkan daya dukung Sungai Nayan semakin menurun tak lain akibat anak sungai yang menjadi sumber mata air dari Sungai Nayan ikut dihancurkan dan berganti menjadi lubang tambang.
“Mata air Telaga One, Telaga Batu, Sungai Jebor, Sungai Tengeliwas dan anak Sungai Telonyok telah diluluhlantakkan sejak kehadiran GBPC . Kini masih ada empat sumber air tersisa yakni Sungai Olukng, Gunung Mani, Gunung Penawang dan Sungai Melinau. Namun keberadaannya terancam atas rencana hadirnya tambang baru bernama PT Gemuruh Perkasa,” ungkap Margaretha.
Dampak dari kondisi itu menyebabkan Kaltim sebagai lumbung energi nasional diibaratkan seperti ayam mati di lumbung padi. Karena kehadiran PT Gunung Bayan tak menyelesaikan krisis energi dihadapi warga kampung. Melainkan membagi hasil produksinya untuk menerangi empat kampung dan sekitarnya yakni Desa Muara Tae, Gunung Bayan, Lempunah, Muara Nayan. Untuk menerangi negeri orang yang justru menjadi perhatian perusahaan ini. Setiap tahunnya GGBPC mengekspor 4 juta ton ke Jepang, Cina, Korea Selatan, India, wilayah Asia Tenggara serta Eropa. Kemudian India merupakan negara paling banyak memakai batu bara GBPC dengan persentase 26,4 persen. Ketimpangan memang terjadi dengan kampung di desa tersebut masih gelap gulita dan belum bisa menikmati penerangan listrik. Hal itu diatasi warga dengan menggunakan mesin genset dan harus merogoh kocek Rp8 ribu untuk BBM. “Selain terjadi gelap gulita kemerosotan pangan dan generasi suram juga terjadi. Dengan kawasan kelola tersisa hanya 40 persen praktis membuat warga Muara Tae menggantungkan kebutuhan pangannya dari luar. Tentu saja ini memengaruhi asupan gizi seharusnya terpenuhi di kampung ini. Sementara jaminan perlindungan warga akan kesehatan seringkali diabaikan pihak perusahaan. Ke depan 40 persen kawasan kelola masih tersisa akan digarap oleh PT Gemuruh Perkasa dan PT Borneo Surya Mining Jaya. Namun tak dilakukan evaluasi dampak dari kerusakan dan kehancuran telah ditimbulkan. Pemkab Kubar justru menerbitkan izin baru di kampung ini. Bahaya akan mengancam,” katanya. (ca)
sumber : www.korankaltim.co.id
No comments :
Post a Comment