Sebanyak 26 grafis, masing-masing 12 gambar kehidupan di sepanjang Sungai Barito dan 14 di Sungai Kahayan, dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta, 2-10 Februari 2010. Karya grafis asli yang memiliki ukuran kecil 13 x 23 sentimeter itu diperbesar dengan teknik cetak digital untuk kemudian dipamerkan kepada masyarakat.
Mieling melukiskan berbagai kehidupan masyarakat, seperti tarian kaum laki-laki dari suku Ot Danom yang berdiam di wilayah utara Kapuas. Sejumlah lelaki setempat melakukan upacara yang disebut babangsai dengan mengitari sebuah totem atau patung nenek moyang. Upacara yang dilakukan di halaman rumah adat itu menggunakan penerangan api unggun.
Tidak hanya itu, Mieling juga melukiskan bagaimana para dukun (balian) berusaha menyembuhkan wanita sakit. Di Borneo, dukun menjadi perantara antara roh dari alam gaib dan wanita di dunia nyata. Dalam proses penyembuhan, dukun memulainya dengan tarian, dengan memberikan benda kesukaan para roh untuk ditukar dengan penyakit yang diderita si perempuan.
Tambang
Perhatian Mieling tidak semata-mata ditujukan pada budaya dan tarian. Aktivitas masyarakat dalam melakukan penambangan intan tradisional juga tidak lepas dari perhatiannya. Penambangan emas di Martapura, misalnya. Dalam grafis terkait, digambarkan bagaimana 13 orang mendulang emas di sungai dengan latar belakang alam dan rumah-rumah tradisional. Hingga kini Martapura di Kalimantan Selatan mendapat julukan sebagai Kota Intan.
Selain itu, ada juga aktivitas penyeberangan masyarakat di Sungai Barito. Sejumlah masyarakat dengan perahu kecil, tetapi panjang, sejenis jukung, berpapasan dengan perahu lain yang berbentuk mirip rakit kayu, tetapi di atasnya terdapat bangunan mirip rumah. Alat penyeberangan seperti ini mampu memuat banyak penumpang.
Tidak berhenti sampai di situ, Mieling juga menggambarkan bagaimana pakaian kebesaran seorang Sultan Banjar pada masa itu. Sultan Banjar mengenakan jas berenda emas dan ikat kepala. Sultan membawa keris pusaka dari emas, sedangkan anak buahnya hanya membawa benda kesukaan sultan, seperti tempat kinang, tempat air, dan payung.
Apa yang digambarkan Mieling menunjukkan Kalimantan saat itu sangat kaya, bukan saja oleh kebudayaan, tetapi juga sumber daya alam. Kekayaan itu tersebar di gunung, sungai, kampung air (rawa), bahkan hingga pedalaman tempat suku dayak bermukim.
Kini, perlahan, tetapi pasti, kerakusan manusia telah menggerogoti kekayaan dan semua keindahan itu. Kalimantan mirip kulit bopeng akibat penambangan, terutama batu bara. Cekungan-cekungan lebar bekas tambang batu bara ditinggalkan begitu saja hingga menjadi danau.
”Melalui lukisan ini, kita bisa membayangkan bagaimana tanah yang indah ini telah diobrak-abrik tambang. Hutannya menjadi gundul habis-habisan,” kata Sindhunata, kurator seni.
Kerusakan alam Kalimantan dirasakan Rokhyat, seniman asli Suku Banjar yang menggagas kegiatan.
Menurut Rokhyat, gunung yang terlihat masih utuh satu bulan lalu tidak mustahil saat ini telah berubah menjadi cekungan. Masyarakat pun tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, mereka kerap menjadi kambing hitam apabila ada kerusakan lingkungan di sekitarnya.
Entah ke mana perginya para perusak hutan dengan hasil jarahannya? Kemolekan Borneo kini tinggal di lukisan grafis saja. (WER)
sumber : Kompas.com
No comments :
Post a Comment