Dulu seorang Damong Adat begitu sangat dihormati dan dihargai sebagai penjaga identitas di wilayah kedaulatan adatnya. Petuah-petuah yang disampaikannya pun begitu sangat ditaati oleh warga komunitasnya. Menjadi seorang Damong bukanlah sebuah jabatan atau pengakuan semata tanpa pertimbangan yang khusus. Damong Adat harus memiliki kriteria yang dianggap mampu membawa keberlangsungan dan menjaga keberlangsungan adat dan tradisi dalam komunitasnya. Oleh karena itu, syarat untuk seseorang yang bisa menjadi Damong haruslah orang yang Becangkam Landas Beliur Bisaq (memiliki karisma), rela berkorban dan tidak menuntut imbalan atas jasanya atau dengan kata lain digaji.
Dalam hal perkara adat misalnya, sosok Damong Adat ini sangat dibutuhkan dalam menjaga nilai-nilai demokratisasi. Karena yang berhak mengadakan sidang hukum adat atau perkara adat adalah pengurus adat atau Damong Adat yang diangkat komunitasnya. Damong adat tersebut tahu semua hal tentang hukum adat karena memang itulah syarat mutlak yang dimiliki seorang Damong Adat. Bahkan kalau sampai Damong Adat tidak ada atau tidak bisa datang, perkara adat tersebut tidak dapat dilaksanakan atau ditunda untuk mengambil sebuah keputusan. Begitu pula dalam setiap proses pelaksanaan upacara adat, peran Damong Adat begitu besar. Sehingga dengan sangat besarnya peran yang dimiliki ini, warga kampung pun sangat tanggap dan selalu berpartisipasi, baik itu berupa tenaga, dukungan materi (bahan-bahan ritual adat), waktu, maupun pikiran.
Namun sangat ironis pada kondisi saat ini, hampir sebagian besar di komunitas orang Dayak, seorang Damong Adat kini hampir-hampir tidak ada perannya lagi. Gaungnya kalah jauh dibandingkan dengan peran dan kepopuleran lembaga-lembaga adat yang pembentukan dan pemilihannya tidak lagi mengutamakan prinsip-prinsip yang seyogyanya berlaku dalam pembentukan dan pemilihan seorang Damong Adat pada setiap komunitas Dayak.
Sebut saja lembaga-lembaga adat seperti Majelis Adat Dayak (MAD), Dewan Adat Dayak (DAD), dan seorang Kepala Desa ataupun Kepala Dusun yang sudah merasuki ke seluruh elemen kehidupan sosial kemasyarakatan. Dampaknya, saat ini mekanisme pemilihan Damong Adat sudah ada yang tidak lagi secara langsung dipilih oleh warga komunitasnya. Justru, ada Damong Adat yang secara langsung dipilih dan ditentukan secara sepihak oleh Pemerintah tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan warga kampung sesuai mekanisme pemilihannya. Kemudian aspek yang berkaitan dengan kebijakan penggabungan beberapa kampung menjadi satu Desa juga, sangat membatasi gerak dan peran Damong Adat. Setelah wilayah kekuasaan dipersempit, dimunculkanlah beberapa organisasi “tandingan” oleh Pemerintah Daerah tanpa melibatkan masyarakat komunitas, seperti DAD Desa, DAD Kecamatan, DAD Kabupaten. Tidak mengherankan sehingga kemudian terjadilah tumpang tindih kekuasaan, kebingungan, dan saling menunggu dalam menerapkan hukum adat. Hal ini sangat berpengaruh terhadap otoritas dan eksistensi Damong Adat.
Di komunitas Dayak Simpakng fakta ini sudah terjadi. Ketika benua Simpakng dipecah menjadi dua wilayah administratif, yakni Kecamatan Simpang Hulu dan Kecamatan Simpang Dua, otoritas Damong semakin terlupakan, bahkan dalam proses pemilihan kepala adat (Patinggi), pun mulai menjauh dari mekanisme pemilihan yang sebenarnya. Pemilihannya sarat dengan manupulasi, intervensi dan tak ubahnya seperti pemilihan politik untuk menentukan wakil rakyat baik ditingkat legislatif maupun eksekutif. Otoritas Damong Adat semakin terlupakan seiring dengan pengaruh-pengaruh ekseternal seperti kemajuan informasi dan komunikasi yang tidak berimbang, pendidikan yang terpaku pada kurikulum nasional, dan agama yang memporakporandakan tatanan nilai-nilai budaya lokal menjadi faktor penentu dalam keberlangsungan identitas asli masyarakat Simpakng. Kondisi ini juga terjadi di daerah dimana komunitas Dayak secara turun temurun hidup dengan tradisi leluhurnya yang saat ini berada dalam situasi kegamangan.
Selain itu juga, seringkali ditemukan kata-kata sakti yang selalu dipakai atau dijadikan senjata oleh pihak pemerintah dan Investor untuk menakut-nakuti dan mengalahkan peran Damong Adat yakni bahwa Hukum adat tidak diakui dalam negara Indonesia dan tidak diakui dalam sistem hukum di Indonesia. Hukum Adat selalu dibenturkan dengan Hukum Negara. Hukum adat disebut hukum negatif bukan hukum positif. Sehingga, Damong Adat terutama yang belum mendapat pengetahuan secara memadai tentang hukum negara, sering takut atau ragu-ragu menerapkan hukum adat kepada pihak luar yang merampas hak-hak mereka.
Dampaknya pun sangat terasa dalam kehidupan masyarakat adat Dayak dimana pun saat ini. Otoritas Damong Adat semakin terpinggirkan, tidak ditaati sehingga kepercayaan terhadap Damong Adat semakin terkikis dan menjauhi segala aturan-aturan adat yang berlaku. Tidak heran jika ada kasus-kasus yang sebenarnya bisa diselesaikan ditingkat Damong Adat harus menunggu DAD terlebuh dahulu atau dibawa kekepolisian atau ke pengadilan. Begitu pula dalam setiap proses upacara adat, banyak warga kampung yang tidak lagi mengikuti sampai habis. Datang sebentar lalu pulang. Padahal dalam upacara-upacara adat tersebut akan ditetapkan tentang pantang pantiq atau aturan adat mana yang harus ditaati. Dan yang sangat memprihatinkan lagi, jika ada upacara adat dan perkara adat justru yang ditunggu-tunggu dan dinanti-nanti kedatangannya adalah seorang Kepala Desa, kepala dusun dan DAD. Damong Adat yang sesungguhnya pun semakin dilupakan karena posisi mereka dijadikan bagian dari struktural keberadaan lembaga-lembaga tersebut, padahal keberadaan damong-damong adat ini independen, sehingga segala keputusan dan keberlangsungan adat istiadat didalam lingkup komunitasnya menjadi tanggung jawab dan wewenangnya sendiri bukan harus tergantung pada keberadaan lembaga-lembaga adat itu.
Fenomena inilah yang kemudian menjadi dilema kebanyakan para Damong Adat. Derasnya arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, semakin membiaskan keberadaan para Damong Adat. Ditambah lagi dengan keberadaan lembaga-lembaga adat yang begitu diagung-agungkan justru semakin mengebiri identitas orang Dayak itu sendiri. Di beberapa daerah ada pengurus DAD yang memanfaatkan posisinya bekerjasama dengan para investor untuk menyosialisasikan perusahaan perkebunan dan pertambangan dan meminta agar warga masyarakat Dayak mau menerima agenda bisnis berkedok kesejahteraan ini dan menyerahkan tanahnya dengan nilai yang sangat murah. Ada indikasi, oknum dari pengurus DAD itu disogok oleh pihak investor agar keinginan bisa terwujud. Hal seperti itu bisa saja terjadi, karena lembaga-lembaga adat tersebut sangat strategis dan dianggap representatif dalam menggoyah keteguhan hati orang Dayak dalam mempertahankan kedaulatan wilayah adatnya yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka.
Di Indonesia, sesungguhnya keberadaan hukum adat diakui. Dalam penjelasan UUD 1945 (hasil amandemen), pasal 18 B ayat 2, pasal 28I ayat 3 UUD 1945, UUD RIS 1949 pasal 146, Tap MPR No IX/2001 pasal 4 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA huruf j, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 6, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 2 ayat 9, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 3, UU No 41/1999 tentang Kehutanan pasal 4 ayat 3, UU No. 7/2004 tentang sumber Daya Air pasal 6 ayat 3, UU No 18/2004 tentang perkebunan pasal 9 ayat 2, UU No. 14 tahun 1974 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 23 ayat 1 dan pasal 27 ayat 1, UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 pasal 3 dan 5, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1. Berdasarkan peraturan tersebut, memberi pemahaman bahwa sebenarnya secara yuridis atau hukum, hukum adat itu diakui oleh Negara. Tinggal kini mau atau tidaknya pihak pemerintah dan investor untuk menerapkan pengakuan secara de facto terhadap hukum adat dan Damong Adat sendiri tidak lagi merasa takut dan tergantung pada pihak luar dalam melaksanakan aturan adat. Ada saling keterkaitan antara Hukum adat dan Damong Adat. Kalau Damong Adat dibatasi perannya, maka hukum adat juga akan dibatasi. Dan, kalau Hukum Adat tidak diakui maka Damong Adat tidak akan memiliki peran lagi.
Keberadaan lembaga adat dikalangan masyarakat Dayak memang begitu penting karena mengatur hajat hidup masyarakatnya, namun akhir-akhir ini pergeseran nilai dan manfaat yang terjadi telah menafikan sisi positif dari lembaga adat tersebut. Faktor-faktor seperti tidak becusnya para pemangku adat, ditungganginya DAD oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak diakuinya lembaga adat lokal telah membuat gaung hukum adat semakin kecil. Risih rasanya melihat para tokoh adat Dayak yang hanya memperjuangkan isi dompetnya sendiri dan berkonspirasi terhadap kasus-kasus yang merugikan masyarakat Dayak. Dewan Adat Dayak yang memiliki kekuatan cukup besar dalam kehidupan sosial masyarakat Dayak ternyata hanyalah tameng bagi pemerintah dan pemilik modal, mereka tidak lagi murni memperjuangkan hak-hak masyarakat Dayak dan menjadi pengayom hukum daerah melainkan telah bergeser fungsi dan manfaat. (*FL & AP)
sumber : www.franslakon.blogspot.com
Dalam hal perkara adat misalnya, sosok Damong Adat ini sangat dibutuhkan dalam menjaga nilai-nilai demokratisasi. Karena yang berhak mengadakan sidang hukum adat atau perkara adat adalah pengurus adat atau Damong Adat yang diangkat komunitasnya. Damong adat tersebut tahu semua hal tentang hukum adat karena memang itulah syarat mutlak yang dimiliki seorang Damong Adat. Bahkan kalau sampai Damong Adat tidak ada atau tidak bisa datang, perkara adat tersebut tidak dapat dilaksanakan atau ditunda untuk mengambil sebuah keputusan. Begitu pula dalam setiap proses pelaksanaan upacara adat, peran Damong Adat begitu besar. Sehingga dengan sangat besarnya peran yang dimiliki ini, warga kampung pun sangat tanggap dan selalu berpartisipasi, baik itu berupa tenaga, dukungan materi (bahan-bahan ritual adat), waktu, maupun pikiran.
Namun sangat ironis pada kondisi saat ini, hampir sebagian besar di komunitas orang Dayak, seorang Damong Adat kini hampir-hampir tidak ada perannya lagi. Gaungnya kalah jauh dibandingkan dengan peran dan kepopuleran lembaga-lembaga adat yang pembentukan dan pemilihannya tidak lagi mengutamakan prinsip-prinsip yang seyogyanya berlaku dalam pembentukan dan pemilihan seorang Damong Adat pada setiap komunitas Dayak.
Sebut saja lembaga-lembaga adat seperti Majelis Adat Dayak (MAD), Dewan Adat Dayak (DAD), dan seorang Kepala Desa ataupun Kepala Dusun yang sudah merasuki ke seluruh elemen kehidupan sosial kemasyarakatan. Dampaknya, saat ini mekanisme pemilihan Damong Adat sudah ada yang tidak lagi secara langsung dipilih oleh warga komunitasnya. Justru, ada Damong Adat yang secara langsung dipilih dan ditentukan secara sepihak oleh Pemerintah tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan warga kampung sesuai mekanisme pemilihannya. Kemudian aspek yang berkaitan dengan kebijakan penggabungan beberapa kampung menjadi satu Desa juga, sangat membatasi gerak dan peran Damong Adat. Setelah wilayah kekuasaan dipersempit, dimunculkanlah beberapa organisasi “tandingan” oleh Pemerintah Daerah tanpa melibatkan masyarakat komunitas, seperti DAD Desa, DAD Kecamatan, DAD Kabupaten. Tidak mengherankan sehingga kemudian terjadilah tumpang tindih kekuasaan, kebingungan, dan saling menunggu dalam menerapkan hukum adat. Hal ini sangat berpengaruh terhadap otoritas dan eksistensi Damong Adat.
Di komunitas Dayak Simpakng fakta ini sudah terjadi. Ketika benua Simpakng dipecah menjadi dua wilayah administratif, yakni Kecamatan Simpang Hulu dan Kecamatan Simpang Dua, otoritas Damong semakin terlupakan, bahkan dalam proses pemilihan kepala adat (Patinggi), pun mulai menjauh dari mekanisme pemilihan yang sebenarnya. Pemilihannya sarat dengan manupulasi, intervensi dan tak ubahnya seperti pemilihan politik untuk menentukan wakil rakyat baik ditingkat legislatif maupun eksekutif. Otoritas Damong Adat semakin terlupakan seiring dengan pengaruh-pengaruh ekseternal seperti kemajuan informasi dan komunikasi yang tidak berimbang, pendidikan yang terpaku pada kurikulum nasional, dan agama yang memporakporandakan tatanan nilai-nilai budaya lokal menjadi faktor penentu dalam keberlangsungan identitas asli masyarakat Simpakng. Kondisi ini juga terjadi di daerah dimana komunitas Dayak secara turun temurun hidup dengan tradisi leluhurnya yang saat ini berada dalam situasi kegamangan.
Selain itu juga, seringkali ditemukan kata-kata sakti yang selalu dipakai atau dijadikan senjata oleh pihak pemerintah dan Investor untuk menakut-nakuti dan mengalahkan peran Damong Adat yakni bahwa Hukum adat tidak diakui dalam negara Indonesia dan tidak diakui dalam sistem hukum di Indonesia. Hukum Adat selalu dibenturkan dengan Hukum Negara. Hukum adat disebut hukum negatif bukan hukum positif. Sehingga, Damong Adat terutama yang belum mendapat pengetahuan secara memadai tentang hukum negara, sering takut atau ragu-ragu menerapkan hukum adat kepada pihak luar yang merampas hak-hak mereka.
Dampaknya pun sangat terasa dalam kehidupan masyarakat adat Dayak dimana pun saat ini. Otoritas Damong Adat semakin terpinggirkan, tidak ditaati sehingga kepercayaan terhadap Damong Adat semakin terkikis dan menjauhi segala aturan-aturan adat yang berlaku. Tidak heran jika ada kasus-kasus yang sebenarnya bisa diselesaikan ditingkat Damong Adat harus menunggu DAD terlebuh dahulu atau dibawa kekepolisian atau ke pengadilan. Begitu pula dalam setiap proses upacara adat, banyak warga kampung yang tidak lagi mengikuti sampai habis. Datang sebentar lalu pulang. Padahal dalam upacara-upacara adat tersebut akan ditetapkan tentang pantang pantiq atau aturan adat mana yang harus ditaati. Dan yang sangat memprihatinkan lagi, jika ada upacara adat dan perkara adat justru yang ditunggu-tunggu dan dinanti-nanti kedatangannya adalah seorang Kepala Desa, kepala dusun dan DAD. Damong Adat yang sesungguhnya pun semakin dilupakan karena posisi mereka dijadikan bagian dari struktural keberadaan lembaga-lembaga tersebut, padahal keberadaan damong-damong adat ini independen, sehingga segala keputusan dan keberlangsungan adat istiadat didalam lingkup komunitasnya menjadi tanggung jawab dan wewenangnya sendiri bukan harus tergantung pada keberadaan lembaga-lembaga adat itu.
Fenomena inilah yang kemudian menjadi dilema kebanyakan para Damong Adat. Derasnya arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, semakin membiaskan keberadaan para Damong Adat. Ditambah lagi dengan keberadaan lembaga-lembaga adat yang begitu diagung-agungkan justru semakin mengebiri identitas orang Dayak itu sendiri. Di beberapa daerah ada pengurus DAD yang memanfaatkan posisinya bekerjasama dengan para investor untuk menyosialisasikan perusahaan perkebunan dan pertambangan dan meminta agar warga masyarakat Dayak mau menerima agenda bisnis berkedok kesejahteraan ini dan menyerahkan tanahnya dengan nilai yang sangat murah. Ada indikasi, oknum dari pengurus DAD itu disogok oleh pihak investor agar keinginan bisa terwujud. Hal seperti itu bisa saja terjadi, karena lembaga-lembaga adat tersebut sangat strategis dan dianggap representatif dalam menggoyah keteguhan hati orang Dayak dalam mempertahankan kedaulatan wilayah adatnya yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka.
Di Indonesia, sesungguhnya keberadaan hukum adat diakui. Dalam penjelasan UUD 1945 (hasil amandemen), pasal 18 B ayat 2, pasal 28I ayat 3 UUD 1945, UUD RIS 1949 pasal 146, Tap MPR No IX/2001 pasal 4 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA huruf j, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 6, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 2 ayat 9, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 3, UU No 41/1999 tentang Kehutanan pasal 4 ayat 3, UU No. 7/2004 tentang sumber Daya Air pasal 6 ayat 3, UU No 18/2004 tentang perkebunan pasal 9 ayat 2, UU No. 14 tahun 1974 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 23 ayat 1 dan pasal 27 ayat 1, UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 pasal 3 dan 5, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1. Berdasarkan peraturan tersebut, memberi pemahaman bahwa sebenarnya secara yuridis atau hukum, hukum adat itu diakui oleh Negara. Tinggal kini mau atau tidaknya pihak pemerintah dan investor untuk menerapkan pengakuan secara de facto terhadap hukum adat dan Damong Adat sendiri tidak lagi merasa takut dan tergantung pada pihak luar dalam melaksanakan aturan adat. Ada saling keterkaitan antara Hukum adat dan Damong Adat. Kalau Damong Adat dibatasi perannya, maka hukum adat juga akan dibatasi. Dan, kalau Hukum Adat tidak diakui maka Damong Adat tidak akan memiliki peran lagi.
Keberadaan lembaga adat dikalangan masyarakat Dayak memang begitu penting karena mengatur hajat hidup masyarakatnya, namun akhir-akhir ini pergeseran nilai dan manfaat yang terjadi telah menafikan sisi positif dari lembaga adat tersebut. Faktor-faktor seperti tidak becusnya para pemangku adat, ditungganginya DAD oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak diakuinya lembaga adat lokal telah membuat gaung hukum adat semakin kecil. Risih rasanya melihat para tokoh adat Dayak yang hanya memperjuangkan isi dompetnya sendiri dan berkonspirasi terhadap kasus-kasus yang merugikan masyarakat Dayak. Dewan Adat Dayak yang memiliki kekuatan cukup besar dalam kehidupan sosial masyarakat Dayak ternyata hanyalah tameng bagi pemerintah dan pemilik modal, mereka tidak lagi murni memperjuangkan hak-hak masyarakat Dayak dan menjadi pengayom hukum daerah melainkan telah bergeser fungsi dan manfaat. (*FL & AP)
sumber : www.franslakon.blogspot.com
No comments :
Post a Comment