"Tradisi buka lahan dengan cara membakar itu sudah ada sejak nenek moyang kami ada di sini. Itu bukan untuk merusak hutan. Nenek moyang kami mengajarkan bagaimana caranya membuka lahan yang aman," kata Felisianus Kimsong, tetua adat Subsuku Gajekng di Kecamatan Samalantan, Kabupaten Bengkayang.
Masyarakat Dayak Kendayan mengakui, abu pembakaran batang-batang pohon di lahan yang akan dibuka itu sangat cocok menjadi pupuk alami. Hasil pertaniannya tetap bagus walaupun hanya menggunakan pupuk alami dari abu itu.
"Makanya, kami biasanya meninggalkan lahan itu setelah satu musim, lalu kembali lagi setelah tujuh atau delapan tahun kemudian. Saat itu, lahan sudah kembali rimbun dan kami membakarnya lagi," kata Kimsong.
Bersama-sama
Nataki biasanya dilakukan bersama-sama oleh satu kelompok masyarakat. Caranya dengan merobohkan pepohonan, belukar, atau ilalang di sekeliling lahan yang hendak dibakar. Lebar batas api itu antara 3 hingga 5 meter. Nataki diperlukan agar api tidak nyangkit atau menyambar lahan di luar kawasan yang hendak dibuka untuk bertani.
Setelah dirobohkan, ilalang atau belukar biasanya disapu ke arah lahan yang hendak dibakar. Itu dilakukan supaya batas api itu benar-benar bersih. Pekerjaan itu tidak mudah karena pembersihan batas api harus dilakukan di sekeliling lahan. Padahal, lahan yang dibuka kadang kala hingga beberapa hektar sekaligus jika akan dikerjakan bersama oleh beberapa petani sekaligus.
Setelah batas api bersih, mereka baru memulai membakar lahan. Sebelum membakar lahan, mereka biasanya juga mengamati arah angin. Mereka akan membakar searah tiupan angin, tetapi ujung lahan biasanya sudah dibakar sedikit supaya jika tiba-tiba angin membesar, api tidak keluar dari batas api.
Masyarakat baru akan menanami lahan, baik untuk tanaman pangan maupun sayur-sayuran, setelah tiga atau empat hari lahan dibakar. Saat itu, abu sudah mengendap dan petani bisa mulai menanam.
Atus, warga adat Subsuku Capkala di Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang, mengatakan, pembukaan lahan dengan cara nataki masih dipegang teguh oleh masyarakat Dayak Kendayan. Dulu, tradisi buka lahan itu dirangkai dengan berbagai upacara adat. "Kini, walaupun tak semuanya dirangkai dengan upacara adat yang rumit, nataki masih tetap dilakukan," kata Atus.
Masyarakat adat umumnya masih patuh terhadap hukum adat terkait pembakaran lahan. Siapa pun warga adat yang diketahui membakar lahan dengan sengaja dan mengakibatkan kebakaran hebat akan terkena denda adat. Selain itu, warga tersebut juga akan diajukan ke penegak hukum untuk mendapatkan hukum pidana.
Kearifan lokal
Staf pengajar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, M Iqbal Djajadi, mengatakan, masyarakat Dayak di Kalimantan Barat termasuk etnis yang memiliki banyak kearifan lokal. Sayangnya, kearifan lokal itu sering dibenturkan oleh ketidakarifan nasional dan global.
Masuknya investor nasional dan internasional ke Kalimantan Barat dalam satu sisi menjadi semacam ketidakarifan bagi masyarakat lokal. "Walaupun diakui ada banyak manfaat, masuknya investasi besar-besaran dan migrasi masyarakat luar ke Kalimantan Barat telah mengancam eksistensi kearifan lokal masyarakat," kata Djajadi, dalam Kongres Kebudayaan Kalbar di Kabupaten Ketapang beberapa waktu lalu.
Ketidakarifan nasional dan global dalam kaitannya dengan kearifan lokal membuka lahan termanifestasi dalam adopsi cara membakar lahan yang salah. Tidak sedikit perusahaan yang membuka lahan di Kalimantan Barat dengan cara membakar lahan. Tanpa membuat batas api, perusahaan-perusahaan itu membakar lahan. Akibatnya, kebakaran meluas.
"Dulu pernah ada perusahaan yang membakar lahan hingga mengakibatkan kebakaran hingga ratusan hektar. Itu karena perusahaan mengabaikan cara membuka lahan seperti yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Kendayan," kata Atus.sumber : Kompas.com
No comments :
Post a Comment