BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Monday, May 31, 2010

SEJARAH KAPUAS HULU PADA ZAMAN BELANDA

Sejumlah pegunungan yang membentang di Kabupaten Kapuas Hulu, serupa Schwaner dan Muller, ternyata diabadikan dari nama sejumlah pelaku ekspedisi berkebangsaan asing pertengahan abad XIX di daerah itu.


Wilayah perbatasan antara Kapuas dan Mahakam merupakan salah satu wilayah yang paling terpencil di Borneo. Di sebelah timur, daerah Mahakam Hulu, yang terisolasi oleh jeram-jeram yang sangat berbahaya, di mana suku Kayan-Mahakam, suku Busang termasuk sub suku Uma Suling dan lain-lain serta suku Long Gelat sebuah sub suku dari Modang menempati daratan-daratan yang subur, sedangkan suku Aoheng mendiami daerah berbukit-bukit. Di sebelah barat, daerah Kapuas Hulu dengan kota niaga kecil Putussibau, dikelilingi oleh desa-desa Senganan, Taman dan Kayan. Lebih ke hulu lagi, dua desa kecil Aoheng dan Semukng. Di antara keduanya, sebuah barisan pegunungan yang besar mencapai ketinggian hampir 2000 meter didiami oleh suku nomad Bukat atau Bukot dan Kereho atau Punan Keriu, serta suku semi nomad Hovongan atau Punan Bungan.

Orang asing pertama yang mencapai dan melintasi pegunungan ini adalah Mayor Georg Muller, seorang perwira zeni dari tentara Napoleon I yang sesudah Waterloo masuk dalam pamongpraja Hindia Belanda. Mewakili pemerintah kolonial, ia membuka hubungan resmi dengan sultan-sultan di pesisir timur Borneo. Pada tahun 1825, kendati Sultan Kutai enggan membiarkan tentara Belanda memasuki wilayahnya, Muller memudiki Sungai Mahakam dengan belasan serdadu Jawa. Hanya satu serdadu Jawa yang dapat mencapai pesisir barat. Berita kematian Muller menyulut kontroversi yang berlangsung sampai tahun 1850-an dan dihidupkan kembali sewaktu-waktu setiap kali informasi baru muncul. Sampai tahun 1950-an pengunjung-pengunjung daerah itu pun masih juga menanyakan nasib Muller.

Bahkan sampai hari ini hal-hal sekitar kematian Muller belum juga terpecahkan. Diperkirakan Muller telah mencapai kawasan Kapuas Hulu dan dibunuh sekitar pertengahan November 1825 di Sungai Bungan, mungkin di jeram Bakang tempat ia harus membuat sampan guna menghiliri Sungai Kapuas. Sangat mungkin bahwa pembunuhan Muller dilakukan atas perintah Sultan Kutai, disampaikan secara berantai dari satu suku kepada suku berikutnya di sepanjang Mahakam dan akhirnya dilaksanakan oleh sebuah suku setempat, barangkali suku Aoheng menurut dugaan Nieuwenhuis. Karena Muller dibunuh di pengaliran Sungai Kapuas, dengan sendirinya sultan tidak dapat dituding sebagai pihak yang bertanggungjawab. Bagaimanapun, ketika ekspedisi Niewenhuis berhasil melintasi daerah perbatasan hampir 70 tahun kemudian, pada hari nasional Perancis tahun 1894, barisan pegunungan ini diberi nama Pegunungan Muller. Menjelang pertengahan abad XIX, Belanda telah berhasil menguasai daerah-daerah.

sumber : www.kapuashulukab.go.id

Monday, May 24, 2010

Dange, Ritual Pasca Panen Dayak Kayaan

By Edi Petebang and D.Uyub

Musik sape’ mengiringi tarian para pria dan perempuan dengan pakaian adat yang sangat indah. Beraneka ragam minuman dan makanan dihidangkan. Semua orang bergembira. Riuh pesta itu selalu terjadi setiap bulan Mei dan Juni sejak ratusan tahun silam. Itulah pesta ritual Dange orang Dayak Kayaan di sungai Mendalam, Putusibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Dalam pesta dange semua orang Kayaan berkumpul dan itulah saat mereka menunjukkan keterampilan seni menyanyi, memainkan alat musik sape’ (sejenis gitar-Red.), menari dan pakaian adat disertai asesori yang indah.

Dange dirayakan sehabis panen padi ladang sebagai ungkapan syukur atas tahun padi yang telah berjalan, sekaligus doa permohonan untuk tahun padi berikutnya.

Upacara dange dilengkapi sebuah pondok yang disebut Dange Uma’ Pagung. Prosesi awal dange adalah mendirikan pondok itu. Seluruh prosesi ritual pesta dange dipimpin oleh Dayung (pemimpin upacara. “Dayung haruslah keturunan seorang Hipui, semacam keturunan bangsawan dalam masyarakat lain,”ungkap Hermanus Abeh, puteraKayaan dari Mendalam. Fungsi Dayung adalah perantara masyarakat dengan Tuhan mereka. Dayung mempunyai peranan yang amat penting, yaitu menyampaikan maksud warga secara simbolis.

Dange memerlukan dua hari persiapan. Pada hari ketiga barulah ritual dilaksanakan, yang dibuka dengan ngaraang bakaat (tarian perang-Red) sejak pagi. Jaman dahulu, penari itu haruslah orang yang pernah membunuh atau mendapat kepala kayau; kecuali Dayung hipui yang memimpin.

Gerakan tarian ini empat kali ngaju’ (mengambil ancang-ancang) empat kali mulu (menombak). Setelah itu baru lah mitang (memotong) kayu senggalaang sama seperti cara mulu. Penari bakaat ini di beri usut (upah). Dulu, upahnya sebuah gong sebesar lima kilan atau satu buah haruk (perahu-Red) yang di keluarkan oleh orang yang di mela (pembersihan badan) dalam dange.

Setelah karang bakaat selesai, hari keempat sejak 09.00 WIBA dilanjutkan ngiaan (tarian yang mengeliling babi yang akan di sembelih) sebanyak delapan putaran. Penarinya enam belas remaja putri dan seorang Dayung. “Dulu dange sampai tujuh hari namun kini hanya dua hari. Bahkan pernah hilang karena pengaruh luar,”tambah Abeh.

Akhir prosesi dange adalah penyembelihan babi. Babi dihitung berdasarkan jumlah bilik sebetang raya (sekampung-Red). Setelah itu dilanjutkan dengan mela (pembersihan badan dengan mengunakan darah babi yang baru di sembelih dengan daun havaang. Tradisi lisan Kayaan mempercayai bahwa mela membebaskan orang dari beban lali’tepang (pantangan adat).

Untuk melakukan mela, masyarakat menyiapkan babi, ayam dan itun havaang atau daun rinjuang/sabang. Darah kedua jenis binatang itu dioleskan ke daun sabang lalu dikibaskan pada masyarakat yang dimela. Orang yang dimela adalah kaum balita dan ibunya. Atau pasangan suami istri yang baru menikah. Mela untuk anak kecil, khususnyadi bawah setahun, selain untuk selamatan dalam kelahirannya, juga pemberian nama baru dalam Dange.

Para ibu, pengantin baru melakukan mela agar mereka terbebas dari tepang. Tepang ini biasanya makan ikan dari tangkapan nuva’(nuba), bua’ ulap (buah rambai), makan diaan, buah tuva’ dan pantangan-pantangan lain.

Di hari keempat itu dange juga dilakukan di hawa amin aii’ (pelataran ruang tengah milik Hipui). Warga yang ber-dange berkumpul dengan berbagai permainan. Sehingga di sana Dayung aii dan uk (Imam senior dan junior) menari sambil mesoi utaam atau menunjukan roh leluhur. Leluhur ini menurut kepercayaan Kayaan adalah karaang lalang Buko, seorang tokoh perempuan yang mempunyai kelebihan dalam memainkan musik Sape’ untuk menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia, bersama-sama Lawe’.

Kebiasaan ibu-ibu dalam acara Dange adalah menyiapkan uting (makanan dari babi kampung) yang di sembelih dalam prosesi tadi. Dari babi itu mereka membuat Arungberupa dua bungkus kecil nasi, dua potong kecil daging uting dan dua buah pitoh (kue tradisional-red) yang dibagikan ke setiap rumah. Dari arung ini warga makan di rumah mereka masing-masing bersama dengan para Hakai (tamu) yang datang.

Di hari kelima, warga biasanya makan dana minum ataupun membuat hiburan-hiburan. Sorenya dibagikan arung ataa’ (daging babi mentah) bersama bahan-bahan lain yang telah masak, misalnya nasi. Namun arung kedua kalinya ini dari Hipui, yang di bagi kepada warganya.

Kegiatan akhir Dange adalah purah baraang bulit (semacam permainan tradisi) dengan delapan peserta anak remaja putra, dan dua putri. Caranya putra mengelilingi itun pute’ (daun pisang) yang ditumpuk sebanyak delapan daun utuh Di atas daun itu ditaburkan nasi basi. Kedua perempuan tadi naik ke atas parung (ruangan tanpa langit-langit). Mereka menyirami ke delapan putra dengan air dari atas, dimana kedelapan putra itu memperebut daun pisang dengan aksi saling memukul antara satu dengan yang lainnya.

Ketika acara purah batang built selesai, para ibu-ibu pergi nyinah (membaca mantra untuk memanggil kembali roh padi) dalam bentuk nasi yang dimainkan oleh anak-anak saat purah batang bulit. Hal itu karena dalam tradisi Kayaan kaum ibu diyakini memegang peranan penting dalam mengurus padi, oleh karena itu ibu-ibulah yang memegang beruaan parai (roh padi).

Terancam

Sekarang menurut Uku’ Lirung Anya’(80 tahun), tetua yang pernah memegang adat Dange Pagung, Dange Bakaat orang Pagung sulit di lakukan karena bahan untuk bangunan Dange sulit didapat akibat hutan semakin habis. “Pengaruh modernisasi menyebabkan kepeduliaan anak muda dalam bergotong royong dan ingin mengetahui serta mempelajari adat istiadat kurang,”ujar Lirung Anya. Lirung berharap generasi Kayaan menjaga kebudayaan orang Kayaan. Salah satu wujud konkrit pengaruh modernisasi adalah adanya misa Katolik dalam setiap pesta Dange sejak tahun 1970-an.

Harapan tetua Kayaan dan masyarakat Dayak semua. Semoga generasi Kayaan terutama, dimanapun berada mendengar harapan Uku’ Lirung Anya’.***

Siapakah Orang Kayaan Mendalam?

Ratusan tahun silam orang Kayaan tinggal di Apo Kayaan (Apo adalah daratan tinggi-red) Kalimantan Timur. Kemudian mereka menyebar. Menurut cerita di kalangan orang Kayaan, saat itu terdapat serombongan besar dan kecil dalam penyebaran itu.

Sewaktu melewati sungai rombongan besar menyeberang dengan ja’it (jambatan yang terbuat dari tali). Namun saat itu kelompok kecil telah tiba di seberang sungai. Sehingga kelompok yang tertinggal berteriak ‘Payo (rusa). Mendengar teriakan ini kelompok yang terlebih dahulu tiba di seberang beranggapan teriakan untuk menyatakan Ayo (musuh) sehingga mereka sama-sama berteriak. Saat itu juga ja’it di putuskan. Kondisi ini membuat mereka kebinggungan karena panik. Akhirnya mereka secara masing-masing lari menyelamatkan diri.

Peristiwa inilah yang membuat masyarakat Kayaan berpencar di mana-mana. Sekelompok menuju ke arah Kalbar, yang kemudian mendiami aliran Sungai Mendalam. Kelompok lain menuju ke bagian Sarawak lalu mendiami Telaang Usaan, Baram dan sekitarnya. Namun ada pula yang kembali ke tempat awal keberangkatan yaitu Sungai Mahakam, Sungai Kayaan dan sekitarnya. “Orang-orang Kayaan di Mendalam tidak merupakan satu suku, tetapi semua orang Bahau, yang mempunyai tanah asal di pegunungan hulu sungai Kayan atau Apo Kayan,” ungkap Anton.

Secara umum fisik masyarakat Kayaan mudah dikenal. Mereka kebanyakan bermata sipit dan bertampang seperti orang dari daratan Cina atau Jepang. Mereka juga memiliki nama keluarga, misalnya Ngo, Irang dan lain sebagainya.

Orang Kayaan juga mengenal aliran bangsawan atau Hippui. “Bukan hanya lelaki, anak perempuan pun dapat menjadi kepala. Walaupun anak laki-laki lebih diutamakan,”tambah Anton.

Masyarakat itu juga menjadikan alam sebagai partner hidup. Sehingga pencarian pokok pendahulu Kayaan adalah bertani. Tahun 1800-an Dr. Anton menemukan 17 jenis padi yang ditanam masyarakat Kayaan di Mendalam. Di era itu, Anton juga menemukan pemuda-pemuda Kayaan yang bercacah atau bertato ataupun memanjangkan daun telinga. Para orang-orang kaya juga menyimpan hamba-hamba di rumahnya untuk membantu pekerjaan sang emban.***

sumber : www.edipetebang.blog.friendster.com
foto : www.borneophotography.org (prosesi penyembelihan babi pada upacara Dange - foto Eko Supriyanto Daulay- Rumah Betang Pontianak, 20009)

Sunday, May 23, 2010

Dange, Ritual Pasca Panen Dayak Kayaan


By Edi Petebang and D.Uyub

Musik sape’ mengiringi tarian para pria dan perempuan dengan pakaian adat yang sangat indah. Beraneka ragam minuman dan makanan dihidangkan. Semua orang bergembira. Riuh pesta itu selalu terjadi setiap bulan Mei dan Juni sejak ratusan tahun silam. Itulah pesta ritual Dange orang Dayak Kayaan di sungai Mendalam, Putusibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Dalam pesta dange semua orang Kayaan berkumpul dan itulah saat mereka menunjukkan keterampilan seni menyanyi, memainkan alat musik sape’ (sejenis gitar-Red.), menari dan pakaian adat disertai asesori yang indah.

Dange dirayakan sehabis panen padi ladang sebagai ungkapan syukur atas tahun padi yang telah berjalan, sekaligus doa permohonan untuk tahun padi berikutnya.

Upacara dange dilengkapi sebuah pondok yang disebut Dange Uma’ Pagung. Prosesi awal dange adalah mendirikan pondok itu. Seluruh prosesi ritual pesta dange dipimpin oleh Dayung (pemimpin upacara. “Dayung haruslah keturunan seorang Hipui, semacam keturunan bangsawan dalam masyarakat lain,”ungkap Hermanus Abeh, puteraKayaan dari Mendalam. Fungsi Dayung adalah perantara masyarakat dengan Tuhan mereka. Dayung mempunyai peranan yang amat penting, yaitu menyampaikan maksud warga secara simbolis.

Dange memerlukan dua hari persiapan. Pada hari ketiga barulah ritual dilaksanakan, yang dibuka dengan ngaraang bakaat (tarian perang-Red) sejak pagi. Jaman dahulu, penari itu haruslah orang yang pernah membunuh atau mendapat kepala kayau; kecuali Dayung hipui yang memimpin.

Gerakan tarian ini empat kali ngaju’ (mengambil ancang-ancang) empat kali mulu (menombak). Setelah itu baru lah mitang (memotong) kayu senggalaang sama seperti cara mulu. Penari bakaat ini di beri usut (upah). Dulu, upahnya sebuah gong sebesar lima kilan atau satu buah haruk (perahu-Red) yang di keluarkan oleh orang yang di mela (pembersihan badan) dalam dange.

Setelah karang bakaat selesai, hari keempat sejak 09.00 WIBA dilanjutkan ngiaan (tarian yang mengeliling babi yang akan di sembelih) sebanyak delapan putaran. Penarinya enam belas remaja putri dan seorang Dayung. “Dulu dange sampai tujuh hari namun kini hanya dua hari. Bahkan pernah hilang karena pengaruh luar,”tambah Abeh.

Akhir prosesi dange adalah penyembelihan babi. Babi dihitung berdasarkan jumlah bilik sebetang raya (sekampung-Red). Setelah itu dilanjutkan dengan mela (pembersihan badan dengan mengunakan darah babi yang baru di sembelih dengan daun havaang. Tradisi lisan Kayaan mempercayai bahwa mela membebaskan orang dari beban lali’tepang (pantangan adat).

Untuk melakukan mela, masyarakat menyiapkan babi, ayam dan itun havaang atau daun rinjuang/sabang. Darah kedua jenis binatang itu dioleskan ke daun sabang lalu dikibaskan pada masyarakat yang dimela. Orang yang dimela adalah kaum balita dan ibunya. Atau pasangan suami istri yang baru menikah. Mela untuk anak kecil, khususnyadi bawah setahun, selain untuk selamatan dalam kelahirannya, juga pemberian nama baru dalam Dange.

Para ibu, pengantin baru melakukan mela agar mereka terbebas dari tepang. Tepang ini biasanya makan ikan dari tangkapan nuva’(nuba), bua’ ulap (buah rambai), makan diaan, buah tuva’ dan pantangan-pantangan lain.

Di hari keempat itu dange juga dilakukan di hawa amin aii’ (pelataran ruang tengah milik Hipui). Warga yang ber-dange berkumpul dengan berbagai permainan. Sehingga di sana Dayung aii dan uk (Imam senior dan junior) menari sambil mesoi utaam atau menunjukan roh leluhur. Leluhur ini menurut kepercayaan Kayaan adalah karaang lalang Buko, seorang tokoh perempuan yang mempunyai kelebihan dalam memainkan musik Sape’ untuk menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia, bersama-sama Lawe’.

Kebiasaan ibu-ibu dalam acara Dange adalah menyiapkan uting (makanan dari babi kampung) yang di sembelih dalam prosesi tadi. Dari babi itu mereka membuat Arungberupa dua bungkus kecil nasi, dua potong kecil daging uting dan dua buah pitoh (kue tradisional-red) yang dibagikan ke setiap rumah. Dari arung ini warga makan di rumah mereka masing-masing bersama dengan para Hakai (tamu) yang datang.

Di hari kelima, warga biasanya makan dana minum ataupun membuat hiburan-hiburan. Sorenya dibagikan arung ataa’ (daging babi mentah) bersama bahan-bahan lain yang telah masak, misalnya nasi. Namun arung kedua kalinya ini dari Hipui, yang di bagi kepada warganya.

Kegiatan akhir Dange adalah purah baraang bulit (semacam permainan tradisi) dengan delapan peserta anak remaja putra, dan dua putri. Caranya putra mengelilingi itun pute’ (daun pisang) yang ditumpuk sebanyak delapan daun utuh Di atas daun itu ditaburkan nasi basi. Kedua perempuan tadi naik ke atas parung (ruangan tanpa langit-langit). Mereka menyirami ke delapan putra dengan air dari atas, dimana kedelapan putra itu memperebut daun pisang dengan aksi saling memukul antara satu dengan yang lainnya.

Ketika acara purah batang built selesai, para ibu-ibu pergi nyinah (membaca mantra untuk memanggil kembali roh padi) dalam bentuk nasi yang dimainkan oleh anak-anak saat purah batang bulit. Hal itu karena dalam tradisi Kayaan kaum ibu diyakini memegang peranan penting dalam mengurus padi, oleh karena itu ibu-ibulah yang memegang beruaan parai (roh padi).

Terancam

Sekarang menurut Uku’ Lirung Anya’(80 tahun), tetua yang pernah memegang adat Dange Pagung, Dange Bakaat orang Pagung sulit di lakukan karena bahan untuk bangunan Dange sulit didapat akibat hutan semakin habis. “Pengaruh modernisasi menyebabkan kepeduliaan anak muda dalam bergotong royong dan ingin mengetahui serta mempelajari adat istiadat kurang,”ujar Lirung Anya. Lirung berharap generasi Kayaan menjaga kebudayaan orang Kayaan. Salah satu wujud konkrit pengaruh modernisasi adalah adanya misa Katolik dalam setiap pesta Dange sejak tahun 1970-an.

Harapan tetua Kayaan dan masyarakat Dayak semua. Semoga generasi Kayaan terutama, dimanapun berada mendengar harapan Uku’ Lirung Anya’.***

Siapakah Orang Kayaan Mendalam?

Ratusan tahun silam orang Kayaan tinggal di Apo Kayaan (Apo adalah daratan tinggi-red) Kalimantan Timur. Kemudian mereka menyebar. Menurut cerita di kalangan orang Kayaan, saat itu terdapat serombongan besar dan kecil dalam penyebaran itu.

Sewaktu melewati sungai rombongan besar menyeberang dengan ja’it (jambatan yang terbuat dari tali). Namun saat itu kelompok kecil telah tiba di seberang sungai. Sehingga kelompok yang tertinggal berteriak ‘Payo (rusa). Mendengar teriakan ini kelompok yang terlebih dahulu tiba di seberang beranggapan teriakan untuk menyatakan Ayo (musuh) sehingga mereka sama-sama berteriak. Saat itu juga ja’it di putuskan. Kondisi ini membuat mereka kebinggungan karena panik. Akhirnya mereka secara masing-masing lari menyelamatkan diri.

Peristiwa inilah yang membuat masyarakat Kayaan berpencar di mana-mana. Sekelompok menuju ke arah Kalbar, yang kemudian mendiami aliran Sungai Mendalam. Kelompok lain menuju ke bagian Sarawak lalu mendiami Telaang Usaan, Baram dan sekitarnya. Namun ada pula yang kembali ke tempat awal keberangkatan yaitu Sungai Mahakam, Sungai Kayaan dan sekitarnya. “Orang-orang Kayaan di Mendalam tidak merupakan satu suku, tetapi semua orang Bahau, yang mempunyai tanah asal di pegunungan hulu sungai Kayan atau Apo Kayan,” ungkap Anton.

Secara umum fisik masyarakat Kayaan mudah dikenal. Mereka kebanyakan bermata sipit dan bertampang seperti orang dari daratan Cina atau Jepang. Mereka juga memiliki nama keluarga, misalnya Ngo, Irang dan lain sebagainya.

Orang Kayaan juga mengenal aliran bangsawan atau Hippui. “Bukan hanya lelaki, anak perempuan pun dapat menjadi kepala. Walaupun anak laki-laki lebih diutamakan,”tambah Anton.

Masyarakat itu juga menjadikan alam sebagai partner hidup. Sehingga pencarian pokok pendahulu Kayaan adalah bertani. Tahun 1800-an Dr. Anton menemukan 17 jenis padi yang ditanam masyarakat Kayaan di Mendalam. Di era itu, Anton juga menemukan pemuda-pemuda Kayaan yang bercacah atau bertato ataupun memanjangkan daun telinga. Para orang-orang kaya juga menyimpan hamba-hamba di rumahnya untuk membantu pekerjaan sang emban.***

sumber : www.edipetebang.blog.friendster.com

Sunday, May 16, 2010

Orang Banjar dan Dayak di Kalimantan Selatan: Asal Usul dan Perhubungan Mereka

Oleh : Dr.Mohamed Salleh Lamry

Kalimantan Selatan Selayang Pandang

Provinsi Kalimantan Selatan kini ialah provinsi yang terkecil dari empat provinsi di Kalimantan. Bagaimanapun, tidak demikian pada masa yang lalu. Sehingga tahun 1957 Kalimantan Selatan ialah provinsi besar, yang merupakan gabungan dari

----------------
* Kertas kerja untuk Konferensi Antaruniversiti Se Borneo-Kalimantan Ke-3, Banjarmasin,
15-17 Jun 2007.
** Mantan Prof.Madya dan Sarjana Tamu, Program Antropologi dan Sosiologi, Universiti
Kebangsaan Malaysia
Wilayah Kotawaringan, Dayak Besar, Daerah Banjar dan Federasi Kalimantan Tenggara. Kalimantan Selatan pada masa itu mengandungi provinsi yang kini dikenali sebagai Kalimantan Tengah.

Walau bagaimanapun, setelah orang Dayak di Kalimantan Tengah meminta provinsi mereka sendiri dengan melancarkan perang gerila dan mendapat sokongan dari Jakarta, mereka telah memperoleh provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1957. Wilayah Kotawaringin dan Dayak Besar dikeluarkan dari Kalimantan Selatan untuk membentuk provinsi Kalimantan Tengah. Sementara itu, Pasir (bahagian Federasi Kalimantan Tenggara) juga telah keluar dari Kalimantan Selatan dan bergabung dengan Kalimantan Timur. Dengan itu, Kalimantan Selatan kini hanya terdiri daripada Daerah Banjar dan sebahagian dari daerah Federasi Kalimantan Tenggara.

Walaupun kini Kalimantan Selatan merupakan provinsi yang terkecil, tetapi provinsi ini ialah provinsi yang paling padat penduduknya. Mengikut sensus penduduk tahun 2000 Kalimantan Selatan mempunyai penduduk 2,975,440 orang, sementara luas wilayah yang mereka diami hanya 37,660 km atau 14,000 batu persegi (Muller 1992).

Mengikut sensus 2000 juga, ada lapan etnik terbanyak di Kalimantan Selatan, iaitu Suku Banjar (2,271,586 orang), suku Jawa (391,030 orang), Suku Bugis (73,037 orang), Suku Madura (36,334 orang) Suku Bukit (35,838 orang), Suku Mandar (29,322 orang), Suku Bakumpai (20,609 orang), dan Suku Sunda (18, 519 orang). Suku lain, yang tidak dinyatakan namanya ialah 99,165 orang.

Dari data di atas, pada masa ini Suku Banjar ialah majoriti penduduk Kalimantan Selatan, sementara Suku Dayak (Bukit dan Bakumpai) kurang sepertiga dari jumlah Suku Banjar. Bagaimanapun, sebelum tahun 1957, ketika Kalimantan Tengah masih merupakan sebahagian daripada Kalimantan Selatan, jumlah Suku Dayak tentulah lebih ramai lagi.

Secara umum dapat dikatakan bahawa di Kalimantan (termasuk Kalimantan Selatan) suku Dayak menghuni kawasan pedalaman, sementara daerah pantai atau daerah hilir yang mengitari kawasan itu dihuni oleh suku Banjar, Jawa, Bugis dan suku lainnya (Masri Singarimbun 1996: 258).
Asal Usul Orang Banjar

Mengenai asal usul orang Banjar, pada masa ini sekurang-kurangnya ada dua pendekatan yang cuba menerangkan fenomena tersebut. Pertama, pendekatan primordialisme yang dikemukakan oleh Alfani Daud. Kedua, pendekatan konstruktifis atau situasionalis yang pada mulanya dikemukakan oleh Idwar Saleh (1986), kemudian dikembangkan oleh Marko Mahin (2004).

Mengikut Alfani Daud (1997; 2004: 85) suku bangsa Banjar ialah penduduk asli sebahagian wilayah provinsi Kalimantan Selatan, iaitu selain kabupaten Kota Baru. Mereka itu diduga berintikan penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali, dan setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasanya dinamakan secara umum sebagai suku Dayak, dan dengan imigran yang datang kemudian, akhirnya terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, iaitu Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu dan Banjar Kuala.

Orang Pahuluan pada asasnya ialah penduduk daerah lembah sungai-sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke Pegunungan Meratus. Orang Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan oang Banjar Kuala mendiami daerah sekitar Banjarmasin dan Martapura.

Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya ialah bahasa Melayu – sama halnya seperti ketika mereka berada di daerah asalnya di Sumatera atau sekitarnya – yang di dalamnya terdapat banyak sekali kosa kata yang berasal dari kosa kata Dayak dan Jawa.

Nama Banjar diperoleh kerana mereka dahulu, sebelum dihapuskan pada tahun 1860, adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau dianggap sebagai Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada masa mula-mula didirikan. Ketika ibukota dipindahkan arah ke pedalaman, terakhir di Martapura, nama Banjar tersebut nampaknya sudah diterima umum dan tidak berubah lagi.

Dari segi agama, boleh dikatakan semua orang Banjar memeluk agama Islam. Dan mereka pada umumnya ialah orang yang taat menjalankan perintah agamanya.

Mengikut Idwar Saleh (1986: 12) pula, sebelum dan pada awal berdirinya Kesultanan Islam Banjar, baik etnik Banjar maupun etnik Dayak sama sekali tidak disebut. Hal itu bererti, Banjar, pada waktu itu belum menjadi identiti suku atau agama, dan hanya sebagai identiti diri yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal mereka. Dengan itu, Idwar Saleh menyimpulkan:

Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maayan dan Bukit sebagai inti. Inilah penduduk Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan. Dalam amalgamasi (campuran) baru ini telah bercampur unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maayan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton….Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, kerana kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah group atau kelompok besar iaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan kelompok Banjar Pahuluan. Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura. Yang kedua tinggal di sepanjang Sungai Tabalong dari muaranya di Barito sampai dengan Kelua. Yang ketiga tinggal di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan- etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan- etnik Maayan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan- etnik Bukit. Ketiga ini adalah intinya. Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar, iaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya.

Selanjutnya menurut Idwar Saleh (1991):

Ketika Pangeran Samudra mendirikan kerajaan Banjar ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti Patih Balandean, Patih Belitung, Patih Kuwin dan sebagainya serta orang Bakumpai yang dikalahkan. Demikian pula penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Manyan. Kelompok ini diberi agama baru iaitu agama Islam, kemudian mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis, tetapi kesatuan politik, seperti bangsa Indonesia.

Maka, berdasarkan pendapat Idwar Saleh (1991) dapat diambil kesimpulan, bahawa suku Banjar terbahagi kepada 3 subetnis berdasarkan wilayah tempat tinggal mereka dan unsur pembentuk suku itu, yang menggambarkan masuknya penduduk pendatang ke wilayah penduduk asli Dayak:

1. Banjar Pahuluan ialah campuran Melayu dan Bukit (Bukit sebagai ciri kelompok).
2. Banjar Batang Banyu ialah campuran Melayu, Maayan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Maanyan sebagai cirri kelompok)
3. Banjar Kuala ialah campuran Melayu, Ngaju, Barangas, Bakumpai, Maayan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Ngaju sebagai ciri kelompok).

Adalah diakui pendapat yang dikemukakan oleh Alfani Daud dan Idwar Saleh masing-masingnya mempunyai kekuatan yang tersendiri. Namun, tulisan-tulisan terakhir tentang asal usul orang Banjar saya dapati lebih banyak yang memihak kepada pendapat Idwar Saleh. Misalnya, tim penelitian dari Departmen Pendidikan dan Kebudayaan (1977-78: 17) merumuskan bahawa Suku Banjar yang terdiri dari Banjar Kuala, Banjar Batang Banyu dan Banjar Hulu adalah bentukan dari Suku Dayak Maayan, Dayak Lawangan, Dayak Bukit Meratus dan Dayak Ngaju. Melalui proses pembauran yang memakan waktu berabad-abad, kelompok Dayak yang menggunakan bahasa Banjar, beragama Islam dan bercampur dengan suku Melayu dan Jawa lambat laun dalam kerajaan Banjar menjadi Suku Banjar, sementara yang tidak memeluk Islam dan tidak berbahasa Banjar, tetap menyebut diri mereka sebagai Dayak.

Asal Usul Orang Dayak

Ada pelbagai pendapat tentang asal-usul orang Dayak, tetapi setakat ini belum ada yang betul-betul memuaskan. Namun, pendapat yang diterima umum menyatakan bahawa orang Dayak ialah salah satu kelompok asli terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan (Tjilik Riwut 1993: 231). Gagasan tentang penduduk asli ini didasarkan pada teori migrasi penduduk ke Kalimantan. Bertolak dari pendapat itu adalah dipercayai bahawa nenek moyang orang Dayak berasal dari China Selatan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mikhail Coomans (1987: 3):

…semua suku bangsa Daya termasuk pada kelompok yang bermigrasi secara besar-besaran dari daratan Asia. Suku bangsa Daya merupakan keturunan daripada imigran yang berasal dari wilayah yang kini disebut Yunnan di Cina Selatan. Dari tempat itulah kelompok kecil mengembara melalui Indo China ke jazirah Malaysia yang menjadi loncatan untuk memasuki pulau-pulau di Indonesia, selain itu, mungkin ada kelompok yang memilih batu loncatan lain, yakni melalui Hainan, Taiwan dan Filipina. Perpindahan itu tidak begitu sulit, kerana pada zaman glazial (zaman es) permukaan laut sangat turun (surut), sehingga dengan perahu-perahu kecil sekalipun mereka dapat menyeberangi perairan yang memisahkan pulau-pulau itu.

Adalah dipercayai bahawa penduduk Yunnan pada masa itu melakukan perpindahan untuk mencari tempat yang dianggap paling dapat memberikan kebebasan bergerak utnuk mencari nafkah, khususnya untuk berladang dan berburu. Rupanya perpindahan itu tidak hanya sekali terjadi, tetapi berlangsung secara bertahap, seperti dikatakan Coomans (1987:3):

Kelompok-kelompok pertama yang masuk wilayah Kalimantan ialah kelompok Negrid dan Weeddid, yang sekarang sudah tidak ada lagi. Kemudian disusul oleh kelompok yang lebih besar, yang disebut Proto Melayu. Perpindahan ini berlangsung lagi selama 1000 tahun, antara 3000-1500 sebelum Masehi.

Lebih lanjut disebutkan bahawa, “Sekitar lima ratus tahun sebelum Masehi berlangsung lagi suatu perpindahan besar dari daratan Asia ke pulau-pulau Indonesia. Kelompok-kelompok ini disebut Deutro-Melayu” (Coomans 1987: 4).

Mengikut Tjilik Riwut (1993: 231) Orang Proto Melayu (Melayu Tua) pada mulanya mendiami kawasan pantai. Akan tetapi, dengan kedatangan orang Melayu Muda, orang Melayu Proto terdesak ke pedalaman, sama ada kerana kalah perang atau kerana kebudayaan Melayu Tua lebih rendah jika dibandingkan dengan Melayu Muda. Kelompok Melayu Muda khasnya, sudah hidup menetap dalam satu komuniti, (seperti rumah panjang), dan mengenal teknik pertanian lahan kering, iaitu berladang.

Seorang penulis lain, Ch.F.H.Dumont (dipetik dari Tjilik Riwut 1993: 191) merujuk khusus kepada perpindahan orang Dayak ke pedalaman, seperti berikut:

Orang-orang Dayak ialah penduduk pulau Kalimantan yang sejati, dahulu mereka ini mendiami pulau Kalimantan, baikpun pantai-pantai baikpun sebelah ke darat. Akan tetapi tatkala orang Melayu dari Sumatera dan Tanah Semenanjung Melaka datang ke situ terdesaklah orang Dayak itu lalu mundur, bertambah lama, bertambah jauh ke sebelah darat pulau Kalimantan.

Teori tentang migrasi ini sekaligus boleh menjawab persoalan: mengapa suku bangsa Dayak kini mempunyai begitu banyak sifat yang berbeza, sama ada dalam bahasa mahu pun dalam ciri-ciri budaya mereka.

Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, iaitu Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Keenam rumpun ini terbagi lagi kepada lebih kurang 405 sub suku. Meskipun terbagi kepada ratusan sub suku, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu salah suatu sub suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak. Ciri-ciri tersebut ialah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit beliong (kapak Dayak) pandangan terhadap alam, mata pencarian (sistem perladangan) dan seni tari.
Perhubungan Orang Banjar dan Dayak Masa Lalu

Sejak munculnya kerajaan Islam Banjar pada tahun 1526, hubungan antara orang Banjar dengan orang Dayak mungkin tidaklah begitu berbeza dengan hubungan kerajaan Islam yang lain dengan orang Dayak di Kalimantan pada keseluruhannya. Meminjam kata-kata seorang ahli antropologi kolonial van Linden (Djuweng 1996: 3 dalam Yeti Maunati 2004:311) nasib orang Dayak adalah dijajah, bukan memerintah. Selama berabad-abad, orang Dayak sudah menjadi bawahan politik kepada kekuasaan lokal, nasional dan kolonial.

Secara lebih khusus, hubungan antara Kesultanan Banjar dengan orang Dayak mungkin ada persamaannya dengan hubungan antara Kesultanan Kutai dengan orang Dayak di Kalimantan Timur. Mengikut Magenda 1991: 2) sebelum masa penjajahan Belanda, wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai meliputi orang Dayak di pedalaman, malah pada akhir abad ke-15, kesultanan itu sesungguhnya sudah menjadi persekutuan yang longgar yang terdiri daripada komuniti Dayak dengan seorang raja Melayu dipuncak kekuasaannya. Namun, Kesultanan Kutai yang baru pada awal abad ke-16 adalah kesultanan Melayu par excellence, serupa dengan kesultanan Melayu lainnya didaerah Pesisir Sumatra dan Kalimantan.

Baik Magenda (1991) mahupun Rousseau (1990) menyatakan bahawa orang Kutai berusaha menguasai orang Dayak, tetapi mereka tidak dapat melakukan sepenuhnya kerana orang Dayak boleh berpindah lebih jauh ke pedalaman. Keadaan demikian diperkirakan berlaku juga di Kalimantan Selatan dalam perhubugan antara orang Banjar dengan orang Dayak

Malah, di Kalimantan Selatan pernah berlaku pemberontakan oleh suku Dayak terhadap Sultan Banjamasin, Sultan Sulaiman pada tahun 1824-1825. Pemberontakan itu dilakukan oleh orang Dayak Bakumpai, di bawah pimpinan Pembakal (Kepala) Kendet, ketua mereka. Walaupun isterinya adalah keluarga Sultan, tetapi sejak 1816 lagi hubungannya dengan Sultan tidak begitu baik. Sultan tidak berupaya menundukkannya, dan ia hanya dapat dikalahkan dengan bantuan Belanda pada tahun 1825. Ia dijatuhkan hukuman bunuh pada 7 Mac tahun tersebut (Helius Sjamsudddin 2001: 50).

Walau bagaimanapun, dalam sejarah Kalimantan Selatan hubungan antara orang Banjar dengan orang Dayak juga dicirikan oleh hubungan persaudaraan dan ikatan kekeluargaan, kerana adanya perkahwinan yang kerap antara Raja Banjar dengan puteri Dayak. Misalnya, dari tradisi lisan suku Dayak Ngaju diketahui bahawa isteri Raja Banjar pertama yang bernama Biang Lawang adalah etnik Dayak Ngaju. Isteri kedua Raja Banjar pertama yang bernama Noorhayati, menurut tradisi lisan suku Dayak. Maayan, berasal dari etnik mereka. Dalam Hikayat Banjar pula ada disebut bahawa salah seorang isteri Raja Banjar ketiga, Sultan Hidayatullah juga puteri Dayak, iaitu puteri Khatib Banun, seorang tokoh Dayak Ngaju. Dari rahim puteri ini lahir Marhum Panembahan yang kemudian naik takhta dengan gelaran Sultan Mustainbillah. Puteri Dayak berikutnya ialah isteri Raja Banjar kelima, Sultan Inayatullah, yang melahirkan Raja Banjar ketujuh, Sultan Agung. Dan Sultan Tamjidillah (putera Sultan Abdulrahman bin Sultan Adam) juga lahir dari seorang puteri Dayak berdarah campuran Cina, iaitu Nyai Dawang.

Sementara itu, dari perkahwinan Pangeran Antasari dengan Nyai Fatimah, saudara perempuan Tumenggung Surapati kepala suku Dayak Siang Murung, lahir Sultan Muhamad Seman, yang kemudian meneruskan perjuangan ayahnya menentang Belanda, sehingga gugur oleh peluru Belada pada tahun 1905. Dalam masa perjuangan itu, Muhammad Seman telah mengahwini dua puteri Dayak dari suku Dayak Ot.Danum. Anak Sultan Muhamad Seman, Gusti Berakit juga mengahwini puteri kepala suku Dayak yang tinggal di tepi sungai Tabalong pada tahun 1906.

Hubungan persahabatan yang erat antara orang Banjar dengan Dayak jelas kelihatan apabila kedua-dua suku itu berjuang bersama-sama melawan Belanda dalam Perang Banjar (1858-1905). Meskipun ketika berlakunya peperangan itu tidak dinafikan ada ketua suku Dayak yang berpihak di sebelah Belanda, tetapi penyertaan dan sokongan suku Dayak dalam Perang Banjar itu nampaknya sangat terserlah. Dalam peperangan yang memakan masa yang agak panjang itu, ramai pahlawan perang itu terdiri daripada etnik Dayak, antaranya yang paling menonjol ialah Tumenggung Surapati, Panglima Batur (dari suku Dayak Siang Murung), panglima Unggis, Panglima Sogo, Panglima Batu Balot (seorang wanita), dan panglima Wangkang (dari suku Dayak Bakumpai).

Pada zaman kolonial Belanda pula, hubungan persaudaraan dan ikatan keluargaan antara orang Banjar dengan orang Dayak masih berterusan. Namun, berbanding dengan orang Dayak, lebih ramai orang Banjar yang berpeluang memasuki birokrasi kolonial, sekurang-kruangnya sebagai pegawai rendah. Dengan itu, orang Dayak terus menjadi subordinat kepada orang Banjar yang menjadi pegawai kerajaan kolonial itu seperti pada zaman Kesultanan juga.

Hubungan Orang Banjar dan Dayak Masa Kini

Walaupun orang Banjar dan orang Dayak berasal dari masa silam yang sama, tetapi kini masa silam yang sama itu mungkin tidak penting lagi. Yang lebih menonjol kini ialah identiti yang baru – orang Banjar dan orang Dayak adalah dua kumpulan etnik yang berbeza Dan atas identiti baru itu, dua suku yang bertetangga – Banjar dan Dayak -- telah terlibat dengan persaingan dalam pelbagai bidang kehidupan. Dengan itu, Hairus Salim (1996: 227) menganggap bahawa hubungan orang Banjar dengan orang Dayak kini ialah hubungan yang “tak selalu mesra”.

Hubungan orang Banjar dengan orang Dayak yang tidak selalu mesra itu telah diungkapkan oleh Anna Lowenhaupt Tsing (1993), seorang ahli antropologi dari Universiti California, dalam kajiannya tentang Dayak Meratus atau Dayak Bukit, yang banyak bermukim di sekitar pergunungan Meratus di Kalimantan Selatan.

Walaupun “hubungan kultural” antara orang Banjar dan Dayak telah “terputus” apabila “Banjar” ditegaskan sebagai identiti mereka yang beragama Islam, dan orang Dayak pula ialah orang yang “bukan Islam”, tetapi menurut Tsing (1993) hubungan ekonomi dan politik yang berasaskan kawasan antara kedua-dua suku tetap berlangsung terus. Hubungan ekonomi dan politik yang berasaskan kawasan itu pada masa kebelakangan ini diatur oleh “pentadbiran negara”.

Dari segi ekonomi, orang Banjar sebenarnya terlibat dengan hubungan perdagangan yang intensif dengan suku Dayak Meratus, malah merekalah yang menjadi perantara bagi perkembangan ekonomi wilayah (Hairus Salim 1996: 230). Orang Banjar mendominasi pasar minggu kecil dihujung jalur yang menuju pegunungan Meratus. Keperluan-keperluan suku Dayak seperti pakaian, garam, perkakas logam dan barang-barang mewah lainnya disalurkan oleh orang Banjar. Sementara itu dengan berjalan kaki atau naik rakit, orang Dayak Meratus datang ke pasar tersebut untuk menjual rotan, getah, kacang, kayu ulin, kayu kemenyan dan hasil-hasil hutan yang lain kepada orang Banjar, yang kemudian menjualnya pula ke bandar.

Walau bagaimanapun, hubungan perdagangan antara orang Banjar dengan orang Dayak itu berlangsung dalam keadaan yang sangat tidak seimbang. Sebagai perantara, orang-orang suku Banjar mempunyai kedudukan tawar menawar yang lebih tinggi. Mereka boleh menetapkan harga mengikut kemahuan mereka, yang menyebabkan suku Dayak Meratus selalu merasa dirugikan. Akan tetapi, orang Dayak tidak dapat berbuat apa-apa, kerana mereka tidak mempunyai pilihan lain.

Selain itu, orang-orang Dayak Meratus juga tidak berpuas hati kerana mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mendapatkan kredit daripada pedagang Banjar; jauh dari pemilik sarana pengangkutan, truk atau motorboat, gudang, dan tempat pengeringan getah, yang semuanya dimiliki oleh orang Banjar; tidak mempunyai jaringan untuk mendapatkan modal, kemudahan-kemudahan penyimpanan, dan tempat tinggal di bandar Banjarmasin; akses yang sangat terbatas untuk mengetahui keadaan pemasaran dan seterusnya (Tsing 1993: 55-56).

Perhubungan perdagangan yang tidak seimbang itu, diperkuatkan pula oleh hubungan orang Banjar yang rapat dengan “negara”. Orang Banjar adalah penguasa politik pada peringkat wilayah. Bahkan kepentingan negara di kalangan suku Dayak diartikulasikan oleh kepentingan-kepentingan suku Banjar. Di daerah Meratus, ‘’kepentingan negara” menjelma menjadi kepentingan orang Banjar. Ini ialah kerana pegawai-pegawai pemerintah pada peringkat kabupaten dan kecamatan, dan pegawai tentera, pertanian dan kesihatan yang melakukan hubungan dengan orang Dayak ialah orang-orang suku Banjar. Dengan itu, negara dan kepentingan nasional tampil di kalangan Dayak Meratus dengan wajah Banjar.

Wajah “negara” dalam artikulasi kepentingan suku Banjar itu diperlihatkan Tsing (1991) misalnya dalam dasar negara mengenai pembangunan masyarakat terasing pada tahun 1970-an. Dalam pentadbiran dasar itu, pada tahun 1971 suku Dayak Meratus dimasukkan sebagai salah satu dari masyarakat terasing. Maka pegawai pemerintah yang kebanyakannya terdiri daripada orang Banjar telah membuka hutan untuk menjadi tempat tinggal baru bagi orang Dayak Meratus. Bagaimanapun, dengan pembukaan hutan itu, orang Banjar juga mendapat kesempatan untuk berpindah ke kawasan baru tersebut, dengan jaminan mendapat perkhidmatan dan tanah. (Tsing 1991: 45). Sebagai akibatnya, tidak lama selepas itu, pemukiman baru itu telah didominasi oleh orang Banjar, kerana penguasaan mereka terhadap jalur perdagangan dan politik wilayah. Sementara itu, orang Dayak Meratus sendiri terus tersingkir, bahkan kemudian banyak yang pulang ke tempat mereka yang asal.

Tidak dinafikan masyarakat Dayak Meratus berpeluang mengenal kemajuan melalui pelbagai dasar negara yang diartikulasikan oleh pegawai pemerintah dari suku Banjar. Mereka mempelajari ekonomi global daripada pedagang Banjar. Orang Meratus juga mengenali birokasi negara di tingkat wilayah melalui orang Banjar. Akan tetapi, hubungan itu tetap bersifat artifisial, kerana dalam banyak hal justru membuat orang Dayak semakin jatuh dan jauh terpinggir dari yang mereka alami sejak zaman pra-kolonial dan kolonial (Hairus Salim 1996: 231).

Perhubungan orang Banjar dengan orang Dayak masa kini memasuki tahap yang baru, apabila mulai tahun 2000, suku Dayak Meratus terlibat dengan konflik yang agak serius dengan golongan penguasa Kalsel yang terdiri daripada orang Banjar. Hal ini berkaitan dengan dasar dan tindakan Sjachriel Darham, Gubernor Kalsel masa itu yang nampaknya tidak mengambil kira kepentingan orang Dayak. Sjachriel Darham telah membenarkan sebahagian Hutan Lindung Pegunungan Meratus, tempat tinggal orang Dayak, seluas 46,270 hektar, diberikan kepada perusahaan perkebunan berskala besar, PT Kodeco Group, yang berasal dari Korea Selatan.

Sebagaimana yang diketahui suku Dayak Meratus telah mendiami kawasan pegunungan Meratus itu sejak turun temurun. Hutan itu merupakan sumber kehidupan mereka, kerana memang di situlah tempat tinggal mereka sejak lama. Oleh itu, sudah tentu suku Dayak Meratus tidak menyetujui Hak Pengusahaan Hutan (HPT) kawasan hutan itu diserahkan kepada pengusaha besar. Apatah lagi pemberian konsesi kepada perusahaan dari Korea itu akan melibatkan alih fungsi sebahagian kawasan pergunungan Meratus dari hutan lindung kepada hutan produksi.

Oleh itu, mendengar kawasan hutan lindung itu akan dijadikan kawasan Hak Penguasaan Hutan (HPH) Kodeco, ratusan warga masyarakat Dayak Meratus berkali-kali turun ke Banjarmasin untuk mengadakan tunjuk perasaan, sama ada kepada DPRP mahupun kepada Gabenor sendiri. Sejak tahun 1998 hingga awal 2000 dikatakan lebih 20 kali warga pedalaman itu mengadakan tunjuk perasaan ke Banjarmasin dengan tuntutan yang sama: menolak kawasan Meratus dijadikan kawasan HPH. Namun, tuntutan mereka tidak pernah diberi perhatian yang sewajarnya. (Kompas,1 Ogos 2001).

Tuntutan warga Dayak Meratus itu akhirnya didengar oleh beberapa LSM. Mereka memberi sokongan dengan membentuk Aliansi Meratus yang merupakan gabungan 33 LSM. Lembaga Mushawarah Masyarakat Dayak Kalsel (LMMD-KS) dan LSM Telapak Indonesia yang beribu pejabat di Bogor juga memberi sokongan moral kepada warga Dayak Meratus dengan mengecam Pemda Kalsel.

Para aktivis itu jugalah yang meneruskan tuntutan warga Dayak Meratus, sama ada kepada Gabenor Sjachriel mahupun kepada DPRD tempatan. Namun, pihak Pemda bertindak balas untuk melumpuhkan gerakan itu dengan mengadukan Koordinator Aliansi Meratus, Hairansyah kepada pihak polis dengan tuduhan menghasut rakyat untuk mengadakan tunjuk perasaan.

Ketika isu yang berkaitan dengan pemberian sebahagian hutan lindung Pegunungan Meratus kepada perusahaan besar itu belum lagi selesai, timbul pula isu lain yang melibatkan kawasan yang sama, iaitu pemberian hak melombong kepada pengusaha perlombongan emas, PT Meratus Sumber Mas oleh pemerintah daerah. Tindakan pemerintah daerah ini mendapat tentangan daripada kira-kira 750 orang perwakilan dari 300 balai (rumah besar pusat kegiatan adat) yang tersebar di seluruh Kalimantan Selatan, yang mengadakan kongres selama empat hari, berakhir pada 26 Jun 2003 di Samarinda (Kompas 1 Julai 2003). Namun, penentangan warga Dayak Meratus itu nampaknya tidaklah mendapat perhatian yang sepatutnya daripada pemerintah daerah yang dikuasai oleh orang Banjar.

Oleh yang demikian, sebuah LSM terkenal yang prihatin tentang masalah alam sekitar, iaitu WALHI, dalam siaran akhbarnya pada 2 Jun 2006 menyatakan:

Hutan Lindung Meratus, kawasan hutan asli yang masih tersisa di Propinsi Kalimatan Selatan, “rumah terakhir” masyararakat Dayak Meratus saat ini menjadi kawasan yang paling terancam. Saat ini pemerintah dan pengusaha tambang serta perkebunan skala besar melakukan berbagai cara, termasuk memecah masyarakat Dayak Meratus melalui perubahan tapal batas antar kabupaten…Sayangnya kebutuhan masyarakat bertolak belakang dengan keinginan pemerintah daerah (Walhi 2006) .

Apabila disebut pemertintah daerah tentulah merujuk kepada orang Banjar, kerana orang Banjarlah yang merupakan penguasa pada peringkat tersebut. Ini bermakna konflik antara orang Dayak dengan orang Banjar masih berterusan.
Kesimpulan

Meskipun orang Banjar berasal dari orang Dayak, ataupun dari percampuran orang Dayak dengan pelbagai suku yang lain, tetapi setelah orang Banjar memeluk agama Islam dan menubuhkan kerajaan Islam Banjar, “perpisahan” antara kedua suku itu nampaknya sudah merupakan sesuatu yang berkekalan. Mungkin sejak zaman dahulu lagi, orang Dayak yang tidak memeluk agama Islam memilih tinggal di kampung yang berasingan dari kampung orang Banjar; di tempat yang umumnya terletak di pedalaman.

Kemunculan kerajaan Islam Banjar pada abad ke-16, nampaknya menandakan bermulaanya kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar, kerana orang Banjar adalah kelas pemerintah yang wilayah pemerintahannya meliputi juga kawasan yang didiami oleh orang Dayak. Kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar ini boleh dikatakan tidak berubah pada zaman penjajahan dan lebih jelas lagi pada zaman selepas kemerdekaan, kerana pada zaman selepas kemerdekaan memang orang Banjarlah yang menduduki jawatan penting dalam pemerintahan daerah, di samping mereka juga yang menguasai perdagangan yang melibatkan orang Dayak.

Jika kita lihat hubungan orang Banjar dengan orang Dayak pada masa mutakhir, hubungan mereka nampaknya bukan sahaja tidak mesra, malah sudah melibatkan konflik yang agak serius. Hubungan tidak mesra itu sudah kelihatan sejak lama, melibatkan golongan pedagang Banjar dan penguasa Banjar, yang jelas lebih berkuasa ke atas orang Dayak Kini timbul pula isu baru yang menimbulkan konflik, iaitu tindakan pemerintah daerah yang diketuai oleh Gabenor dari etnik Banjar yang memberikan kawasan hutan tempat tinggal orang Dayak Meratus kepada pengusaha perkebunan dan perlombongan besar.

Tidaklah dinafikan pemberian kawasan hutan untuk diusahakan oleh pengusaha besar itu ada juga faedahnya kepada orang Dayak, misalnya dari segi wujudnya peluang pekerjaan, dan mungkin terbinanya jalan yang akan menghubungkan kawasan tempat tinggal orang Dayak dengan kawasan bandar. Namun, sebagaimana yang terbukti dari kajian di tempat lain, (lihat Syarif Ibrahim Alqadrie 1994, 244-260; Patingi Y.A.Aris 1994, 261-66), kesan negatif dari aktiviti pembukaan kawasan hutan dan perlombongan itu kepada kehidupan penduduk setempat jauh lebih banyak dari kesan positifnya. Itulah sebabnya orang Dayak tidak menyetujui kawasan hutan tempat tinggal mereka diberikan kepada pengusaha besar.

Walau bagaimanapun, kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar nampaknya tidak memungkinkan mereka menentang dasar pembangunan penguasa Banjar yang merugikan mereka, dan dengan itu sangatlah sukar mereka keluar dari kehidupan mereka yang mundur dan terpinggir. Barangkali orang Dayak hanya mungkin keluar dari keadaan mundur dan terpinggir itu, setelah melalui satu masa yang agak lama, khasnya setelah mereka mencapai taraf pendidikan yang memadai dan dengan itu dapat menduduki jawatan penting dalam pemerintah daerah, sama ada dalam bidang birokrasi mahupun politik. Memang sebagaimana yang sering berlaku, orang Dayak hanya mungkin bermobiliti ke atas, walaupun agaknya secara beransur-ansur, melalui jalan pendidikan

Rujukan
Agama dan Etnisitas: Kajian Tentang Asal Usul Pembentukan Etnis Banjar.
Kandil. Edisi 6, Tahun 11, Agustus-Oktober
Alfani Daud. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar. Jakarta: Rajawali Press.
Alfani Daud. 2004. Islam dan Asal-Usul Masyarakat Banjar. Kandil.
Edisi 6, Tahun 11, Agustus-Oktober.
Coomans, M. 1987.Manusia Daya, Dahulu, Sekarang dan Masa Depan. Jakarta: PT
Gramedia.
Hairus Salim HS. 1996. Islam Banjar, Relasi Antar Etnik, dan Pembangunan. Dalam
Kisah dari Kampung Halaman . Yogyakarta: Penerbit Dian/Interfidei
Hudson, A.D. & Judith M.Hudson. 1984. Telang: Sebuah Desa Ma’ayan di
Kalimantan Tengah. Dalam Koentjaraningrat (pnyt.) Masyarakat Desa di
Indonesia Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Hudson, A.B. 1972. Padju Epat: The Ma’anyan of Indonesian Borneo. New York:
Holt, Rinehart and Winston.
King.V.T. 1994. The Ethnic Groups of Borneo. Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed &
Co.
King.V.T. 1985. Kedudukan Sosial dan Perubahan Sosial di Kalangan Suku Maloh,
Kalimantan Barat. Dalam Dove, M.R (pnyt.) Peranan Kebudayaan Tradisional
dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kompas. 2001. Meratus Nasibmu Kini… Kompas, 1 Ogos,
.http://www.kompas.com/kompas-cetak/0108/01/daerah/mera26.htm
Kompas. 2001. Masyarakat Dayak Meratus Diobok-obok. Kompas, 1 Ogos.
http://www. kompas.com/kompas-cetak/0108/01/daerah/masy26.htm
Kompas 2001. Hutan Lindung Meratus Bakal Tamat. Kompas, 1 Ogos.
http://www. kompas.com/kompas-cetak/0108/01/daerah/huta25.htm
Kompas.2001. Dayak Meratus Tolak Pembukaan Hutan. Kompas, 15 Disember.
http://www.kompas.com/kompak-cetak/0112/15/iptek/daya10.htm.
Marko Mahin. 2004. Urang Banjar: Identitas dan Etnisitas di Kalimantan Selatan.
Kandil. Edisi 6, Tahun 11, Agustus-Oktober.
Masri Singarimbun. 1996. Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Miles, D. 1976. Cutlass and Crescent Moon: A Case Study of Social dan Political
Change in Outer Indonesia. Sydney: Centre for Asian Studies University of
Sydney.
Mubyarto dkk. 1991. Kajian Sosial Ekonomi Desa-Desa Perbatasan di Kalimantan
Timur. Yogyakarta: Aditya Media.
Muller, K. 1992. Dalam D.Pickell (editor) Indonesian Borneo Kalimantan.
Singapore: Periplus Editions.
Patingi Y.A.Aris. Pengaruh HPH Terhadap Sumber Daya Alam dan Kehidupan
Masyarakat di Kecamatan Simpang Hulu Kabupaten Ketapang. Dalam Paulus
Florus dkk. (pnyt.) Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta:
PT. Grasindo.
Sellato, B. 2002. Innermost Borneo: Studies in Dayak Cultures. Paris: Seven Orients,
& Singapore: Singapore University Press.
Stepanus Djuweng. 1996. Orang Dayak, Pembangunan dan Agama Resmi. Dalam
Kisah dari Kampung Halaman. Yogyakarta: Penerbit Dian/Interfidei
Syarif Ibrahim Alqadrie. 1994. Dampak Perusahaan Pemegang HPH dan
Perkebunan Terhadap Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Budaya Penduduk
Setempat di Daerah Pedalaman Kalimantan Barat. Dalam Paulus Florus dkk
(pnyt.) Kebudayaan Dayak. Jakarta: Penerbit PT.Grasindo.
Tjilik Riwut.1993. Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta:
PT.Tiara Wacana.
Tsing, A.L. 1998. Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi Pada
Masyarakat Terasing. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Walhi.2006.http://walhi.or.id/kampanye/hutan/shk/060602_dykmeratus_sp/?&printer_friendly=t…
Yekti Maunati. 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan.
Yogyakarta: LKiS

foto : Suku Banjar dari Wikipedia, Suku Dayak www.Kompas.com

Friday, May 14, 2010

Alasan Ngayau dan Filosofinya

Ngayau, sebagaimana juga mangkok merah, tidak boleh dilakukan sembarangan dan harus melalui mufakat. Harus ada alas an kuat dan masuk akal untuk ngayau. Dari penuturan dan kesaksian para tokoh dan pelaku ngayau yang masih hidup hingga saat ini, dapat disimpulkan terdapat empat alasan mengapa orang Dayak ngayau.

Sebenarnya, masih ada motif lain di balik ngayau –dan ini jauh lebih penting— yakni upaya mempertahankan diri. Boleh dikatakan, motof mempertrahankan diri ini jauh lebih sering mengemuka daripada motif-motif lain.

Majang Desa: Ngayau Terakhir?
Boleh jadi, antara tahun 1941-1943 merupakan pengayauan terbesar dalam sejarah etnis Dayak Jangkang khususnya dan Dayak yang masuk ke dalam administratif swapraja dan neo swapraja pada umumnya.

Maklumat ngayau oleh panglima-panglima perang Dayak, sebenarnya dipicu oleh ulah saudara tua, Jepang, yang ingin menguasai wilayah Kalimantan Barat secara paksa.

Dalam upaya mendirikan Negeri Timur Jauh, Jepang memandang Pulau Borneo sangat strategis dari sisi letaknya sehingga menjadi incaran serius. Betapa tidak, Borneo merupakan gugusan yang sambung-menyambung dari utara ke selatan, yakni kepulauan Jepang, Formosa, Borneo, dan Celebes. Dalam Perang Asia Timur Raya, ada kecenderungan Negeri Matahari Terbit hendak menyatukan gugusan pulau-pulau tersebut menjadi sebuah wilayah kekuasaannya.

Kota-kota di sepanjang pantai Laut Cina Selatan seperti Sambas, Pemangkat, Singkawang, Mempawah, Sei Pinyuh hingga Pontianak amat strategis dan menguntungkan bagi Jepang sebagai benteng pertahanan dalam perang Asia Timur Raya. Pada masa pendudukannya, Jepang telah membentuk pemerintahan di Borneo Barat dengan membentuk tiga karesidenan dengan menambah wilayah baru, Kalimantan Timur dengan Samarinda sebagai ibu kotanya.

Borneo Barat pada waktu pendudukan Jepang di bawah pemerintahan Angkatan Laut (Kaigun) yang diberi nama Borneo Minseibu Cokan yang berpusat di kota Banjarmasin.Yang menguasai Jawa adalah Angkatan Darat (Rikugun) Jepang. Meski berbeda angkatan yang menguasai, toh tampuk kekuasaan berada dalam satu tangan yang lebih tinggi lagi, yakni Saiko Shikikan. Borneo Barat masih tetap berstatus Minseibu Syuu yang dikuasai Syuu Tizi. Nantinya, pemerintahan bentukan Jepang ini berakhir tatkala pada tahun 1945 digeser oleh pemerintahan bentukan Belanda, Nica.

Untuk melancarkan usahanya menduduki dan menguasai Borneo Barat, Jepang telah mendaratkan sejumlah warganya jauh-jauh dari sebelumnya. Seperti yang dilakukan Belanda dengan pembentukan VOC, demikianlah Jepang pun membuka perusahaan-perusahaan dagang di Borneo Barat.

Fukuyama yang dikenal dengan Fuku Company masuk jalur perdagangan perkayuan dan perkeretaan. Nakahara Fuji Company fokus pada perdagangan kelonong dan barang pecah belah. Nomur Trading Co bergerak dalam usaha onderneming karet dan perusahaanbesar. Honda adalah perusahaan yang menguasai toko potret dan usaha potret memotret. Sementara Sumitomo Kabushiki Kaisyo adalah perusahaan yang menguasai sawmill di Borneo Barat dan daerah lain.

sumber : www.masri-sareb.blogspot.com
foto: www.kayaubaru.blogspot.com

Wednesday, May 5, 2010

Sikap Jepang Terhadap Suku Dayak

Jepang berhasil melumpuhkan semangat perjuangan masyarakat kota. Kini tiba gilirannya penduduk daerah pedalaman harus dihadapi. Daerah pedalaman dihuni oleh etnis Dayak. Suku ini telah memahami batapa kejamnya tentara Jepang menyiksa dan mendatangkan kesengsaraan bagi masyarakat. Para sultan dan panembahan mereka telah banyak dibunuh dan disiksa secara kejam. Benih permusuhan itu telah tertanam dengan kuat.

Maka, kini gilirannya kekejaman Jepang diarahkan pada pendduk pedalaman. Mengetahui gelagat demikian, orang Dayak pun mengatur siasat. Apa siasat itu?

Terlena dalam kemenangan demi kemenangan yang diraih tanpa adanya kekuatan yang sanggup mematahkan membuat Jepang terlampau percaya diri. Pasukan Jepang dan kaki tangannya terus merangsek masuk jauh hingga ke pedalaman. Tujuannya satu: ingin menguasai Kalbar seluruhnya. Menekuklututkan semua penduduk. Lalu menguasainya.

Di tengah-tengah keterlenaan itu, Jepang tidak menyadari jika para Dayak telah mengatur siasat. Tidak ada laporan mata-mata yang masuk jika penduduk asli Kalimantan ini siap menghadapi. Dengan membiarkan Jepang masuk rumah mereka, para Dayak sebenarnya telah membuat perangkap maut.

Toh demikian, Jepang tetap waspada. Tindakan preventif dilancarkan. Senjata orang Dayak disita dan dikumpulkan. Senapan lantak, sumpit, mandau, panah, tombak (burus), parang, dan senjata tajam lainnya milik orang Dayak diminta untuk diserahkan. Sayangnya, permintaan ini sama sekali tidak diindahkan orang Dayak.

Jepang lalu marah luar biasa karena permohonan mereka ditampik Dayak. Maka Jepang mulai bertindak tegas. Barangsiapa yang tidak mengindahkan perintah, akan ditindakdengan tegas. Terutama para kepala adat akan mendapatkan hukuman yang sangat berat kalau kedapatan menyimpan senjata dan terbukti melawan.

Merasa Jepang menyerang dan masuk rumah mereka tanpa permisi, para Dayak tak setitik pun dihinggapi persaan takut. Ancaman Jepang sama sekali tidak menciutkan nyali mereka untuk menyerah kalah. Sebaliknya, semakin mengobarkan semangat persatuan untuk melawan dan segera memukul mundur mereka.

Para pemimpin adat Dayak sudah mafhum bahwa tentara Jepang sangat haus akan wanita-wanita. Kelemahan ini coba dimanfaatkan. Ketika masuk daerah pedalaman dan pemukiman orang Dayak, tentara Jepang disuguhi tuak dan arak. Yang menyuguhkan para wanita Dayak yang saat itu rata-rata masih berpakaian tradisional, bersongket dan bertelanjang dada. Namun, para wanita ini tidak asal melayani. Mereka sudah tahu tugasnya. Di tengah-tengah mabuk kepayang oleh pesta dan cinta, tentara-tentara Jepang dihabiskan para lelaki Dayak. Mereka diayau dan menemui ajalnya di tangan para headhunters.

Demikian pun, dalam perang terbuka di hutan-hutan, Jepang tak pernah sekali pun memetik kemenangan melawan pasukan Dayak. Para penglima perang Dayak yang sangat menguasai medan, dengan mudah memukul pasukan Jepang. Di waktu siang, para lelaki Dayak tidak pernah kedapatan berada di rumah. Mereka selalu mengundurkan diri ke hutan-hutan. Jepang mengira bahwa mereka sudah habis.

Manakala pasukan Jepang mengadakan patroli, orang Dayak dengan cepat menyergap. Dibantu sesama Dayak baik dari Kalimantan seluruhnya maupun dari daerah semenanjung Melayu, Tumasik dan sekitarnya, orang Dayak bersatu padu melawan Jepang.

Ajakan minta bala bantuan dengan tanda mangkok merah telah beredar dari kampung ke kampung. Pekik perang dan perlawanan sudah sampai ke seluruh penjuru. Maka, datanglah secepat kilat pasukan perang Dayak dari suku Iban, Sungkung, Seribas, Kantuk, Punan, Bukat, dan lain-lain menambah kekuatan perang.

Tentara Jepang bukan saja kocar kacir oleh orang Dayak, tapi juga dipukul telak dan tidak berkutik. Memang nama Pangsuma tercatat sebagai panglima perang Dayak pada masa pendudukan Jepang ini.

Namun, sebenarnya, masih terdapat panglima perang Dayak yang lain selain Pangsuma. Yakni Pang Dandan dan Pang Solang. Nama mereka kurang dikenal, namun jasa-jasanya jelas tak dapat dinafikan.

Sementara dari tanah Jangkang, panglima perang Dayak yang terkenal adalah Panglima Kilat. Kisah-kisah heroik dan epos Panglima Kilat hingga dekade 1970-an, masih sering dituturkan pada anak-anak. Ia dilukiskan sebagai sosok yang gagah berani, kuat, kebal, dan suka menolong. Jika ada orang Dayak yang menyerukan bantuan, secepat kilat ia datang membantu.

Usai Perang Majang Desa, Dayak Jangkang dan sekitarnya merayakan kemenangan ngayau di Bonti. Waktu ini kepala-kepala suku daerah Sanggau berkumpul, berpesta, menari (taja) di antara kelapa-kepala musuh (Jepang).

Ngayau tidaklah merupakan keputusan sesaat, harus melalui permufakatan antarpemerintahan lokal. Maklumat ngayau haruslah datang dari ketua para macan.

Paddy is a staff of life. Padi bagian dari hidup dan kehidupan Dayak Jangkang. Dayak Jangkang tengah memanen padi di ladang. Mereka mengelola hutan sangat arif dan bijaksana, tidak boleh merusak hutan. Sebuah lahan yang sama baru boleh diladangi kembali dalam siklus 15 tahun. Jadi, tidak benar kerusakan dan pembakaran hutan dilakukan penduduk asli, tapi dilakukan pengusaha perkebunan. Orang Dayak tidak akan merusak sendiri kehidupannya. Mereka tidak akan membakar lumbung penghidupannya sendiri. Dalam bab tersendiri dibahas kearifan tradisional Dayak Jangkang dan tata cara serta upacara seputar pertanian.

sumber : www.masri-sareb.blogspot.com

Tuesday, May 4, 2010

Etimologi dan Asal Usul Ngayau

Asal usul kata ngayau umumnya terdapat kesepakatan di kalangan suku Dayak. Namun, kapan ngayau dimulai dan bagaimanakah sejarahnya, agaknya masih simpang siur dan sering muncul dalam berbagai versi.

Hal itu disebabkan belum ada studi dan catatan sejarah mengenai asal mula ngayau secara detail dan kronologis. Hanya ada catatan mengenai kesepakatan bersama seluruh etnis Dayak Borneo untuk mengakhirinya. Ini terjadi pada pada 22 Mei - 24 Juli 1894, ketika diadakan Musyawarah Besar Tumbang Anoi di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu Kalimantan Tengah.

Benar adanya bahwa sebelum perjanjian Tumbang Anoi disepakati, terjadi praktik headhunting bahkan di kalangan sesama Dayak. Praktik ngayau antarsesama Dayak ini sukar dibantah dan memang demikianlah adanya. Dayak Jangkang misalnya, dahulu kala bermusuhan dengan Dayak Ribunt. Padahal, keduanya tidak berjauhan tempat tinggal.

Apakah faktor yang menyebabkan pengayauan antarDayak ini terjadi?

Saling mengayau di antara sesama Dayak, sejatinya bukanlah semata-mata mencari kepala musuh sebagai tanda bukti kekuatan dan kebanggaan sebagaimana selama ini dipersepsikan banyak orang. Alasan ini terlampau sederhana! Lebih dari itu, dilatari juga oleh nafsu balas dendam dan sebagai cara mempertahankan diri: menyerang lebih dulu sebelum diserang. Ini mirip dengan pepatah Latin si vis pacem, para bellum (jika Anda menginginkan damai, siap sedialah untuk perang).

Masuknya agama Katolik di tengah-tengah etnis Dayak, terutama dengan datangnya misi Katolik ke pulau Borneo di pengujung abad 18, membawa pengaruh baik. Perlahan-lahan ajaran Katolik tentang balas dendam (mata ganti mata, gigi ganti gigi) merasuk dalam hidup orang Dayak.

Ajaran Kristen yang radikal untuk tidak balas dendam dengan hukum “mata ganti mata, tulang ganti tulang” segera merasuk etnis Dayak. Ajaran cinta kasih ini menyadarkan masyarakat Dayak untuk segera menghentikan tradisi mengayau ini. Musyawarah ini dihadiri para kepala adat se-Kalimantan yang berkumpul dan bersepakat untuk menghentikan pengayauan antarsesama Dayak. Namun, pertemuan yang berbuah kesepakatan Tumbang Anoi sendiri diprakarsai pemerintah Hindia Belanda.

Ngayau berasal dari kata kayau yang berarti “musuh”. J.U. Lontaan, op.cit. hal. 532. Selanjutnya, untuk mendukung pendapatnya, Lontaan mengutip Alfred Russel Wallage dalam The Malay Archhipelago, 1896: 68, “… headhunting is a custom originating in the petty wars of village with village and tribe with tribe….”

Terdapat berbagai versi etimologi ngayau. Sebagai contoh, Fridolin Ukur dalam buku Tantang Jawab Suku Daya menyebut bahwa ngayau mencari kepala musuh. Sedangkan bagi Dayak Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, mengayau berasal dari kata “kayau” atau “kayo’; yang artinya mencari. Mengayau berarti men¬cari kepala musuh. Jadi, mengayau ialah suatu perbuatan dan tindak-budaya mencari kepala musuh.

Bai Dayak Jangkang, ngayau juga disebut ngayo. Berasal dari kata “yao” yang berarti: bayang-bayang, mengahantui, meniadakan, atau memburu kepala musuh sebagai prasyarat atau pesta gawai. Ada gawai khusus untuk merayakan kepala musuh dengan tarian perang, yakni gawai naja bak (pesta kepala).

Namun, serta merta perlu diberikan catatan pada apa yang disebutkan perbuatan dan tindak-budaya ini. Kedengarannya aneh di telinga untuk saat ini. Namun, jika menyelami keyakinan etnis Dayak lebih mendalam maka kita akan segera menjadi mafhum di balik tradisi mengayau ini.

Ngayau tidak terlepas dari keyakinan komunitas Dayak sebagai sebuah entitas. Hal ini dapat ditelusuri dari cerita lisan dan tradisi yang diturunkan dari mulut ke mulut. Menurut keyakinan yang dipegang teguh, orang Dayak yakin mereka adalah keturunan makhluk langit. Ketika turun ke dunia ini, menjadi makhluk yang paling mulia dan, karena itu, menjadi penguasa bumi.

Keyakinan ini, pada gilirannya, membawa konsekuensi orang Dayak lalu memandang rendah entis lain. Jika menganggu dan mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup mereka, etnis lain dapat disingkirkan. Namun, harus ada alasan yang kuat untuk itu. Darah hewan, apalagi manusia, tabu untuk ditumpahkan. Jika sampai terjadi, mereka akan menuntut balas.

Prinsip bahwa mata ganti mata, gigi ganti gigi benar-benar diterapkan. Meski mengalami penyempurnaan dan penyesuaian, sisa-sisa praktik ini “mata ganti mata, gigi ganti gigi” ini masih diteruskan di Jangkang hingga hari ini.

Pasal-pasal hukum adat Kecamatan Jangkang masih terasa kental nuansa penuntutan atas pertumpahan darah ini. Terbukti dari diaturnya secara detail pasal-pasal yang menetapkan pengadilan atas perkara dari mulai yang terkecil kasus pertumpahan darah hingga mengakibatkan kematian, yang dalam bahasa Dayak Jangkang disebut dengan “Adat Pati Nyawa”.

Satuan untuk menghitung ganti atas pertumpahan darah unik, disebut dengan tael. Di masa lampau, menghilangkan nyawa manusia baik sengaja (misalnya tertembak waktu berburu) maupun secara sengaja maka si pelaku akan mengalami kesulitan membayarnya. Seisi keluarga dan sanak saudara akan turut terlibat membantu. Bahkan, bukan tidak mungkin sampai seumur hidup pelaku menunaikan kewajibannya membayar Adat Pati Nyawa.

Apakah Adat Pati Nyawa? Secara harfiah, pati berarti sari atau inti. Kata “pati” kerap muncul dalam bahasa Dayak dengan inisial dan pembagian Djo (lihat Ethnologue: Languages of the World, Fifteenth edition, Dallas, “Djongkang: A language of Indonesia” (Kalimantan) ISO 639-3: djo

Jadi, pati nyawa adalah pengganti nyawa yang hilang. Tentu saja, hukum pati nyawa ini tidak berlaku dalam ngayau. Dan hanya berlaku dalam keadaan normal saja, sebab pekik ngayau haruslah datang dari aump dan merupakan hasil dari permufakatan bersama.

Demikianlah, ngayau pun harus disertai alasan-alasan yang kuat dan masuk akal bagi komunitas Dayak dan harus melalui hasil mufakat bersama. Disebut komunitas, karena suatu kampung biasanya menempati sebuah batang atau rumah panjang. Sebelum melancarkan pengayauan, malam harinya diadakan musyawarah bersama yang dalam bahasa Dayak Jangkang disebut boraump. Semua peserta wajib memberikan pendapat dan penilaian. Keputusan diambil dengan berpangkal tolak pada suara dan pendapat mayoritas.

Patut diberi catatan tambahan bahwa ngayau di kalangan suku Dayak umumnya, dan Dayak Djongkang khususnya, bukan sekadar memanggal kepala musuh. Ada filosofi yang melatarinya. Banyak kandungan hikmah, meski sekilas tampak sadis, di balik itu semua.

Orang luar yang kurang memahami secara mendalam filosofi dan latar di balik tradisi ngayau, sehingga menarik simpulan entimema: orang Dayak biadab, sadis, pemburu kepala manusia, dan headhunting. Tentang labeling bahwa Dayak adalah pemburu kepala manusia ini, Wikimedia bahkan mencatatnya sebagai “budaya” yang semestinya harus serta merta diberikan catatan bahwa itu adalah gambaran Dayak masa lampau. Perjanjian Tumbang Anoi yang difasilitasi Pemerintah Kolonial Belanda menghapuskan budaya ngayau ini. Di beberapa subsuku memang masih berlangsung, namun di Kalbar tradisi mengayau sudah berakhir pada sekitar sejak tahun 1938.

Toh demikian, Wikipedia yang tidak tahu sejarahnya masih mencatat demikian, “Headhunting was an important part of Dayak culture, in particular to the Iban and Kenyah. There used to be a tradition of retaliation for old headhunts, which kept the practise alive. External interference by the reign of the Brooke Rajahs in Sarawak and the Dutch in Kalimantan Borneo curtailed and limited this tradition. Apart from massed raids, the practice of headhunting was limited to individual retaliation attacks or the result of chance encounters. Early Brooke Government reports describe Dayak Iban and Kenyah War parties with captured enemy heads. At various times, there have been massive coordinated raids in the interior, and throughout coastal Borneo, directed by the Raj during Brooke's reign in Sarawak. This may have given rise to the term, Sea Dayak, although, throughout the 19th Century, Sarawak Government raids and independent expeditions appeared to have been carried out as far as Brunei, Mindanao, East coast Malaya, Jawa and Celebes. Tandem diplomatic relations between the Sarawak Government (Brooke Rajah) and Britain (East India Company and the Royal Navy) acted as a pivot and a deterrence to the former's territorial ambitions, against the Dutch administration in the Kalimantan regions and client Sultanates.”

Tidak mengherankan, dalam literatur dan laporan-laporan tertulis pada zaman kolonial, Dayak dicap sebagai suku asli Borneo yang tidak berkeadaban. Meski para peneliti dan ahli antropologi tidak memasukkan Dayak sebagai suku terakhir di Nusantara yang mempraktikkan headhunting, toh stereotipe sebagai pengayau masih melekat kuat minimal hingga kerusuhan etnis terjadi di Sambas pada 19 Januari 1999 di Desa Parit Setia, Kecamatan Jawai, Sambas dan kemudian merambat ke Sampit pada 18 Februari 2001.

Banyak orang melihat pertalian kejadian itu, meski sebenarnya berbeda dalam hal casus belli dan eskalasi. Akan tetapi, satu yang sama: solidaritas di kalangan etnis Dayak tumbuh menghadapi bahaya dari luar. Dalam konteks mempertahankan diri dan melakukan tindakan menyerang lebih dulu sebelum diserang ini, dapat dipahami latar dan filosofi ngayau.

sumber : www.masri-sareb.blogspot.com
foto : www.silverfishbooks.com

Monday, May 3, 2010

Sejarah Sarawak (bagian 1)

Oleh: I Ketut Ardhana, Lamijo, dan Rucianawati

Sebenarnya tidak mudah untuk memastikan kapan dan dari mana sejarah Sarawak berawal. Sarawak memiliki sejarah yang panjang dan rumit sebelum bergabung menjadi satu dengan federasi Malaysia pada tahun 1963. Saat ini historiografi Sarawak kebanyakan dimulai dari sejarah Brunei sebagai latar belakang periode Brooke (Sanib Said, 1999, 211) Hal ini disebabkan sejarah Sarawak sebelum era Brooke pada hakikatnya merupakan sejarah Brunei (Syed Idrus Syed Ahmad dan R. Santhiram, 1990,4). Sebelum tanggal 24 September 1841, Sarawak merupakan salah satu wilayah Kesultanan Brunei. Pada masa itu Sarawak belum berupa satu unit politik atau sebagai sebuah negara, Sampai abad ke-16, sistem politik di Sarawak hanya terdiri atas unit-unit kecil yang masing-masing menguasai satu etnis saja. Oleh karena itu, dalam membicarakan^latar belakang sejarah Sarawak, perlu disinggung secara ringkas sejarah Kesultanan Brunei (Sabihah Osman, 1990, 1).

Pada awal abad ke-16 Brunei merupakan sebuah kerajaan yang besar dan kaya, meliputi Sarawak di bagian barat hingga Manila di bagian utara. Namun, lambat laun kekuasaan kesultanan Brunei itu mulai menghadapi krisis politik dan lemah seiring dengan masuknya pengaruh Belanda di bagian selatan Borneo. Sebagian wilayah kekuasaannya di sebelah utara juga diserahkan kepada Kesultanan Sulu.

Memasuki abad ke-I9 jajahan Brunei semakin kecil dan terbatas hanya di kawasan Sarawak, Brunei, serta Sabah. Kedudukan kesultanan Brunei semakin tidak stabil dan terancam, seiring dengan merajalelanya perampok dan perompak. Kondisi demikian diperburuk lagi dengan adanya pembesar-pembesar kesultanan Brunei yang korupsi, bertindak sekehendak hati dan saling berebut kekuasaan. Hal semacam ini mengakibatkan banyak saudagar yang memutuskan hubungan perdagangan dengan Brunei dan mengalihkan perdagangannya ke Singapura.

Sementara Sarawak yang pada waktu itu merupakan salah satu daerah kekuasaan Brunei dan diperintah oleh pangeran Mahkota juga mulai menampakkan ketidakstabilan. Hal ini diakibatkan oleh sikap Pangeran Mahkota yang memeras orang-orang 'Dayak Darat' dan Melayu untuk bekerja keras di pertambangan antimony dengan gaji yang amat kecil. Selain menjalankan pemerintahan dengan sewenang-wenang, ia juga menindas para pekerja dengan mengharuskan membayar upeti, menjalankan perdagangan paksa dan monopoli semua barang keperluan, termasuk makanan dengan harga yang tetap. Bahkan, selain mengambil cukai dengan tidak adil, ia juga merampas harta benda rakyat. Dari kondisi demikian, maka tidak mengherankan bila pada tahun 1836 terjadi pemberontakan dengan tujuan membebaskan Sarawak dari kezalilman pembesar Brunei dari berbagai kelompok etnis, seperti Melayu, Bidayuh, dan Cina di bawah pimpinan Datu Patinggi Ali.


Selanjutnya Sultan Brunei mengutus Pangeran Muda Hashim ke Sarawak untuk memadamkan pemberontakan itu. Namun, ia tidak berhasil mengakhiri pemberontakan itu. Pangeran Mahkota terus menganiaya rakyat tanpa mempedulikan perintah Sultan melalui Pangeran Muda Hashim, sehingga kekacauan terus berlanjut. Pangeran Muda Hashim meminta bantuan James Brooke, seorang laksamana besar (great admirer) dari Sir Thomas Stamford Raffles yang dikenal sebagai Bapak pendiri Singapura, yang saat itu berada di lembah sungai Sarawak pada saat terjadinya kekacauan di daerah itu. Brooke berhasil menghapuskan pemberontakan dan memulihkan keadaan. Sebagai balas jasa dan setelah Pangeran Mahkota diusir ke luar, Brooke diangkat secara resmi sebagai penguasa Sarawak dengan gelar "Raja Sarawak" pada tanggal 24 September 1841. Pemerintahan James Brooke tampak lebih tertarik untuk mengemangkan sektor perdagangan, dengan tidak mengenyampingkan peningkatan taraf hidup orang-orang Dayak dan memanfaatkan berbagai sumber yang dimiliki Sarawak (Syed Idrus Syed Ahmad dan R. Santhiram, 1990,7).

James Brooke juga memusatkan kekuatannya untuk melawan perompak, headhuniers dan bandit-bandit di pedalaman Sarawak dan di garis pantai. Kekuasaannya bukanlah sesuatu yang penuh dengan kedamaian. Penduduk pribumi Sarawak mempertimbangkannya sebagai "piratรฉ" yang mencuri tanah dan penduduk mereka dan juga kebebasan dari pahlawan-pahlawan mereka yang menyebabkan mereka menentangnya (Sarawak State Government, 24 Februari 2002). Di bawah pemerintahnnyalah ia menjadikan Kuching sebagai ibu kota Sarawak (A Brief History of Kuching, 1993, 3). Sejak saat ini Kuching mengalami banyak perubahan dan Kuching menjadi istana pemerintahan Brooke.

Salah satu introduksi penting yang diperkenalkan oleh James Brooke adalah mengenai masalah hukum (a code of laws). Perompak (piracy) dan pemburuan kepala manusia (headhunting) berusaha untuk dilenyapkan dan penerapan hukum pun dipaksakan. James Brooke meninggal pada tahun 1868 yang kemudian digantikan oleh keponakannya, Charles Brooke.

Perubahan selanjutnya terjadi pada masa pemerintahan raja Sarawak yang kedua ini. Charles Brooke dapat dianggap sebagai seorang yang mampu memimpin dan penguasa yang tangguh. Hal ini dapat terlihat dari kronikel resmi pada tahun 1871 sebagai berikut, "Sarawak Budget Balanced for the First Time" Sarawak dikatakan berkembang pada masa kekuasaannya. Pengairan diintroduksi, jalan-jalan baru dan bangunan-bangunan baru pun didirikan. Rumah-rumah toko yang sudah kuna digantikan dengan yang baru (A Brief History of Kuching, 1993, 4). Kebanyakan wilayah di Kuching dari Main Bazaar sampai Carpenter Street dibangun kembali setelah terjadinya kebakaran tahun 1884.

Ia membangun sistem pemerintahan dan melanjutkan untuk memperluas wilayah perbatasan Sarawak. Pantai dari utara Bintulu sampai ke hulu Baram yang semula di bawah kontrol Brunei diambil alih ke Sarawak pada tahun 1883. Secara bertahap daerah-daerah yang diberikan kepada Sarawak antara lain Sungai Trusan dan Lawas pada tahun 1885, daerah Limbang pada tahun 1890, daerah subur Lawas pada tahun 1905. Bahkan Borneo Inggris Utara (Sabah) dipertimbangkan sebagai tambahan yang mungkin ke Sarawak (Hutton Wendy, ed. East Malaysia and Brunei. Singapore, Periplus Editions, 1997, 101 dan 129).

Bersambung....

Pantak Nek Intong, Quo Vadis Dayak

Oleh: Stefanus Akim

Masyarakat Dayak tempo doeloe memiliki kebiasaan dan tradisi untuk mengenang tokoh yang sudah meninggal dengan membuat pantak. Pantak adalah sejenis patung kayu yang wajahnya mirip dengan wajah tokoh dimaksud.

Di Kecamatan Sungai Ambawang salah satu yang memiliki Pantak adalah Nek Intong yang lokasinya di ‘Bingkuakng’ yang masuk dalam wilayah Desa Durian-Duriatn. Berjarak sekitar setengah jam perjalanan dengan menggunakan motor air dari Ambawang Kuala.

Konon Nek Intong adalah seorang tokoh dukun yang sangat sakti, ia juga seorang pengalangok yang gagah berani. Kala itu sepanjang sungai Ambawang masih banyak sekali buaya. Daun jatuh saja ditangkap, apalagi orang yang akan melintasi sungai itu. Hutannya masih rimbun dan dari seberang ke seberang masih nyambung. Binatang yang hidup di pohon seperti monyet, orang utan, tupai dan lainnya mudah saja pindah dari seberang ke seberang lainnya.

Dengan situasi seperti itulah ia menunjukkan kemampuan dan kesakiannya. Sehingga banyak yang bergantung dan mengharapkan kekuatannya.

Nek Intong adalah dukun Baliatn. Ia tak hanya mengobati manusia namun juga mengobati binatang yang hidup di sekitarnya. Suatu hari datang seekor burung Kulang Kulit yang sakit di pelataran rumah Nek Intong. Ia yang mengerti bahasa burukng menanyakan apa yang terjadi dan diinginkan oleh Kulang Kulit. ”Aku nian tek sakit. Dapat gek kao mantok aku, more aku,” kata Kulang Kulit yang artinya aku ini sakit. Dapat ndak kamu nolong saya, mengobati saja.

Ia yang menolong tanpa pamrih itulah akhirnya mengobati Kulang Kulit. Diambilnya babi di padulangan-kandang, ayam di kataraatn-kandang ayam, telur ayam, baras poe baras sunguh, pinang gamer timako rokok, dan paramu berobat lainnya. Termasuk darah asuk-anjing. Selesai baliatn, Kulang Kulit pun sembuh. Ia berjanji jika ada anak cucu keturunan Nek Intong yang diganggu maka sebut saja namanya. Di masyarakat Dayak, Kulang Kulit yang suaranya menggema pada malam hari semacam burung hantu yang menakutkan. Maka jika bersuara ada upaya yang dilakukan dengan nyampakng-ngingatkan bahwa manusia adalah keturunan Nek Intong.

”Ame kita’ ngaco kami. Kami nian panganak ucu Nek Intong,” itu kata ibuku jika ada suara Kulang Kulit. Artinya jangan kalian menganggu kami, sebab kami ini anak cucu Nek Intong.

Aku masih ingat saat tinggal di Nilas, sebuah kampung yang kini masuk di antara Parit Banjar dan Parit Baru, Desa Kubu Padi Kecamatan Kuala Mandor B. Jika ada suara burung itu sudah mulai riuh maka almarhum nenekku dan ibuku akan cepat-cepat nyampakng Kulang Kulit. Kampung yang dialiri Sungai Nilai yang tembus ke Desa Kopiang Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak itu memang terbilang sepi. Hanya ada tiga buah rumah yang jaraknya masing-masing sekitar 100 meter.

Di pantak biasanya orang membayar niat. Atok adalah salah seorang yang membayar niat. Bersama keluarga besarnya ia mengunjungi Pantak Nek Intong karena kelahiran anak pertamanya yang sehat sekitar tahun 1980, 3 tahun usia anak pertamanya. Anak pertamanya itu adalah aku yang kini menulis artikel Nek Intong, Quo Vadis Dayak?

Kembali ke Nek Intong, setelah ia meninggal anak cucunya membuatkan pantak untuknya. Untuk membuat itu bukan perkara mudah. Puluhan ekor babi, ayam, beras dan lain-lain disiapkan.

Kayu yang dipilih juga bukan sembarang kayu, namun kayu yang ’mau dan setuju’ untuk dijadikan pantak. Caranya dengan memotong sedikit kayu tersebut sambil berujar. ”Kami maok manjuat tak pantak Intong. Kita’ setuju gek ina’” artinya Kami akan membuat pantak untuk Intong, apakah setuju atau tidak.

Jika kayu setuju dan berjodoh maka ia akan mengeluarkan darah yang keluar dari bekas kulit tersebut. Jika tidak maka tidak akan keluar darah. Untuk mencari kayu seperti ini dibutuhkan waktu berhari-hari, masuk keluar hutan dengan rombongan yang tidak sedikit.

Saat merencanakan, memilih kayu, membuat, hingga selesai proses itu menggunakan upacara adat. Jika dilakuakn saat ini mungkin bisa membutuhkan dana ratusan juta rupiah.

Siapa saja yang bisa dibuatkan pantak? Kategorinya adalah pagalar, pangaya, pangalangok-orang bergelar, orang kaya dan panglima perang. Pagalar diantaranya timanggong, pasirah, pangaraga (anak raga), singa, dukun dan lain-lain. Mereka umunya pengurus adat yang tanpa cela.

Pangaya adalah orang kaya yang sejarah kehidupannya baik, bersih dan jujur tidak ada cela. Ia memperoleh kekayaan dengan cara yang beradat.

Sedangkan pangalangok adalah kelompok panglima perang, orang yang memiliki kesaktian yang tak dimiliki oleh sembarang orang. Punya kemampuan lebih dari orang lain.

Dari semua pantak, yang cukup terkenal dan dipercaya memiliki kekuatan gaib adalah pantak Mamo-pantak Nek Mamo. Ia terletak di salah satu desa di Banyuke yang aku tak tahu persis lokasinya. Pantak tersebut yang sudah ratusan tahun bertunas dan hidup. Jika kita datang di lokasi dan mengatakan ingin mendapatkan berkah, rezeki atau kesaktian jika beruntung maka salah satu bagian pantak hidup itu akan jatuh. Misalnya daunnya, ranting atau bahkan ada hewan yang menghantarkan. Misalnya tikus yang tiba-tiba keluar dari lobang dan membawa ranting yang membawanya dekat kita.

Ada juga patung masyarakat Dayak Kanayatn yang mirip dengan pantak. Namun ia dibuat bukan berdasarkan tokoh. Ia umumnya dikenal dengan Nek Ampagok.

Salah satu contoh Ampagok adalah yang terletak di Kuala Retok atau Ambawang Kuala serta Koala Ampaning.

Ampagok umumnya digunakan untuk meminta berkah selama proses tanam padi. Mulai dari ngawah-melihat lokasi, nyumbat lubakng tugal-setelah habis nugal, hingga bahanyi-panen yang diakhiri dengan makatn nasi baharu-makan nasi baru. Tempat ampago biasanya dikenal dengan Pantulak atau Paburungan.

Kini keberadaan situs masyarakat Dayak Kanayatn tersebut terancam oleh tangan-tangan jahil. Banyak pencuri yang mengicarnya sebab harganya cukup mahal dan mungkin saja ada sebuah proses ’penghilangan’ sistematis agar generasi muda sekarang tercerabut dari akar budayanya. Quo vadis Dayak?-mau kemana Dayak? Semua tergatung kepada generasi muda saat ini.

Pencurian dan pengerusakan Pantak dan Ampago di ’Sunge Ambawang’ sudah berlangsung sejak lama. Bahkan sejak tahun 1970-an. Misalnya saja di Koala Babatakng, sekarang Desa Kubu Padi Kecamatan Kuala Mandor B ada misionaris Kristen yang menggesek pantak. Ia mengatakan itu adalah berhala, orang Kristen dilarang menyembah berhala. Pantak yang digesek itu kemudian ditenggelamkan di Sungai Babatakng.

Tahun 1990-an misalnya Ahua seorang tokoh Dayak yang rumahnya berjarak sekitar 50 meter dari Ampago Kampokng Ampaning terpaksa harus menarik senapan lantak. Ia melihat ada segerombolan orang yang mencoba mencuri Ampago dengan menggunakan speed boat namun digagalkan oleh Ahua.

Kasus terbaru tahun 2005, puluhan pantak dan ampago berhasil diamankan oleh Polisi Kota Besar (Poltabes) Pontianak dan Polisi Sektor (Polsek) Pontianak Timur dari salah seorang kolektor di Pontianak Timur. Ternyata situs bersejarah tersebut berasal dari Kecamatan Manyuke-Banyuke. Andreas Lani, politisi Partai Golkar yang kini anggota DPRD Kalbar asal Kabupaten Landak memastikan bahwa barang langka tersebut berasal dari tempatnya. Apalagi ia membawa tokoh adat dan orang kampung untuk memastikannya.

Di Kampokng, Desa Kubu Padi persisnya di muara sungai kecil dulu tahun 1980-an aku masih sering melihat ada ampago di muara sungai tersebut. Kondisinya tak terawat dan berada di tengah hutan sagu. Kini tak tahu persis mungkin saja sudah dicuri juga.

Di Sungai Ambawang ada sebuah bentuk inkulturasi dan akulturasi antara kepercayaan masyarakat Dayak dan Cina. Misalnya di Ambawang Kuala yang persis di pertigaan sungai Landak-Sungai Ambawang Pekong (tempat ibadah Cina) dan Pantulak (tempat Ampago Dayak) dibuat satu rumah. Lokasinya hanya dibedakan oleh sekat atau kamar. Begitupun di Kuala Retok, Kuala Mandor B. Bahkan banyak orang Cina yang membantu membangun Pantak untuk orang Dayak.

Meskipun pantak, ampago dicuri namun kepercayaan dan spiritnya tak akan pernah hilang. Ada kepercayaan ’karamat man panunggu aik tanah’-yang menunggu air dan tanah atau roh sakti tak pernah akan pergi dari tempatnya. Ia akan mencari media lain dan kesaktiannya tak akan pernah ikut dengan tubuhnya-patung. □

*Penulis adalah Redaktur Harian Borneo Tribune Pontianak kelahiran Ampaning dan keluarga di Retok. Menimba ilmu di Seminari St Paulus Nyarumkop dan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura. Belajar Narrative Reporting di Pantau Foundation Jakarta kepada Andreas Harsono, penerima Nieman Fellowship on Journalism di Universitas Harvard dan Janet Steele dari George Washington University. Ikut pelatihan investigative reporting dan etika media kepada Roberta Baskin dan Prof Dr Ralph Barney dari USA, serta Dr Elias Tana Moning, Atase Pers Kedubes AS Stanley Harsha dan serta CEO Jawa Post Dahlan Iskan.

sumber : www.stefanusakim.wordpress.com
foto : www.randafricanart.com
 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube