BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Sunday, April 25, 2010

Asal Mula Bukit Ponongu


Oleh R. Masri Sareb Putra

Dahulu kala, sebelum diadakan musyawarah Tumbang Anoi tahun 1894, orang Dayak masih Ngayau (headhunting). Pengayauan dimulai saat padi di ladang mulai menguning. Hasil kayauan akan ditarikan dalam pesta gawai yang disebut notongk.

Tersebutlah sebuah kampung bernama Ponongu. Letaknya tidak jauh dari Tampun Juah. Di bagian perbatasan Kalimantan Utara ini terdapat dua betang (rumah panjang). Kedua betang dipisahkan oleh jalan. Panjang betang hingga 100 meter. Keluarga yang mendiami betang 20 hingga 25 lawang (kepala keluarga).

Biasanya, tiap tahun kedua betang mengadakan pesta gawai pada hari yang sama. Namun, karena panen melimpah, tahun itu pesta gawai berbeda. Lawang di lawang kanan jalan gawai lebih dulu, sedangkan yang sebelah kiri kemudian.

Pesta berlangsung sangat meriah. Segala ternak yang dimiliki, dibawa ke tempat upacara untuk disembelih. Sapi, lembu, kambing, dan ayam yang sudah layak dipotong; dibawa ke tempat upacara untuk dijadikan korban. Sedangkan sisanya, untuk dimakan ramai-ramai.

Seluruh warga kampung larut dalam kegembiraan pesta. Mereka menyanyi. Mereka juga menari. Muda mudi bersahut-sahutan berpantun. Kaum tua saling melempar kelakar. Nenek dan kakek tak ketinggalan tertawa cerita. Pokoknya, tidak ada yang murung di hari upacara. Semua gembira. Apalagi tahun itu panenan melimpah, lagi pula banyak kepala musuh untuk taja notongk (tarian kemenangan atas musuh).

Akan tetapi, tidak semua warga turut larut dalam kegembiraan. Di betang kiri, hidup pula seorang nenek. Nek Dara, orang kampung biasa memanggilnya. Ini karena rambut si nenek sudah ubanan mirip dengan burung dara yang berbulu putih. Nek Dara hidup sebatang kara. Ia hanya ditemani oleh Pawan, cucu laki-lakinya yang tengah akil balig. Hidup mereka sangat miskin. Karena miskin, mereka tidak diundang dalam pesta.

Siang malam bunyi gendang berlalu-lalu tanpa henti. Suara tawa sesekali ditingkah oleh sorak sorai. Karena miskin, Nek Dara dan Pawan tak diundang dalam pesta. Karena itu, mereka hanya bisa membayangkan. Betapa lezat makanan dan minuman yang dihidangkan di pesta itu.

Walaupun miskin, nenek dan cucu memelihara trenggiling ( manis javanica) dan kucing. Meski yang satu binatang hutan, tapi karena dipungut sejak bayi, kedua makhluk itu jadi sangat jinak. Lagi pula, keduanya suka menolong. Kucing suka menghadang tikus yang kerap memasuki rumah. Sementara trenggiling memakan semut yang mengotori rumah.

“Wan, pergilah ke pesta itu. Mintalah sepotong daging untuk kita!” pinta Nek Dara.

Dengan perasaan malu, Pawan pergi ke pesta. Ia tak berani menolak. Lagipula, tak tega hatinya menyakiti hati nenek yang sangat dikasihinya.

Setiba di pesta, tanpa basa basi Pawan mengutarakan maksudnya. Ia diberi sekerat daging oleh pemimpin pesta.

Tapi di tengah perjalanan pulang, Pawan terpeleset. Sekerat daging jatuh dari tangannya. Anjing-anjing yang mengikutinya dari belakang, segera menyambar daging itu.

Dengan menangis Pawan kembali ke rumah. Diceritakannya pengalamannya pada neneknya. Nenek coba membesarkan hatinya. Lalu dengan lemah lembut membujuk Pawan untuk mencoba meminta sekali lagi.

Alangkah malu hati Pawan harus ke pesta itu lagi. Tapi ia tak punya pilihan. Sudah lama mereka makan tanpa daging. Maka berangkatlah sekali lagi Pawan ke pesta. Betapa baik pemimpin pesta, masih mau memberinya sekerat lagi.

Kali ini Pawan lebih waspada. Pengalaman mengajarkan padanya agar berjalan lebih hati-hati lagi. “Nek, Pawan datang membawa daging!” serunya begitu hendak menaiki tangga rumah.

Sebagaimana diketahui, tangga rumah betang suku Dayak sangat tinggi. Bisa sampai tiga meter. Begitu menginjak pelataran rumah, kaki Pawan terperosok antara batang bambu. Daging di tangannya jatuh ke tanah. Di bawah pelataran itu, terdapat kubangan. Segumpal daging itu masuk ke dalamnya.

Pawan menangis tersedu-sedu. Ia merasa kesal. Kali ini daging sudah berhasil dibawanya masuk rumah, tapi celaka. Melihat cucunya menangis, Nek Dara mengusulkan supaya Pawan sekali lagi mencoba. Maka pergilah Pawan ke pesta, meminta lagi.

Orang-orang merasa heran melihat Pawan datang untuk ketiga kalinya. “Keterlaluan ini anak,” ujar seorang tukang masak. “Gak tahu diri. Dikasih ati, minta rempela.”

Tapi baiklah. Ia punya akal supaya anak itu kapok dan tak datang lagi untuk ketiga kalinya. Bukankah di situ ada kepingan karet yang biasanya digunakan untuk menghidupkan api? Diberinya karet itu kepada Pawan.

“Ini daging yang kamu cari. Pulang dan masaklah. Makanlah bersama dengan nenekmu. Senang-senang dan bersukacitalah kalian seperti kami!”

Menerima kemurahan hati untuk ketiga kalinya, Pawan pulang dengan riang gembira. Sesampainya di rumah, neneknya sudah menunggu. Segera mereka memasak daging.

Tapi apa yang terjadi? Makin lama dimasak, makin daging itu meleleh. Pawan tak sabar. Dicicipinya masakan itu. Rasanya, tidak seperti daging hewan atau ternak yang biasa dimakan orang. Nek Dara juga mencicipinya. Akhirnya si nenek tahu. Bahwa yang diberikan kepada mereka bukan daging, melainkan segumpal karet.

Karena sakit hati menerima perlakuan dan penghinaan seperti itu, nenek dan cucu itu menangis. Nek Dara kemudian memanggil trenggiling. Disuruhnya binatang pemakan serangga itu menggali lobang dari rumah mereka sampai melewati batas kampung. Dalam sekejap, trenggiling sudah menunaikan tugasnya.

Kini dipanggilnya kucing. Binatang ini diberinya baju. Lalu lehernya dikalungi dengan lonceng. “Bawalah ini ke tempat pesta. Tiba di sana, lepaskan!” kata Nek Dara pada Pawan.

Pawan menuruti permintaan nenek. Sesampainya di tempat pesta, dilepasnya kucing itu ke tengah-tengah kerumunan orang ramai. Pawan segera pulang. Semua orang menertawai kucing itu. Mereka semua terpingkal-pingkal. Ada yang memegang perut menahan tawa.

Tiba-tiba gelap gulita memenuhi seluruh kampung. Petir menggelegar. Kilat sambar menyambar. Seketika suasana gaduh. Hujan lebat turun. Anehnya, bukan air yang turun, tetapi batu.

Tak satu pun penduduk yang selamat dari hujan batu. Namun, Nek Dara, Pawan, trenggiling serta kucing selamat. Mereka keluar kampung itu melalui terowongan yang telah dibuat trenggiling.

Seketika, kampung itu dihujani batu. Lama kelamaan batu itu menjadi bukit. Itulah asal muasal Bukit Ponongu.

Pawan dan neneknya pergi mengungsi. Jauh sekali sampai wilayah Ketapang. Nantinya, nama Pawan diabadikan menjadi nama Sungai di Ketapang, yakni Sungai Pawan. Salah satu keturunannya menjadi permaisuri raja Kerajaan Matan.

***

foto : www.masri-sareb.blogspot.com

Thursday, April 22, 2010

BUKU DAYAK DJANGKANG

Gambaran orang Dayak bertelinga panjang berjuntai anting, bercawat, bersongket, makan sirih, tinggal di rumah panjang, pemburu kepala manusia (headhunters); hanyalah kenangan masa lalu. Labeling sebagai suku bangsa primitif dan sejumlah stereotype miring, tinggal cerita.
Dayak Jangkang adalah salah satu Land Dayak yang menuturkan dialek Bokidoh. Ditutur lebih dari 45.000 penduduk, bahasa dengan sandi "Djo" di kencah dunia linguistik ini masih, dan akan tetap, aksis.

seiring modrenisasi dan pembangunan, etnis Dayak asuk dalam peradapan baru. Tua muda, laki maupun perempuan, anak-anak hingga dewasa; semua berperilaku dan ber-modus vivendi seperti layaknya manusia modern. Telepon seluler, antena parabola, kulkas, televisi berwarna, mobil, dan motor sudah jadi hal biasa bagi mereka. pendeknya, teknologi canggih dan informasi terkini dari penjuru dunia sudah merasuk, bahkan mempengaruhi, peradaban dan cara hidup mereka. Ini membuktikan bahwa etnis Dayak pun punya kemampuan adaptif untuk menghadapi perubahan zaman yang turbulen.
Diimbuni sejumlah gambar kuno zaman kolonial yang didapat dari Herman Jozef an Hulten, misionaris Belanda yang menginjakkan kaki di bumi Borneo tahun 1938, foto koleksi Kon. Institut v.d Tropen Amsterdam, Romer Museum Hildesheim, dan koleksi pribadi. Menjadikan buku ini bukan saja bernilai historis, tetapi juga sebuah studi komprehensif yang membahas kearifan lokal Dayak Jangkang hingga partisipasi politik mereka dalam Perang Manjang Desa, Filosofi di balik "Ngayau" dan tradisi "Mangkok Merah". Perjanjian "Tumbang Anoi" antara Dayak Borneo 22 Mei - 24 Juli 1894 di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu, Kalimantan Tengah yang belum banyak diketahui publik, riak-riak politik Dayak dalam pemilu 1955, serta mengupas tuntas akar dan sumber konflik eknik di Kalimantan Barat.

Inilah buku pertama yang membahas etnis Dayak dari pendekatan semiotika Roland Barthes tentang bahasa dan mitos dan hubungannya dengan peanda (signifier) dan yang ditandakan (signified). Buku ini membatu siapa saja untuk memahami cara hidup dan cara berada etnis Dayak, selain memberikan perspektif baru tentang cross culture, akar clash sosial, potensi konflik, dan pendekatan baru untuk mengatasinya.

Wednesday, April 21, 2010

MARGINALISASI TERHADAP ORANG DAYAK

Oleh -Tain Odop

Jika kita melihat kecenderungan iklim politik daerah di Kalimantan, katakanlah di Kalimantan Barat yang mayoritas penduduknya adalah suku Dayak (40% lebih), permainan marginalisasi ini muncul ketika pemerintah menerapkan sistem negara yang sentralistik pada zaman orde baru. Sistem yang diciptakan pusat dengan sentralistik itu telah menjadi penghalang dan penjajah secara tidak langsung. Sebetulnya bukan hanya masyarakat Dayak yang dirugikan dari penerapan sistem pemerintahan ini, hampir diseluruh Nusantara, daerah menjadi kuda pacu bagi pusat. Kekayaan daerah yang berhasil dieksplorasi oleh perusahaan-perusahaan raksasa sebagian besar hasilnya diangkut kepusat. Akibatnya daerah hanya mendapatkan bagian terkecil dari hasil industri perdagangan tersebut.

Marginalisasi oleh pemerintah pusat dimasa Orba menyebabkan daerah-daerah seperti Aceh, Kalimantan, Papua, Timor Timur, dan sebagian Sulawesi menjadi ngambang tanpa arah pembangunan yang jelas. Mereka ini ibarat bergantung pada tuan yang galak dan tidak bernurani. Setelah kekayaan mereka diambil, mereka ditinggalkan begitu saja. Adapun pengembalian kembali kekayaan kepada mereka tidaklah sebanding dengan apa yang telah diambil.

Kesalahan pemerintahan dizaman orde baru tersebut menjadi semacam bom pemicu sehingga daerah-daerah mulai berontak dan melawan. Walaupun melawan bukan dalam kontek perjuangan bersenjata, mereka mulai membuat gerakan-gerakan politik oposisi daerah untuk menjadi penggerak utama memperjuangkan hak-hak lokal. Sistem yang sentralistik dan marginalisasi itu membuat daerah-daerah kerdil. Langkah berontak yang mereka tunjukkan sedikit demi sedikit mampu menyentil pemerintah pusat sehingga pemerintah pusat sendiri mau tidak mau melunak dan mulai memperhatikan kepentingan daerah. Tetapi perhatian pusat masih dalam lingkup yang sekedar saja tanpa berusaha maksimal memberikan perhatian pembangunan dan sosial kebudayaan daerah. Akibatnya aksi berontak ini masih berlanjut dan menjadi bumerang yang membuat pusat terpinsut salah aksi. Daerah merasa dianaktirikan, bahkan dalam tatanan tertentu marginalisasi ini semakin merambah beberapa aspek kehidupan.

Beberapa hal yang menjadi kendala pengembangan daerah dimasa orde baru karena sistem pemerintah yang terpusat itu adalah sebagai berikut:

1. Potensi penghasilan daerah diangkut kepusat sehingga sumber dana daerah sangat minim. Kekuasaan selalu terpusat di Jakarta dan kebijakan juga demikian, daerah hanya sebagai pelaksana harian tanpa wewenang yang lebih besar untuk mengambil keputusan-keputusan strategis bagi kepentingan lokal.

2. Secara tidak langsung, pemerintah pusat menekan dan menjajah rakyat etnik. Semisal, orang Dayak jarang diberi kesempatan untuk mengisi posisi kunci dalam pemerintahan. Di Aceh, ketika daerah ini dinyatakan sebagai DOM Daerah Operasi Militer, orang-orang lokal tidak diberi kekebasan dalam hal berdemokrasi dan selalu dicurigai sebagai aktek-antek Gerakan Aceh Merdeka. Pemerintah menutup pintu untuk masyarakat Aceh dalam hal politik. Akhirnya, mereka berjuang minta dukungan dunia luar agar mereka bisa memegang tampuk pemerintahan daerah.

3. Kecenderungan lain yang sebetulnya tidak terbaca oleh masyarakat dari sentralisasi pemerintahan ini adalah program Javanisasi dan Islamisasi. Hampir semua program transmigrasi kedaerah melibatkan dua kekuatan ini, sehingga terjadilah silang pendapat mengenai perlu tidaknya transmigrasi. Disektor pemerintahan, aroma Javanisasi begitu kental. Dulu pusat punya kebijakan untuk mengusulkan dan menempatkan seorang pemimpin dari etnis Jawa untuk memimpin daerah.

4. Secara halus negara menjajah daerah. Ingat bagaimana ekspoloitasi dan pengaruh-pengaruhnya dari bahasan diatas tadi. Ini menunjukkan ada indikasi yang sangat dominan oleh pemerintah pusat dalam banyak urusan didaerah. Secara kasat mata pusat telah menjajah daerah tanpa memberi ruang gerak yang cukup luas bagi daerah untuk berinovasi menemukan resep pembangunan yang sesuai kebutuhan dan kultur daerahnya. Memang disisi lain daerah masih terbatas dengan beberapa sumber daya, namun karena begitu dominannya pengaruh pemerintah pusat dizaman orde baru, daerah hanya sebagai pelaksana saja tanpa mempu mengambil keputusan-keputusan besar untuk membangun daerah secara kontinue.

Pengaruh dan dominasi pemerintah pusat ini secara halus membunuh potensi-potensi lokal. Para politikus lokal yang memiliki kemampuan untuk membawa daerah menuju kesejahteraan dihambat dan dihalang-halangi. Pusat membuat sebuah sistem lingkaran yang membentengi posisi utama dalam pemerintahan. Akibatnya kekuatan politik lokal menjadi hancur. Ekonomi daerah juga menjadi kacau balau. Harga barang bisa dipengaruhi oleh keadaan ekonomi pusat. Dalam ruang lingkup bisnis, ada kecenderungan monopoli perdagangan yang dibuat sistematis dan disetting untuk menekan pertumbuhan ekonomi daerah.

Ini Semua merupakan persoalan yang kompleks sebagai akibat dari sentralisasi oleh pemerintah tersebut diatas. Marginalisasi ini terus berlanjut bahkan hampir tiga dasa warsa terutama semasa pemerintahan Suharto.

sumber -www.amalgdf.blogspot.com

Monday, April 19, 2010

Kerajinan Tangan Dayak Tembus Pasar Eropa

Samarinda (ANTARA News) - Kerajinan tangan khas Dayak dari anyaman rotan dan manik-manik yang dibuat oleh pengrajin asal Samarinda Kalimantan Timur, Theodora Hangin Bang Donggo, berhasil menembus pasar Eropa.

"Kerajinan tangan yang dibuat dari anyaman rotan yang dipadu manik-manik, sangat diminati orang Eropa," kata Theodora Hangin Bang Donggo, Senin.

Peraih penghargaan Upakarti dari Presiden RI pada 28 Deseber 2009 lalu itu mengaku beberapa negara yang menjadi tujuan pemasaran kerajinan tangan produksi CV. Matan (Manik-manik-Rotan) yang dipimpinnya itu antara lain Jerman dan Australia.

"Bahkan, banyak ekspatriat dari Jerman dan Australia menjadikan produk kami sebagai cendera mata ketika pulang ke negaranya. Biasanya,kerajinan tangan rotan dan manik-manik itu dijadikan sebagai pembungkus toples mereka," kata Theodora Hangin Bang Donggo.

Kerajinan rotan dan manik-manik yang paling diminati di Pasar Eropa dan ekspatriat kata Theodora Hangin Bang Donggo yakni katat (tempat menyimpan barang berharga) dan pasuk (keranjang).

"Setiap mengikuti pameran di negara Eropa, Pasuk dan Katat yang paling banyak diminati," katanya.

Usaha kerajinan tangan yang dirintisnya sejak 1990-an itu telah berhasil membina puluhan pengrajin di Kabupaten Kutai barat dan Kota Samarinda.

Berkat inovasi dan kreatifitasnya memadukan rotan dan manik-manik menjadi katat Theodora Hangin Bang Donggo, meraih penghargaan Seal of Exellence dari UNESCO pada 2007 silam.

Bahkan, hasil karyanya juga mendapat penghargaan dari Aburizal Bakrie pada Pekan Produk Budaya Indonesia sebagai anyaman rotan terbaik di Indonesia.

"Hasil rajutan katat dianggap sebagai hasil karya tradisional yang unik, inovatif serta menggunakan bahan baku dari alam sehingga mendapat penghargaan dari UNESCO," ujar piminan CV. Matan itu.

Hingga saat ini, usaha kerajinan rotan dan manik-manik yang dikelola Theodora Hangin Bang Donggo telah membina 15 kelompok pengrajin rotan di Kutai Barat dan lima kelompok pengrajin manik-manik di Kota Samarinda.

"Kami memadukan pengrajin rotan yang ada diKutai Barat dengan pengrajin manik-manik di Samarinda. Jadi, anyaman rotan dari pedalaman Kaltim itu dipadu dengan manik-anik buatan pengrajin di Samarinda," katanya.

"Itulah yang membedakan kerajinan tangan buatan kami dengan kerajinan tangan lainnya. Kami mencoba memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah di pedalaman Kaltim dengan keahlian masyarakatnya yang umumnya pandai menganyam dan kerajianan khas manik-manik khas Samarinda," kata Theodora Hangin Bang Donggo.(*)

sumber : www.antaranews.com
kredit foto : www.yonwahyudi.blogspot.com

Sunday, April 18, 2010

Yang Magis di Upacara Nyobeng

Oleh: Muhlis Suhaeri

Perjalanan ke wilayah pedalaman Kalimantan Barat, merupakan suatu pengalaman dan sensasi tersendiri. Keanekaragaman masyarakat, keelokan budaya, dan keasrian alamnya, memberikan pengalaman tersendiri. Satu hal pasti, Anda harus siap dengan berbagai pengalaman tak terduga.

Tak heran, ketika seorang teman mengajak ke acara gawai adat, 15-16 Juni 2007, tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan. Upacara adat itu bernama Nyobeng. Yang merupakan upacara adat, memandikan atau membersihkan kepala manusia hasil mengayau nenek moyang. Suku Dayak Bidayuh merupakan salah satu sub suku Dayak di Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang. Daerah ini berbatasan langsung dengan negara tetangga, Malaysia.

Dari ibu kota propinsi, Pontianak, perjalanan bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat menuju Kota Singkawang. Perjalanan sejauh 145 km, bisa ditempuh dalam waktu 2-3 jam. Jalanan lumayan bagus. Dari Singkawang menuju Bengkayang bisa ditempuh selama satu setengah jam. Jarak dari Singkawang ke Kabupaten Bengkayang, sekitar 80 km. Jalanan sempit dengan aspal hingga ke ibu kota kabupaten. Ada beberapa losmen dan hotel di sini.

Paginya, kami melanjutkan perjalanan menuju Kecamatan Seluas. Setahun lalu, ketika melewati jalan ini, banyak lubang menganga di sepanjang jalan. Namun, sekarang jalan sudah terlihat mulus dan bagus. Namun, kondisi ini biasanya hanya bertahan dua tahunan saja. Setelah itu, jalan harus diaspal kembali. Ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, faktor manusia. Cara pengerjaan jalan kurang bagus, sehingga jalan cepat rusak. Kedua, faktor alam. Sebagian besar tanah di Kalbar merupakan tanah gambut, sehingga tanah bersifat labil dan mudah amblas.

Setelah menempuh perjalanan darat selama dua jam, sampailah kami di sebuah penyeberangan perahu di Sungai Kumba. Belasan perahu tertambat di pinggir sungai. Air sungai kecoklatan dengan arus tidak begitu deras. Sungai Kumba menjadi pertemuan alur antara Sungai Siding dan Bumbung. Kedua nama itu adalah salah satu wilayah kecamatan di Bengkayang.

Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan motor air (perahu bangkong). Perahu bangkong merupakan sejenis perahu berukuran panjang 8 meter dan lebar 80 cm, bermesi 15 PK. Ketika dimuati delapan orang, jarak air dengan bibir perahu hanya 5 cm. Kalau bersimpangan dengan perahu lain jalannya harus pelan, agar perahu di sebelahnya tidak terkena ombak dan bisa menyebabkan perahu kemasukan air.

Perahu ini biasanya dimiliki para pedagang untuk mengangkut barang dagangan. Sekali angkut biasanya 400 kg. Dari ibu kota kabupaten, pedagang biasanya mengangkut barang dagangan berupa kebutuhan 9 bahan pokok, sabun, deterjen dan berbagai kebutuhan lainnya. Dari pedalaman, pedagang membawa hasil kebun dan pertanian, seperti karet, jagung, lada dan lainnya. Diantara bawaan barang dagangan itulah, penduduk “numpang” perahu menuju perkampungannya. Untuk jasa tersebut, penduduk harus merogoh koceknya sebesar Rp 15 ribu.

Air sungai Kumba tidak terlalu deras. Lebar sungai sekitar 50 meter dengan kedalaman 2-3 meter. Setelah satu setengah jam perjalanan, sampailah kami pada dua cabang anak sungai. Sungai Siding dan Bumbung. Kami menuju hulu Sungai Bumbung.

Sungai Bumbung tidak begitu lebar. Lebarnya sekitar 15 meter. Kedalaman sungai ditentukan oleh faktor curah hujan. Bila curah hujan jarang, kedalaman air sungai 1-2 meter. Bila turun hujan, ketinggian air lebih tinggi. Bagi para pemilik perahu motor, melayari sungai lebih enak saat air pasang. Bila air surut, perahu harus berjalan zig-zag menghindari batang pohon tumbang dan berserakan di dasar dan permukaan sungai. Tak heran bila terkadang tersangkut di batang pohon tumbang. Bila sudah demikian, penumpang harus turun dan mengangkat perahu secara bersama. Dasar sungai merupakan lumpur bercampur pasir.

Setelah menempuh perjalanan dua jam, dan berkelok pada beberapa anak sungai, sampailah kami pada jembatan Taling atau Sohoo. Jembatan itu terdiri dari dua batang bambu direntangkan di atas Sungai Sohoo. Tingginya sekitar 4 meter dari sungai. Bagian atas jembatan ada dua batang bambu direntangkan sebagai pegangan tangan.

Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak di tengah hutan dan ladang. Setelah berjalan kaki selama satu jam, kami sampai pada batas kampung. Sebuah papan bertuliskan selamat datang tertera pada pintu masuk kampung.

Kampung itu bernama Hli Buei. Biasa disebut Kampung Sebujit. Termasuk wilayah Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang. Di batas desa, ada penyambutan. Puluhan lelaki mengenakan selempang kain merah dengan hiasan manik-manik dari gigi binatang. Sebagian diantaranya membawa senapan lantak dan sumpit. Senapan lantak biasa digunakan untuk berburu binatang. Hari itu, senapan dibunyikan sebagai tanda penyambutan. Bunyinya menggelegar dan keras. Letupan senapan lantak juga berfungsi memanggil ruh leluhur, dan meminta izin bagi pelaksanaan adat yang bakal dilakukan.

Rombongan tamu disambut para tetua adat. Sang kepala adat, Pak Amin, melempar anak anjing ke udara. Kepala tamu rombongan harus menebas anak anjing itu di udara dengan mandau. Kalaupun tak kena, anjing harus dipotong dengan mandau sesampai di tanah. Setelah itu, juga ada pelemparan ayam ke rombongan. Ayam, sama nasibnya dengan anjing. Upacara ini disebut naburi.

Setelah itu, tamu dilempar dengan telur ayam. Menurut kepercayaan, bila telur tidak pecah, berarti yang datang tidak ihlas. Kalau pecah, berarti tamu datang dengan ihlas. Beras putih dan beras kuning dilempar ke tamu, sambil dibacakan mantra. Rombongan diberi minuman tuak dari pohon niru dicampur kulit pohon Pakak. Kulit pohon ini memberi warna kemerahan dan rasa manis pada tuak. Cara membuatnya, kulit pohon itu harus dikeringkan terlebih dahulu.
Tuak yang terletak dibumbung bambu itu, diedarkan para gadis kembang desa ke segenap tamu. Dengan cawan dari bambu, setiap tamu meneguk tuak yang diedarkan. Inilah minuman penyambutan. Ibaratnya, inilah minuman welcome drink, seperti ketika kita masuk ke cafe atau tempat entertainment lainnya.

Selepas upacara penyambutan di batas perkampungan, rombongan tamu masuk ke perkampungan. Masyarakat menyalami semua tamu. Kami diantar memasuki tempat upacara yang berada di tengah perkampungan. Perkampungan itu tak lagi menampakkan ciri khas rumah adat Dayak, biasa disebut rumah Betang. Rumah ini berbentuk rumah panggung besar dan memanjang. Semua bangunan dari kayu. Bentuk atap menyerupai limas segitiga. Rumah dihuni puluhan kepala keluarga. Biasanya, di rumah inilah, semua pola hidup komunal dan kebudayaan Dayak, merepresentasikan dirinya.

Sebagian besar rumah di kampung Sebujit dihuni satu keluarga. Rumah terbuat dari semen dan pasir. Bentuk, warna, hiasan rumah, tak lagi menampak ciri khas ornamen dan hiasan khas Dayak. Beberapa rumah memasang antena parabola. Siaran TV3 Malaysia, lebih mudah ditangkap daripada TVRI.

Tempat upacara berada di tengah kampung. Di sana ada rumah adat. Namanya, rumah balug. Rupa rumah adat ini bentuknya bulat. Lebarnya sekira 10 meter dengan tinggi 15 meter dari tanah. Rumah ditopang dari kayu belian bulat yang dibenamkan ke tanah. Ukuran kayu sebesar 10-15 cm. Setiap sambungan rumah diikat dengan tali ijuk. Tangga rumah terbuat dari sebatang pohon yang telah dibuat undakan dengan pegangan dua batang bambu. Atap rumah mengerucut.

Di rumah adat inilah, berbagai benda pusaka disimpan. Di lantai bawah ada empat gong dengan diameter sekira 75 cm. Pada tengah rumah terdapat simlog. Ini seperti beduk. Bentuknya memanjang sekitar tujuh meter. Diameter bedug sekitar 30 cm. Bedug terbuat dari kulit babi hutan. Alat pemukulnya dari rotan-rotan kecil sebesar ibu jari.

Nah, pada bubungan rumah inilah terssimpan tengkorak hasil mengayau para leluhur. Tengkorak disimpan dalam kotak berukuran 40x30x20 cm. Di dalamnya juga berisi berbagai kalung dari taring babi.

Memasuki tempat upacara, rombongan diperciki air yang telah diberi mantera. Tamu yang masuk tempat upacara diperciki dengan daun anjuang. Fungsi dari air dan daun anjuang sebagai talak bala. Tamu juga mesti menginjak buah kundur yang diletakkan dalam baskom. Ritual ini disebut pepasan.

Di sekitar rumah adat ini, ratusan orang telah berada di bawah rumah balug. Tamu disambut dengan tarian. Warga dan tamu menari bersama, sambil mengitari rumah adat. Tetua adat menyanyikan lagu dan membaca matra. Tarian itu bernama mamiamis. Ini tarian bagi Ngngiu atau pembela tanah leluhur. Tarian secara bersama ini untuk menyambut para pahlawan pembela tanah leluhur. Yang baru datang dari mengayau. Arti dari tari ini adalah, tari perdamaian. Lalu, para tetua adat naik rumah balug. Simlog dipukul. Mercon pun dinyalakan. Bunyi dua benda itu bertujuan memanggil arwah leluhur. Ini pertanda ritual upacara Nyobeng telah dimulai.

Selepas membuka acara, kegiatan dilanjutkan dengan makan bersama di sekitar balug. Bagi yang beragama Islam, diberikan makanan khusus. Tidak mengandung babi. Tempatnya juga khusus, dari bumbung bambu dibelah dua dan memanjang.

Setelah makan bersama, tamu dipersilahkan meninggalkan area rumah adat dan menuju rumah penduduk. Setiap rumah penduduk boleh untuk ditempati. Mereka terbuka dengan semua tamu yang datang. Penduduk juga menjamu tamu yang datang ke rumah mereka dengan berbagai suguhan. Sebagian besar rumah penduduk menyediakan penganan kecil di ruang tamunya. Penduduk juga menyembelih ayam bagi masyarakat muslim yang datang ke rumahnya. Ayam dianggap makanan dan lauk “netral” bagi kaum muslim. Tamu berisitirahat sebentar dan menaruh barang di rumah penduduk. Setelah mandi atau membersihkan badan, tamu beristirahat sejenak.

Sementara itu, sebagian penduduk laki-laki berjalan menyusuri hutan di sekitar perkampungan. Mereka mencari bambu hutan. Batang bambu selebar 10 cm digotong beramai-ramai ke rumah adat. Bambu itu diletakkan di tanah dengan satu ujungnya diganjal balok. Beberapa lelaki mengitari bambu dan mulai berbaris. Setiap lelaki menyandang mandau di tangan.

Mandau senjata khas masyarakat Dayak, serupa pedang. Di tengah mandau biasanya ada ukiran dan motif tertentu. Gagang mandau biasanya dibuat dari tulang atau kayu. Pada gagang mandau, biasanya diberi hiasan tertentu. Hiasan itu berupa rambut manusia, gigi manusia dan lainnya. Hiasan melambangkan makna dan prestasi tertentu dari si pemegang mandau. Semakin banyak prestasinya dalam mengayau dan mendapatkan kepala, semakin banyak hiasan di mandaunya. Namun, tradisi mengayau sekarang ini, jarang sekali dilakukan.

Ketika ketua adat menganggukkan kepala, sebagai tanda kegiatan bisa dimulai, seseorang maju ke depan. Ia meloloskan mandau dari sarungnya. Sriing. Suara mandau bergesek dengan sarung menimbulkan suara. Terasa ngilu bagi yang mendengarnya. Ia mulai mengambil ancang-acang. Gagang mandau di pegang dengan dua tangannya. Setelah menarik napas, ia mulai mengangkat mandau. Dengan sekuat tenaga, ia mengayunkan mandau ke batang bambu. Cressssh. Batang bambu terpotong. Orang bertepuk tangan dengan riuh. Menurut kepercayaan, bila bambu terpotong, berarti pertanda baik. Namun, ada juga beberapa orang tidak bisa memotong bambu dengan sekali tebas. Kegiatan ini sebagai bentuk uji keperkasaan dan kekuatan bagi para lelaki. Menetak bambu hingga terputus, merupakan lambang kejantanan.

Sebelum ritual kelompok dilakukan, setiap rumah membuat sesaji. Sesajian itu harus dioles dengan darah ayam dari sayapnya. Darah ayam juga dipercikkan ke berbagai tempat. Yang dianggap sakral di sekitar rumah, rumah adat dan perkampungan.

Menjelang sore, ketua adat melakukan pemanggilan ruh. Ruh adat harus diberitahu sebelumnya, karena pelaksanaan adat harus segera dimulai.

Ketua adat menaiki rumah panggung. Dia mulai membuka upacara. Sesajian diletakkan di ujung daun buah. Untuk ruh baik, dibuat 7 sesaji. dan ditempatkan di berbagai batas desa. Setelah itu, ketua adat mengambil kotak yang berada di bubungan rumah balug.

Kotak itu berisi tengkorak manusia dan kalung dari taring babi hutan. Ketua adat melumurkan tangannya pada suatu ramuan, dan mengoleskannya pada tengkorak. Setelah itu, seekor ayam dipotong kepalanya hingga putus. Kepala ayam dan tetesan darah dioleskan pada tengkorak. Usai mengoleskan darah pada tengkorak, kotak itu dimasukkan lagi pada kotak dan disimpan.

Acara dilanjutkan dengan memotong anjing. Anjing dewasa itu berwarna hitam. Pemotongan anjing dimasukkan untuk menolak ruh jahat. Setelah dipotong, darah anjing diusapkan pada rumah-rumahan kecil yang berada di samping balug. Rumah-rumahan itu dianggap sebagai asal-usul nenek moyang Dayak Bidayuh. Ada juga patung lelaki dan perempuan. Ketika bakal dipotong, anjing tidak mengonggong sama sekali. Anjing itu diam saja. Dia seolah tahu, nasibnya untuk persembahan suatu ritual yang manusia jalankan. Darah anjing diusapkan pada tiang, dan berbagai sudut rumah adat. Potongan anjing juga dibawa ke atas rumah adat.

Acara selanjutnya adalah mandi-mandi. Upacara ini diikuti segenap kawula. Tua, muda, dan kanak. Tujuannya membersihkan jiwa dan raga. Air yang telah diberi jampi-jampi dimasukkan dalam tempayan besar. Dengan sebuah gayung, tetua adat mengambil air dan mengalirkan air itu lewat daun anjuang. Daun ini dipercaya sebagai daun yang punya kekuatan magis. Daun anjuang biasa dipakai dalam berbagai upacara adat, kaum Dayak.

Selanjutnya, acara memotong babi. Darah babi digunakan untuk memandikan tengkorak. Babi juga diambil hatinya dan dibakar untuk persembahan arwah leluhur. Setelah melakukan upacara ini, setiap orang yang mengikuti upacara, berpantang untuk berkata kotor. Bersikap kasar pada perempuan. Tidak berhubungan badan dengan perempuan. Tidak berjalan di bawah tiang jemuran. Bila orang melakukan itu, dipercaya bisa membawa malapetaka.

Uniknya, ketika upacara berlangsung malam hari, sebagian besar masyarakat tidak mengikuti upacara ritual itu. Yang mengikuti biasanya hanya orang tua dan tetua adat. Kawula muda dan kanak, lebih tertarik datang ke lapangan dan menonton pertujukkan musik dangdut. Di tengah lapangan tersebut, juga bertebaran permainan judi. Ada judi kolok-kolok, dokok dan lainnya.

Orkes dangdut dimainkan para pemuda setempat. Suara penyanyi dan peralatannya biasa saja. Bahkan, kalau boleh dibilang, hancur lebur. Meski demikian, itulah salah satu hiburan yang sangat dinantikan. Grup band menyediakan lima orang perempuan, untuk menemani orang yang ingin menari. Caranya, setiap yang ingin berjoget, mesti membayar tiket. Cukup dengan membayar Rp 5.000 untuk setiap lagunya. Dengan tiket itu, ia bisa mengajak seorang penari di orkes tersebut. Bagi yang tidak kebagian penari, mereka harus aktif dan pintar mencari penonton perempuan yang bertebaran di sekitar acara. Ketika ada kesepakatan, penonton perempuan akan mengikuti ajakan si pemegang tiket.

Setiap orang bolah memborong tiket. Berapapun ia mau. Asal dengkul kuat saja mengikuti alunan musik dangdut, hingga pagi. Uniknya, meski terjadi persaingan dalam mendapatkan teman joget atau ketika sedang berjoget di sekitar arena tersebut, tidak ada keributan atau perkelahian layaknya dalam suatu pentas musik. Orang akan berpikir seribu kali, bila berbuat rusuh atau berkelahi. Pasalnya? Siapa yang melakukan perkelahian atau berbuat rusuh, harus mengganti seluruh biaya pesta adat. Jumlahnya mencapai puluhan juta. Upacara adat juga mesti diulang dari awal. Karena itulah, orang tidak berani berbuat sembarangan.

Kampung di tengah hutan itu, terus mengeliat. Mengikuti kemajuan arus zaman dan modernisasi. Ada kemajuan diraih. Namun, ada juga yang mulai terkikis.□

Foto-foto : Muhlis Suhaeri
Edisi cetak ada di Koran Tempo

sumber : www.muhlissuhaeri.blogspot.com

Dayak Punan Kaki Merah: Antara Ada dan Tiada

Di hulu Barito ada tiga desa yang dianggap sebagai perkampungan orang Dayak Punan, yaitu Tumbang Karamu, Tumbang Tunjang, dan Tumbang Topus. Penduduk ketiga desa ini menyatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Punan. Punan adalah orang gaib, manusia perkasa di hutan rimba. Mereka bisa menghilangkan diri hanya dengan berlindung di balik sehelai daun. Jejaknya sulit diikuti. Mereka berjalan miring dan sangat cepat. Tubuh mereka ringan karena tidak makan garam.

Namun, kalau ditanya pada mereka tentang Ot Siau atau Punan Berkaki Merah, mereka sendiri mengatakan tidak pernah melihat maupun bertemu. Namun mereka yakin bahwa Punan Berkaki Merah memang ada, dengan ciri unik, yaitu tangan dan kaki berwarna merah seperti kaki burung Siau.

Penduduk tiga desa itu membuat dua kategori Punan. Pertama, ”Punan Pemerintah”, yaitu orang-orang Punan yang bersedia tinggal-menetap di kampung. Kedua, Punan Siau yang tinggal di goa dan mengembara di rimba belantara. Orang-orang Karamu, Tunjang, dan Topus mengaku diri sebagai ”Punan Menetap”, serta bersaudara dengan Punan Siau yang dipercayai tinggal di hulu Sungai Borak.

Punan yang ”asli”, menurut orang-orang ini, adalah mereka yang tinggal di rimba belantara dan dalam goa-goa yang gelap. Kaki dan tangan mereka diwarnai merah dengan daun saronang atau jarenang. Seluruh tubuh mereka dilapis dengan sejenis jamur yang mengandung fosfor sehingga tampak menyala di kegelapan.

Dalam hal berburu, orang Punan Siau pantang membunuh binatang yang lengah. Jika bertemu dengan rusa yang sibuk memakan dedaunan, ia bertepuk tangan keras-keras untuk memberitahukan kehadirannya.

Ketika rusa itu terkejut dan lari, barulah ia memburunya. Mereka itulah pemburu sejati bersenjatakan sumpit, serta pantang menaklukan buruan dengan cara mengintai diam-diam.

Sekalipun bisa bertutur banyak, tidak ada seorang pun dari penduduk tiga kampung itu pernah bertemu langsung dengan Punan Siau. Beberapa orangtua lainnya hanya mengatakan pernah melihat jejak kaki, tetapi tidak pernah melihat orangnya. Menurut mereka, hal itu terjadi karena orang Punan Siau memiliki kata lamunan, yaitu mantra sakti untuk menghilangkan diri di balik sehelai daun.

Punan adalah kumpulan cerita menakjubkan. Dalam khazanah lokal Kalimantan, Punan selalu digambarkan sebagai manusia perkasa dan ahli berburu. Mereka dilihat sebagai orang yang berkekuatan supranatural tinggi. Mereka dapat menghilang dan mempunyai penciuman yang tajam.Mereka juga dilihat sebagai manusia istimewa penghuni hutan. Orang Punan juga memiliki pengetahuan akan obat-obat manjur, dari akar dan daun-daun kayu hutan. Konon, jika para perempuan Punan melahirkan, mereka akan sembuh dalam satu hari.

Kuburan Punan

Di Desa Tumbang Topus sudah tidak ada lagi yang murni Punan. Yang ada hanyalah campuran antara Punan dan orang Siang-Murung, Bahau, Benuaq, dan Ot Danum atau Kahayan. Toras, Potogor, dan Batang Pantar yang jumlahnya ada beberapa di kampung itu menunjukkan bahwa dalam ritual kematian mereka cenderung sebagai orang Ot Danum atau Siang Murung.

Mereka mengidentifikasi diri sebagai keturunan Punan pada seonggok batu besar yang oleh orang setempat disebut dengan Batu Awu-BaLang. Pada ceruk dinding salah satu bukit batu itu tampak tergolek dua tengkorak dan tulang-belulang manusia.

Menurut mereka, tengkorak dan tulang-belulang itu adalah milik dua tokoh Punan yang bernama Awu dan BaLang. Menjelang wafat, mereka mengamanatkan agar tulang-belulangnya jangan dikubur dalam tanah, tetapi diletakkan di ceruk batu, seperti layaknya orang Punan yang berdiam di goa batu.

Bagi orang Tumbang Topus, Batu Awu-BaLang bukanlah sekadar kuburan, tetapi merupakan monumen asal-usul diri karena di sana terdapat petunjuk bahwa leluhur mereka memanglah orang Punan.

Pengetahuan tentang Punan bukan hanya monopoli pakar antropologi. Orang Dayak pun sangat aktif dalam membangun identitas dirinya. Sebagai internal agen, mereka aktif mengonstruksi diri. Di Tumbang Karamu, Tumbang Tujang, dan Tumbang Topus, dengan tegas mereka mengatakan ”Kami bukan Punan Habongkot, bukan Punan Kareho, dan juga bukan Punan Siau. Kami adalah Punan Murung.”

Hampir seabad yang lalu, Carl Lumholtz, seorang penjelajah asal Norwegia, telah melakukan ekspedisi Barito-Muller-Mahakam (1915-1916). Di hulu Sungai Busang ia bertemu dengan Punan Panyawung.

Namun kini, di awal abad ke-21, kalolah kita berkunjung ke hulu Sungai Murung, kita akan bertemu dengan Punan baru, yaitu Punan Murung, Punan yg sudah nggak asli lagi. Jadi, Punan itu ada dan tiada.(vb-01/Marko Mahin: Dosen Agama dan Budaya Dayak di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis Banjarmasin dan Peneliti di Lembaga Studi Dayak-21)

Sumber : www.vivaborneo.com

Friday, April 16, 2010

Bukit Tangkiling Menyimpan Batu Pengapit Dosa

Menyusuri daerah perbukitan di kawasan Kotamadya Palangkaraya, tidak lengkap rasanya bila belum mendaki bukit yang satu ini, Bukit Tangkiling. Letaknya jauh dari pusat kota, persisnya Jl Tjilik Riwut Km 32 arah luar kota. Dari segenap penjuru memandang, nampak bukit yang rimbun ditumbuhi pepohonan.

Untuk memasuki areal kaki bukit, dari Kelurahan Banturung harus menempuh jarak 1600 m lagi. Jangan dibayangkan kesulitan medan yang harus dilintasi menuju kaki bukit, karena bukan lagi jalan setapak, tapi jalan beraspal yang sesekali tergenang air bila hujan turun lebat. Kesulitan, baru terasa setelah berada di punggung bukit, jalan menanjak dan terjal terhampar di depan mata.

Bukit Tangkiling yang tingginya kurang lebih 500 m , dipercaya menyimpan berjuta legenda dan kekuatan magis. Berdiri kokoh, menjulang langit di perbatasan Kelurahan Banturung-Tangkiling Kecamatan Bukit Batu, Palangkaraya. Perlu waktu kurang lebih 40 menit untuk mencapai puncaknya.

Batu Kapit Dosa
Konon, dahulu, daerah sekitarnya berupa sungai, seluas mata memandang, yang tampak air semata. Mirip cerita si Malin Kundang, sang anak durhaka, Tangkiling pun, dikutuk karena kedurhakaannya. Berubahlah sungai tempatnya berlayar menjadi daratan dan perbukitan. Sedang perahu dan seluruh barang bawaannya, berubah menjadi batu-batuan yang besarnya sebesar rumah-rumahan.

Tangkiling sendiri, karena dosa-dosa yang disandangnya, harus rela terjepit diantara biliknya, sekarang dikenal dengan batu pengapit dosa. Memang, batu kapit dosa, dipercaya, berasal dari bilik Tangkiling yang turut diterbangkan angin dan kemudian berubah membatu seperti benda lainnya.

"Bila orang bersangkutan ada dosa, maka tidak bisa melewati antara dua batu itu, terjepit," ungkap Nyai Handang-sebut saja begitu namanya- seorang penduduk Kelurahan Tangkiling yang kerap mendaki bukit bersama keluarganya. Dia mengaku, apa yang barusan dipaparkannya, berdasar kepercayaan yang mereka terima turun temurun.
Dulu pun, menurutnya, ada semacam upacara penghormatan atau ritual yang dilakukan dekat batu itu, fungsinya meminta pengampunan atas dosa yang telah dilakukan. Sesaji turut dihadirkan, terhampar bermacam kue tradisional dan kemenyan yang menyengat hidung.
"Kita baca doa sesuai agama kepercayaan yang kita anut," imbuhnya.
Apakah sudah ada yang terjepit disana? Sambil tertawa, dikatakannya, sepengetahuan dia, memang belum pernah terjadi, kecuali karma yang menimpa Tangkiling, hingga terjepit diantara dua batu itu.

"Mungkin, karena zamannya sudah berubah, kekuatan itu tidak pernah dinampakkan lagi," tukasnya. Meski begitu, menurutnya, kepercayaan akan kekuatan magis batu itu, masih beredar dan dipercaya masyarakat. Nyatanya, beberapa kecelakaan, pernah terjadi di seputar bukit Tangkiling.

Mengenai kepercayaan ini, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi kalteng Drs H Nawawi Mahmuda, menilai, itu hanyalah fenomena atau peristiwa alam belaka. Dan, tidak ada keterkaitannya dengan kekuatan magis atau supranatural. "Artinya memang murni fenomena alam, tidak ada kaitannya dengan kekuatan magis atau supranatural," tegasnya.
Kepercayaan ini dibuktikan sekelompok pelajar dari sebuah SMU di Palangkaraya. Mereka menghabiskan akhir pekannya mendaki bukit, mau tidak mau, mereka harus memiringkan tubuhnya agar tidak terjepit di antara dua batu itu. Hasilnya? Mereka sampai ke puncak dan kembali lagi dengan selamat.
Dilihat dari jarak antara kedua batu yang berkisar 15 sentimeteran, terletak di punggung bukit, memang agak sulit untuk melewatinya, harus memiringkan tubuh. Di bawah batu sendiri, ternyata ada rongga atau ruang kosong, sehingga bila kita melangkah diatasnya, terasa ada suara langkah, bergema.
Kiri kanan, jalan yang dilewati, bukanlah dataran, tapi jurang yang menganga cukup dalam. Jadi, kehati-hatian adalah modal yang harus dimiliki.
"Kalau menengok ke bawah, hati rasanya rawan," imbuh Aisyah yang memiliki warung teh di Pelabuhan Tangkiling.

Sedang Juhran mantan pegawai Komunikasi Radio di Kelurahan Banturung, menuturkan, di Bukit Tangkiling terdapat bermacam-macam batu, batu pengapit dosa hanyalah salah satunya. Disebutnya pula, batu banama, batu cincin dan batu kawah yang terletak di puncak bukit.
Batu kawah, dipercaya sebagai jelmaan perahu Tangkiling yang karam, kemudian membatu. Batu kawah, oleh masyarakat sekitar dikenal pula dengan sebutan batu rinjing, karena bentuknya yang menyerupai rinjing atau wajan.
"Waktu masih bertugas, saya tiap hari naik bukit. Karena di atas bukitlah tempat paling efektif menyampaikan dan menerima informasi, suaranya terdengar lebih jelas," paparnya.


Kelabang Raksasa
Kepercayaan masyarakat lagi, menurut penuturan Aisyah, di sekitar batu kapit dosa, bermukim seekor kelabang raksasa, berukuran sebesar batang pohon kelapa.
"Bahkan, selain batu kapit dosa, disana ada juga halilipan (kelabang-red) sebesar batang nyiur (kelapa-red)," ujarnya yang berasal dari hulu Sungai Barito ini. Namun, sama halnya dengan batu kapit dosa, kelabang raksasa ini tidak pernah lagi menampakkan dirinya, raib seperti di telan bumi.

"Masa yang sudah berubah, membuat mereka tidak pernah lagi menampakkan diri," ungkapnya beralasan.
Persis seperti penuturan Nyai Handang, setiba kembali di base camp, dalam guyuran hujan lebat, sekelompok anak sekolahan tadi dikejutkan jeritan salah seorang temannya. Sontak, orang-orang yang berada di situ terkesiap, ternyata cowok ABG itu digigit kelabang sebesar jempol tangan. Memang, kelabang termasuk binatang merayap yang memiliki bisa (racun). Racunnya bisa menyebabkan badan meriang, berkepanjangan.

"Jangan-jangan, kelabang ini, cucunya kelabang raksasa yang pernah diceritakan itu, lepas dari jepitan batu pengapit dosa, eh, malah digigit cucunya kelabang raksasa," celetuk mereka bersahutan.

sumber : www.hamsi-aliblog.blogspot.com

Thursday, April 15, 2010

Sekilas mengenai Ruai

Nama latin : Argusianus argus
Nama lain : Ruai, Kuau Besar

Burung ini mudah sekali dikenal karena memilki bentuk tubuh yang indah dan spesifik. Tubuh yang jantan lebih besar dan berbulu dengan corak yang lebih menarik daripada yang betina. Berat yang jantan dapat mencapai sekitar 11,5 kg dan panjang tubuhnya sampai ujung ekor mendekati 2 meter. Hal ini disebabkan oleh dua lembar bulu ekornya bagian tengah mencolok sekali panjangnya. Umumnya bulu tubuh berwarna dasar kecoklatan dengan bundaran-bundaran berwarna cerah serta berbintik-bintik keabu-abuan.
Kulit di sekitar kepala dan leher pada yang jantan biasanya tidak ditumuhi bulu dan berwarna kebiruan. Pada bagian occipital (bagian belkang kepala) betina mempunyai bulu jambul yang lembut. Paruh berwarna kuning pucat dan sekitar lobang hidung berwarna kehitaman. Iris mata berwarna merah. Warna kaki kemerahan dan tidak mempunyai taji/susuh.
Suara burung ini sangat lantang sehingga dapat terdengar dari kejauhan lebih dari satu mil. Suara yang jantan dapat dibedakan karena mempunyai interval pengulangan yang pendek. Sedangkan yang betina suaranya mempunyai pengulangan dengan interval semakin cepat dan yang terakhir suaranya panjang sekali. Burung ini mempunyai suara tanda bhaya yang cirinya pendek, tajam dan merupakan alunan yang parau.

Burung ini suka hidup di kawasan hutan, mulai dari dataran rendah sampai pada ketinggian sekitar 1.000 m dpl. Penyebaran burung ini adalah di Sumatera dan Kalimantan. Juga terdapat di Asia Tenggara. Makanannya terdiri dari buah-buahan yang jatuh, biji-bijian, siput, semut dan berbagai jenis serangga. Burung ini juga suka mencari sumber air untuk minum sekitar jam sebelas siang.

Burung ini bertelur yang biasanya berjumlah dua butir, warna telurnya krem atau kuning keputihan dengan bercak-bercak kecil diseluruh permukaan. Ukurannya sekitar 66 x 47 mm. Telur ini dierami oleh betina selama kurang lebih 25 hari. Anak burung ini akan mencapai tingkat dewasa kurang lebih dalam satu tahun.
Bulu burung ini oleh masyarakat suku Dayak dijadikan sebagai salah satu bagian dari pakaian adat mereka terutama mahkota ( tangkulas (bahasa kanayatn) ). Sedangkan di Sumatera Barat burung ini menjadi icon daerah mereka.

Kerusakan hutan di Kalimantan memaksa penyebaran burung ini berkurang drastis. Selain itu perburuan oleh kolektor dan tidak adanya penangkaran dari masyarakat sekitar membuat burung ini semakin langka. Mungkin nanti suatu saat burung ini akan punah dan tinggal cerita saja mengenainya.

sumber : Pesan dari DAYAK KANAYATN

Monday, April 12, 2010

Konsep Tana’ Ulen=Bukti Nyata Masyarakat Dayak Melek Konservasi

Oleh: Masayu Yulien Vinanda

Sejak berabad-abad lamanya, masyarakat Dayak sudah mengenal konsep konsrvasi atau yang lebih akrab dengan istilah Tana' Ulen. Dalam wilayah Tana’ Ulen, orang dilarang menebang pohon, membakar hutan, membuat ladang, dan melakukan aktivitas-aktivitas lain yang menimbulkan kerusakan hutan. Semula Tana’Ulen hanya dimiliki oleh para bangsawan di Long Alango, Long Uli, dan Long Pujungan. Tana’ Ulen sendiri merupakan kawasan hutan rimba yang dilindungi secara adat. Wilayahnya meliputi satu sungai atau beberapa sungai kecil mulai dari muaranya sampai ke ujung-ujung anak sungai di titik mata airnya.

Pengambilan hasil hutan di dalam wilayah Tana’ Ulen diatur dengan ketat. Hasil hutan yang boleh diambil diantaranya gaharu (pohon yang getahnya bisa dimanfaatkan untuk minyak wangi), rotan, kayu manis, buah-buahan, ikan, dan binatang. Pengambilan hasil hutan Tana’ Ulen hanya dimanfaatkan pada waktu-waktu tertentu saja, dan diperuntukkan bagi kepentingan umum, apabila ada kegiatan di desa tersebut. Sementara untuk konsumsi pribadi masyarakat lokal, seperti makan sehari-hari, mereka boleh mencari ikan, sayuran, atau berburu binatang, tapi dalam jumlah yang dibatasi.

Sanksi Adat Efektifkan Upaya Konservasi
Sanksi adat yang tegas merupakan salah satu kunci keberhasilan konservasi wilayah Tana’ Ulen. Menurut keterangan Sekretaris Desa Long Alango, Trisno, pada tahun 2005 lalu, pernah didapati seseorang yang menggesek kayu di Koala. Karena orang tersebut belum mendapatkan izin dari Kepala Adat, maka ia dikenakan denda satu juta rupiah dan papan kayunya pun disita oleh pemuka adat setempat. Tidak hanya kayu, sumber daya alam lainnya seperti ikan juga tidak lepas dari aturan Tana’ Ulen. Trisno juga menceritakan kasus pengambilan ikan dengan menggunakan setrum yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di Sungai Nggeng. Pelaku dikenakan denda 10 juta rupiah,mesin dan alat setrumnya pun diambil paksa.

Besarnya sanksi yang dikenakan bagi mereka yang “nakal” dan telah merusak kelestarian hutan dan sungai ditentukan oleh musyawarah adat yang dipimpin oleh Kepala Adat Besar. Berdasarkan keterangan dari Camat Bahau Hulu, Unya’ Bawan, sanksi tidak selamanya dalam bentuk uang, bisa juga dalam bentuk barang seperti memberikan parang, mandau, ataupun gong (alat musik pukul tradisional).

Tidak hanya pelanggaran orang perseorangan yang mendapat perhatian hukum adat, aktivitas pengusaha-pengusaha hasil hutan juga diatur secara adat. Aturan adat yang dikeluarkan oleh musyawarah Kepala Desa-Kepala Desa dan Kepala Adat Bahau Hulu membatasi pengusaha dalam memungut hasil hutan seperti gaharu, rotan, kayu manis,dan damar. Pengusaha-pengusaha hasil hutan dari luar tidak boleh mengambil langsung sumber daya hutan tersebut, tetapi mereka diperbolehkan membeli dari masyarakat dengan izin Bupati.


Pengusaha yang masuk Tana’ ulen tanpa izin dikenai denda 500.000 per orang. Sementara ,mereka yang sudah mengantongi izin, harus tetap menyetor pada kas adat sebesar 500.0000. Rombongan yang masuk Tana’ Ulen maksimum hanya lima orang. Sedangkan untuk batas waktu aktivitas pengusaha tersebut ditentukan oleh Kepala Desa.

Ancaman terhadap Tana’ Ulen
Dalam perjalanannya, eksistensi Tana’ Ulen sempat mendapat ancaman. Pasalnya pada tahun 1980 kawasan hulu-hulu Sungai Kayan sampai Sungai Mentarang ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 847/Kpts/Um/II/1980, yang luasnya mencapai 1.360.500 ha. Namun pada 1990, Ditjen PHPA berkerjasama dengan WWF-Indonesia dan LIPI mengadakan kegiatan untuk penyusunan rencana pengelolaan kawasan Kayan Mentarang. Survei yang dilakukan WWF dan LIPI menyimpulkan adanya ketergantungan masyarakat dayak terhadap hutan yang sangat tinggi. Akhirnya pada kurun waktu 1992-1994, WWF dan Camat Punjungan mengeluarkan rekomendasi agar setiap desa memiliki Tana’ Ulen. Sekaligus pula mengusulkan agar Kayan Mentarang diubah menjadi Taman Nasional.

Upaya ini membuahkan hasil. Maka pada 7 Oktober 1996, Cagar Alam Kayan Mentarang secara resmi menjadi Taman Nasional Kayan Mentarang berdasarkan SK Menhut No. 631/Kpts-/1996. Perubahan ini menjadi angin segar bagi masyarakat lokal dan eksistensi Tana’ Ulen. Masyarakat bisa tetap tinggal di wilayah tersebut, dan menggunakan SDA yang tertentu sesuai peraturan Tana’ Ulen masing-masing desa.

Namun status Taman Nasional ini juga tidak sepenuhnya mampu menjamin eksistensi Tana’ Ulen, mengingat dalam aturan pemerintah, wilayah yang berada dalam kawasan taman nasional adalah tanah negara. Maka, WWF sebagai organisasi konservasi global harus senantiasa mengawal pemanfaatan Tana’ Ulen tersebut agar selalu selaras dengan misi konservasi.

sumber : WWF Indonesia

Monday, April 5, 2010

KALTENG MEMBUNUH PAHLAWANNYA

Jurnal Toddoppuli

Cerita Untuk Andriani S. Kusni & Anak-Anakku

original source : www.jurnaltoddoppuli.wordpress.com

« Pahlawan dibunuh dua kali », demikian sejarawan dan Indonesianis Perancis DR. Jacques Leclerc almarhum, dalam tulisannya tentang Amir Sjarifudin, Mantan Perdana Menteri semasa Republik Indonesia masih dirongong oleh Belanda. PM Amir dalam Peristiwa Madiun tahun 1948 bersama sejumlah temannya atas perintah Jenderal Gatot Soebroto, telah ditembak mati di Desa Ngalian. Setelah dihukum mati, segala jasa Amir dicoret dari sejarah. Pencoretan inilah yang oleh Jacques Leclerc dinamakan pembunuhan pahlawan yang kedua kali. Nasib serupa juga pernah dialami oleh Tan Malaka yang sekarang diangkat sebagai pahlawan nasional. Dari kenyataan ini kita melihat betapa “wolak-walikรฉ zaman” (terbolak-baliknya zaman) kjika menggunakan istilah orang Jawa. “Wolak-walikรฉ zaman” ini lebih gamblang lagi di dunia politik sehingga membuat orang mengambil kesimpulan bahwa sejarah tidak lain dari sejarah mereka yang berkuasa. Pandangan terhadap sejarah begini oleh Prof. Dr. Arkoun dari Universitas Sorbonne Paris disebut “sejarah politik”, bukan sejarah ilmiah. Yang mendominasi Indonesia sampai hari ini masih saja sejarah politik, walaupun ada upaya dari sekelompok sejarawan untuk menulis sejarah ilmiah. Tapi usaha ini menghadapi rintangan tidak kecil. Buku John Rossa tentang peristiwa Tragedi September 1965 misalnya dilarang oleh Kejagung, bersamaan waktunya dengan buku dua anak muda NU yang menulis buku hasil penelitian bertahun-tahun berjudul “Lekra Tidak Membakar Buku”. Sejarah politik tidak segan memutar-balik kenyataan disamping menghitamkan sejarah. Sejarah memang suatu medan pertarungan sengit antara berbagai kepentingan. Dalam pertarungan sengit ini tidak sedikit sejarawan dan cendekiawan yang oleh ahli filsafat dari Universitas Semarang Saiful Rohman sebagai “cendekiawan pelacur”. Karena itu tidak heran pula jika pahlawan berkali-kali dibunuh. Bukan hanya dibunuh dua kali, tapi berkali-kali. Tidak heran pula jika di Taman Pahlawan, koruptor, pembunuh rakyat pun juga dimakamkan di situ sebagai pahlawan. Oleh sebab itu Jendral A.M.Hanafi sebelum meninggal berpesan agar ia tidak dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata. Pembunuhan pahlawan yang berkali-kali tidak lain pembunuhan nilai kepahlawanan. Selain itu menunjukkan relativitas isi kepahlawanan di mata politisi dan pengelola kekuasaan. Nilai kepahlawan itu tidak berobah hanya di mata rakyat sekalipun ketika posisi mereka lemah di hadapan negara, mereka menjadi mayoritas diam (silent majority).

Beberapa hari terakhir ini, media massa cetak dipenuhi dengan berita penggantian nama Jalan Adonis Samad menjadi Jalan Ir. Soekarno. Siapa Adonis Samad? Beliau adalah pejuang kemedekaan dari RI 1001 Divisi IV ALRI, satu angkatan dengan Tjilik Riwut, Kapten Mulyono, Iskandar , mantan gubernur R.Sylvanus, dan anggota MN 1001 yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan tegaknya kekuasaan RI di Kalimantan. Atas jasa-jasa Letda Adonis Samad kepada bangsa dan negara, pada tahun 1961 oleh Presiden RI Bung Karno, beliau dianugerahi Bintang Gerilya Pejuang Kemerdekaan RI. Sejak berdirinya Palangka Raya,, untuk menghormati jasa-jasa dan mengabadikan nama pahlawan kemerdekaan, maka jalan yang menuju ke bandara Tjilik Riwut (dulu bernama Bandara Panarung), diberi nama Jalan Adonis Samad. Pada pertengahan 2009 Distako (Dinas Tata Kota) mengubah nama jalan menuju banda dari Jalan Adonis Samad menjadi Jalan Ir Soekarno. Kepala Seksi Penataan Kota Dinas Tata Kota, Bangunan Pertamanan Kota Palangka Raya Yanekson,ST, MSi mengatakan bahwa perubahan nama ini berdasarkan Surat Keputusan (SK) Pemerintah Kota. Perubahan nama juga, menurut Yanekson “sudah atas izin dari keluarga besar Adonis Samad yang dihadiri oleh tokoh masyarakat dan pemerintah (lihat: Kalteng Pos, 21 Febuari 2010). Pernyataan Yanekson ini dibantah keras oleh Kasuma Adonis Samad, putera kelima Letda Adonis Samad, yang baru mengetahui tentang perubahan nama jalan tersebut dari berita-berita. “Saya merupakan keturunan mangsung Adonis Samad tak pernah memberikan izin. Tidak ada konfirmasi dengan kali keluarga almarhum”, ujar Kasuma. “Kami tidak gila hormat , tapi hargai jasa beliau sebagai pejuang kemerdekaan RI 1002 Divisi IV ALRI”, tambah Kasuma yang mengatakan bahwa rumahnya dengan Yanekson pun terletak tidak berjauhan. Apakah ada dusta di sini? Siapakah yang berdusta? Pertanyaan ini saya ajukan karena dalam dunia politik Indonesia dusta itu berkuasa. Dusta itu salah satu alat pengelola kuasa.

Mengapa dilakukan perubahan nama jalan? Tentang hal ini Yanekson menjelaskan bahwa “perubahan nama dari jalan itu bertujuan untuk memberi penghormatan dan penghormatan kepada Ir. Soekarno sebagai peletak batu pertama pembangunan Kota Palangka Raya”.( Kalteng Pos, 21 Febuari 2010). Artinya tindakan “meletakkan batu pertama pembangunan kota” jauh lebih tinggi nilainya daripada perjuangan seseorang dengan mengadaikan nyawa demi kemerdekaan bangsa. Demikian alur pikiran yang mendasari alasan perubahan nama jalan. Sejalan dengan alur pikiran demikian maka jasa-jasa seorang pahlawan menjadi tidak bermakna untuk diingat dan dihormati. Maka terjadilah perubahan nama yang tidak lain dari pembunuhan kembali pahlawan. Terjadi hal yang menyedihkan dan memalukan bahwa bumi Tambun Bungai yang justru pahlawan Dayak dilakukan pembunuhan pahlawan dan pelecehan pahlawan. Dari segi budaya Dayak sikap ini membelakangi nilai-nilai Utus Panarung, mencampakkan nilai yang dijunjung Sjarikat Dajak tahun 1914, membuang nilai-nilai yang diperjuangkan angkatan pendahulu. Kalteng menjadi kuburan pahlawan yang dibunuh berkali-kali. Pembunuhan kembali adalah satu soal besar. Tapi disamping itu barangkali perlu diteliti dan diusut, kemudian dijelaskan kepada publik bagaimana sejarah dan runtutan terjadinya perubahan nama jalan ini sampai-sampai DPRpun tidak tahu (Kalteng Pos, 21 Februari 2010). Artinya ada masalah procedural juga. Menelusuri jalan kejadian diperlukan agar publik memahami asal-muasal kejadian dan siapa penanggungjawab sesungguhnya. Mengapa sampai terjadi? Bagaimana sampai terjadi Walikota menandatangani SK yang berhakekatkan pembunuhan pahlawan dan tidak prosedural? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena dibalik gejala yaitu perubahan nama jalan, saya mendengar cerita-cerita dari berbagai sumber. Saya kira, melakukan suatu kesalahan adalah hal yang jamak. Maka mengoreksi kesalahan menjadi suatu tindak dan sikap mulia,bahkan hak asal mau mengoreksinya. Sedangkan menyembunyikan kebenaran dan kenyataan di balik dusta bukanlah kemuliaan seorang pimpinan. Dampak negatif perubahan nama jalan ini bagi masyarakat sudah banyak diutarakan, demikian juga jalan keluarnya. Sisi lain yang berarti dari kasus jalan Adonis Samad ini adalah ia menunjukkan peran pengawasan masyarakat terhadap pengelola kekuasaan untuk terwujudnya good governance, disamping arti perlunya warganegara sadar akan makna menjadi warganegara Republik dan Indonesia.***

Palangka Raya, Febuari 2010

KUSNI SULANG

 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube