BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Wednesday, March 30, 2011

PERGUMULAN AGAMA ASLI DAYAK SIMPAKNG

Oleh : Frans Lakon *

Bila kita menyimak keberadaan agama asli di Nusantara, orang-orang yang masih secara konsisten mempraktekkan agama asli ini, jumlah komunitasnya sudah sangat kecil sekali, dan keberadaannya pun tidak secara terang-terangan. Kebanyakan dari mereka masih bisa ditemukan di beberapa daerah yang lokasinya jauh di pedalaman nusantara ini. Di Papua, Sumba, Pedalaman Sumatra, Pedalaman Sulawesi dan pedalaman Kalimantan (Johnstone dan Mandryk: 339).

Di Kalimantan, bicara soal agama asli, sudah barang tentu akan merujuk pada komunitas Dayak, termasuklah Dayak Simpakng. Agama asli orang Dayak Simpakng adalah agama yang bukan datang dari luar mereka. Karenanya agama asli yang mereka yakini sangat berbeda dengan agama-agama dunia yang diakui negara. Agama asli Dayak Simpakng ini pada dasarnya tidaklah bersifat misioner, karena agama ini lahir dan hidup bersama dan mewarnai setiap aspek kehidupan suku Dayak Simpakng sendiri. Agama ini telah mereka yakini jauh sebelum agama dunia diperkenalkan kepada mereka. Namun ironis sekali, keberadaannya saat ini memang terlampau sulit untuk dilacak. Namun, simbol-simbol yang menggambarkan keyakinan itu masih bisa ditemukan, meskipun tidak utuh lagi. Kebanyakan simbol-simbol itu sudah tererosi oleh pengaruh-pengaruh dunia luar yang menciptakan kenyataan baru yang menguburkan kenyataan lama. Tentu saja realitas ini tidak bisa lepas dari kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak mengakui keberadaan agama asli sebagaimana mestinya ke-5 agama dunia yang ada. Bahkan keberadaan agama asli ini disebut sebagai kelompok animisme, tidak atau belum beragama dan karenanya harus diberagamakan. Itu adalah istilah-istilah diskriminatif yang digunakan untuk mengebiri hak azasi penganut agama asli.

Sesungguhnya, tidaklah sulit untuk menemukan praktek dan keyakinan agama asli Dayak Simpakng saat ini di antara para penganut agama dunia. Jika kita mau merefleksikan kenyataan umum dimana kita bisa melihat siapa yang mengunjungi tempat-tempat yang dipercaya sebagai tempat keramat memohon petunjuk penghidupan yang sempurna. Siapa pula yang meminta pertolongan kepada para boretn dan dukun. Resminya para boretn dan dukun itu pun mengaku penganut salah satu agama dunia. Kemudian kita juga bisa mengamati prosesi ritual-ritual yang berkaitan dengan siklus hidup seperti; ritual perladangan, perkawinan, kelahiran, dan kematian. Terkadang pengaruh atau hadirnya percampuran elemen-elemen agama asli dan agama dunia dalam ritual-ritual tersebut masih sangat kental. Dan celakanya, para pemrakteknya tidak lagi menyadari adanya percampuran dua atau lebih agama tersebut. Bahkan ada di kampung-kampung tertentu, sudah ada yang telah terbungkus sedemikian rupa oleh lapisan luar agama dunia.

Fenomena seperti itu oleh para pelakunya tidak dinilai sebagai hal yang janggal, tidak pula terlalu dirisaukan bahwa praktek keagamaan seperti itu adalah praktek sinkretisme. Mungkin inilah daya akomodatif atau daya tahan dari agama asli, tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Bila dilihat dari sudut pandang agama asli yang begitu toleran untuk mengadaptasi dan mengadopsi nilai-nilai agama dunia dan menjadikannya sebagai pemerkayanya. Tidak pelak lagi agama asli itu memiliki daya akomodasi yang hebat. Namun bila dilihat dari sudut pandang agama dunia, yang mengadopsi atau mengadaptasi atau dalam kasus tertentu tidak berdaya membuang pengaruh agama asli dari para penganutnya, maka hal itu membuktikan betapa hebatnya daya tahan agama asli tersebut. Namun dengan datangnya agama dunia serta tidak diakuinya keberadaan sistem kepercayaan asli ini secara legal ditambah lagi dengan pengaruh kehidupan modern-sekuler sistem kepercayaan ini mengalami pergumulan besar.

Pergumulan Agama Asli Nusantara
Sebagai agama asli dan bersifat non misioner agama asli mendapat tantangan berat saat juru-juru siar atau para misionaris agama dunia datang. Terlebih saat para penguasa beralih agama menjadi penganut agama dunia atau para penguasa adalah orang-orang asing dengan agama yang dibawanya yang tentu saja asing dari sudut pandang orang setempat. Tidak jarang terjadilah proses akulturasi religi yang memakan waktu panjang. Dari sudut pandang agama asli inilah proses pergumulan yang terpaksa harus dijalani. Sebab tanpa kesediaan untuk melakukan proses akulturasi atau meresap agama asli ini akan habis “dilibas” agama baru yang datang dengan dukungan doktrin dan sistem yang lebih mantap serta terkadang didukung para penguasa dengan segala perangkatnya.

Ketika Agama Hindu dan Budha masuk ke Nusantara ini yang disusul dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Hindu maupun Budha, tentu saja para penguasa kerajaan beragama Hindu atau Budha. Namun kelihatannya rakyat biasa yang menjadi penduduk umum di kerajaan-kerajaan itu masih tetap menganut dan menjalankan kepercayaan aslinya. Fu Hien seorang pengelana dari Cina yang menganut Budhisme saat kapalnya terdampar di Jawa bagian barat (414 A.D.) melaporkan bahwa di wilayah ini telah berdiri kerajaan Hindu yaitu Tarumanagara. Ia menyatakan Hindu yang dianut di Tarumanagara itu adalah Hindu Brahmana. Ia pun menyatakan berjumpa dengan para penganut agama “kotor dan palsu”.

Apa yang ia maksudkan dengan agama “kotor dan palsu” itu? Kemungkinan besar yang ia maksudkan dengan agama “kotor dan palsu” itu adalah praktek keagamaan asli dari penduduk kerajaan Tarumanagara itu. Sebagaimana diyakini oleh seorang sejarawan Sunda, Ayat Rohaedi yang menyatakan bahwa agama “kotor dan palsu” yang disinggung Fu Hien itu adalah agama asli Sunda, yang salah satu elemennya adalah memuliakan para leluhur (1975:37). Keadaan sebagaimana dinyatakan oleh Fu Hien di atas menyiratkan kepada kita bahwa agama pendatang, dalam hal ini Hindu (dan dalam konteks lain Budha juga) terutama dianut oleh lingkungan istana, sedangkan rakyat kebanyakan masih menganut agama asli. Bahkan fenomena seperti di Tarumanagara itu bukan keadaan yang istimewa karena Hindu saat itu masih baru menanamkan pengaruhnya di Jawa. Sebagai contoh dalam konteks Kerajaan Pakuan-Pajajaran di Jawa bagian barat, misalnya pada waktu pemerintahan Prabu Siliwangi yang terkenal itu (1482-1521) pemujaan kepada para leluhur masih bercampur baur dengan agama Hindu-Budha (Sutaarga 1984:56,64).

Sebagaimana disinggung di atas pemujaan kepada para leluhur ini adalah elemen utama dalam agama asli. Hal tersebut di atas dibenarkan oleh seorang peneliti agama asli yang menonjol yaitu Rachmat Subagya. Ia menulis bahwa agama asli sepanjang sejarah berulang kali mengalami krisis eksistensi dan terancam setiap kali didampingi agama-agama pendatang. Selanjutnya Subagya menyatakan bahwa agama pendatang itu unggul dalam perlengkapan doktriner, kenegaraan dan lambat-laun berfungsi sebagai ideologi negara di bawah kekuasaan sentral dan sakral. Namun penduduk tetap menganut agama asli sekalipun digolongkan out-group. Di Jawa pada masa Hindu penganut agama asli ini disebut jaba (1981:237).

Agama pendatang yang dianut sebagai agama kerajaan dan bersikap diskriminatif terhadap agama asli, namun tetap tidak berhasil mengubah keyakinan rakyat banyak itu. Agama pendatang itu berkembang di dalam isolasi mandala dan pada jaman Islam dalam pasantren. Hebatnya pula, pola pikir asli itu sedikit demi sedikit merembes ke dalam pola pikir tidak asli itu (Subagya 1981:237,238).

Pada jaman Islam agama asli ini pun tidak bisa dihilangkan. Bahkan di keraton-keraton para pujangga keraton memperkembangkan suatu sintesis kesastraan dan keagamaan antara unsur Jawa tradisional dan unsur Muslim, yang di dalamnya unsur Muslim sebenarnya sedikit saja. Dalam hal ini unsur Hindu pun ikut dipertahankan (Subagya 1981:239). Muslim yang saleh dan taat menganggap kelompok yang mencampurbaurkan Islam dengan agama asli sebagai pasek (orang berdosa) atau abangan. Kata abangan ini berarti merah. Sebab dalam adat atau upacara agama asli di seluruh Indonesia sirih berperan penting. Mengunyah sirih, mulut dan ludah menjadi merah sehingga mereka disebut kaum merah. Kata abangan menurut penelitian Subagya sudah berabad-abad mendapat tempat dalam kesusastraan Jawa. Lawannya mutihan dari kata putih.

Menurut penelitian Subagya pula bahwa sejak jaman kerajaan Singosari di Jawa kaum rohaniwan (Hindu) sudah disebut mutihan. Memang ada yang menjabarkan kedua kata itu dari bahasa Arab, yaitu “muti” berarti “taat” dan “aba” yang berarti “tak peduli” (!981:240).

Pergumulan terberat untuk para penganut agama asli ini terjadi pada masa kolonial, Belanda. Pada masa itu para penganut agama asli sama sekali tidak dihargai (“a residual factor”) dan dianggap sebagai orang-orang kafir. Para penguasa kolonial itu hanya berhubungan dengan para pemimpin di Nusantara ini. Padahal seperti yang kita sudah lihat di atas mereka adalah para penganut agama dunia. Sedangkan mayoritas rakyat yang menganut agama asli diabaikan. Pemerintah kolonial pun melakukan penyederhanaan administrasi dengan hanya mengakui agama dunia. Hasil dari kebijakan ini Islam diuntungkan sebab semua pernikahan orang-orang yang bukan Hindu, atau bukan Kristen dilakukan menurut hukum Islam. Demikianlah ketentuan dalam peraturan no 198 tahun 1895. Akibatnya mayoritas rakyat penganut agama asli secara administrasi berada di bawah Islam dan menyebut diri “selam” atau “seselaman”; demikian tulisan P. Zoetmulder pada tahun 1935 sebagaimana dikutip oleh Subagya (1981:241).
Peraturan-peraturan lain yang mendesak keberadaan agama asli ini pun dikeluarkan yang dibarengi dengan pemberian subsidi oleh pemerintah kolonial kepada lembaga-lembaga Islam. Maka berjuta-juta penganut agama asli yang menurut istilah Subagya: “Orang Islam surat kawin” digabungkan ke dalam Islam. Sekalipun demikian menurut hasil sensus tahun 1930 sebagaimana dikutip Subagya (1981:240), dari penduduk Indonesia yang berjumlah 60,7 juta, kaum Musliminnya “hanya” 29,5 juta (48,7%) sedangkan penganut agama asli masih berjumlah 28,6 juta (47,2 %).

Memasuki masa kemerdekaan dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah NKRI meneruskan kebijakan pemerintah kolonial yaitu secara formal hanya mengakui keberadaan agama dunia. Hal itu ternyata dalam kebijakan politik pemerintah sepanjang sejarah NKRI. Para penganut agama asli dinilai sebagai orang-orang yang belum beragama dan perlu diberagamakan. Kebanyakan dari agama asli pun mengubah wujud menjadi berbagai aliran kebatinan. Inilah tahap regenerasi agama asli. Namun sekalipun beregenerasi tantangan terhadap agama asli belum berhenti. Sebagai contoh, pemerintah NKRI antara tahun 1964-1971 pernah melarang, membekukan atau membubarkan sejumlah besar organisasi-organisasi aliran kebatinan. Pada tahun 1972 Jaksa Agung melaporkan bahwa pada 15 November 1971 sebanyak 167 aliran kebatinan telah dilarang. Namun pada April 1972 terdaftar pada Sekretariat Kerjasama Kepercayaan sebanyak 664 aliran kebatinan pada tingkat pusat maupun cabang yang wilayah sebarannya meliputi Jawa, Sumatra dan Indonesia Timur (Subagya 1981:251).

Para pemimpin aliran kebatinan ini melakukan penafsiran khas pasal 29 UUD 1945 untuk memperoleh dasar legalitas dari kehadirannya. Namun upaya memasukkan aliran kebatinan ini sebagai agama ke dalam GBHN selalu mendapat tantangan keras dari kaum agamawan. Sepanjang masa pemerintahan Presiden Suharto, aliran kebatinan atau saat itu lebih dikenal sebagai kelompok kepercayaan kepada Tuhan Yang maha Esa ditempatkan di bawah “asuhan” Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan kalimat lain aliran ini dianggap sebagai manifestasi kebudayaan bukan sebagai agama. Kini di masa reformasi kelompok ini memang telah berada di bawah payung Departemen Agama namun bukan diakui sebagai salah satu agama yang dianut penduduk NKRI melainkan penganutnya digolongkan sebagai kelompok yang harus “diberagamakan”.

Di lain pihak tidak bisa disangkali para penganut agama asli ini mendapat gempuran hebat dari pola hidup modern yang sekuler. Nilai-nilai tradisinalnya tergeser oleh paham modern-sekuler yang datang menggebu bersamaan perubahan jaman yang berlangsung terus-menerus seakan tidak akan berhenti. Pengaruh ini terutama melanda angkatan mudanya. Namun di saat kritis atau saat mereka memasuki tahapan hidup tertentu ketergantungan kepada agama asli masih tampak. Sekelumit pergumulan agama asli di atas menampilkan fenomena yang menarik. Betapa tidak, sepanjang perjumpaannya dengan agama dunia dalam sejarah Nusantara ini agama asli terdesak hebat namun tidak berhasil disingkirkan atau diganti sepenuhnya oleh agama dunia dari hati para pemrakteknya. Dasar legalitas memang tidak dimiliki oleh agama asli, namun kehadiran elemen-elemen agama asli masih tetap nyata bahkan terkadang masih sangat kuat, sekalipun tersembunyi di balik “jubah” agama dunia.

Kontak Awal Dengan Kekristenan
Kini, bagi segenap penduduk NKRI tidak ada keluangan untuk mencantumkan dalam kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya: Agama asli. Sebab kewajiban yang ditentukan bagi segenap penduduk NKRI adalah keharusan untuk menganut salah satu agama dunia. Maka secara statistik yang tercatat resmi adalah jumlah penganut agama dunia itu. Namun dalam praktek kehidupan sehari-hari masih jelas ternyata bahwa mayoritas penduduk NKRI masih memelihara kepercayaan dan melaksanakan ritual atau elemen-elemen ritual yang sebenarnya milik agama asli. Ketercampuran praktek keagamaan yang masih dipelihara oleh kebanyakan penduduk NKRI ini bisa digolongkan sebagai sinkretisme.

Kadar kekentalan pengaruh agama asli dalam kehidupan beragama mayoritas penduduk NKRI memang sangat beragam. Hebatnya pula pemeliharaan elemen-elemen agama asli itu dijumpai pada para penganut agama dunia mana pun. Hal ini bukan berarti tidak ada kalangan yang berupaya memurnikan hidup keagamaan dunianya, dan meninggalkan elemen-elemen agama asli itu.

Uraian di bawah ini akan memaparkan pengaruh atau praktek agama asli Dayak Simpakng di lingkungan Kristen saja yakni Katolik dan Protestan. Pertimbangannya selain ruang yang membatasi, juga dua agama dunia inilah yang memiliki penganut terbanyak di komunitas Dayak Simpakng ini.

Sekitar tahun 1957, agama Katolik masuk ke daerah Banua Simpakng. Penyebaran Agama ini dilakukan oleh Misionaris Pasionis dari Pusat Misi Ketapang. Misionaris ini selain menyebarkan agama juga mendirikan sekolah sekolah. Desa-desa pertama yang dimasuki oleh Agama Kristen adalah Karab, Banjur, Bukang dan Simpang Dua. Sebuah Sekolah Misi kemudian didirikan di Banjur Karab pada tahun 1957. Dari basis pertama di Banjur Karab itu agama Katolik kemud¬ian menyebar ke seluruh wilayah Kecamatan Simpang Hulu. Kini terdapat tiga Paroki (Pusat Komunitas Katolik) di kecamatan itu.

Pada tahun 1970-an misi Protestan masuk untuk pertama kalinya di Desa Maju, Kecamatan Sungai Laur. Dari sana penyebaran agama Protestan yang dilakukan oleh Yayasan Misi Suku-Suku Terpencil menyebar ke Baram, Kuala Randau, Balai Semandang dan Gema.

Masuknya agama Kristen sangat mempengaruhi status tradisi lisan suku Dayak Simpakng. Pada saat awal masuknya agama Katolik, sejumlah tradisi lisan suku Dayak Simpakng yang dituturkan pada acara-acara ritual dianggap sebagai praktek penyembahan berhala dan kafir. Orang-orang yang masuk agama Katolik menganggap bahwa penganut kepercayaan asli primitif dan kuno. Oleh karena itu harus segera dihilangkan. Doktrin ini disebarkan lewat sekolah-sekolah Katolik, pengajaran agama di kampung-kampung dan bahkan dalam kelompok-kelompok kecil.

Tidak hanya sampai pada doktrin, tetapi dalam berbagai praktek kehidupan. Pada tahun 1960-1970-an, umat Katolik merasa kurang enak bila harus menghadiri peristiwa kematian anggota masyarakat yang belum masuk Katolik.

Krisis ini juga ditandai oleh adanya istilah "Sabat Katolik" dan "Sabat Kampokng" (Perkawinan Katolik dan Perkawinan Adat). Umat katolik, pada waktu itu, jika merayakan pesta pernikahan tidak menuruti adat istiadat yang berlaku, tetapi cukup diberkati di gereja, kemudian pesta di rumah. Sedangkan mereka yang belum menganut Katolik masih menuruti tradisi perkawinan adat. Perkawinan adat ini disebut "Sabat Kampokng" atau "Upacara perkawinan secara adat".
Demikian pula dengan peristiwa kematian. Kini terdapat dua jenis kompleks perkuburan, yang disebut Pasar Sarani (Perkuburan Katolik) dan Pasar Kampbong (Perkuburan Non Sarani). Dalam bidang praktek adat istiadat, ternyata terjadi arus balik. Dalam dekade 1980-an, pelan-pelan orang kembali menjalan¬kan adat istiadat. Dalam hal perkawinan misalnya, setelah diber¬kati di gereja, diteruskan dengan upacara perkawinan adat. Maka tradisi lisan yang berhubungan dengan adat istiadat dan perkawinan pelan-pelan tumbuh dan berkembang kembali.

Akan halnya tradisi lisan yang berhubungan dengan upacara-upacara ritual, praktek-prakteknya mengalami titik terendah antara 1980-1990. Di atas tahun 1990, upacara-upacara pengobatan tradisional pelan-pelan bangkit kembali. Faktor pendorongnya antara lain, karena tidak semua penyakit dapat disembuhkan oleh Perawat atau Dokter. Tahun 1991 misalnya, terjadi wabah hepatitis di daerah itu. Ternyata, dokter dan perawat tidak dapat menyem¬buhkan penyakit itu. Dan beberapa dukun turun tangan. Ternyata tak seorang pun dari penderita yang meninggal. Padahal, di Keca-matan Sandai, wabah yang sama pernah terjadi tahun 1988. Sedikitnya 4 orang meninggal.

Perkembangan tradisi lisan di daerah-daerah sentral pemukiman pemeluk Agama Protestan kini sedang mengalami titik yang sangat kritis. Mereka lebih fanatik dibandingkan dengan Pemeluk Agama Katolik pada tahun 1960-an. Segala hal yang berhubungan dengan unsur-unsur kebudayaan asli dianggap berhala dan harus dimusnahkan. Setelah adanya penelitian tradisi lisan terlihat kesadaran masyarakat Simpang akan pentingnya pelestarian adat-istiadat yang sudah ada secara turun-temurun itu. Apalagi adanya lokakarya dan pelatihan-pelatihan yang bersifat menggugah masyarakat untuk tetap melestarikan budaya asli mereka.

Menurut pengamatan di lapangan cara-cara pengobatan asli mulai ditingkatkan, upacara-upacara di gereja sudah mengarah kepada inkulturasi budaya setempat dengan tradisi gereja. Misalnya acara 'ngosu minu podi' atau pemberkatan padi sudah diadakan di gereja secara kolektif. Beberapa tangga acara yang seharusnya dilakukan di lumbung padi diadakan di gereja. Akan sulit lagi melihat keaslian (originalitas) baik ngkgata, baca, doa maupun seni pertunjukannya. Kekuatan-kekuatan budaya itu sendiri akan menghilang. Pertanyaan demi pertanyaan silih berganti, mungkinkan 'banyawe' bisa muncul di altar, sampaikah sapaan para pabayu kepada 'sobat ande' baik melalui tembang/rayah maupun doa lemu? Mungkinkah seorang dukun dapat 'lolap' tanpa adanya kelengkapan sesajian? Dapatkah dijamin keselamatan seorang dukun bila rayah Olang Langor diganti sair dan sajaknya? Tentu bagi pemilik dan pencinta budaya itu akan merasa risi dan merinding bilamana ada pihak tertentu yang mencoba memoles-moles keaslian keaslian budaya dengan budaya lain.

Sekalipun agama asli tidak memiliki hak legalitas tentang keberadaannya namun elemen-elemen tertentu dari agama asli ini masih dipelihara dan dipraktekkan oleh penganut agama dunia ini. Untuk mencari jawab sekitar daya tahan agama asli ini tidaklah terlalu gampang. Secara teori agama asli bisa meresap dan tetap dipelihara di balik agama dunia sebab sejak awal dalam para pewarta agama dunia itu memberi toleransi besar kepada praktek-praktek agama asli itu, Kasus ini dalam ke-Kristen-nan disebut pola pelayanan kontekstual tidak kritis. Inilah sinkretisme terang-terangan. Di lain pihak para pewarta agama dunia itu melarang dengan keras para “petobat” barunya untuk berhubungan dengan segala hal yang terkait dengan tradisi lama termasuk di dalamnya unsur-unsur budaya lama. Tujuannya adalah sebaliknya dengan para pewarta di atas. Namun sayangnya pelarangan praktek yang bernuansa unsur-unsur lama itu tanpa pengertian yang memuaskan. Maka mereka secara diam-diam tetap memelihara kepercayaan lama itu.

Di permukaannya mereka telah berkepercayaan agama dunia namun dalam lubuk hatinya mereka masih menyimpan kepercayaan asli. Misalnya di kalangan Kristen, pemberkatan nikah untuk pasangan pengantin telah dilakukan secara gerejani namun pihak keluarga merasa belum memadai bila tidak dilengkapi dengan unsur-unsur tradisi lama yang di antaranya sangat kental nuansa agama aslinya. Pihak gereja tidak dilibatkan lagi dalam bagian terakhir ini.

Inilah sinkretisme terselubung. Bisa pula pola pikir lama atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah worldview belum tergantikan oleh pola pikir dengan nilai-nilai agama dunia atau menerima unsur asing (agama dunia) namun dalam pemahaman nilai lokal-asli maka terjadilah chritopaganisme (Kraft 1996:376). Kemungkinan lain tekanan hidup dan masalah yang dihadapi begitu berat menekan, sedangkan pemahaman teologis praktis dari agama dunianya belum memadai atau dirasakan tidak bisa menolong, maka mereka kembali menggali nilai agama asli. Mereka percaya nilai agama asli yang telah ditinggalkannya itu bisa menolongnya. Inilah tahap revitalisasi agama asli. (FRANS LAKON)

sumber : www.franslakon.blogspot.com
(*)Frans Lakon :
Dilahirkan di Balai Berkuak 30 tahun yang lalu. Riwayat pendidikan formalnya dimulai dari SD Usaba No. 31 Balai Berkuak, SMP Negeri 01 Balai Berkuak, dan SMA Santo Yohanes Ketapang, Kalimantan Barat. Melanjutkan studi pada jenjang strata satu di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.

Monday, March 28, 2011

Foto-foto kota Pontianak tempo dulu

Foto Arena Remaja tahun 1986, sekarang Pontianak Convention Centre.

Jalan H. Agus Salim tahun 1971

Jalan Tanjung Pura tahun 1975

Tugu yang dibangun pada tahun 1928 oleh seorang geografis berkebangsaan Belanda ini menjadi ikon kota Pontianak.

sumber : I Love Pontianak

Wednesday, March 23, 2011

Story Of Remun Chief Named Numpi:

One famous Remun Iban Chief named Numpi, was one person who settled permanently at Tebelu. He owned 30 slaves, who worked for him when he was left an orphan after his parent died while he was still very young. Only two of these slaves were good to him, while the rest plotted to kill him as his parents had been cruel to them.

One day, when Numpi’s two favorite slaves went out to fish for him, the rest of the slaves held a secret meeting to discuss ways of killing the boy. They decided to do it during the burning season of the padi planting cycle. Eventually, when the burning season came, they took Numpi with them to the farm. At the same time, they had requested Numpi’s two favorite slaves to go out fishing at the nearby river. As they reached the farm, they quickly placed Numpi in the middle of the farm near the foot of an ijok palm. The set the field on fire and ran to the edge of the farm to stay away a safe distance from the raging fire that burn the dry trees and bushes they cut earlier. The burning fire created a strong wind, which make the Ijok palm leaves to swing violently, splashing water from the nearby pool into Numpi’s tiny body, which saved him from being burnt or hurt by the flames and heat.

The ijok palm (Arenga pinnata) is a plant capable of yielding a small amount of edible flour (tepong mulong). Its trunk is covered with a coarse hair-like fiber (bulu) which serves as a valuable source of cordage, particularly for rope making. This useful palm also yields sugar and occasionally toddy (tuak ijok).

At the river side, while casting their net, the two loyal slaves saw a thick smoke in the direction of their farm from their boat. Sensing something wrong, they rushed home and found Numpi was not there. Worried about his safety in the hands of the other slaves who dislike their young master, the two loyal slaves immediately rushed to their farm. When they reached the paddy field, they found that the fire had already burned itself out. They also notice that Numpi was not together with them at their temporary hut on the edge of the field. They began to search for Numpi while mentioning that they would kill the other slaves personally if Numpi is found dead. Fearing for their lives, the other slaves left the field immediately while the two loyal slaves searched for their master.

As the two men searched for the child at the centre of the burnt out field, they heard a faint weeping sound of their master. Thus they knew that their master is still alive. When they saw him, they found that he had been miraculously cooled by the water splashed by the ijok palm leaves. Seeing the miracle, the two slaves made a vow, “since this ijok palm has saved our master, the people of our race must no longer eats its shoot, forever and ever”. It was and is because of this that the Remun Dayak does not eat the shoot of the ijok palm even to this very day. It is thought that anyone who eats it by mistake will be afflicted with boils (pisa).

The two slaves took their young master back to the house where they scented him with perfumed mambong leaves and the bark of the lukai tree in order to restore his health. They also urged him, when he was grown up, to kill all the disloyal slaves who had plotted to kill him. These words were overheard by some of the slaves, who still live close by, and they held an urgent meeting. Desiring to escape from their master’s retaliation, they secretly fled to the Batang Ai, Skrang and Saribas Rivers.

Mambong plant (blumea balsamifera) is a flowering shrub; commonly grow on newly abandoned farms (jerami). It is an important ritual and medicinal plant. Dried mambong leaves are burned, particularly at sunset, to repel malevolent spirits. Lukai is a small tree and its dried bark is also burnt to drive away both spirits and insect.

When Numpi had grown up, the two slaves had died of old age. So he lived alone and became very sad. There were a lot of other people living up and the Sadong River not very far from him, but as a man of very high rank, he felt ashamed of leaving his house and lived with them. Due to his loneliness, one day he decided to leave his house and settled on the sea coast. Here he lived by fishing. One day, while fishing, his net caught a bamboo. After he took the bamboo out of his net, he threw it back to the sea again. He paddled to another spot to cast his net. This time his net caught the bamboo again. He threw the bamboo back into the sea again and paddled to another spot to cast his net. At the new spot, he cast his net again. When he drew it out of the water, it has again caught a bamboo piece again. Seeing this repeated occurrence, he became puzzled and he decided to place a mark on the bamboo before he threw the bamboo piece towards the shore.

He paddled to another spot where he cast his net for the fourth time. This time it again caught on something. As he drew it up, he was surprised to see the same bamboo get caught in his net. This time, he placed it on his canoe. Numpi continued to fish and after some time, he caught enough fish for his food. As he reached his landing place, he brought the fish and bamboo to his house. As he carried the bamboo to his house, he heard strange noise coming from inside the bamboo node. At his home, he carefully split open the bamboo and found an egg inside. He placed the egg on a chupai basket and took it inside his room. He then went outside to dress himself on the gallery.

After he had dressed, he again heard a noise in the room, which he completely ignored. Shortly afterwards as he was looking towards the room, he saw a lovely young lady cleaning the fish which he had left in the basket. He thought to himself, “Maybe the egg has miraculously turned into this woman”.

Numpi then went back to the room. Before he could ask a question, the lady spoke to him. “Numpi, I have been asked by my brothers and sisters to follow you, in order to marry you, if you agree to become my husband”.

“Of course I want to marry you, if you agree and your family gives their consent”, replied Numpi.

The lady then told Numpi that she had tried many times to come to him when he fished in the sea. “It was I who was caught by your net in the sea. My name is Rambia Bunsu Betong. If you threw me away as you had so often done, my brothers and sisters might not agree to my marriage with you.”

They were married that evening and after a year had passed, they begot a son who they named Maar.

Eventually, when the child was growing into boyhood, his mother told Numpi that she must return to her spiritual world and could no longer live as husband and wife. However, she advised Numpi not to worry about the divorce as she promised to give Numpi another woman for his wife. After she had finished spoken, she disappeared from the sight of Numpi and their son.

One day, Numpi went out fishing in the sea again. This time he caught a huge patin catfish. He then started off to take his catch back to his home. As he paddled homeward, he happened to pass by a Sebuyau Dayak longhouse where a feast was being celebrated. When some of these people saw Numpi, they begged him to join them. He, at first refused their invitation as he is in a hurry to bring back the fish he had caught to his son at home. The Sebuyaus urged him to come in for a short time in order to taste their tuak (rice wine) and the delicious food they had prepared. On hearing this, and knowing that it is a taboo (puni) to refuse an invitation to taste the food, Numpi went up to the longhouse after securing his boat on their landing place. At the longhouse, he was served food and drinks by the host and joined in their merry makings. Very soon afterward, he began to forget about the patin fish he had left on the boat. Quite sometime later, when he remembers about the fish he left on the boat, he asked a boy to fetch it from his boat to be cooked for the feast. The boy then went out to fetch the fish from the boat and saw a young lady sitting there. When the boy asked the lady for the fish, she ignored him completely. Seeing this, the boy returned to the house and told Numpi what happens and what he saw on the boat.

On hearing the boy’s story, Numpi became suspicious and returned instantly to his boat at the landing place. As soon as he reached the landing place, he saw a beautiful lady sitting inside the boat. He quietly untie the boat and paddled away, too shy to speak to the young lady at the time.

As Numpi paddled the boat, the lady spoke to him. She said, “You are a strange man, Numpi. Why should you leave your son alone at home without anyone to look after him?” Numpi then guiltily asked the lady where she had come from. The lady told him that she was the patin fish that he had caught and her name is Rambia Bunsu Patin. Knowing that she was the lady his first wife had promised to send him before, they were married that evening.

They lived together as husband and wife and soon she gave birth to a son, whom they named Lau Moa. One day after the boy had grown to boyhood, his wife told Numpi that she cannot live with them in the human world any longer as she had come from their spiritual world. She advised Numpi that none of their descendants should eat the patin fish (heliocophagus). She too disappeared from their sight and Numpi was heartbroken again. He was happy that he was blessed with the two sons from the two marriages he had.

His sons grew up to be the leaders of their people. Maar was married to a woman named Riu, a daughter of Orang Kaya Saja of the Remun country. The descendent of Maar became chief of the Remun Dayaks, who lived between the other Sea Dayak (Sebuyaus) and the Land Dayak in the First Division, Sarawak. His brother, Lau Moa, moved to Batang Skrang, a tributary of Batang Lupar, and lived with his wife’s family there. He is most remembered as the first Iban pioneer to settle at Nanga Skrang. He was the father of the famous Iban bards Geringu, Sumbang, Sudok and Malang, who were believed to have been taught the correct wording of the Gawai Burong chants (Pengap Gawai Burong), by Sengalang Burong’s own bard, Sampang Gading. Most of his descendent still live in Skrang, Saribas and Kalaka region to this day.



sumber : www.gnmawar.wordpress.com

Saturday, March 12, 2011

Meraih Mimpi di Kota Khatulistiwa

Oleh : Nurul Hidayati*
18 Oktober 2010

Bersama Gigih, Amir, dan Diana, pukul 04.00, aku melaju ke terminal 2F Bandara Soekarno Hatta. Amir dan Diana satu penerbangan dengan kami ke Pontianak. Mereka adalah tim Kalbar 1 yang akan menjelajahi beberapa tempat wisata di daerah hilir, sedangkan aku dan Gigih di daerah hulu Kapuas. Tim Kalbar 1 dan tim Kalbar 2 berpisah di Bandara Supadio, Pontianak, untuk menuju tempat wisata masing-masing. Hari ini aku dan Gigih tidak ditemani oleh seorang guide. Kami baru didampingi guide pada hari kedua. Namun, kami tetap harus menuju tempat yang sudah dijadwalkan oleh panitia, yakni Saham Long House. Saatnya kami meraih mimpi di kota Khatulistiwa. Semangaatt!!

Oiya aku lupa bilang bahwa Pontianak itu PANAS, mungkin karena kota ini dilalui garis Khatulistiwa. Welcome to the hot city, hehehehe....


Mampir ke Tugu Khatulistiwa

Demi kemudahan dan kenyamanan, kami menyewa sebuah mobil dari Pak Samad. Biaya sewanya Rp500.000. Dalam perjalanan ke Saham Long House kami melihat sebuah bangunan/ tugu yang sudah akrab di pandangan mata.

“Itu tugu khatulistiwa, Pak?” Tanya Gigih kepada Pak Samad.

“Iya itu tugu khatulistiwa,” jawab Pak Samad kemudian.

“Pak mampir sebentar ya,” timpal Gigih.

Kemudian mobil avanza biru itupun segera memasuki pelataran Tugu Khatulistiwa. Tempatnya tidak terlalu ramai, hanya terlihat beberapa pengunjung saja di sana. Di tempat ini pengunjung tidak ditarik biaya masuk. Pengunjung hanya disuruh mengisi buku tamu. Perlu diketahui bahwa bangunan museum Khatulistiwa ini berbentuk segi delapan. Bangunan dalamnya berbeda dari bangunan luar yang tampak tidak menarik. Ruangan bersegi delapan itu ditata sedemikian apik dengan tugu khatulistiwa tepat di tengah-tengahnya. Di dinding-dinding dipasang tulisan sejarah tugu khatulistiwa, foto-foto, dan beberapa info mengenai Kalimantan Barat. Info selengkapnya mengenai Tugu Khatulistiwa bisa dibaca di sini.

Selain itu, di bagian luar terdapat sebuah taman yang luas dan agak asri. Kemarin saat kami sedang berkunjung ke sana, tempat itu digunakan untuk tempat foto pre wedding oleh sepasang manusia. Mau mencari alternative tempat foto pre wed? Datang saja ke Tugu Khatulistiwa!

Saham Long House

Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah betang Saham. Rumah ini terletak di Desa Saham, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak, 120 Km dari kota Pontianak, tidak jauh dari jalan raya Pontianak-Kuching. Kami sempat salah jalan waktu itu sehingga pak sopir minta tambah Rp150.000,-. Apa mau dikata, sudah terlanjur jalan, jadi kami pun sepakat dengan permintaannya. Dan sebenarnya ini salah kami yang kurang jelas memberi informasi di mana letak rumah Saham tersebut.

Setelah tersasar, perjalanan kami diiringi hujan lebat, lalu disusul pohon tumbang. Sudah jauh, jalan berkelok-kelok, banyak halangan pula. Aaarrggghhh…!! Demi ACI, demi Indonesia kami rela! Dan akhirnya kami pun bisa melihat rumah betang yang katanya sudah ada sebelum letusan Krakatau tahun 1883.

Pertama melihat rumah itu aku tercengang. Tiang-tiang penyangganya sangat tinggi. Tak tampak geliat kehidupan di sana. Awalnya kukira tak ada penghuni di dalam rumah itu. Tapi setelah menaiki tangga setinggi tiga meter, aku menemukan seorang bapak tua, Paulus Ngidar (83), yang menjelaskan banyak hal tentang rumah ini, termasuk ketidakpedulian pemerintah untuk merenovasi rumah betang yang sudah rapuh setelah mengangkatnya menjadi salah satu tujuan wisata Kalbar.

Menurut informasi, rumah betang Dayak Kanayan ini adalah yang terpanjang di Kalimantan Barat. Sedangkan rumah betang tertua akan kami kunjungi beberapa hari lagi. Rumah ini awalnya hanya terdiri dari tiga bilik, lalu terus berkembang hingga kini terdapat 34 bilik (34 KK). Saat itu rumah betang terlihat sangat sepi, mungkin penghuni rumah sedang pergi ke ladang. Karena keterbatasan waktu kami harus segera kembali ke Pontianak. Perjalanan yang dimulai sejak pukul 10.00 pagi itu berakhir di Hotel 95, Pontianak, pukul 20.00 WIB.

Tentang Hotel 95

Untuk para traveler berkantong tebal mungkin bisa menginap di hotel manapun. Tapi untuk backpacker yang biasanya berpetualang hemat biaya biasanya mencari hotel murah meriah. Hoel 95 saya sarankan untuk Anda. Letaknya di pusat kota, hanya 25 menit dari Bandara Supadio, dan 10 menit dari pelabuhan, dengan menggunakan mobil. Hotel ini berlokasi di Jalan Imam Bonjol No. 95, Pontianak, Kalimantan Barat. Harga kamar standarnya hanya Rp160.000. Memang sih kasurnya kurang nyaman, tapi ada free hotspot. Dan itu yang kami cari kemarin.

sumber : http://nurulaneh.blogspot.com

*Seorang mahasiswi asal Surabaya salah satu peserta jejak petualangan Aku Cinta Indonesia

Friday, March 11, 2011

Genjep, Balian dari Dayak Maanyan


Oleh Defri Werdiono dan M Syaifullah

Bagi masyarakat Dayak Maanyan di daerah perbatasan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, Genjep adalah salah seorang balian dusun yang dihormati. Selain melaksanakan ritual adat terkait kematian Dayak Maanyan, dia juga berusaha menarik minat kaum muda agar ritual adat tersebut tetap lestari.

Jika saya mati nanti, tidak tahu apakah akan dikubur dengan ritual adat aruh buntang atau tidak lagi. Apa pun yang terjadi, saya tetap berusaha mempertahankan tradisi ini selagi mampu,” kata Genjep menegaskan tekadnya.

Masyarakat Dayak Maanyan tepatnya tinggal di antara daerah Kabupaten Tabalong, Kabupaten Barito Timur, dan Barito Selatan. Di kalangan masyarakat, Genjep akrab disapa Mama Uci, merujuk pada nama anak pertamanya.

Selama ini dialah salah satu balian dusun dari ”sedikit” tokoh perempuan yang dihormati masyarakat Dayak Maanyan, khususnya di Desa Warukin, Kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.

Dia menjadi balian dusun (balian perempuan), tokoh spiritual perempuan Dayak Maanyan yang melayani permintaan memimpin ritual upacara adat setempat. Meski sebagian warga beragama Kristen, Katolik, dan Islam.

”Dulu, jumlah balian banyak. Sekarang, balian perempuan hanya tinggal beberapa orang. Selain karena sejumlah ritual adat makin jarang digelar, juga banyak orang tak mau jadi balian,” ujarnya.

Sejak Minggu (11/7) lalu, Genjep bersama tiga belian dusun memimpin ritual aruh (upacara) buntang atau aruh mambuntang di Warukin. Aruh buntang adalah upacara mengangkat arwah dari alam kubur ke surga. Ritual adat terkait kematian ini digelar keluarga Pardi Luit untuk orangtuanya, Utau, yang meninggal 30 tahun lalu.

Prosesi tersebut diyakini sebagai cara menempatkan arwah menjadi ”bapak” tertinggi di rumah. Dalam kepercayaan masyarakat penganut Kaharingan, agama asli masyarakat Dayak, orangtua atau leluhur akan memberikan keberkahan kepada generasi penerusnya yang masih hidup.

Berusia muda

Selama berlangsung aruh buntang, sekitar lima hari, hampir semua prosesi menjadi tanggung jawab Genjep. Dia yang menyiapkan berbagai sesaji sebagai unsur ritual, memanggil dan berkomunikasi dengan arwah, dan mengangkatnya ke alam surga. Tugasnya seperti mediator.

Selain menyiapkan sesaji di balai (rumah panggung), Genjep juga memimpin proses bamamang (membaca mantra). Ia bersama tiga balian perempuan lain melakukannya dengan tarian ritual diiringi bunyi gemerincing gelang dadas, gelang kuningan yang dikenakan para balian itu.

Mereka memakai pakaian adat khas balian dusun, berupa tapih bahalai, kain batik yang dililitkan di dada. Lalu, pada bagian belakangnya terselip sebilah keris. Dia juga memakai ikat kepala.

”Setiap melakukan ritual ini, saya ditemani tiga balian lain. Setidaknya satu dari mereka berusia muda, sekitar 35-40 tahun. Saya berharap, dengan melibatkan balian dusun yang masih muda, kita mampu mempertahankan tradisi ritual ini,” kata Genjep menjelaskan usahanya melestarikan adat, meski diakuinya menjadi balian tak mudah.

Selain harus terlatih menggelar berbagai ritual Dayak Maanyan, seorang balian juga mesti menguasai dan hafal semua mantra yang dipakai. ”Semua itu tak bisa dipelajari lewat buku karena tak ada bukunya. Balian muda harus belajar dengan berguru langsung kepada balian dusun tertua,” katanya.

Kondisi fisik seorang balian juga harus prima karena ritual adat itu bisa berlangsung sampai sembilan hari terus-menerus. Itu belum termasuk persiapan. Ketika aruh buntang digelar, praktis Genjep hanya bisa tidur beberapa saat.

Keahlian nenek

Memimpin ritual adat dilakukan Genjep sejak tahun 1968. Keahliannya sebagai balian dusun berawal ketika ia berusia 12 tahun. Saat duduk di bangku kelas empat sekolah rakyat, ia diminta meneruskan keahlian neneknya, Pembekal Lingut.

Sang nenek, Pembekal Lingut, adalah salah seorang ”pandai” di Tamiang Layang. Genjep mengingat, salah satu prosesi yang dilakukan untuk mentransfer ilmu itu adalah dengan bamandi-mandi atau mandi menyucikan badan.

Setelah itu, Genjep kecil diharuskan menghafal berbagai mantra. Kemudian, selama sekitar 22 tahun terus-menerus Genjep mengikuti sang nenek setiap kali ada aruh buntang. Setelah berusia 42 tahun, Genjep baru dipercaya memimpin ritual aruh buntang.

”Saya diambil dari sekolah, saya menangis karena tak mau (menjadi balian dusun). Lalu nenek bilang, sayang kan jika tidak ada yang diutuskan menjadi balian. Apa boleh buat, akhirnya terjadi juga,” tuturnya.

Belakangan ini Genjep membagi ilmunya kepada dua perempuan muda. Kata Genjep, mereka sendiri yang mengajukan diri menjadi balian. Maka, apa yang dia dapatkan dari sang nenek dia lakukan pula kepada muridnya. Mereka mengikuti ke mana saja Genjep memimpin ritual aruh buntang.

Semakin langka

Perkembangan zaman memang membawa pengaruh, termasuk pada masyarakat pedalaman Kalimantan. Dari pengamatan Genjep, dibandingkan dulu, keberadaan balian dusun belakangan ini semakin langka. Kondisi ini sedikit berbeda dengan balian lain, seperti balian bawo, balian lelaki yang jumlahnya relatif masih mencukupi.

Entah apa yang menjadi penyebab, Genjep tidak bisa menjelaskannya. Dengan nada khawatir dia memperkirakan tradisi aruh buntang semakin terancam punah. Memang, untuk melaksanakan upacara adat itu diperlukan biaya besar, mencapai puluhan juta rupiah. Di samping itu, sebagian warga setempat juga telah berpindah agama, dan tradisi ini pun mereka tinggalkan.

Dalam keluarga Genjep, dari tujuh anaknya, tidak ada seorang pun yang berkeinginan mengikuti jejaknya, menjadi balian dusun. Mereka memilih menjadi pegawai negeri sipil di kantor pemerintah kabupaten, atau bekerja di pertambangan batu bara yang beroperasi di kawasan itu.

Namun, bagi Genjep, kondisi itu tak membuatnya patah semangat. Dia tetap menekuni tugas dari leluhur, sebagai balian dusun. Meski usia tidak lagi muda, Genjep terus berjalan, mendatangi satu demi satu kampung masyarakat Dayak Maanyan di perbatasan tiga provinsi, yakni Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.

Dia tetap fokus pada tujuan semula, yakni melestarikan ritual adat Dayak Maanyan. Ditemani gemerincing gelang dadas pada kedua tangannya, tubuh tua Genjep tetap gemulai membawakan tarian sakral. Dia memimpin warga Dayak Maanyan setempat siang-malam agar menghormati para leluhurnya dengan aruh buntang.


sumber : Kompas.com

Sepotong Jalan Rusia dan Impian Soekarno


C Anto Saptowalyono dan Ahmad Arif

Jalan aspal itu lurus dan mulus. Tak ada guncangan ketika mobil melaju kencang di atasnya. Ini berbeda dengan jalan trans- Kalimantan dari Nunukan, Kalimantan Timur, hingga Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang penuh lubang dan bergelombang.

Warga setempat mengenal jalan itu sebagai Jalan Palangkaraya-Tangkiling. Namun, Gardea Samsudin (70) mengenangnya sebagai Jalan Rusia.

Samsudin, lelaki asal Bandung, Jawa Barat, adalah sedikit saksi yang tersisa dari sepotong jalan sepanjang 34 kilometer dengan lebar 6 meter yang dibangun oleh para insinyur dari Rusia—dulu The Union of Soviet Socialist Republics. Bersama puluhan warga Dayak, Samsudin dan ratusan orang Jawa lain bekerja di bawah arahan belasan insinyur Rusia. ”Saya ikut menyusun batu-batu yang menjadi fondasi jalan ini,” kata Samsudin yang kini menetap di Palangkaraya.

Tak gampang mencari saksi lain pembangunan Jalan Rusia yang mau bicara. Sabran Achmad (80), tokoh masyarakat Kalteng, menuturkan, banyak pekerja yang ikut membangun Jalan Rusia itu menyembunyikan diri. Ini tidak lepas dari politik Orde Baru yang memberi stigma hitam kepada sesuatu yang berbau Orde Lama. Dan, jalan yang dibangun oleh insinyur Rusia itu memang berasal dari era Soekarno, yang dekat dengan negara Blok Timur itu tahun 1950 hingga 1960-an.

”Jalan itu dibangun menandai pembangunan Kota Palangkaraya. Sebelumnya, jalan itu berupa hutan lebat. Pohon-pohonnya besarnya segini,” kata Sabran sambil melingkarkan kedua lengannya.

Mimpi Soekarno


Pada mulanya adalah ayunan kapak Presiden Soekarno pada sebilah kayu di Pahandut, Kampung Dayak, di jantung Kalimantan, 17 Juli 1957. Sebilah kayu yang dibelah itu menandai pembangunan kota baru yang diimpikan Soekarno. Kota baru ini kemudian diberi nama Palangkaraya yang berarti tempat suci, mulia, dan agung, yang didesain sebagai ibu kota Indonesia Raya.

Namun, mimpi Soekarno tak pernah jadi kenyataan. Palangkaraya saat ini hanyalah sebuah ibu kota Provinsi Kalteng yang gelap dan tak bergairah karena kekurangan pasokan listrik.

Dirancang sebagai ibu kota negara, awalnya Palangkaraya dibangun dengan konsep yang jelas. Ada pengelompokan fungsi bangunan yang memisahkan fungsi pemerintahan, komersial, dan permukiman. Tata kotanya dirancang dengan memadukan transportasi darat dan sungai.

Sungai Kahayan menjadi pusat orientasi di sebelah utara kota. Sebuah jalan darat dibangun di pusat kota menuju arah Sampit. Jalan itulah yang kini dikenal sebagai Jalan Rusia, ruas jalan nasional terbaik sepanjang jalan trans-Kalimantan yang dilalui Tim Jelajah Kalimantan Kompas bersama Departemen Pekerjaan Umum (PU). ”Kita tak pernah lagi membangun jalan sebaik Jalan Rusia yang masih mulus walau sudah puluhan tahun. Lihatlah, jalan-jalan lain di Kalimantan yang baru dibangun cepat sekali rusak,” kata Wibowo, staf Departemen PU anggota Regional Betterment Office VII Banjarmasin.

Menggali gambut

Sepotong jalan itu menjadi saksi kemahiran insinyur-insinyur Rusia membangun jalan di tanah yang sangat berbeda kondisinya dengan negara asal mereka. Sabran mengisahkan, semua gambut di tapak jalan dikeruk. ”Setelah gambut dikeruk, terciptalah alur seperti sungai. Lalu, alur itu diisi batu, pasir, dan tanah padat,” kata Sabran.

Pada 17 Desember 1962, pembangunan fondasi Jalan Rusia selesai. Pada tahun-tahun berikutnya, tinggal pembuatan drainase, pengerasan, dan pengaspalan. Pekerjaan yang lambat, tetapi hasilnya prima.

Namun, pembangunan jalan yang direncanakan sepanjang 175 kilometer melewati Parenggean lalu ke Sampit dan Pangkalan Bun kemudian menghubungkan Palangkaraya dengan pelabuhan-pelabuhan sungai menuju ke Jawa ini dihentikan awal tahun 1966. Ketika itu jalan yang terbangun baru 34 km.

Pergantian kekuasaan pasca-Gerakan 30 September 1965 membuat orang-orang Rusia bergegas meninggalkan Indonesia. Semua pekerja proyek menyembunyikan diri karena tak ingin disangkutpautkan dengan Rusia, Partai Komunis Indonesia, atau bahkan Soekarno.

Cerita pembangunan Jalan Rusia itu pun tamat. Segala yang berbau Rusia dihapus, termasuk ilmu pembangunan jalan yang diajarkan insinyur mereka di ruas Palangkaraya-Tangkiling. Pembangunan jalan di Kalimantan tidak pernah lagi dimulai dengan mengeruk gambut. Namun, cukup dengan fondasi berupa kayu galam yang ditancapkan di lahan gambut itu (fondasi ini dikenal sebagai cerucuk). Pembangunan jalan menjadi lebih murah dan cepat, tetapi konstruksi jalan tidak awet.

Kepala Bidang Bina Marga Dinas PU Provinsi Kalteng Ridwan Manurung menuturkan, secara teori, ruas Palangkaraya- Tangkiling yang dibangun Rusia itu yang benar. ”Saat membuka trase jalan, harus diperhatikan struktur tanah dasar, fondasi, dan lapisan penutupnya. Jika ada tanah humus, harus diganti dengan pasir, tanah padat, atau granit. Sedalam apa pun gambutnya, harus dibuang,” katanya.

Menurut Wibowo, pembangunan jalan dengan teknik Rusia itu membutuhkan biaya tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan teknik yang dilakukan dengan cerucuk, seperti yang sekarang kita buat. ”Namun, umur jalan dengan teknik Rusia itu bisa lima kali lipat dari jalan kita,” katanya.

Bangsa ini sepertinya memang suka yang instan. Cepat selesai, cepat pula hancur. (RYO/FUL)
sumber : Kompas.com

Budaya Dayak Pitap Jadi Potensi Wisata

Penulis: Ni Luh Made Pertiwi F | Editor: Glori K. Wadrianto

PARINGIN, KALSEL, KOMPAS.com - Budaya masyarakat adat Dayak Pitap bisa menjadi potensi pariwisata. Dayak Pitap merupakan sub etnis Dayak Meratus di Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.

Masyarakat adat Dayak Pitap memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang sangat menarik dan tidak dimiliki masyarakat adat lain di luar Kalsel.
-- Yus Alwi

"Masyarakat adat Dayak Pitap memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang sangat menarik dan tidak dimiliki masyarakat adat lain di luar Kalsel," kata Kepala Bidang Pariwisata, Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata (Disporabudpar) setempat, Yus Alwi di Paringin, ibu kota Balangan, Jumat (29/10/2010).

Kekayaan adat istiadat Dayak Pitap sangat menjual dan menarik minat wisatawan. Karena itu potensi ini mesti dikelola dengan profesional. Pengelolaan ini tentu saja memerlukan investasi yang tidak sedikit berupa sarana dan prasarana serta sumber daya manusianya. "Investasi di bidang sarana dan prasarana meliputi infra struktur yang bagus sehingga akses wisatawan menjadi lancar," jelasnya.

Perlu pula dilakukan pembangunan kawasan hunian masyarakat adat Dayak di satu lokasi tertentu. Sehingga pengelolaannya akan makin mudah. Selain itu, pembinaan terhadap sumber daya manusia setempat juga perlu. Agar masyarakat adat dapat menampilkan sesuatu yang unik dan menarik wisatawan.

"Prosesi dan ritual adat Dayak Pitap, memiliki nilai jual yang tinggi. Bila hal itu dapat dikemas maka akan mendatangkan pemasukan yang tidak sedikit bagi pemerintah daerah," jelasnya.

Jika potensi ini dikelola dengan maksimal maka dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat Balangan. Peningkatan khususnya di sektor jasa seperti perhotelan dan bisnis kuliner.

Hanya saja untuk merealisasikan hal ini masih berbenturan dengan kendala keterbatasan anggaran. Sejauh ini yang dapat dilaksanakan baru sebatas sosialisasi pada masyarakat pentingnya sektor wisata untuk pertumbuhan ekonomi daerah.

Rencananya tahun depan Disporabudpar Balangan akan mencanangkan program pendataan dan inventarisasi potensi wisata, termasuk kekayaan budaya masyarakat adat Dayak Pitap. Harapannya upaya untuk mengelola kekayaan budaya masyarakat adat Dayak Pitap secara profesional dapat segera diwujudkan.

sumber : antara.co.id

Thursday, March 10, 2011

Nataki, Cara Masyarakat Dayak Membatasi Api

KOMPAS.com — Masyarakat Dayak Kendayan di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, memiliki kebiasaan turun-temurun untuk membuka lahan pertanian dengan cara membakar. Untuk mengantisipasi kebakaran meluas, mereka membuat pembatas api atau dalam bahasa setempat disebut nataki.

"Tradisi buka lahan dengan cara membakar itu sudah ada sejak nenek moyang kami ada di sini. Itu bukan untuk merusak hutan. Nenek moyang kami mengajarkan bagaimana caranya membuka lahan yang aman," kata Felisianus Kimsong, tetua adat Subsuku Gajekng di Kecamatan Samalantan, Kabupaten Bengkayang.

Masyarakat Dayak Kendayan mengakui, abu pembakaran batang-batang pohon di lahan yang akan dibuka itu sangat cocok menjadi pupuk alami. Hasil pertaniannya tetap bagus walaupun hanya menggunakan pupuk alami dari abu itu.

"Makanya, kami biasanya meninggalkan lahan itu setelah satu musim, lalu kembali lagi setelah tujuh atau delapan tahun kemudian. Saat itu, lahan sudah kembali rimbun dan kami membakarnya lagi," kata Kimsong.

Bersama-sama

Nataki biasanya dilakukan bersama-sama oleh satu kelompok masyarakat. Caranya dengan merobohkan pepohonan, belukar, atau ilalang di sekeliling lahan yang hendak dibakar. Lebar batas api itu antara 3 hingga 5 meter. Nataki diperlukan agar api tidak nyangkit atau menyambar lahan di luar kawasan yang hendak dibuka untuk bertani.

Setelah dirobohkan, ilalang atau belukar biasanya disapu ke arah lahan yang hendak dibakar. Itu dilakukan supaya batas api itu benar-benar bersih. Pekerjaan itu tidak mudah karena pembersihan batas api harus dilakukan di sekeliling lahan. Padahal, lahan yang dibuka kadang kala hingga beberapa hektar sekaligus jika akan dikerjakan bersama oleh beberapa petani sekaligus.

Setelah batas api bersih, mereka baru memulai membakar lahan. Sebelum membakar lahan, mereka biasanya juga mengamati arah angin. Mereka akan membakar searah tiupan angin, tetapi ujung lahan biasanya sudah dibakar sedikit supaya jika tiba-tiba angin membesar, api tidak keluar dari batas api.

Masyarakat baru akan menanami lahan, baik untuk tanaman pangan maupun sayur-sayuran, setelah tiga atau empat hari lahan dibakar. Saat itu, abu sudah mengendap dan petani bisa mulai menanam.

Atus, warga adat Subsuku Capkala di Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang, mengatakan, pembukaan lahan dengan cara nataki masih dipegang teguh oleh masyarakat Dayak Kendayan. Dulu, tradisi buka lahan itu dirangkai dengan berbagai upacara adat. "Kini, walaupun tak semuanya dirangkai dengan upacara adat yang rumit, nataki masih tetap dilakukan," kata Atus.

Masyarakat adat umumnya masih patuh terhadap hukum adat terkait pembakaran lahan. Siapa pun warga adat yang diketahui membakar lahan dengan sengaja dan mengakibatkan kebakaran hebat akan terkena denda adat. Selain itu, warga tersebut juga akan diajukan ke penegak hukum untuk mendapatkan hukum pidana.

Kearifan lokal

Staf pengajar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, M Iqbal Djajadi, mengatakan, masyarakat Dayak di Kalimantan Barat termasuk etnis yang memiliki banyak kearifan lokal. Sayangnya, kearifan lokal itu sering dibenturkan oleh ketidakarifan nasional dan global.

Masuknya investor nasional dan internasional ke Kalimantan Barat dalam satu sisi menjadi semacam ketidakarifan bagi masyarakat lokal. "Walaupun diakui ada banyak manfaat, masuknya investasi besar-besaran dan migrasi masyarakat luar ke Kalimantan Barat telah mengancam eksistensi kearifan lokal masyarakat," kata Djajadi, dalam Kongres Kebudayaan Kalbar di Kabupaten Ketapang beberapa waktu lalu.

Ketidakarifan nasional dan global dalam kaitannya dengan kearifan lokal membuka lahan termanifestasi dalam adopsi cara membakar lahan yang salah. Tidak sedikit perusahaan yang membuka lahan di Kalimantan Barat dengan cara membakar lahan. Tanpa membuat batas api, perusahaan-perusahaan itu membakar lahan. Akibatnya, kebakaran meluas.

"Dulu pernah ada perusahaan yang membakar lahan hingga mengakibatkan kebakaran hingga ratusan hektar. Itu karena perusahaan mengabaikan cara membuka lahan seperti yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Kendayan," kata Atus.
sumber : Kompas.com

Tuesday, March 8, 2011

Makhluk Mistis Penjaga Hutan Bernama Kek Tung

Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Severianus Endi

PONTIANAK, KOMPAS.com —
Jika di Kaltim ada makhluk mistis berupa sepasang naga berkaki, lain lagi ceritanya di Kalbar. Khususnya di kalangan masyarakat Dayak di pedalaman, dikenal hewan mistis penghuni rimba raya sejenis harimau dahan.

Akan tetapi, ini bukan jenis satwa yang bisa dilihat semua orang. Kebanyakan hanya bisa mendengar suaranya berupa bunyi sayup "kung, kung, kung", tetapi bergema dan menggetarkan.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar Blasius H Chandra mengenang, suara itu begitu menggetarkan jiwa sekaligus menyeramkan. Saat masa kecilnya, ia pernah mendengar suara itu di tengah malam kala bermalam bersama orangtua di pondok ladang.

"Tengah malam di pondok ladang, suasana sangat hening. Ada suara serangga dan juga desah angin. Nah, sesekali terdengar suara 'kung, kung, kung' yang sayup, tapi menggetarkan. Hingga sekarang, saya tak bakal lupa kesan itu," ucap Blasius, Kamis (11/2/2010).

Bahkan, saat dirinya telah menjadi aktivis lingkungan, suara mistis itu masih pernah di dengarnya. Beberapa tahun lalu, saat berada malam hari di Bukit Sedayang, pedalaman Kabupaten Ketapang, suara itu kembali terdengar.

"Meski saya sudah hidup di abad modern, suara itu tetap menggetarkan. Apalagi sejak kecil, orangtua sudah menanamkan makna Sang Penjaga Alam itu yang kami sebut Kek Tung," katanya.

Apakah satwa itu nyata? Menurut penuturan orangtua, Kek Tung menyerupai jenis harimau dahan, berkulit hitam, berbadan besar, dan bersuara menggema.

Apabila Kek Tung bersuara, berbagai isyarat bisa ditangkap oleh para penatua. Di antaranya isyarat buah-buahan di hutan akan melimpah atau sebaliknya panen ladang akan gagal atau serangan sampar.

"Saya yakin Kek Tung nyata sebagai bagian komponen alam. Kalaupun masyarakat menilainya mistis, itu sah-sah saja jika dikaitkan dengan kearifan tradisi," ujarnya.

Suara Kek Tung hanya bisa didengar di kawasan hutan yang masih lestari, seperti rimba belantara yang belum terjamah tangan panas kapitalis.

Itu pula sebabnya di area hutan yang pernah terdengar suara Kek Tung, belum ada manusia yang berani merambahnya. Contohnya, Bukit Sedayang yang hingga kini masih dipenuhi oleh lebatnya buah durian, madu pohon, air jernih, udara segar, dan aneka hasil alam.

Kisah serupa juga ada di Kabupaten Sintang. Aktivis lingkungan kelahiran Sintang, Shaban Stiawan, mengaku pernah mendengar suara mistis itu di belantara rimba.

"Di daerah kami, masyarakat menyebutnya remaong. Saya pernah mendengar suaranya saat masih kecil. Hingga sekarang, saya masih ingat betul betapa merindingnya saya waktu itu," kata Shaban.

Suara yang menggetarkan jiwa itu boleh jadi bakal sirna seiring eksploitasi hutan gila-gilaan di bumi Kalbar. Pandangan prokapitalis tak bakal melihat kelestarian alam secara utuh.

Buktinya, mereka tak segan-segan menggusur hutan adat, perkuburan, bahkan tembawang. Padahal, tembawang merupakan bekas kampung tua, yang di situ pernah ada kehidupan manusia lengkap dengan perkakas budaya, fungsi sosial, religius, dan tanam-tumbuh. (*)

sumber : Kompas.com

Cerita Makhluk Misterius Budaya Dayak (3-Habis)

Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Severianus Endi

PONTIANAK, KOMPAS.com -
Stepanus Djuweng (48), pendiri Institut Dayakologi Kalbar, sebuah lembaga riset adat istiadat masyarakat Dayak, pernah melakukan penelitian tentang togukng. Dari berbagai wawancara dengan tetua di sejumlah kampung di Simpang Dua, tergambar bahwa togukng memang punya nilai mistis dan keturunan manusia biasa.

"Pangkalnya bermula dari kisah seorang penduduk kampung Banjur Karab, bernama Kek Catok. Suatu hari, Kek Catok ini menghilang, dan keluarganya mencari kemana-mana, tapi tak kunjung bertemu," papar Djuweng. Legenda itu diperkirakan terjadi sekitar 100-an tahun silam. Kepergian Kek Catok diduga karena bertemu togukng di alam kehidupan 'sebelah sana'.

Djuweng menceritakan kembali, suatu saat Kek Catok pergi berburu di hutan belantara dengan senjata tradisional berupa sumpit. Tiba-tiba ia melihat seekor kelempiau, kemudian disumpitnya. Kelempiau (kera) itu tiba-tiba pula menghilang, dan terjatuhlah Kek Catok ke suatu lubang. Ia kemudian terdampar di pontatn, yakni suatu panggung terbuat dari bambu yang digunakan masyarakat Dayak sebagai tempat jemuran padi,

"Jadi, kelempiau yang disumpit Kek Catok rupanya perwujudan togukng dalam bentuk lain," kata Djuweng.

Dari atas pontatn itu, Kek Catok melihat sekeliling, ternyata sebuah kampung tua dengan rumah betang. Dia bertemu dua orang perempuan, seorang ibu dan seorang gadis. Gadis itu merupakan adik bungsu dari enam saudara yang semuanya laki-laki. Saat itu, keenam laki-laki tersebut sedang pergi membalas dendam ke orang di Kampung Tiokng Kanakng yang telah membutuh ayah mereka.

Lazimnya rumah betang, memiliki suatu ruang di bawah atap yang disebut tempara. Kedua perempuan itu memasangkan ke tubuh Kek Catok baju layang angin, yakni baju yang bisa membuat seseorang bisa terbang, kemudian menyembunyikan dia tempara. Baju layang angin itu milik mendiang ayah sang gadis dan enam saudaranya.

Di tempara itu, Kek Catok berlindung di balik tujuh lapis badakng, yakni semacam bakul besar khas masyarakat Dayak yang biasa digunakan untuk mengangkut padi. Lalu, enam saudara laki-laki kembali dari Kampung Tiokng Kanakng, dan mencium bau mirip asam kamantatn (sejenis mangga hutan).

"Wah, ini bau manusia, seperti harum asam kamantatn. Kamu menyembunyikan manusia di sini ya," tutur Djuweng, mencoba merekonstruksi kisah itu.

Para lelaki mencari sampai ke tempara, dan menemukan tujuh lapis badakng yang tertungkup. Saat badang itu dibuka, ajaib, Kek Catok bisa terbang dan kabur melintasi tujuh buah gunung.

Enam lelaki itu tak sanggup membunuh Kek Catok, karena kesaktiannya akibat mengenakan baju layang angin peninggalan mendiang ayah mereka. Akhirnya, Kek Catok diminta menikah dengan adik bungsu mereka. Ketika Kek Catok dan istri alam gaibnya itu memiliki seorang bayi, tibalah saat mengetam padi di ladang. Kek Catok kembali ke dunia manusia, membawa istri barunya berikut anak mereka yang masih merah.

"Di dunia fana, sanak keluarga Kek Catok telah lama melakukan upaya pencarian dengan ritual adat. Kembalinya Kek Catok pada musim panen, sesuai puncak pencarian yang dilakukan istri dan anaknya di dunia," kata Djuweng. Menurut legenda itu, kembalinya Kek Catok ke dunia setelah banyak ritual pencarian dilakukan. Dia tiba-tiba muncul dengan terbang di Dorik Semugo, sebuah bukit kecil di sebelah Bukit Juring.

"Kek Catok, istri barunya, dan bayi mereka, terbang dan hinggap di sehelai daun pisang," tutur Djuweng.
Tentu saja, istri dan anaknya yang ada di dunia kaget, melihat Kek Catok datang membawa seorang istri baru dan bayi yang masih merah. Kek Catok pun berkisah mengenai ke mana perginya selama ini.

Sang istri pun akhirnya pasrah, karena meyakini itulah nasibnya. Ia meminta bantuan, karena ladang sudah saatnya dituai dan padi begitu banyak. Ajaib, hanya dalam semalam, panen dan angkut padi dari ladang ke lumbung selesai.

Kek Catok kemudian bolak balik ke dunia nyata dan maya. Bayinya, yang dinamai Pateh Carot, dan istri barunya, kembali ke 'alam lain' begitu panen selesai. Meski begitu, mereka tetap berhubungan dengan ritual tertentu, meski hidup di dua alam berbeda.

Akhirnya, Kek Catok meninggal di dunia nyata. Sesuai tradisi kuno masyaakat Dayak, jenazah dibalut dengan tikar pandan, kemudian dimakamkan. Beberapa saat sebelum jasad Kek Catok dikebumikan, orang membuka gulungan tikar itu untuk memandang terakhir kalinya. Anehnya, sosok itu hilang dari dalam gulungan tikar, dan diyakini diambil pihak keluarganya di dunia 'sebelah sana'.

"Setelah itu, antara Pateh Carot dan saudara se-ayah di bumi tetap menjalin hubungan. Seorang anak Kek Catok dibumi beranak pinak, dan keturunannya masih ada sampai sekarang. Hubungan yang terjalin, masih tetap terjalin sehingga sewaktu-waktu bisa dimintai pertolongan," ujar Djuweng. (*)

sumber : Kompas.com

Cerita Makhluk Misterius Budaya Dayak (2)

Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Severianus Endi


PONTIANAK, KOMPAS.com
— Seorang warga Simpang Dua (sekitar 240 kilometer dari Kota Pontianak) yang menjadi dosen perguruan tinggi swasta di Kota Pontianak, Maran (41), mengaku pernah melihat sosok Kek Tung. Saat itu, dia masih usia SMP dan hendak mandi di sungai seorang diri pada sore hari, sekitar pukul enam.

Di sungai itu berdiri pohon tengkawang yang besar. Di atasnya, dia mendengar suara sayup togukng. Ia pun menengadah, mengarahkan pandangannya ke ketinggian pohon yang sekitar 30-40 meter itu.

Suasana yang mulai agak gelap membuat pandangannya remang-remang melihat satu sosok bergerak dari satu ranting ke ranting lainnya. Suara "kung-kung-kung" terdengar sayup dalam interval yang lambat.

"Saat itu, jiwa saya masih kanak-kanak, jadi tak menyadari kalau itu sebenarnya togukng. Sengaja saya pandang di ketinggian, sosoknya seperti macan tutul, kombinasi warna hitam-putih agak abu-abu. Ukuran tubuh kira-kira sebesar beruang," kenang Maran.

Maran kecil pun mandi dengan tenang, tanpa syak wasangka. Nah, begitu pulang ke rumah yang tak begitu jauh dari sungai, neneknya segera menyambut di depan pintu.

Sang nenek menanyakan, apakah dia mendengar suara togukng? Ternyata, wanita tua itu ikut mendengar suara itu dari rumah. "Itu tadi suara togukng, ayo cepat masuk ke rumah," ujar neneknya dengan wajah cemas.

Begitu menyadari baru melihat makhluk mistis yang selama ini hanya didengarnya dari penuturan orangtua, barulah dia merasa ketakutan. Wujud togukng tak hanya dijumpai dalam bentuk yang pernah dilihat Maran.

Pada saat tertentu, bisa juga makhluk ini menyerupai kelempiau (sejenis kera) belang hitam-putih. Kala itu, Maran telah menjadi mahasiswa, dan saat liburan ke kampung, dia seperti biasa masuk ke hutan.

"Karena saya sudah banyak mempelajari tentang togukng, jadi tak kaget lagi saat menjumpai kelempiau aneh itu. Orangtua berpesan, jika berjumpa makhluk ini, biarkan saja, jangan diganggu," tutur Maran.

Togukng yang bisa menyerupai satwa kelempiau ini dibenarkan Adoria Nitty (47), petinggi adat Banua Simpakng, yang kesehariannya mendapat mandat sebagai tetua adat di Desa Banjur Karab, Kecamatan Simpang Dua. Sebagai hewan mistis setengah hantu, makhluk ini bisa berubah bentuk. Mulanya remaong, sejenis kucing hutan yang besar.

Setelah itu, bentuknya meningkat menjadi remaong daan atau macan dahan, kemudian menjadi macan sebagai bentuk tertinggi. Nah, setelah jadi macan, bisa berubah bentuk menyerupai binatang lain, seperti kelempiau putih atau macan tutul.
Sekitar empat tahun lalu, Nitty juga bertemu togukng, saat menjenguk jeratnya di dalam hutan. Jerat itu dipasang sebagai perangkap hewan buruan, seperti babi hutan.

"Waktu itu, saya berada di hutan Pondok Lebam. Bentuknya rimba utuh yang belum dijamah manusia, di kawasan Hutan Lindung Gunung Juring, wilayah Simpang Dua. Saat itu siang hari, saya kaget mendengar suara menyerupai kucing. Dia muncul di suatu tikungan jalan, berupa kucing besar," kata Nitty.

Sosok itu berada di atas pohon sejauh 200 meter dari tempat Nitty berada. Meski perannya di kampung sebagai petinggi adat, tetap saja akal sehatnya seakan hilang saat itu. "Saya mengarahkan senapan lantak ke sosok itu, terus menembak. Ternyata salah, dan kucing besar itu lari," kisah Nitty.

Namun saat bergerak beberapa langkah, sosok itu kembali terlihat hinggap dengan posisi melintang di sebuah pohon. Ia membidik kedua kalinya dan diduga kena.

"Saya temukan bulunya berceceran, tapi tak ada jejaknya. Tapi hati kecil saya menyesal bukan kepalang, mengapa sampai saya membidik togukng," ungkap Nitty.

Menurut Nitty, togukng punya gaya terbang yang unik. Ia selalu hinggap dengan posisi melintangi batang pohon, bukan membujur seperti layaknya hewan hutan lainnya, seperti memeluk pohon dengan gaya melintang. (bersambung)

sumber : kompas.com

Cerita Makhluk Misterius Budaya Dayak (1)

Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Severianus Endi

PONTIANAK, KOMPAS.com —
Masih ingat kisah Kek Tung? Makhluk mistis penjaga hutan di pedalaman Kalimantan Barat berupa harimau dahan dengan suara "kung kung kung" yang sayup namun menggetarkan.

Di Desa Balai Semandang, Kabupaten Ketapang, Kalbar, sekitar 120 kilometer dari Kota Pontianak, makhluk itu disebut Kek Tung. Ia hanya bersuara di tengah rimba belantara, dan jarang-jarang orang bisa melihat wujud aslinya.

Di daerah lain di pedalaman Kalbar, yakni Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, sekitar 200 kilometer dari Kota Pontianak, makhluk ini disebut Kek Catok. Ada legenda tersendiri, mengapa masyarakat menyebut makhluk ini sebagai Kek Catok.

Tokoh Dayak Simpakng yang telah lama tinggal dan bekerja di Kota Pontianak, FX Beleng (53), menuturkan, hikayat Kek Catok sudah begitu menyatu dalam ritme kehidupan masyarakat pedalaman sebagai penjaga hutan yang paling tua. Itu sebabnya, mereka senantiasa mengelola hutan secara lestari, mempertahankan tradisi berladang, dan menolak perkebunan monokultur yang merusak alam.

"Selain Kek Catok, kami juga menyebutnya togukng, macatn daan, serta remaong. Wujudnya benar-benar berupa satwa, tetapi memiliki nilai mistik melalui suaranya. Jika bersuara, isyarat akan terjadi sesuatu, pada umumnya ke arah yang buruk," tutur Beleng, yang oleh Komunitas Dayak Simpakng di Kota Pontianak diberi kepercayaan sebagai tamongokng atau semacam kepala adat.

Sesuatu yang buruk tersebut bisa berupa gagal panen, tokoh tertentu akan meninggal dunia, serta malapetaka. Juga isyarat onya sumakng labatn atau orang yang menikah dengan hubungan sedarah yang amat dilarang adat.

"Tapi manusia sekarang bisa berhubungan dengan togukng, melalui keturunannya yang masih hidup hingga kini. Misalnya meminta bantuan mengobati suatu penyakit, atau sebaliknya untuk berperang," tutur Beleng.

Jadi, hewan mistis itu pernah menikah dengan manusia? Beleng mengangguk dan meyakinkan, hingga saat sekarang pun keturunan susur galurnya masih ada dan hidup biasa seperti orang kebanyakan.

Adoria Nitty (47), petinggi adat Banua Simpakng, yang kesehariannya mendapat mandat sebagai tetua adat di Desa Banjur Karab, Kecamatan Simpang Dua, menuturkan, siapa yang punya susur galur dengan togukng bisa memanggil dia melalui beberapa ritual.

Yakni membakar bulu ayam putih, dengan sesaji berupa daging, hati, dan darah ayam putih, ujung kaki, ujung paruh, dan ujung jengger, serba sedikit dalam kondisi matang dengan dipanggang. Sambil membakar bulu ayam, mantera dirapalkan.

"Apabila mangkuk tempat sesaji yang digantungkan bergoyang-goyang, itulah pertanda Kek Catok akan muncul. Togukng muncul dengan terbang ke atap rumah, disertai suara rantai yang bergesekan dengan lantai," tutur Nitty.


Pernah melihat wujudnya

Baik Beleng maupun Nitty sama-sama mengaku pernah melihat wujud togukng yang nyata. Meskipun jarang-jarang orang biasa mampu melihatnya langsung, selain hanya mendengar suara "kung kung kung" yang menyeramkan.

Beleng bahkan pernah melihatnya pada 2007 silam, hanya sayangnya sosok langka itu tidak terdokumentasikan. Menurut Beleng, saat itu dirinya berlibur ke kampung, dan mendengar seseorang telah menembak togukng saat berburu di hutan.

Wah, kenapa makhluk mistis ini bisa mati tertembak senapan lantak biasa? Beleng menilai, naas bisa saja menimpa togukng, yakni dalam bahasa lokal disebut kempunan.

Kempunan berarti suatu malapetaka yang sewaktu-waktu bisa menimpa, tanpa bisa diprediksi. Biasanya kempunan terjadi jika kita tidak menyentuh makanan yang ditawarkan seseorang, sebelum kita bepergian.
Makanya dalam tradisi masyarakat Dayak, jika saat hendak bepergian tiba-tiba ditawarkan makanan, haruslah diterima, minimal disentuh atau disebut pusak.

"Togukng pun bisa saja kempunan, entahlah apa sebabnya. Akibat kempunan itu, dia bisa mati tertembak pemburu," ujarnya.

Suatu hari di tahun 2007 itu, di Desa Sekatap, Kecamatan Simpang Dua, sekitar 240 kilometer dari Kota Pontianak, seseorang memberitahu Beleng ada hewan diduga togukng ditembak warga. Ia pun bergegas ke rumah warga itu, dan mengamati bangkai hewan sekira ukuran kambing jantan itu.

"Itu memang togukng karena ciri-cirinya persis penuturan orang-orang tua kita. Ada keanehan di tubuhnya, yakni guratan menyerupai gambar pedang, senapan lantak, parang, dan atribut masyarakat Dayak lainnya," kata Beleng.

Bagaimana si penembak sampai tak mengenali kalau makhluk itu adalah togukng? Rupanya saat berburu malam hari di tengah hutan, warga itu dikagetkan dengan sosok gelap di atas pohon mengeluarkan suara "kung kung kung" dengan sorot mata berbinar dalam kegelapan.

Kaget disertai takut, reflek dia mengarahkan ujung senapan lantak ke arah kening hewan itu, dan menarik picu. Dor, suara tembakan memecah malam, dan sosok itu pun runtuh ke bumi.

Sampai saat hewan buruan dipikul ke kampung, sang pemburu masih belum menyadari ia telah menembak togukng. Nah, saat pemburu itu tidur malam itu juga, isyarat buruk muncul.

Dia bermimpi bahwa yang ditembak adalah anak macan. Ada semacam ancaman, jika dia kembali masuk hutan dan berjumpa dengan kerabat togukng lainnya, maka dia akan dibunuh sebagai balas dendam kesumat.

"Tiga bulan lamanya, sang penembak itu tak berani keluar rumah. Kami menggelar ritual adat ngurokng minu, artinya mengurung semangat si penembak, agar tidak mengembara ke mana-mana. Ritual ini dipimpin seorang dukun, yang minta perlindungan kepada Yang Kuasa agar tak terjadi mara bahaya," ujar Beleng. (bersambung)

sumber : Kompas.com

 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube