Di Kalimantan, bicara soal agama asli, sudah barang tentu akan merujuk pada komunitas Dayak, termasuklah Dayak Simpakng. Agama asli orang Dayak Simpakng adalah agama yang bukan datang dari luar mereka. Karenanya agama asli yang mereka yakini sangat berbeda dengan agama-agama dunia yang diakui negara. Agama asli Dayak Simpakng ini pada dasarnya tidaklah bersifat misioner, karena agama ini lahir dan hidup bersama dan mewarnai setiap aspek kehidupan suku Dayak Simpakng sendiri. Agama ini telah mereka yakini jauh sebelum agama dunia diperkenalkan kepada mereka. Namun ironis sekali, keberadaannya saat ini memang terlampau sulit untuk dilacak. Namun, simbol-simbol yang menggambarkan keyakinan itu masih bisa ditemukan, meskipun tidak utuh lagi. Kebanyakan simbol-simbol itu sudah tererosi oleh pengaruh-pengaruh dunia luar yang menciptakan kenyataan baru yang menguburkan kenyataan lama. Tentu saja realitas ini tidak bisa lepas dari kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak mengakui keberadaan agama asli sebagaimana mestinya ke-5 agama dunia yang ada. Bahkan keberadaan agama asli ini disebut sebagai kelompok animisme, tidak atau belum beragama dan karenanya harus diberagamakan. Itu adalah istilah-istilah diskriminatif yang digunakan untuk mengebiri hak azasi penganut agama asli.
Sesungguhnya, tidaklah sulit untuk menemukan praktek dan keyakinan agama asli Dayak Simpakng saat ini di antara para penganut agama dunia. Jika kita mau merefleksikan kenyataan umum dimana kita bisa melihat siapa yang mengunjungi tempat-tempat yang dipercaya sebagai tempat keramat memohon petunjuk penghidupan yang sempurna. Siapa pula yang meminta pertolongan kepada para boretn dan dukun. Resminya para boretn dan dukun itu pun mengaku penganut salah satu agama dunia. Kemudian kita juga bisa mengamati prosesi ritual-ritual yang berkaitan dengan siklus hidup seperti; ritual perladangan, perkawinan, kelahiran, dan kematian. Terkadang pengaruh atau hadirnya percampuran elemen-elemen agama asli dan agama dunia dalam ritual-ritual tersebut masih sangat kental. Dan celakanya, para pemrakteknya tidak lagi menyadari adanya percampuran dua atau lebih agama tersebut. Bahkan ada di kampung-kampung tertentu, sudah ada yang telah terbungkus sedemikian rupa oleh lapisan luar agama dunia.
Fenomena seperti itu oleh para pelakunya tidak dinilai sebagai hal yang janggal, tidak pula terlalu dirisaukan bahwa praktek keagamaan seperti itu adalah praktek sinkretisme. Mungkin inilah daya akomodatif atau daya tahan dari agama asli, tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Bila dilihat dari sudut pandang agama asli yang begitu toleran untuk mengadaptasi dan mengadopsi nilai-nilai agama dunia dan menjadikannya sebagai pemerkayanya. Tidak pelak lagi agama asli itu memiliki daya akomodasi yang hebat. Namun bila dilihat dari sudut pandang agama dunia, yang mengadopsi atau mengadaptasi atau dalam kasus tertentu tidak berdaya membuang pengaruh agama asli dari para penganutnya, maka hal itu membuktikan betapa hebatnya daya tahan agama asli tersebut. Namun dengan datangnya agama dunia serta tidak diakuinya keberadaan sistem kepercayaan asli ini secara legal ditambah lagi dengan pengaruh kehidupan modern-sekuler sistem kepercayaan ini mengalami pergumulan besar.
Pergumulan Agama Asli Nusantara
Sebagai agama asli dan bersifat non misioner agama asli mendapat tantangan berat saat juru-juru siar atau para misionaris agama dunia datang. Terlebih saat para penguasa beralih agama menjadi penganut agama dunia atau para penguasa adalah orang-orang asing dengan agama yang dibawanya yang tentu saja asing dari sudut pandang orang setempat. Tidak jarang terjadilah proses akulturasi religi yang memakan waktu panjang. Dari sudut pandang agama asli inilah proses pergumulan yang terpaksa harus dijalani. Sebab tanpa kesediaan untuk melakukan proses akulturasi atau meresap agama asli ini akan habis “dilibas” agama baru yang datang dengan dukungan doktrin dan sistem yang lebih mantap serta terkadang didukung para penguasa dengan segala perangkatnya.
Ketika Agama Hindu dan Budha masuk ke Nusantara ini yang disusul dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Hindu maupun Budha, tentu saja para penguasa kerajaan beragama Hindu atau Budha. Namun kelihatannya rakyat biasa yang menjadi penduduk umum di kerajaan-kerajaan itu masih tetap menganut dan menjalankan kepercayaan aslinya. Fu Hien seorang pengelana dari Cina yang menganut Budhisme saat kapalnya terdampar di Jawa bagian barat (414 A.D.) melaporkan bahwa di wilayah ini telah berdiri kerajaan Hindu yaitu Tarumanagara. Ia menyatakan Hindu yang dianut di Tarumanagara itu adalah Hindu Brahmana. Ia pun menyatakan berjumpa dengan para penganut agama “kotor dan palsu”.
Apa yang ia maksudkan dengan agama “kotor dan palsu” itu? Kemungkinan besar yang ia maksudkan dengan agama “kotor dan palsu” itu adalah praktek keagamaan asli dari penduduk kerajaan Tarumanagara itu. Sebagaimana diyakini oleh seorang sejarawan Sunda, Ayat Rohaedi yang menyatakan bahwa agama “kotor dan palsu” yang disinggung Fu Hien itu adalah agama asli Sunda, yang salah satu elemennya adalah memuliakan para leluhur (1975:37). Keadaan sebagaimana dinyatakan oleh Fu Hien di atas menyiratkan kepada kita bahwa agama pendatang, dalam hal ini Hindu (dan dalam konteks lain Budha juga) terutama dianut oleh lingkungan istana, sedangkan rakyat kebanyakan masih menganut agama asli. Bahkan fenomena seperti di Tarumanagara itu bukan keadaan yang istimewa karena Hindu saat itu masih baru menanamkan pengaruhnya di Jawa. Sebagai contoh dalam konteks Kerajaan Pakuan-Pajajaran di Jawa bagian barat, misalnya pada waktu pemerintahan Prabu Siliwangi yang terkenal itu (1482-1521) pemujaan kepada para leluhur masih bercampur baur dengan agama Hindu-Budha (Sutaarga 1984:56,64).
Sebagaimana disinggung di atas pemujaan kepada para leluhur ini adalah elemen utama dalam agama asli. Hal tersebut di atas dibenarkan oleh seorang peneliti agama asli yang menonjol yaitu Rachmat Subagya. Ia menulis bahwa agama asli sepanjang sejarah berulang kali mengalami krisis eksistensi dan terancam setiap kali didampingi agama-agama pendatang. Selanjutnya Subagya menyatakan bahwa agama pendatang itu unggul dalam perlengkapan doktriner, kenegaraan dan lambat-laun berfungsi sebagai ideologi negara di bawah kekuasaan sentral dan sakral. Namun penduduk tetap menganut agama asli sekalipun digolongkan out-group. Di Jawa pada masa Hindu penganut agama asli ini disebut jaba (1981:237).
Agama pendatang yang dianut sebagai agama kerajaan dan bersikap diskriminatif terhadap agama asli, namun tetap tidak berhasil mengubah keyakinan rakyat banyak itu. Agama pendatang itu berkembang di dalam isolasi mandala dan pada jaman Islam dalam pasantren. Hebatnya pula, pola pikir asli itu sedikit demi sedikit merembes ke dalam pola pikir tidak asli itu (Subagya 1981:237,238).
Pada jaman Islam agama asli ini pun tidak bisa dihilangkan. Bahkan di keraton-keraton para pujangga keraton memperkembangkan suatu sintesis kesastraan dan keagamaan antara unsur Jawa tradisional dan unsur Muslim, yang di dalamnya unsur Muslim sebenarnya sedikit saja. Dalam hal ini unsur Hindu pun ikut dipertahankan (Subagya 1981:239). Muslim yang saleh dan taat menganggap kelompok yang mencampurbaurkan Islam dengan agama asli sebagai pasek (orang berdosa) atau abangan. Kata abangan ini berarti merah. Sebab dalam adat atau upacara agama asli di seluruh Indonesia sirih berperan penting. Mengunyah sirih, mulut dan ludah menjadi merah sehingga mereka disebut kaum merah. Kata abangan menurut penelitian Subagya sudah berabad-abad mendapat tempat dalam kesusastraan Jawa. Lawannya mutihan dari kata putih.
Menurut penelitian Subagya pula bahwa sejak jaman kerajaan Singosari di Jawa kaum rohaniwan (Hindu) sudah disebut mutihan. Memang ada yang menjabarkan kedua kata itu dari bahasa Arab, yaitu “muti” berarti “taat” dan “aba” yang berarti “tak peduli” (!981:240).
Pergumulan terberat untuk para penganut agama asli ini terjadi pada masa kolonial, Belanda. Pada masa itu para penganut agama asli sama sekali tidak dihargai (“a residual factor”) dan dianggap sebagai orang-orang kafir. Para penguasa kolonial itu hanya berhubungan dengan para pemimpin di Nusantara ini. Padahal seperti yang kita sudah lihat di atas mereka adalah para penganut agama dunia. Sedangkan mayoritas rakyat yang menganut agama asli diabaikan. Pemerintah kolonial pun melakukan penyederhanaan administrasi dengan hanya mengakui agama dunia. Hasil dari kebijakan ini Islam diuntungkan sebab semua pernikahan orang-orang yang bukan Hindu, atau bukan Kristen dilakukan menurut hukum Islam. Demikianlah ketentuan dalam peraturan no 198 tahun 1895. Akibatnya mayoritas rakyat penganut agama asli secara administrasi berada di bawah Islam dan menyebut diri “selam” atau “seselaman”; demikian tulisan P. Zoetmulder pada tahun 1935 sebagaimana dikutip oleh Subagya (1981:241).
Peraturan-peraturan lain yang mendesak keberadaan agama asli ini pun dikeluarkan yang dibarengi dengan pemberian subsidi oleh pemerintah kolonial kepada lembaga-lembaga Islam. Maka berjuta-juta penganut agama asli yang menurut istilah Subagya: “Orang Islam surat kawin” digabungkan ke dalam Islam. Sekalipun demikian menurut hasil sensus tahun 1930 sebagaimana dikutip Subagya (1981:240), dari penduduk Indonesia yang berjumlah 60,7 juta, kaum Musliminnya “hanya” 29,5 juta (48,7%) sedangkan penganut agama asli masih berjumlah 28,6 juta (47,2 %).
Memasuki masa kemerdekaan dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah NKRI meneruskan kebijakan pemerintah kolonial yaitu secara formal hanya mengakui keberadaan agama dunia. Hal itu ternyata dalam kebijakan politik pemerintah sepanjang sejarah NKRI. Para penganut agama asli dinilai sebagai orang-orang yang belum beragama dan perlu diberagamakan. Kebanyakan dari agama asli pun mengubah wujud menjadi berbagai aliran kebatinan. Inilah tahap regenerasi agama asli. Namun sekalipun beregenerasi tantangan terhadap agama asli belum berhenti. Sebagai contoh, pemerintah NKRI antara tahun 1964-1971 pernah melarang, membekukan atau membubarkan sejumlah besar organisasi-organisasi aliran kebatinan. Pada tahun 1972 Jaksa Agung melaporkan bahwa pada 15 November 1971 sebanyak 167 aliran kebatinan telah dilarang. Namun pada April 1972 terdaftar pada Sekretariat Kerjasama Kepercayaan sebanyak 664 aliran kebatinan pada tingkat pusat maupun cabang yang wilayah sebarannya meliputi Jawa, Sumatra dan Indonesia Timur (Subagya 1981:251).
Para pemimpin aliran kebatinan ini melakukan penafsiran khas pasal 29 UUD 1945 untuk memperoleh dasar legalitas dari kehadirannya. Namun upaya memasukkan aliran kebatinan ini sebagai agama ke dalam GBHN selalu mendapat tantangan keras dari kaum agamawan. Sepanjang masa pemerintahan Presiden Suharto, aliran kebatinan atau saat itu lebih dikenal sebagai kelompok kepercayaan kepada Tuhan Yang maha Esa ditempatkan di bawah “asuhan” Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan kalimat lain aliran ini dianggap sebagai manifestasi kebudayaan bukan sebagai agama. Kini di masa reformasi kelompok ini memang telah berada di bawah payung Departemen Agama namun bukan diakui sebagai salah satu agama yang dianut penduduk NKRI melainkan penganutnya digolongkan sebagai kelompok yang harus “diberagamakan”.
Di lain pihak tidak bisa disangkali para penganut agama asli ini mendapat gempuran hebat dari pola hidup modern yang sekuler. Nilai-nilai tradisinalnya tergeser oleh paham modern-sekuler yang datang menggebu bersamaan perubahan jaman yang berlangsung terus-menerus seakan tidak akan berhenti. Pengaruh ini terutama melanda angkatan mudanya. Namun di saat kritis atau saat mereka memasuki tahapan hidup tertentu ketergantungan kepada agama asli masih tampak. Sekelumit pergumulan agama asli di atas menampilkan fenomena yang menarik. Betapa tidak, sepanjang perjumpaannya dengan agama dunia dalam sejarah Nusantara ini agama asli terdesak hebat namun tidak berhasil disingkirkan atau diganti sepenuhnya oleh agama dunia dari hati para pemrakteknya. Dasar legalitas memang tidak dimiliki oleh agama asli, namun kehadiran elemen-elemen agama asli masih tetap nyata bahkan terkadang masih sangat kuat, sekalipun tersembunyi di balik “jubah” agama dunia.
Kontak Awal Dengan Kekristenan
Kini, bagi segenap penduduk NKRI tidak ada keluangan untuk mencantumkan dalam kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya: Agama asli. Sebab kewajiban yang ditentukan bagi segenap penduduk NKRI adalah keharusan untuk menganut salah satu agama dunia. Maka secara statistik yang tercatat resmi adalah jumlah penganut agama dunia itu. Namun dalam praktek kehidupan sehari-hari masih jelas ternyata bahwa mayoritas penduduk NKRI masih memelihara kepercayaan dan melaksanakan ritual atau elemen-elemen ritual yang sebenarnya milik agama asli. Ketercampuran praktek keagamaan yang masih dipelihara oleh kebanyakan penduduk NKRI ini bisa digolongkan sebagai sinkretisme.
Kadar kekentalan pengaruh agama asli dalam kehidupan beragama mayoritas penduduk NKRI memang sangat beragam. Hebatnya pula pemeliharaan elemen-elemen agama asli itu dijumpai pada para penganut agama dunia mana pun. Hal ini bukan berarti tidak ada kalangan yang berupaya memurnikan hidup keagamaan dunianya, dan meninggalkan elemen-elemen agama asli itu.
Uraian di bawah ini akan memaparkan pengaruh atau praktek agama asli Dayak Simpakng di lingkungan Kristen saja yakni Katolik dan Protestan. Pertimbangannya selain ruang yang membatasi, juga dua agama dunia inilah yang memiliki penganut terbanyak di komunitas Dayak Simpakng ini.
Sekitar tahun 1957, agama Katolik masuk ke daerah Banua Simpakng. Penyebaran Agama ini dilakukan oleh Misionaris Pasionis dari Pusat Misi Ketapang. Misionaris ini selain menyebarkan agama juga mendirikan sekolah sekolah. Desa-desa pertama yang dimasuki oleh Agama Kristen adalah Karab, Banjur, Bukang dan Simpang Dua. Sebuah Sekolah Misi kemudian didirikan di Banjur Karab pada tahun 1957. Dari basis pertama di Banjur Karab itu agama Katolik kemud¬ian menyebar ke seluruh wilayah Kecamatan Simpang Hulu. Kini terdapat tiga Paroki (Pusat Komunitas Katolik) di kecamatan itu.
Pada tahun 1970-an misi Protestan masuk untuk pertama kalinya di Desa Maju, Kecamatan Sungai Laur. Dari sana penyebaran agama Protestan yang dilakukan oleh Yayasan Misi Suku-Suku Terpencil menyebar ke Baram, Kuala Randau, Balai Semandang dan Gema.
Masuknya agama Kristen sangat mempengaruhi status tradisi lisan suku Dayak Simpakng. Pada saat awal masuknya agama Katolik, sejumlah tradisi lisan suku Dayak Simpakng yang dituturkan pada acara-acara ritual dianggap sebagai praktek penyembahan berhala dan kafir. Orang-orang yang masuk agama Katolik menganggap bahwa penganut kepercayaan asli primitif dan kuno. Oleh karena itu harus segera dihilangkan. Doktrin ini disebarkan lewat sekolah-sekolah Katolik, pengajaran agama di kampung-kampung dan bahkan dalam kelompok-kelompok kecil.
Tidak hanya sampai pada doktrin, tetapi dalam berbagai praktek kehidupan. Pada tahun 1960-1970-an, umat Katolik merasa kurang enak bila harus menghadiri peristiwa kematian anggota masyarakat yang belum masuk Katolik.
Krisis ini juga ditandai oleh adanya istilah "Sabat Katolik" dan "Sabat Kampokng" (Perkawinan Katolik dan Perkawinan Adat). Umat katolik, pada waktu itu, jika merayakan pesta pernikahan tidak menuruti adat istiadat yang berlaku, tetapi cukup diberkati di gereja, kemudian pesta di rumah. Sedangkan mereka yang belum menganut Katolik masih menuruti tradisi perkawinan adat. Perkawinan adat ini disebut "Sabat Kampokng" atau "Upacara perkawinan secara adat".
Akan halnya tradisi lisan yang berhubungan dengan upacara-upacara ritual, praktek-prakteknya mengalami titik terendah antara 1980-1990. Di atas tahun 1990, upacara-upacara pengobatan tradisional pelan-pelan bangkit kembali. Faktor pendorongnya antara lain, karena tidak semua penyakit dapat disembuhkan oleh Perawat atau Dokter. Tahun 1991 misalnya, terjadi wabah hepatitis di daerah itu. Ternyata, dokter dan perawat tidak dapat menyem¬buhkan penyakit itu. Dan beberapa dukun turun tangan. Ternyata tak seorang pun dari penderita yang meninggal. Padahal, di Keca-matan Sandai, wabah yang sama pernah terjadi tahun 1988. Sedikitnya 4 orang meninggal.
Perkembangan tradisi lisan di daerah-daerah sentral pemukiman pemeluk Agama Protestan kini sedang mengalami titik yang sangat kritis. Mereka lebih fanatik dibandingkan dengan Pemeluk Agama Katolik pada tahun 1960-an. Segala hal yang berhubungan dengan unsur-unsur kebudayaan asli dianggap berhala dan harus dimusnahkan. Setelah adanya penelitian tradisi lisan terlihat kesadaran masyarakat Simpang akan pentingnya pelestarian adat-istiadat yang sudah ada secara turun-temurun itu. Apalagi adanya lokakarya dan pelatihan-pelatihan yang bersifat menggugah masyarakat untuk tetap melestarikan budaya asli mereka.
Menurut pengamatan di lapangan cara-cara pengobatan asli mulai ditingkatkan, upacara-upacara di gereja sudah mengarah kepada inkulturasi budaya setempat dengan tradisi gereja. Misalnya acara 'ngosu minu podi' atau pemberkatan padi sudah diadakan di gereja secara kolektif. Beberapa tangga acara yang seharusnya dilakukan di lumbung padi diadakan di gereja. Akan sulit lagi melihat keaslian (originalitas) baik ngkgata, baca, doa maupun seni pertunjukannya. Kekuatan-kekuatan budaya itu sendiri akan menghilang. Pertanyaan demi pertanyaan silih berganti, mungkinkan 'banyawe' bisa muncul di altar, sampaikah sapaan para pabayu kepada 'sobat ande' baik melalui tembang/rayah maupun doa lemu? Mungkinkah seorang dukun dapat 'lolap' tanpa adanya kelengkapan sesajian? Dapatkah dijamin keselamatan seorang dukun bila rayah Olang Langor diganti sair dan sajaknya? Tentu bagi pemilik dan pencinta budaya itu akan merasa risi dan merinding bilamana ada pihak tertentu yang mencoba memoles-moles keaslian keaslian budaya dengan budaya lain.
Sekalipun agama asli tidak memiliki hak legalitas tentang keberadaannya namun elemen-elemen tertentu dari agama asli ini masih dipelihara dan dipraktekkan oleh penganut agama dunia ini. Untuk mencari jawab sekitar daya tahan agama asli ini tidaklah terlalu gampang. Secara teori agama asli bisa meresap dan tetap dipelihara di balik agama dunia sebab sejak awal dalam para pewarta agama dunia itu memberi toleransi besar kepada praktek-praktek agama asli itu, Kasus ini dalam ke-Kristen-nan disebut pola pelayanan kontekstual tidak kritis. Inilah sinkretisme terang-terangan. Di lain pihak para pewarta agama dunia itu melarang dengan keras para “petobat” barunya untuk berhubungan dengan segala hal yang terkait dengan tradisi lama termasuk di dalamnya unsur-unsur budaya lama. Tujuannya adalah sebaliknya dengan para pewarta di atas. Namun sayangnya pelarangan praktek yang bernuansa unsur-unsur lama itu tanpa pengertian yang memuaskan. Maka mereka secara diam-diam tetap memelihara kepercayaan lama itu.
Di permukaannya mereka telah berkepercayaan agama dunia namun dalam lubuk hatinya mereka masih menyimpan kepercayaan asli. Misalnya di kalangan Kristen, pemberkatan nikah untuk pasangan pengantin telah dilakukan secara gerejani namun pihak keluarga merasa belum memadai bila tidak dilengkapi dengan unsur-unsur tradisi lama yang di antaranya sangat kental nuansa agama aslinya. Pihak gereja tidak dilibatkan lagi dalam bagian terakhir ini.
Inilah sinkretisme terselubung. Bisa pula pola pikir lama atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah worldview belum tergantikan oleh pola pikir dengan nilai-nilai agama dunia atau menerima unsur asing (agama dunia) namun dalam pemahaman nilai lokal-asli maka terjadilah chritopaganisme (Kraft 1996:376). Kemungkinan lain tekanan hidup dan masalah yang dihadapi begitu berat menekan, sedangkan pemahaman teologis praktis dari agama dunianya belum memadai atau dirasakan tidak bisa menolong, maka mereka kembali menggali nilai agama asli. Mereka percaya nilai agama asli yang telah ditinggalkannya itu bisa menolongnya. Inilah tahap revitalisasi agama asli. (FRANS LAKON)
sumber : www.franslakon.blogspot.com
(*)Frans Lakon : Dilahirkan di Balai Berkuak 30 tahun yang lalu. Riwayat pendidikan formalnya dimulai dari SD Usaba No. 31 Balai Berkuak, SMP Negeri 01 Balai Berkuak, dan SMA Santo Yohanes Ketapang, Kalimantan Barat. Melanjutkan studi pada jenjang strata satu di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.