Pontianak. Lokasi terisolir dan tak mendapat perhatian pemerintah membuat 61 orang penduduk Dusun Gun Jamak, Desa Suruh Tembawang Kecamatan Entikong Sanggau, pindah menjadi warga negara Malaysia. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah.
“Khusus warga Dusun Gun Jemak saja terdata sudah 61 warganya yang sudah menjadi warga negara Malaysia,” kata Imran Manuk, Kepala Desa Suruh Tembawang kepada Equator di Kantor DPRD Kalbar, Rabu (26/1).
Dusun Gun Jemak berbatasan langsung dengan Kampung Gun Sapit, Distrik Pedawan Residen Samarahan, Kuching Malaysia Timur. Jarak kedua daerah ini bisa ditempuh dalam waktu setengah jam dengan berjalan kaki melewati jalur tikus.
Kepindahan warga perbatasan ini sudah berlangsung sejak 1990. Banyak faktor yang mengakibatkan warga menanggalkan nasionalismenya itu, antara lain minimnya perhatian pemerintah terhadap pembangunan daerah perbatasan Kalbar-Malaysia.
“Di Kampung Gun Sapit, hanya perlu waktu setengah jam jalan kaki sudah mendapatkan jalan Raya. Sedangkan di daerah Gun Jemak, jangankan untuk mencari jalan raya, pergi ke Dusun Suruh Tembawang yang menjadi pusat Desa Suruh Tembawang saja butuh waktu lama,” kata dia.
Sebanyak 61 orang itu, kata Imran, mereka yang melapor kepada kepala desa. Namun sebagian lagi tidak. Hingga kemarin pihak Desa masih terus mendata warga di desa yang memiliki 9 dusun ini. “Tinggal tiga dusun lagi warganya yang belum kita data, yang jelas kita terisolir,” papar Imran.
Desa Suruh Tembawang memiliki jumlah penduduk mencapai 2.795 jiwa terdiri dari 582 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar di Dusun Gun Jemak, Suruh Tembawang, Kebok Raya, Pool, Senutul, Sekayan, Badat Lama, Badat Baru, dan Dusun Tembawang.
Imran dan tim pemekaran Sekayam Raya memang menginisiasi untuk membentuk kabupaten sendiri untuk mengatasi masalah kepindahan warga itu. Kemarin, Imran berkunjung ke Wakil Gubernur Kalbar Drs Christiandy Sanjaya. Selain itu mendatangi Kantor DPRD Provinsi Kalbar.
Desa Suruh Tembawang merupakan satu dari lima desa yang ada di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Di Desa ini ada enam unit SD, satu unit SMP, pos imigrasi, dan pos Pengamanan Perbatasan (Pamtas).
Jarak desa dengan ibu kota kecamatan sekitar 48 KM. Jalan dari Desa Suruh Tembawang ke Entikong masih berbentuk jalan tanah dan sangat sulit dilewati. “Jalan itu sebenarnya sudah dibangun sejak tahun 1996. Tapi sampai sekarang masih belum selesai,” beber Imran.
Masyarakat Suruh Tembawang saat ini lebih mengandalkan transportasi air jika ada urusan ke Entikong. Masyarakat sering menggunakan speedboat berkekuatan 6-18 PK menyusuri Sungai Sekayang dalam lama waktu tempuh 12 jam. Tentu saja harus merogoh kocek lumayan mencapai Rp 1,5 juta.
Imran mengatakan, dalam transaksi belanja untuk keperluan sehari-hari, masyarakat desanya menggunakan dua jenis mata uang, rupiah dan mata ringgit Malaysia. Khusus masyarakat di Dusun Gun Jemak, justru lebih mengandalkan mata uang ringgit. “Warga dalam melakukan aktivitas perekonomian lebih cenderung ke Malaysia,” ujar dia.
Diungkapkan Imran, tak hanya masyarakat Dusun Gun Jemak saja yang pindah kewarganegaraan, warga di dusun lain juga ada yang melakukan hal serupa. “Tapi untuk dusun lain, saya tidak memiliki data pasti. Kalau khusus warga Dusun Gun Jemak, mereka tersebar ke beberapa daerah di Malaysia. Mereka sudah memiliki IC (Identifying Card/KTP) dan Kartu Beranak (Akte) Malaysia,” lanjutnya.
Selain kesenjangan infrastruktur, kepindahan sejumlah warga negara Gun Jemak menjadi warga Malaysia juga dilatarbelakangi hubungan emosional serta perkawinan antara warga. “Banyak masyarakat Dusun Gun Jemak yang pindah karena ada keluarga di Malaysia, khususnya Kampung Gun Sapit karena masyarakat di dua daerah ini berasal dari suku yang sama, yakni Sungkung Bidayuh,” tukas Imran.
Bukan saja Desa Suruh Tembawang, masyarakat di Desa Pala Pasang juga ada yang pindah menjadi warga negara Malaysia. “Di desa saya ada tiga orang yang pindah ke Malaysia,” ujar Jetius Sani, Kepala Desa Pala Pasang dihubungi Equator dari Pontianak, tadi malam.
Jetius tidak menyebutkan identitas warganya yang pindah itu. Namun alasan kepindahan mereka hanya persoalan perkawinan. “Mereka pindah sekitar empat atau lima tahun lalu. Mereka kawin dengan warga Malaysia,” ucap Jetius.
Anggota Komisi A DPRD Kalbar, N CH Saiyan SH MH cukup menyesali kepindahan tersebut. “Saya harapkan ke depan tidak ada lagi warga kita yang pindah ke sana,” kata Saiyan.
Sebagai wakil rakyat, Saiyan berharap pemerintah bisa mengambil langkah nyata mengatasi fenomena ini. “Kalau memang kesenjangan pembangunan, harus didorong agar ada pemerataan,” pungkasnya. (boy/bdu)
sumber : http://www.equator-news.com/index.php?mib=berita.detail&id=84981
sebagai warga Dayak Indonesia saya sangat prihatin tetapi ini kenyataan tentang kesenjangan yang harus diterima kita sebagai DAYAK dan memang sangat kontras dengan infrastruktur di jawa sumatra bahkan Sulawesi dan Papua. Pemerintah, pejabat, dan para birokrat kita semakin gak bisa melihat kita, ada yang mereka silau oleh ambisi menumpuk harta benda malah ada pejabat yang sudah buta tak mampu melihat rakyatnya. Sekali lagi kami prihatin namun apa mau dikata, memang kata orang dulu hujan batu dinegeri sendiri lebih baik dari pada hujan emas dinegeri orang, tetapi siapa yang sanggup jika itu benar-benar terjadi? Nasionalisme? Nasionalisme tak ada artinya jika dibanding dengan hidup yang lebih baik. Salam satu jiwa DAYAK
ReplyDelete