BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Thursday, June 17, 2010

Ramalan Jodoh versi Maanyan

Orang Maanyan kuno sebelum memilih seorang gadis atau pemuda untuk menantunya lebih dahulu mengadakan ramalan, tentang baik buruknya nasib anak mereka itu nanti setelah berumahtangga.

Biasanya kalau sebuah keluarga ada yang mempunyai anak gadis atau pemuda yang sudah akil baliq, maka kedua orang tuanya mencari padanan untuk jodoh anaknya lewat perantaraan orang tua yang bias meramal pernasiban hidup kedua anak mereka dihari esok.

Menurut orang-orang tua dahulu, ramalan jodoh ini didapat sewaktu nenek moyang mereka bertemu dan berkenalan dengan peramal bangsa Arab dan Cina.

Nilai-nilai huruf yang dipakai adalah berdasarkan aksara Arab, sedangkan jenis binatang berdasarkan nama-nama binatang menurut agama Budha. hanya saja ada sedikit perbedaan, sbb :

No.

Versi Maanyan

Versi Budha

1

Tikus

Tikus

2

Lembu

Lembu

3

Harimau

Harimau

4

Kancil

Kelinci

5

Naga

Naga

6

Ular lidi

Ular

7

Kambing

Kuda

8

Kuda

Kambing

9

Kera

Kera

10

Ayam jantan

Ayam jantan

11

Anjing

Anjing

12

Babi

Babi

Nilai Aksara

Huruf

Nilai

huruf hidup (a, i, u, e, o)

1

ba=ba, n=nun

2

g=ga, c=ca, j=ja, ng=nga, ny=nya, z=za

3

d=da, f=fa, k=ka, m=mim, p=pa, t=ta, q=ka, ya=va

4

h=ha

5

w=wau, l=lam

6

r=ra

8

y=ya

10

s=sin

12

Mencari jenis binatang menurut nama, misalnya :

Ali Sudiman

Ali (a=1, li=6) Sudiman (s=12, d=4, m=4, n=2) jumlah seluruhnya 29

Neni

Neni (n=2, n=2) jumlah seluruhnya 4

Nama Ali Sudiman adalah 29, ini lebih besar dari 12 yaitu nama dari binatang yang terdapat dalam daftar. Untuk menentukan jenis binatang yang tepat ialah dengan mengurangi kelipatan 12, sehingga diperoleh : 29-12-12 = 5 (naga liar)

Nama Neni adalah 4, ini lebih kecil dari angka 12, sehingga binatang orang yang bernama Neni : 4 (kancil jinak)

Kalau dijodohkan kedua orang ini akan menjadi : 29 + 4 = 33

Untuk meramal nasib perkawinan kedua orang ini, jumlah angka 33 itu dibagi berturut-turut dengan bilangan 3 ; 5 ; 7, yaitu tiga periode pengalaman perjalanan hidup mereka.

  1. Masa Pertumbuhan
  2. Masa Pembinaan
  3. Masa Akhir hari perkawinan mereka atau masa tua mereka

Ketiga periode itu tidak ditentukan lamanya, hanya dapat dirasakan sedang periode mana yang dialami.

Nasib Ali Sudiman dan Neni pada :

  1. Masa Pertumbuhan ialah 33 dibagi 3 = 3

Angka 3 diperoleh karena bilangan 33 habis dibagi 3

  1. Masa Pembinaan ialah 33 dibagi 5 = 3

Angka 3 diperoleh karena bilangan 33 bila dibagi 5, sisanya 3

  1. Masa Akhir ialah 33 dibagi 7 = 5

Angka 5 diperoleh karena bilangan 33 bila dibagi 7, sisanya 5

Maka pada masa pertumbuhan keadaan lahiriah kehidupan mereka dalam suasana tenang karena angka 3 yang pertama menandakan Luau atau Baruh, yaitu kehidupan yang tenteram karena mereka mencukupi dalam bidang ekonomi.

Selanjutnya diikuti angka 3 yang kedua menandakan Baruh lagi yang mengggambarkan kehidupan mereka lebih mantap lagi.

Yang terakhir angka 5 menandakan Bulan karena kehidupan mereka sudah mantap maka keadaan rumah tangga mereka dihormati oleh orang –orang disekitar lingkungan bekerja atau tempat tinggal mereka.

Arti dari berbagai nilai yang dihasilkan oleh bilangan 3, 5, 7 pada masing-masing periode

Arti angka

Bobot

Keterangan

1 yang pertama

Sasawi darat

Dalam keadaan sulit seperti sawi yang hidup didarat

1 yang kedua

Sasawi pantai

Hidup lebih baik bagai daun sawi yang hidup dipantai

2 yang pertama

Habu tunggul

atau

Debu tunggul

Dalam keadaan sulit

seperti debu yang terdapat pada tunggul

2 yang kedua

Habu dapur

Dalam keadaan lebih baik

seperti debu yang terdapat didapur

3 yang pertama

Luau/Baruh

Sejuk seperti air yang terdapat dirawa.

Suatu kehidupan yang tenang tanpa gangguan apapun

3 yang kedua

Baruh/rawa luas

Kehidupan yang lebih baik lagi

4 yang pertama

Mantiri suka

Dalam keadaan sukacita, baik suka anak ataupun milik.

Kehidupan yang ditunjang oleh banyak anak.

4 yang kedua

Suka anak

Suka milik

Kehidupan yang lebih meningkat karena anak

5 yang pertama

Bulan

Kehidupan seperti bulan dilangit.

Rumah tangga menjadi panutan orang.

5 yang kedua

Bulan purnama

Kehidupan yang lebih menjadi panutan orang banyak.

Bila didahului angka 1 dan 2 maka

Menjadi Bulan Kelam kecuali didahului 3, 4, 5

6

Parupuk

katunungan

Kehidupan yang sulit laksana kayu lapuk, kecuali

Didahului oleh nilai yang baik.

7

Gudang

gedung

Gedung tempat penyimpanan harta milik.

Kalau didahului oleh nilai 1 dan 2 maka

menjadi gudang gelap

Dalam berumah tangga pasangan akan mengalami berbagai badai kehidupan, apakah perkawinan mempunyai jodoh, wangkar/purik, sarak/bercerai.

Dengan merentangkan telapak kiri, dihitung mulai dari kelingking sampai ketelapak tangan dimulai bilangan satu sampai tiga dijari tengah. Berturut-turut angka satu dijari kelingking yang berarti jodoh, angka dua dijari manis yang berarti wangkar atau pisah ranjang dan terakhir angka tiga dijari tengah yang berarti sarak atau bercerai.

Kemudian diulangi lagi mulai dari jari telunjuk sampai ketelapak tangan, kalau hitungan jatuh ditelapak tangan maka nasib perkawinan mengalami cobaan berat karena termasuk cerai-laut, arti kata perkawinan itu sukar menjadi rujuk walaupun beberapa kali dicoba untuk didamaikan. Sekalipun bias rujuk namun itu untuk sementara lain kali akan terjadi lagi perceraian.

Dari perkawinan Ali Sudiman dan Neni dengan jumlah aksara keduanya ialah 33. Sesudah dibagi dengan kelipatan 3 secara berturut-turut maka berakhir habis, yang berarti cerai.

Ini berarti ada dua kemungkinan , yaitu cerai hidup atau cerai mati. Karena aksara Neni Cuma 4, sedangkan Ali Sudiman ialah 29 maka kemungkinan Neni-lah yang menderita karena perceraian itu atau meninggal pada saat anak-anak mereka sedang tumbuh. Tetapi nasib Neni akan lain kalau garis kehidupan yang terdapat pada telapak tangan sebelah kirinya bagus. Kalau jumlah aksara kedua pasangan itu habis dibagi dengan kelipatan 6, yaitu jatuh ditelapak tangan, berarti sarak-tahik atau cerai laut. Kemungkinan lain ialah saat satu dari mereka menderita sakit atau lainnya tidak dihadiri pasangannya atau anak-anaknya banyak yang meninggal dunia dalam pertumbuhan.

Adapun aksara yang habis dibagi 6 ialah 6, 12, 18, 24, 30, 36, 42, 48, 54, 60 dst.

Orang maanyan Kuno mempergunakan perhitungan aksara ini untuk memilih dukun untuk mengobati penyakit. Dukun yang mempunyai aksara tinggi daripada pasienlah yang dipakai untuk mengobati keluarga mereka yang sedang sakit.

Kalau aksara pasien lebih tinggi dari dukun, maka ia akan menolak untuk mengobati dengan mengatakan “aku puang katuga wulu” artinya saya tidak mampu untuk menyembuhkan.

Perhitungan untuk memilih jodoh dengan cara menghitung aksara ini masih dipakai oleh orang Maanyan yang menganut Hindu-Kaharingan.

Selain perhitungan aksara juga hari perkawinan mengambil waktu bulan timbul dilangit. Bulan kelam selalu dihindari dengan maksud agar kedua pasangan itu nantinya jangan mengalami kehidupan yang kelam.

sumber : www.bahasamaanyan.blogspot.com

Foto : Dayak Maanyan Children in Kalimantan Tengah Province

Adat Perkawinan Dayak Kanayatn

Oleh Singa Djumin

Sebagaimana telah penulis sampaikan pada bab….., maka pada bab ini penulis akan memaparkan uraian tentang perkawinan adat orang Dayak kanayatn. Uraian ini dimulai dengan tahapan-tahapan perkawinan adat, setelah itu dilanjutkan dengan persepsi orang Dayak Kanayatn terhadap perkawinan adat.

III.1. Tahapan-tahapan perkawinan adat orang Dayak Kanayatn
Tahapan perkawinan adat orang Dayak Kanayatn dapat dijelaskan dengan membuat urutan sebagai berikut:

III.1.1 Pinang Tanya’
Rangkaian upacara perkawinan, dimulai dengan rapat keluarga laki-laki atau perempuan yang khusus membicarakan tentang rencana perkawinan yang akan terjadi dalam keluarga mereka. Rapat keluarga ini membicarakan tentang siapa yang akan mewakili pihak keluarga untuk pergi ke keluarga yang akan dipinang. Orang yang mewakili ini disebut picara. Jadi tahapan perkawinan yang pertama sekali adalah telah diberangkatkannya picara oleh pihak orang tua laki-laki atau perempuan untuk pergi meminang. Apabila yang duluan berangkat picara dari keluaraga laki-laki ke keluarga perempuan, maka kelak apabila sudah menikah , pihak perempuanlah yang akan mengikuti pihak laki-laki dan sebaliknya apabila picara dari keluarga perempuan yang dulu berangkat ke keluarga laki-laki maka pihak laki-lakilah yang akan mengikuti pihak perempuan.
Kehadiran Picara dari pihak lelaki ataupun perempuan pada kunjungan pertama ke rumah pihak si perempuan atau laki-laki biasanya hanya bersifat “perkenalan” saja, intinya adalah menyampaikan pesan bahwa yang bersangkutan mendapat “mandat “ untuk menyampaikan maksud meminang. Biasanya tidak tuntas atau belum mendapat jawaban sebagaimana mestinya, karena pertimbangan keluarga pihak perempuan/laki-laki minta tempo atau waktu untuk mengumpulkan ahli waris keluarganya terlebih dahulu, sampai batas waktu yang telah ditentukan oleh pihak yang dipinang. Bila sudah ada persetujuan dari ahli waris yang dipinang maka langkah selanjutnya adalah bakomo’ manta’ yang ditandai dengan kesepakatan waktu untuk pelaksanaannya.



III.1.2. Bakomo’ Manta’
Setelah tiba waktunya pada hari yang telah ditentukan oleh pihak yang dipinang, maka si picara datang untuk kedua kalinya ke rumah pihak yang dipinang yang telah dihadiri oleh ahli waris keluarganya. , kegiatan ini disebut bakomo’ manta’. Uraian berikut mengandaikan bahwa pihak yang dipinang adalah perempuan.
Dalam acara bakomo manta ini pihak perempuan, menanyakan kembali maksud kedatangan si Picara. Prosesi tanya jawab biasanya dilakukan dengan berpantun.

Pihak perempuan:
Babingke bakah bubu
Katangakng baur pate
Kamile-mile diri batamu
Sidi jarakng diri batele

Bide dah baampar katangah sami
Gulita dah batukutn ma’an
Buke’nya kami bai’ disarohi karamigi
Ahe ga’ kabar kamaru’ nian?

Jawaban Pihak Picara:

Baketo matok nasi’ kapingatn
Barinang tumuh kasaka maraga
Dah repo diri’ rapatn badudukatn
Mao’ bacurita muka’ kata

Batang padi akar bingke
Batang ansabi ka babah manggule
Atakng kami atakng Patone’
Minta’ bagi nasi’ ka pene


Jelasnya dari pantun pihak perempuan/tuan rumah (bait 1) menyatakan kegembiraannya mereka atas kedatangan tamunya itu, kemudian diteruskan pada pantun (bait 2) menyatakan apa maksud kedatangan mereka ini. Kemudian pantun tersebut dibalas oleh si Picara pada pantun (bait 3), kedatangan mereka adalah selaku Picara, dan diteruskannya dengan pantun (bait 4), maksudnya untuk meminang anak dara mereka.
Demikianlah dilakukan kalau kita datang meminang anak dara orang harus berbalas pantun untuk menyatakan kedatangan mereka, yang telah berlaku sejak jaman nenek moyang dahulu. Adapun untuk menetapkan waktu perkawinan harus ditentukan secara musyawarah antara pihak laki-laki dan perempuan. Sebelum pinangan disetujui oleh pihak perempuan, terlebih dahulu harus bertutur tentang silsilah keluarga untuk mengetahui halangan yang mungkin ada.

III.1.3. Bakomo Masak / Tunangan
Setelah tiba waktu yang telah ditentukan, maka picara pihak laki-laki datang kerumah pihak perempuan untuk membuat adat picara atau bakomo’ masak. Bakomo’ masak sebagai tanda bahwa kedua belah pihak telah mengikat kata. Adat bakomo harus mengeluarkan 3 ekor ayam. Ayam sebanyak tiga ekor tersebut gunanya:seekor untuk tanda sah, dibawa kepihak lelaki, dan seekor lagi untuk dua orang picara dari sebelah laki-laki, dan seekor lagi dimakan bersama malam itu juga dari keluarga yang hadir selaku menyaksikan bahwa pembicaraan ini sah dan tidak dapat diganggu gugat oleh ahli waris lainnya yang kebetulan ketika malam itu tidak hadir. Akhirnya ditetapkanlah hari tanggal dan bulannya untuk pelaksanaan perkawinan kedua mempelai ini. Apabila salah seorang dari mereka yang akan kawin ini mangkir janji, atau calon istrinya dilarikan lelaki lain, maka dipihak lelaki harus menuntut adat pertama, keburukatn pakarakng (bahan persediaan upacara kawin) menjadi sia-sia, maka peralatan bakal perempuan itu harus diganti/dibayar. Hukum adat ini disebut Pamatah Tagol (penganti kemaluan ). Bakomo Masak ini dapat pula dipadankan dengan acara pertunangan. Surojo Wignjodipuro, (1987:125) mengungkapkan bahwa, maksud diadakannya pertunangan adalah sebagai berikut:
a. Karena ingin menjamin bahwa perkawinan yang dikehendaki itu dapat dilangsungkan dalam waktu dekat;
b. Khususnya di daerah-daerah yang ada pergaulan bebas antara muda-mudi, sekedar untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak yang telah diikat oleh pertunangan itu;
c. Memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal, sehingga mereka kelak sebagai suami istri dapat diharapkan menjadi suatu pasangan yang harmonis.

4. Gawe Panganten ( pelaksanaan perkawinan adat)
Setelah kegiatan kegiatan diatas terselenggara dengan baik dan tidak terjadi sesuatu yang bisa menghalangi upacara perkawinan, maka kegiatan selanjutnya adalah upacara Perkawinan adat. Upacara ini diselenggarakan dalam berapa tahap, sebagai berikut :

4.1. Panganten Turutn Barasi
Sejak jaman dahulu, perjalanan dari kampung ke kampung masih ditempuh dengan berjalan kaki. Jarak satu kampung dengan kampung lainnya juga sangat jauh, sehingga untuk menempuhnya memerlukan waktu berjam-jam dan bahkan berhari-hari. Karena perjalanan yang jauh inilah, maka rombongan pengantin harus memperhatikan pertanda dari alam yang dikenal dengan sebutan rasi. Dalam mitos orang Dayak Kanayatn, rasi ada dua (2) macam, yakni Rasi Malam dan Rasi Siang. Rasi Malam diwakili oleh suara jantek, kohor, sedangkan Rasi Siang diwakili oleh suara kijang ngaok, anjing nyalak.
Pengantin lelaki turun barasi dipimpin oleh empat picara, dimulai dari turun tangga di rumah pengantin laki-laki. Sebelum keluar rumah picara harus sudah babamang (ucap doa meminta pertolongan) bertujuan meminta jalan yang baik:
“aa...ian kami mao barangkata’ jubataa, kami minta’ abut nang gagas ampa bajalatn ka’ bide ka’ papatn (terjemahan bebas: oh Tuhan kami, rombongan kami sudah siap berangkat. Kami minta kepada-Mu berkat perjalanan yang baik supaya janganlah kiranya kami mendapat halangan dalam perjalanan ini).


Rombongan pangantin ini biasanya terdiri dari dua orang picara dari sebelah perempuaan, didampingi pula oleh dua orang picara dari sebelah laki-laki. Sebelum berangkat, kepala rombongan (picara) harus memastikan kesiapan keperluan yang harus dibawa ketika turun dari rumah si lelaki, akan menuju rumah pengantin perempuan, misalnya seperti langir binyak, beras banyu, beras sasah, serta sebuah tingkalakng yang berisi ayam rebus dan ayam hidup yang disebut angsa, dan lengkap dengan beras palawakng dan beras pulut serta bahan-bahan lainnya seperti tumpi’, poe’, sirih sekapur, nasi setungkus (nasi yang dibungkus dengan daun layakng/abuatn). Pengantin lelaki diiringi oleh beberapa anak bujang sebagai pangantar/rombongan, sehingga dari jauh tampak sebagai arak-arakan. Kira-kira kurang lebih tiga puluh meter lagi dari rumah pengantin perempuan, rombongan ini harus berhenti. Pengantin laki-laki dan rombongan tidak boleh dahulu naik tangga rumah pengantin perempuan sebelum rasi-rasi yang didengar di jalan tadi disambut dari pihak perempuan untuk melaksanakan adat dahulu. Adatnya harus memotong ayam dan mengangkat buah tangah/sebuah tempayan untuk melindungi dan membuang segala bunyi rasi selama diperjalanan.

Selesai adat buang rasi jelek dilaksanakan sebagaimana mestinya, maka si pengantin lelaki beserta rombongan, oleh tuan rumah si pengantin perempuan dijemput dengan menghamburkan beras kuning , dan pengantin lelakipun dipersilahkan naik tangga beserta rombongan. Kaki pengantin laki-laki dicurahi/dibasahi dengan air, seolah-olah membasuh segala rasi dan barang yang kurang baik/jahat selama dalam perjalanan tadi.
Setelah itu rombongan pengantin pun dipersilahkan duduk di sami’ (serambi muka). Di ruangan ini rombongan pengantin disuguhi beberapa makanan ringan seperti kelepon, lepat, tumpi’ (cucur) dan lemang serta minuman. Setelah makan dan minum, rombongan dipersilahkan untuk mandi. Setelah cukup beristirahat, rombongan disuguhi makan . Sore harinya pengantin laki-laki duduk menghadap sesajian di samping panyangahatn, yaitu buis bantatn ka’ tangah sami’ (Buis di tengah ruang). Buis bantatn bertujuan untuk memberitahu kepada awa pama (arwah orang tua bagi yang sudah meninggal) menyetujui perkawinan dan sekaligus memberkatinya.

4.2. Prosesi Adat Panganten
Setelah pengucapan doa (nyangahatn) di serambi tadi, acara berikutnya berturut-turut sebagai berikut :

a. Mantokng katinge’
Mantokng katinge’ (membersihkan dinding kamar pengantin) dalam artian bahasa adat yaitu peserta pengantin lelaki beserta rombongan dipersilahkan masuk dalam kamar/bilik tempat bersandingnya pengantin. Kegiatan ini dilaksanakan sekitar jam 7 malam. Sebelum pengantin lelaki masuk dalam ruangan tempat bersanding, sang pengantin perempuan dan didampingi dara-dara dalam kampung telah duduk di tempat yang telah ditentukan oleh picara. Ditempat ini juga telah disediakan alat peraga seperti: cucur, lemang, nasi tenung sepiring serta sirih sekapur (disebut sirih papinangan yang disimpan dalam selapa). Pengantin laki-laki biasanya masuk kedalam ruang pelaminan dengan membawa pepinangan (sebuah tempat sirih). Ketika si pengantin duduk bersanding, disebelah kanan si perempuan, maka si pengantin lelaki menyodorkan bahan pepinangan kepada si pengantin perempuan dan sebaliknya pengantin perempuan menyodorkan bahan pepinangan juga kepada pengantin laki-laki. Ketika saling mempertukarkan bahan pepinangan tadi hendaknya jangan sampai bersentuhan, karena hal tersebut dianggap lancang/tidak sopan ( basa). Kebiasaan ini telah berlaku turun temurun.


c. Ngarapat Pengekng
Setelah acara saling mempertukarkan bahan pinangan selesai, maka si picara akan mengajak semua hadirin untuk menyaksikan acara marapat pengekng yaitu acara mempersatukan mereka selaku mempelai pengantin. Acara ini ditandai dengan Picara berdiri dihadapan kedua mempelai sambil mengambil nasi pulut yang telah tersedia dihadapannya dan dipegang-nya pada kedua belah tangannya. Lalu tangannya dipersilahkannya keatas bahu lelaki dan perempuan. Tangan kanan meletakkan nasi pulut tadi di atas bahu lelaki, dan tangan kirinya meletakkan nasi pulut tadi di atas bahu perempuan, dengan berdoa dalam bahasa adat yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai berikut: “ini kami selaku Picara dengan ini mempersatukan atau merapatkan mereka berdua ini dengan pulut, kiranya mereka dapat seia sekata supaya bersatu berumah tangga dan murah rejeki, apa yang dicinta dengan mudah didapat serta sampai keanak cucunya…” Demikianlah antara lain doa seorang picara selaku imam pengantin. Selesai picara merapat pengekng kedua mempelai, maka tibalah waktunya pengantin/mempelai disuguhi nasi tanung (nasi putih tanpa sayur). Nasi tanung ini dihadapkan kepada mereka berdua dan harus diambil dengan cara diambil oleh jari telunjuk dan ibu jari ( dijemput) oleh mereka berdua secara bergantian tiga kali berturut-urut, cara menjemputnya harus cermat dan hati-hati, dengan kehati-hatian ini nasi yang dijemput tidak jatuh, karna namanya saja sudah jelas bahwa nasi tersebut nasi tenung untuk meramalkan masa depan mereka berumah tangga. Setelah merapat pengekng dan nasi tenung selesai dilakukan, acara dilanjutkan dengan makan bersama. Biasanya kedua mempelai diberi makan sepiring nasi dan lauk-pauknya untuk dimakan berdua. Mereka makan bersama/bergantian menjemput/mengambil nasi sepiring dengan cara saling menyuapi sampai kenyang. Demikian juga pada saat yang sama makanan dihidangkan untuk rombongan pengantin dan kaum keluarga dari sebelah pengantin perempuan dan tamu-tamu lainnya.

d. Petuah dan nasehat dari Picara
Selesai makan, salah seorang dari empat Picara tersebut akan memberikan petuah dan nasehat kepada kedua mempelai yang akan mengarungi samudra rumah tangga, yang bunyinya:
“Kalian berdua pada saat ini telah dipersatukan oleh Jubata (Tuhan) secara adat, yang disaksikan oleh kaum keluarga masing-masing. Dengan demikian mempelai laki-laki saat ini bukan lagi bujakng, tetapi telah bertanggungjawab kepada istrinya selaku suami. Demikian pula si perempuan pada saat ini bukan lagi dara, tetapi telah menjadi ibu rumah tangga yang patuh dan mendampingi suaminya dalam menjalankan roda kehidupan rumah tangga dan harus ingat akan pesan-pesan picara/pajarupm.”


e. Ngadap Buis bantatn
Keesokan harinya setelah kedua pengantin selesai mandi dan berdandan, dilaksanakanlah upacara puncak adat perkawinan yaitu berdoa kepada Jubata dengan didampingi seorang imam/ panyagahatn menghadap sesajian penganten ( buis bantatn). Kedua mempelai duduk bersanding diantara imam . Panggahatn akan mempimpin doa kepada Jubata (Tuhan). Kegiatan buis bantatn ini ditujukan untuk mengukuhkan dua manusia ini menjadi suami istri secara sah menurut adat. Selesai acara nyangahatn di sami’ (ruang depan), maka pengantin, rombongan pengantin perempuan dan undangan dipersilahkan masuk ke bilik (ruang tamu) untuk makan.

f. Pembagian Pirikng Pengantin
Selesai makan, acara dilanjutkan dengan acara membagi adat yang disebut dengan adat pirikng (adat membagi piring). Adat piring berupa irisan daging babi yang diletakkan diatas piring atau daun sebanyak 2 kali 32 buah pirikng atau 64 pirikng. Pembagian pirikng ini diatur sebagai berikut :
1. 32 pirikng dibagi kepada ahli waris sebelah bapak pengantin perempuan dan laki-laki, masing-masing 16 pirikng.
2. 32 pirikng dibagi kepada ahli waris sebelah ibu pengantin perempuan dan laki-laki-laki, masing-masing 16 pirikng.
Yang menerima pirikng ini adalah ahli waris kedua mempelai.

g. Ngatur Tingkalakng Paimbatatn/ tempat pengendong
Sebagai tahapan penutup acara perkawinan adat adalah pembagian Adat Tingkalakng Parimatatn, artinya sebuah tingkalakng (tempat yang terbuat dari bambu) untuk dikirimkan kepada besan perempuan. Tingkalakng ini akan dibawa kembali oleh rombongan pengantin perempuan saat turun barasi menuju rumah pengantin laki-laki. Adapun isi tingkalakng parimatatn tersebut adalah:
1. Babi salonekng (sabambu/ sepaha)
2. Beras sunguh dan poe’ (ketan) masing-masing sasalepe’ (seselepek).
3. Timako (tembakau) rokok seperlunya.
4. Pingatn (piring) putih 1 buah, selaku tono’ (tudung).
5. Tumpi’ (cucur) dan lemang seperlunya.
6. Gula dan garam secukupnya garam biasanya satu tuku.
7. iso’ (parang) fungsinya untuk melapangkan jalan penghidupan.
8. Ayam seekor yang telah direbus.
9. Ansa (angsa) atau ayam, kurang lebih 1 kg (untuk tampang/bibit).
10. Arak putih 1 botol.
11. Nasi setungkus (sebungkus), gunanya untuk bekal kehidupan.
12. Kepala 1 buah biasanya sudah mulai tumbuh untuk ditanam.
13. Sirih papinangan (untuk penyirihan lengkap) lengkap, dan lain-lain, yang dianggap perlu.

Setelah tiba dirumah pengantin lelaki, tingkalakng tadi diserahkan kepada keluarga pengantin lelaki dan isinya dimakan bersama. Tingkalakng parimatatn ini dapatlah dijadikan tanda bahwa kedua keluarga ini telah bersatu dalam jalinan perkawinan. Tingkalakng parimatatn ini berfungsi untuk memantapkan jalinan persaudaraan keluarga pengantin perempuan dan laki-laki.

5. Bapantang/ balala’.
Setelah rangkaian acara perkawinan adat selesai, maka keluarga pihak penyelenggara perkawinan menyelenggarakan acara bapantang bagi kedua mempelai. Acara ini dilakukan selama tiga hari. Pantang yang dimaksud adalah berupa larangan tidak boleh pergi kemana-mana. Setelah melakukan pantang selama 3 hari, dilakukanlah adat membuka lala’ (membuka pantangan). Dan saat itu juga diadakan upacara membuka langit-langit (kain khusus tanda pengantin). Kain khusus ini berupa tambalan kain yang terdiri dari berbagai warna. Dalam upacara pembukaan lala’ ini keluarga pengantin harus memotong ayam 3 ekor. Satu ekor diantara ayam yang dipotong ini di bawa kerumah pengantin laki-laki.

penulis adalah Singa/Timanggong Binua Kaca' Ilir, Kecamatan Menjalin Kabupaten Landak, tinggal dikampung Nangka

sumber : www.yohanessupriyadi.blogspot.com

Monday, June 14, 2010

IDENTITAS MASYARAKAT DAYAK YANG TERKOYAK

IDENTITAS MASYARAKAT DAYAK
(Masyarakat Adat Di Dunia ;Eksistensi dan perjuangannya)
Sebelum tahun 1990 setidaknya ada 4 sebutan untuk Dayak :yakni Dayak,Dyak,Daya’ dan Daya.
Versi Dayak umumnya di gunakan oleh pengarang dan penerbit dari Inggris sebelum perang dunia ke II.Penulisan Dajak muncul dalam naskah-naskah berbahasa Belanda>Versi Dayak adalah perkembangan lebih lanjut dari versi Dyak. Di Serawak,sejumlah serjana Dayak maupun NonDayak yang study di luar negeri,mengambil study tentang Dayak; Mereka Menulis Kata Dayak dalam publikasi penelitiannya ,Karena itulah versi Dayak semakin di kenal luas di dunia.

Versi Dayak,Dyak,dan Daya telah menimbulkan pro dan kontra dan mencerminkan kekaburan identitas (identity people) masyarakat Dayak. Sikap in terwujud nyata dalam kehidupan sehari-hari .Orang Dayak malu menganggap dirinya orang Dayak ,cendrung ingin menghilangkan identitasnya sebagai Dayak. Mengapa orang Dayak terhina dan malu di sebut Dayak ?ada sejarahnya .

Pada awal abad 19 kelompok dominan di Kalimantan adalah Dayak dan Melayu.Etnis Melayu umumnya bermukim di daerah pantai.Mereka penganut Islam dan lebih dulu mengenal baca tulis.Orang Melayu dalam pandangan orang Dayak kala itu adalah cermin kemajuan dan ke – modern –an.Sebalik nya Orang Dayak yang tinggal di pedalaman ,berperilaku beda dengan Melayu,beragama asli dan belum mengenal baca tulis.

Kemudian datang penjajah Belanda yang membawa budaya norma,barang baru yang berbeda dengan masyarakat dayak.segala hal tentang Belanda adalah symbol kemajuan.Sebaliknya orang Belanda dan Melayu punya tolok ukur yang masing-masing terhadap orang dayak.Orang Belanda dan Melayu mencap sesorang/kelompok yang berperilaku menyimpang dari budaya,norma mereka di sebut Dajakker ,sebutan yang mengandung makna negatip ,setara dengan inlander.Istilah tersebut berkembang menjadi Dajakkera,atau Dajak sama dengan Kera (Kera=Monyet)

Istilah “Dayak” sebagai symbol hal-hal yang buruk berkembang luas.Di masyarakat Jawa ,orang yang urakan,kotor,amburadul (kolot) di sebut Ndayak;kedayak-dayakan. Dulu di Kalbar,terasi atau anjing kurap di sebut Dayak. Untuk menghilangkan label Dayak, para pemimpin Dayak Se-Kalbar yang merasa dirinya terhina dan malu menyandang label etnisitas Dayak,mengadakan pertemuan besar di Sanggau (1956).Salah satu hasilnya disepakati mengubah penulisan Dayak menjadi DAYA’,selanjutnya terjadi pengikisan apostrop (‘) maka Daya’ menjadi Daya saja. Agaknya para pemimpin Dayak Kalbar waktu itu berkehendak mencari dentitas baru agar dapat di terima kelompok lain .Tetapi sebaliknya ,menghilangkan etnisitas sebagai salah satu wujud identitas.

Dalam perkembangannya,kelompok generasi baru Dayak menilai gengsi,kehormatan,rasa hina,dan malu tidak akan hilang dengan hanya sekedar mengganti Dayak dengan Daya’ Atau Daya.Harus ada tindakan nyata masyarakat Dayak untuk meningkatkan kualitasnya.karena itu menurut pandangan mereka penulisan yang benar adalah DAYAK.alasan pertama :
Versi Dayak adalah versi yang tertua yang telah memberikan identitas bersama bagi kelompok-kelompok tertentu non muslim di Kalimantan. Kedua,vers Dayak sudah di akui secara internasional.Pengakuan masyarakat internasional adalah salah satu aspek identitas dan jati diri.Pada masa lalu sebutan Dayak menimbulkan kepahitan ,penghinaan ,karena politik “pecah dan perintah “ dari penjajahan Belanda. Pada masa Penjajahan Belanda Inlander berkonotasi negatip,kin justru pribumi merupakan identitas yang membanggakan.

Tahun 1992 Insitute of Dayakology Research and Development ( kini namanya Institut Dayakology) menggelar seminar Nasional dan Expo budaya Dayak.Salah satu kesepakatan penting pertemuan ini adalah penulisan DAYAK dengan DAYAK.
Kini masyarakat Dayak semakin kehilangan identitas ke-DAYAK-annya akibat proses pembangunan yang meminggirkan mereka.Peminggiran itu mulai dari kata-kata (verbal),tindak tanduk,(behavioral) dan perampasan -paksa(performance) atas hak Tanah. Dan Perlawanan Masyarakat Adat juga seirama dan setara dengan tingkatan proses tersebut.

Menurut penelitian Institus Dayakology (1996) ada 5 (lima ) paktor yang menyebabkan hancurnya kebudayaan Dayak sebagai identitas utama masyarakat Dayak yakni ;
1. Pendidikan Formal
2. Agama asing
3. Dominasi budaya asing
4. Perundang-undangan /peraturan yang memihak penguasa
5. Invansi kapitalis internasional

Kelima factor inilah yang menyebabkan hilangnya identitas masyarakat Dayak.
Pendidikan Formal (terutama) membawa dampak positif dan negative bagi orang Dayak.Namun di Indonesia pendidikan sekolah dilaksanakan dengan penuh indokrinasi (pengkaburan sejarah dari asli seperti kasus G-30 PKI) sehingga mencerabut orang dari budaya nya sendiri dan tidak kritis.Anak-anak Dayak di dokrin untuk melecehkan budaya mereka sendiri (dalam rumah tangga si anak di anjurkan pakai bahasa lain dari komonitasnya sehingga di kemudian hari tidak tahu akan bahasa sukunya).
Cara-cara orang Dayak bertanam karet,berburu,memanfaatkan hasil hutan,memelihara pohon buah-buahan dianggap tidak produktip,kolot ,primitive,tidak berbudaya,Bacaan-bacaan di sekolah adalah tentang cerita-cerita dari luar Kalimantan.Maka Manusia Dayak Tumbuh menjadi asing di negeri sendiri yang memusuhi budaya mereka sendiri.
Dalam dasa warsa 70 – an orang-orang Dayak di tuding hidup dalam sistim komonis,tidak sehat,melakukan praktek-praktek prostitusi terselubung ,sex bebas,karena tinggal di rumah betang(rumah panjang). Rumah panjang itu kemudian di bongkar dan hidup dirumah tunggal.Hasilnya orang-orang Dayak menjadi sangat individualis. Dengan hancurnya rumah panjang,maka hancur pulalah jantung kebudayaan orang Dayak (Sipat-sipat Luhur atau Pilar-pilar Huma Betang dalam arti nilai-nilai budaya orang Dayak yang Demokrasi/ setara dalam Derajat,abdi hukum ,arip dengan lingkungan Tegas ,jujur dalam bersikap dan berbuat dengan sendirinya hilang justru menimbulkan dua kultur kelas masyarakat yang berbeda yaitu ;

A. klas Buruh,petani,pedagang yaitu klas yang menganut pola berpikir sederhana dan bagaimana bisa hidup sejahtera dan aman ;
Untuk klas atau golongan ini kita bisa melihat cara hidup masyarakat yang ada di pedalaman yang jauh dari nuansa politik dan persaingan ,dimana masyarakat nya hidup dengan budaya kekeluargaan,gotong royong,sosial yang tinggi dan tidak pernah membeda-bedakan suku,agama dan budaya,cara mereka pun berpikir sangat sederhana dan penuh kebijaksanaan.
Contoh : seorang bapak yang petani ladang dan petani karet di kampung ,mereka tidak pernah berpikir bagaimana caranya supaya mereka mendapat kedudukan dan memperolah harta yang banyak tanpa bekerja keras,tidak seperti orang-orang di kota yang selalu berpikir bagaimana mendapatkan uang-uang dan uang di benak nya ,sehingga harga dirinya pun di jualnya untuk memuaskan hawa nafsu kesenangan yaitu lewat kekerasan,penipuan dan korupsi atau menghalal kan segala cara. Kebijaksanaan mereka adalah bagaimana mereka itu bisa beradaptasi dengan keadaan lingkungan nya,mereka ingin bagaimana mereka bisa menyekolahkan anaknya,punya kebun ,punya rumah sebagai tempat untuk mereka mearilisasi cita-cita mereka dalam arti mewujudkan kedamaian yang abadi.Dimana cara mereka mendidikan anak nya di waktu sekolah dasar dengan ilmu budipekerti,di sekolah menengah pertama dan menengah atas mereka ,membiasakan anak nya untuk belajar tentang cara hidup bermasyarakat dan mengelola SDA yang lestari demi kelangsungan hidup mereka kelak dan di waktu perguruan tinggi mereka belajar akan arti sebuah tanggung jawab
Jangan heran kenapa banyak mahasiswa-mahasiswa yang keluar dari kampus menjadi pengangguran intelek,dimana kampus tidak pernah memproduksi manusia-manusia yang siap kerja dan akhirnya mereka menjadi buruh-buruh di perkebunan ,karena kualitas mereka sangat diragukan, kita bisa melihat di setiap siskripsi dan desertasinya atau syarat untuk menjadi seorang sarjana,jauh dari harapan kenapa itu bisa terjadi karena segala persyaratan itu di bayarkan dengan duit dan akhirnya budaya uang tunai ini telah menjadi budaya baru .Hal ini sungguh ironis dan juga menjadi beban pemerintah dalam menaggulagi pengangguran.persoalan ini lah yang sangat rentan terhadap pemampaatan SDA karena tertutupnya ruang akses dan informasi serta kesempatan kerja akhirnya kriminalitas dan bunuh diri menjadi jawaban persoalan ekonomi yang tidak pernah memihak kepada rakyat kecil dan menengah.
B. Klas Pegawai yaitu kelompok yang identik dengan kekuasaan dalam arti adanya perbedaan social antara atasan dengan bawahan .
Persoalan seperti ini lah yang membuat orang bagai mana cara nya naik pangkat dan dapat penghargaan ,mereka menempuh banyak cara seperti menjilat atau menyogok atasan nya supaya mendapat kedudukan akhirnya budaya KKN lah yang lahir dan berkembang menjadi bagian dari pola hidup rakyat kota seperti makanan yang di konsumsi setiap hari,bahkan ada yang menjual kehormatan nya hanya untuk memenyenangkan atasan nya ( istilah ABS )

Undang-undang yang berhubungan dengan eksploitasi terhadap sumber daya alam ternyata sengaja di buat oleh pemerintah Orde Baru (Mafia Barkeley) dan turunan nya untuk melicinkan proses ekploitasi sumber daya alam oleh Negara dan penguasa dengan lahirnya Undang-undang Penanaman Modal Asing (UPMA),Undang-undang Minerba,Undang-undang Kehutanan yang membuat kebijakan birokrasi ke-kapitalis. Sehinga investasi sebagai sumber pendapatan negara memicu konflik Agraria dan kehancuran ekologi sempitnya ruang distribusi rakyat , pemiskinan, biaya hidup semakin tinggi dan marginalisasinya penduduk lokal yang akhirnya melahirkan kriminalitas,pelecehan seksualitas,krisis pangan ,krisis air bersih dan yang paling rentan adalah kaum perempuan dan anak padahal di UUD 1945 mengamanatkan bahwa kemakmuran itu milik rakyat/publik .
Usaha-usaha itu di modali oleh pinjaman luar negeri dan pengusaha asing dan pengusaha nasional. Dan menjadi beban utang Rakyat Indonesia.

Sistem pengelolaan hutan pemerintah model HPH,HTI,PBS /perkebunan besar swasta pertambangan dan tranmigrasi dan lainnya (sipat-sipat Feodalis dan neoliberal) telah menghancurkan kebudayaan Dayak
(.Tulisan ini di ambil dari katalog penyebaran masyarakat adat di dunia dan berbagai sumber ).

Palangkaraya 2010

Penulis

Thomas Wanly

Sunday, June 13, 2010

Komunitas Uud Sio Masih Hidup Terasing di Pedalaman Sintang

PONTIANAK--MI: Satu kelompok masyarakat tradisional yang hidup primitif hingga kini
masih ditemukan di Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Mereka menetap di sekitar Gua Soak Auk yang berada di kaki Bukit Raya, Dusun Rumukhoy.

"Lokasi permukiman mereka sangat terisolasi dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama dua hari dan dua malam dari Dusun Rumukhoy," kata Ketua Paguyuban Dayak Uud Danum Kota Pontianak Rafael Syamsudin, Kamis (10/12)

Kelompok masyarakat terasing tersebut adalah komunitas dari suku Dayak Uud Sio. Sebagian besar komunitas itu masih menggunakan bahasa isyarat jika berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat luar. Itupun hanya berlangsung tidak lebih dari lima menit.

"Kehidupan mereka sangat tertutup dan hanya berkomunikasi seperlunya. Jadi, interaksi sosial mereka dengan dunia luar nyaris terputus," ujar Rafael.

Anggota komunitas Uud Sio diperkirakan tidak lebih dari 100 orang. Mereka masih menerapkan pola hidup berburu dan meramu dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitar hutan di kaki Bukit Raya. Sementara itu, untuk tempat tinggal mereka mengandalkan gua seadanya dan sama sekali tidak boleh dikunjungi pihak luar.

"Mereka sangat sulit ditemui karena biasanya langsung melarikan diri jika melihat orang luar," kata Ketua Dewan Pakar Dewan Adat Dayak Kabupaten Sintang Badjau Djambang.

Komunitas Uud Sio termasuk stamras atau rumpun Subsuku Dayak Uud Danum. Ketertutupan komunitas ini diduga kuat berhubungan dengan kondisi sosial dan keamanan saat masa kolonial Belanda.

"Mereka beranggapan penjajahan Belanda sampai saat ini masih berlangsung, sehingga memutuskan untuk tetap terus menutup diri dari dunia luar," ungkap Rafael.

Rafael dan Badjau mendesak pemerintah memperhatikan secara serius kondisi kehidupan masyarakat Uud Sio yang sangat terbelakang dan terisolasi dari peradaban modern tersebut.

"Pemerintah harus melakukan pendekatan dan membangun komunikasi intensif secara terus menerus agar mereka tidak selamanya hidup dalam kondisi seperti itu. Kalau perlu dilakukan relokasi," jelas Badjau. (AR/OL-01)

sumber : www.mediaindonesia.com
foto : www.laurensgawing.blogspot.comRata Penuh

Saturday, June 12, 2010

J.C. OEVAANG OERAY

Johannes Chrisostomus Oevaang Oeray atau yang lebih dikenal dengan J. C. Oevaang Oeray merupakan salah seorang tokoh pejuang di Kalimantan Barat. Ia lahir pada tanggal 18 Agustus tahun 1922 di Tanjung Kuda, desa Melapi I, Kabupaten Kapuas Hulu. Ayah dan ibunya bernama Ledjo dan Hurei yang beragama Khatolik. Kedua orangtuanya berasal dari suku Dayak yang bekerja sebagai penoreh karet dan petani ladang berpindah. Ia merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Saudaranya yang lain adalah Ding Oeray, Mering Oeray dan Tepo Oeray.

Sejak kecil Oevaang Oeray telah menunjukkan semangat yang tinggi bagi diri dan bangsanya untuk terlepas dari kehidupan yang tertinggal. Ia mempunyai sikap tidak mudah berputus asa dan berpandangan luas. Penampilannya sederhana, ramah, ulet, berjiwa sosial dan suka menolong siapa saja yang memerlukan bantuannya. Keinginan untuk maju menjadi tekad utamanya karena ia tidak ingin kehidupannya, baik secara pribadi maupun sukunya tetap tertinggal di mata bangsa penjajah Belanda.

Oevaang Oeray mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) yang ada di desanya. Setelah menyelesaikan sekolah rakyat selama enam tahun, ia melanjutkan ke Sekolah Guru dan Sekolah Seminari Nyarumkop selama 6 tahun. Setelah tamat dari Sekolah Seminari, ia sempat melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pastor. Tetapi karena terjadi perbedaan pendapat antara dirinya dengan salah seorang Pastor Belanda, maka ia dihukum dan tidak diperbolehkan meneruskan sekolah Pastornya.

Sejak masih bersekolah di Seminari Nyarumkop, Oevaang Oeray sudah mempunyai pemikiran untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat Dayak melalui perjuangan politik. Pada tahun 1941, ia pernah menulis surat kepada para guru sekolah-sekolah Katholik se-Kalimantan Barat yang sedang mengadakan retreat tahunan di Sanggau untuk mengajak mereka peduli kepada kondisi sosial masyarakat Dayak. Pemikirannya tersebut disambut baik oleh peserta retreat yang pada waktu itu dipimpin oleh tokoh-tokoh guru Khatolik seperti A.F. Korak, J. R. Gilling dan M. Th. Djaman. Dari pertemuan tersebut berhasil dicetuskan suatu kebulatan tekad yang menyatakan bahwa seluruh peserta retreat bersepakat memperjuangkan nasib masyarakat Dayak melalui perjuangan politik. Peristiwa tersebut merupakan cikal bakal dari pertumbuhan Partai Persatuan Dayak (PD), yang sebelumnya didahului dengan kelahiran Dayak In Action (DIA) atau Gerakan Kebangkitan Dayak. Organisasi ini dibentuk pada tanggal 30 Oktober 1945 di Putussibau di bawah pimpinan F. C. Palaunsuka, salah seorang guru sekolah rakyat.

Pertumbuhan organisasi Dayak In Action (DIA) yang kemudian menjadi Partai Persatuan Dayak (PD) mengalami perkembangan, dimana pada setiap benua atau desa dibentuk komisariat yang kedudukannya disejajarkan dengan Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Akibat perkembangan politik yang meningkat, maka pada akhir Desember 1946, Partai PD mengadakan rapat paripurna yang menghasilkan keputusan untuk memindahkan kedudukan partai dari Putussibau ke Pontianak. Kemudian melalui keputusan musyawarah bersama pada tanggal 1 Januari 1947, Oevaang Oeray diangkat sebagai Ketua Umum Partai PD.

Setelah menyelesaikan sekolahnya, Oevaang Oeray bekerja sebagai guru di kampungnya. Kemudian beliau diangkat menjadi pegawai negeri. Pekerjaan ini terus dilakukannya sampai kedatangan bangsa Jepang di Kalimantan Barat. Ia mempersunting Bernadetha Boea, seorang gadis dari desanya sendiri. Ia dan istrinya beberapa kali berpindah tempat tinggal karena berbagai tugas yang diembannya. Sampai akhir hayatnya, Oevaang Oeray dan istrinya belum dikaruniai anak sehingga mereka mengambil anak angkat yaitu David Dungo Ding, Anna Maria dan Hubertus Tekuwan. Pada tahun 1946, ia mendapat kesempatan mengikuti pendidikan selama satu tahun di MOSVIA (Meddelbare Opleiding School Voor Indische Amtenaar) atau sekolah Pamong Praja di Makassar, Sulawesi Selatan. Setelah selesai mengikuti pendidikan di MOSVIA, ia kembali ke Kalimantan Barat.

Pada tanggal 12 Mei 1947, Komisaris Jenderal Van Mook menandatangani Statuut Kalimantan Barat, dimana Karesidenan Kalimantan Barat berubah menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), dengan Kepala Daerah Sultan Hamid II dan wakilnya Mansyur Rifai. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Daerah dibantu oleh badan yang disebut Dagelijk Bestuur atau Badan Pemerintah Harian (BPH), yang terdiri dari Oevaang Oeray, A. F. Korak, Lim Bak Meng, Tio Kiang Sun dan H. M. Sauk. Dengan diangkatnya Oevaang Oeray sebagai anggota BPH pada pemerintahan DIKB, maka sejak tanggal 12 Mei 1947, A. Djelani diangkat sebagai Kepala Kantor Urusan Dayak DIKB dan sekaligus sebagai Ketua Umum Partai PD menggantikan Oevaang Oeray.

Upaya Belanda membentuk DIKB mendapat tentangan keras dari berbagai organisasi politik yang ada di Kalimantan Barat. Mereka menilai dengan dibentuknya DIKB merupakan suatu usaha Belanda untuk menjauhkan rakyat Kalimantan Barat dari pemerintah Republik Indonesia. Pihak republiken menganggap bahwa perubahan status Kalimantan Barat menjadi DIKB merupakan suatu perjanjian politik (Politik Kontrak) antara Sultan Hamid II dengan Belanda. Dengan demikian berarti Belanda mengakui DIKB dengan pemerintah sendiri dan mengakui pula Dewan Kalimantan Barat (DKB) sebagai penyelenggara kekuasaan tertinggi. Pada tanggal 23 Maret 1948, di Pontianak diadakan pemilihan anggota DKB untuk seluruh daerah Kalimantan Barat. Dari hasil pemilihan, suara terbanyak diperoleh dokter Soedarso dan Mansyur Rifai. Tetapi, karena dokter Soedarso masih berada di dalam penjara maka kedudukannya digantikan oleh Mansyur Rifai. Kemudian pada tanggal 12 Mei 1948, diumumkan susunan anggota DKB baru yang anggotanya ada yang diangkat oleh pemerintah DIKB dan ada yang dipilih. Anggota DKB yang diangkat adalah Oevaang Oeray, Lim Bak Meng, Muhammad Saleh dan W. N. Nieuwenhuysen. Anggota DKB dari Swapraja yang diangkat oleh pemerintah adalah Tengku Muhammad, Ade Djohan dan Gusti Ismail. Sedangkan anggota DKB hasil pemilihan adalah F. C. Palaunsuka, Mansyur Rifai, Tio Khian Sun dan F. Bradenburg Van der Groden.
Pembentukan DIKB dan DKB mendapat tentangan dari masyarakat dan berbagai organisasi politik seperti Gabungan Politik Indonesia (GAPI), Persatuan Buruh Indonesia (PBI) dan Partai Rakyat Indonesia (PRI). Ketiga organisasi tersebut sangat mencela tindakan Sultan Hamid II yang telah menandatangani status itu. Pada tanggal 26 November 1949, anggota-anggota GAPI yang berhaluan keras mendirikan Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB) untuk menentang adanya DIKB dan DKB. Mereka mempunyai keinginan agar Kalimantan Barat bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bukan sebagai sebuah negara bagian. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, KNKB melakukan aksi pemogokan umum bersama-sama dengan buruh, pegawai pemerintah maupun swasta. Akibat aksi tersebut, ketenangan umum dan aktifitas perekonomian menjadi terganggu. Untuk memulihkan keadaan akibat aksi mogok umum tersebut, Pemerintah DIKB kemudian menangkap ketua KNKB, S. H. Marpaung beserta pengurus lainnya yang dianggap sebagai penggerak aksi pemogokan.

Pada tanggal 12 Maret 1950, Komisaris Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diwakili oleh Mr. Indra Kusuma dan M. Soeparto tiba di Pontianak. Kedatangan mereka untuk menangani ketegangan antara KNKB dengan pemerintah DIKB. Komisaris RIS kemudian mengadakan tatap muka dengan pemerintah DIKB dan KNKB. Perundingan berjalan dengan tegang karena pada prinsipnya KNKB tetap mempertahankan tuntutannya yang menginginkan Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perundingan antara pemerintah DIKB – Komisaris RIS - KNKB dilaksanakan kembali pada tanggal 17 Maret 1950. Perundingan yang kedua tersebut menghasilkan keputusan bahwa akan segera dibentuk sebuah Komisi oleh Menteri Dalam Negeri RIS yang akan membuat peraturan pemilihan anggota DKB. Anggota Komisi tersebut beranggotakan 7 orang dengan perincian 3 orang dari DKB, 3 orang dari KNKB dan 1 orang dari RIS yang akan menjadi ketua Komisi.
Berdasarkan hasil keputusan perundingan tanggal 17 Maret 1950 di atas, Menteri Dalam Negeri RIS kemudian membentuk suatu Komisi untuk pemilihan anggota DKB yang anggotanya terdiri dari Mr. R. Suwanjo dari RIS sebagai ketua Komisi, Oevaang Oeray, Ade Muhammad Djohan, Tio Khian Sun dari DKB dan S. H. Marpaung, Uray Bawadi dan Djenawi Tahir dari KNKB. Pada akhirnya Komisi tersebut tidak berhasil menetapkan waktu pelaksanaan pemilihan anggota DKB yang baru karena antara KNKB dan DKB yang lama terjadi perbedaan pendapat mengenai waktu pemilihan, dimana KNKB menghendaki agar pemilihan anggota DKB yang baru dilaksanakan secepatnya sementara DKB yang lama meminta waktu selama tiga bulan untuk melaksanakan pemilihan DKB yang baru tersebut.

Di tengah-tengah kesibukan dan ketegangan perundingan antara KNKB dan DKB, kemudian terdengar berita mengenai penangkapan Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara RIS, yang dianggap terlibat dalam peristiwa Westerling pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung dan menyerbu sidang Dewan Menteri pada tanggal 24 Januari 1950. Sultan Hamid II ditangkap pada tanggal 5 April 1950. Dengan tertangkapnya Sultan Hamid II maka DIKB dan kerajaan-kerajaan Swapraja yang ada di Kalimantan Barat dinyatakan bubar. Setelah DIKB dianggap bubar maka terhitung sejak tanggal 17 Agustus 1950, Kalimantan Barat menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan bergabungnya Kalimantan Barat menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia maka secara otomatis daerah Kalimantan Barat mengikuti peraturan dan kebijakan dari pemerintah pusat Republik Indonesia. Dalam bidang politik, pemerintah pusat menyelenggarakan Pemilihan Umum yang pertama pada tahun 1955 untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif. Demikian juga di Kalimantan Barat diselenggarakan Pemilihan Umum pada tahun 1955. Melalui suara Partai PD dalam Pemilu tahun 1955, Oevaang Oeray berhasil diangkat menjadi Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Barat dengan dasar Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 59/M tanggal 17 Maret 1959. kemudian pada tanggal 22 Juni 1959, bertempat di Gedung Pertemuan Umum Kotapraja Pontianak, ia dilantik menjadi Kepala Daerah oleh Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri, R. M. Soeparto. Setelah selesai upacara pelantikan, diadakan serah terima jabatan Kepala Daerah dari Gubernur Jenderal Asikin Joedadibrata kepada Kepala Daerah yang baru Oevaang Oeray.
Setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, DPRD Tingkat I Kalimantan Barat melalui sidang tanggal 14 November 1959, menetapkan nama calon Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat. Calon yang terpilih terdiri dari 2 orang, yaitu Oevaang Oeray (PD) dan R. P. N. L. Tobing (PNI). Dari dua calon tersebut ternyata sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 464/M tanggal 24 Desember 1959, ditetapkan. Oevaang Oeray sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat terhitung sejak tanggal 1 Januari 1960 s/d 1966.

Perlu diketahui bahwa pada waktu itu kedudukan Gubernur dan Kepala Daerah adalah terpisah. Gubernur adalah sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sedangkan Kepala Daerah adalah aparat desentralisasi sebagai kepala daerah otonom. Dengan demikian Oevaang Oeray adalah Kepala Daerah Otonom Tingkat I Kalimantan Barat yang pertama dan terakhir, karena setelah itu jabatan Gubernur dan jabatan Kepala Daerah disatukan menjadi Gubernur Kepala Daerah yang mempunyai tugas rangkap yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.

Selama memangku jabatannya, Oevaang Oeray berusaha memajukan daerah Kalimantan Barat. Dalam bidang pendidikan, beliau bersama-sama dengan tokoh politik, tokoh masyarakat dan pemuka agama seperti dokter Soedarso, R. Wariban, Ibrahim Saleh, dan lain-lain mendirikan Universitas Daya Nasional yang sekarang bernama Universitas Tanjung Pura di Pontianak. Dalam pembangunan sarana peribadatan, selain pembangunan gereja, ia juga memperhatikan pembangunan rumah ibadah umat Islam.

Setelah tidak lagi menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat, Oevaang Oeray dipercaya duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 1977-1982 mewakili Golongan Karya. Dan sampai akhir hayatnya, beliau masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan DPD Golkar Kalimantan Barat.

Oevaang Oeray meninggal dunia pada tanggal 17 Juli 1986 di Pontianak karena sakit. Sehari sebelum Oevang Oeray meninggal dunia atau tepatnya pada hari Kamis, tanggal 17 Juli 1986, di ruang rapat Kantor Gubernur Kalimantan Barat diadakan pertemuan antara Gubernur Kalimantan Barat dengan Pengurus Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) dan Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI). Dalam pertemuan tersebut, sebagai Ketua Eksekutif Apkindo, Oevaang Oeray berkesempatan melaporkan hasil perjalanannya di Jawa Timur, Bali dan Sumatera. Tetapi, sewaktu berbicara dalam pertemuan itu, ia menderita batuk-batuk dan sulit bernafas. Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum Sei Jawi Pontianak. Setelah segala upaya dan usaha dilakukan untuk penyembuhan, pada tanggal 17 Juli 1986 di RSU Sei Jawi Pontianak, ia akhirnya meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Katholik Santo Yosef di Sungai Raya Pontianak.

Dengan meninggalnya Oevaang Oeray, maka masyarakat Kalimantan Barat khususnya dan bangsa Indonesia umumnya telah kehilangan salah seorang putra terbaik bangsa yang turut berjuang memajukan harkat dan martabat rakyat melalui pendidikan dan pembangunan. Generasi muda dapat mengambil nilai-nilai perjuangan dan pengabdian Oevaang Oeray seperti sikapnya dalam usaha untuk maju dan berprestasi dalam menuntut ilmu sehingga dengan ilmu tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat bangsa dan negara Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat.

sumber : borneo center
Diposkan oleh Karel Juniardi di 01:25

Friday, June 11, 2010

Konsep Kepemimpinan Suku Dayak Khususnya di Daerah Kalimantan Tengah

Suku Dayak amat taat dan setia kepada pemimpin yang telah mereka akui sendiri. Di lain pihak, untuk mendapatkan pengakuan dari penduduk, seorang pemimpin harus benar-benar mampu mengayomi dan mengenal masyarakatnya dengan baik. Pemimpin suku Dayak, bukan seorang yang hanya memberi perintah atau menerima pelayanan lebih, dari masyarakat, namun justru sebaliknya. Pemimpin yang disegani ialah pemimpin yang mampu dekat dan memahami masyarakatnya antara lain : bersikap

Mamut Menteng, maksudnya gagah perkasa dalam sikap dan perbuatan. Ia disegani bukan dari apa yang ia katakan, namun dari apa yang telah ia lakukan. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Dalam sikap dan perbuatan selalu adil. Apa yang diucapkan benar dan berguna. Nama baik bahkan jiwa raga dipertaruhkan demi keberpihakannya kepada warganya. Sikap mamut menteng yang dilengkapi dengan tekad isen mulang atau pantang menyerah telah mendarah daging dalam kehidupan orang Dayak. Tidak dapat dipungkiri kenyataan itu sebagai akibat kedekatan manusia Dayak dengan alam. Bagi mereka tanah adalah ibu, langit adalah ayah dan angin adalah nafas kehidupan. Dengan demikian Kemanapun pergi, dimanapun berada, bila kaki telah berpijak dibumi takut dan gentar tak akan pernah mereka miliki. Salah satu contoh sikap mamut menteng dan keberpihakan para pemimpin Dayak kepada warga sukunya jelas terlihat dalam kisah perempuan pejuang Dayak. Namanya Nyai Undang. Merasa harga diri dilecehkan oleh sikap sewenang-wenang lelaki kaya raya yang berasal dari seberang, ia mampu mengkoordinir kekuatan para pangkalima atau panglima suku yang tersohor kemampuannya. Bukan saja mengkoordinir, tetapi ia juga mampu mengontak dan melobi mereka dalam waktu yang sangat singkat. Dalam sekejap, para pangkalima yang diundang datang dan berkumpul di pulau Kupang. Sarana komunikasi yang digunakan adalah Lunjo Buno atau Ranying Pandereh Bunu atau Renteng Nanggalung Bulau yaitu tombak yang diberi kapur sirih pada mata tombak. Lunju Bunu adalah totok bakakak. Totok bakakak berarti sandi atau kode atau bahasa isyarat yang umum dimengerti masyarakat suku Dayak. Dalam bahasa isyarat apabila mengirimkan lunjo buno berarti minta bantuan karena akan ada serangan. Tombak bunu tersebut dikirimkan ke segala penjuru untuk mengundang para pangkalima untuk segera hadir ditempatnya. Sesungguhnya Nyai Undang telah memiliki kekasih hati. Namun akibat kecantikannya yang sangat tersohor, ia dilamar lengkap dengan emas kimpoi yang memukau, oleh seorang lelaki kaya raya. Lamaran tersebut juga diiringi ancaman bahwa apabila ditolak maka peperangan tidak dapat dihindarkan. Singkat kata, pertempuranpun meletus di Pulau Kupang, kota Pamatang Sawang yang terletak di wilayah Kalimatan Tengah sekarang ( Disini kota artinya benteng pertahanan yang terbuat dari kayu tabalien/kayu ulin/kayu besi atau dapat pula terbuat dari batu ). Pasukan Nyai Undang yang didukung oleh para pangkalima handal berhasil memenangkan pertempuran. Demi keberpihakan kepada warga sukunya, para pemimpin dan pangkalima perang dengan tulus dan ihklas siap bergabung untuk bersama maju perang menanggapi ajakan seorang warga suku yang merasa dilecehkan. Pemimpin yang berjiwa mamut menteng siap serahkan jiwa raga demi mengayomi dan keberpihakan kepada warga masyarakatnya. Mereka tidak takut ditertawakan, tidak takut pula akan adanya penghianatan, karena pada dirinyapun tidak terbersit sedikitpun niat untuk berkhianat pada warganya. Segalanya dilakukan dengan tulus dan kesungguhan sehingga kelecakan atau kesombongan rontok berkeping-keping.

Harati berarti pandai. Disamping pandai ia juga seorang yang cerdik dalam arti positif. Kecerdikannya mampu menjadikan dirinya sebagai seorang pemberi inspirasi bahkan sebagai seorang the greatest inspirator bagi warganya. Kemampuan dalam berkomunikasi dengan warganya, keakraban yang tidak dibuat-buat, menjadikan seorang pemimpin suku Dayak memiliki kepekaan yang tajam. Peka maksudnya sebelum peristiwa terjadi, ia telah terlebih dahulu menditeksi segala kemungkinan yang bakal terjadi dilingkungannya. Mampu membedakan mana yang benar, mana yang salah. Sebagai contoh, seorang pemimpin Dayak dalam kesibukannya selalu berusaha meluangkan waktu maja atau mengunjungi rumah warganya dengan keakraban yang tidak dibuat-buat. Maksudnya mereka tidak bersikap sok akrab untuk mendapatkan dukungan, tetapi maja atau berkunjung tersebut dilakukan karena memang mereka senang melakukannya. Terkadang tanpa diduga kunjungan mendadak tersebut dibarengi permintaan makan kepada keluarga tersebut. Sikap demikian tentu saja mengagetkan pemilik rumah namun meninggalkan kenangan indah kepada keluarga yang dikunjungi.

Bakena berarti tampan/cantik, menarik, dan bijaksana. Lebih luas maksudnnya Inner beauty yaitu ketampanan/kecantikan yang terpancar dari dalam jiwa. Cahaya matanya memancarkan keadilan, perlindungan, rasa aman dan bakti. Dimanapun berada, ia akan selalu disenangi dan disegani. Semua ini secara otomatis akan muncul apabila segala tugas dan tanggung jawab dilaksanakan dengan ihklas tanpa pamrih.

Bahadat maksudnya beradat. Bukan hanya mengerti dan memahami hukum adat dan hukum pali dengan baik, namun nyata terlihat dalam tindakan sehari-hari. Ranying Hatalla atau Allah Yang Maha Kuasa turut serta mengawasi setiap tindakan yang dilakukan oleh para pemimpin, sehingga kendali diri pegang peranan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Berani berlaku tidak adil konsekwensinya hukuman akhirat akan diterima setelah kematian terjadi.

Bakaji maksudnya berilmu tinggi dalam bidang spiritual. Ia selalu berusaha untuk mencapai hening, serta membersihkan dan menyucikan jiwa, raga dengan rutin dan berkala. Saat hening adalah saat yang paling tepat untuk berdialog dengan diri sendiri, menata sikap untuk tetap kokoh berpegang pada tujuan agar tidak mudah terombang ambing. Kokoh kilau sanaman yang artinya sekokoh besi.

Barendeng berarti mampu mendengarkan informasi juga keluhan warganya. Telinganya selalu terbuka bagi siapapun. Hal ini bukan berarti bahwa pemimpin suku Dayak hanya menghabiskan waktunya dengan menerima kunjungan warga untuk berkeluh kesah dan bersilaturahmi dengannya. Tanpa bertemu langsung dengan orang perorang, pemimpin Dayak mengetahui banyak situasi dan kondisi setiap keluarga. Ia telah menyediakan hati dan telinganya untuk menampung dan mendengarkan lalu mengolahnya menjadi bagian dari tugas dan tanggung jawabnya. Salah satu contoh dalam kehidupan sehari-hari dapat disaksikan dalam tradisi mihup baram atau minum tuak, babusau atau mabuk atau minum minuman yang mengandung alcohol hingga mabuk. Sekalipun dalam keadaan mabuk, pemimpin Dayak selalu berusaha mengendalikan kesadarannya sehingga dengan sarana mihup baram sampai babusau atau minum baram hingga mabuk, seorang pemimpin mampu menangkap dan merekam luka, kekecewaan, dan kemarahan terpendam warganya. Hal ini terjadi dimasa lalu. zaman telah berganti. Tradisi babusau sebagai sarana merekam isi hati warga masyarakat sudah seharusnya ditinggalkan karena terlalu besar resikonya. Apa yang tertulis disini hanya sebagai kisah masa lalu.

Sumber : www.nila-riwut.com
 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube