(*Oleh: Marko Mahin)
Inilah gunung mitologis orang Ot Danum.
Mereka menamakan tempat ini sebagai Tantan Uhing Doung
tempat para pahlawan menyatakan niat suci untuk
mengembalikan harga diri yang telah dirampas kaum durjana.
Bulu kuduk langsung merinding ketika menapak Batu Ayau. Sebagai putra Dayak, penulis tahu persis Batu Kayau adalah tempat para pengayau menyatakan tekadnya untuk melpenuliskan perburuan kepala. Dendam, kebencian, dan pengpenulisan dosa ditumpahkan di tempat ini.
"Jika tiba di Batu Ayau jangan lupa melpenuliskan sedikit ritual," demikian pesan seorang tetuha kampung sebelum kami pergi. Pesan itu terus bergaung ketika kami bermalam di Takolok Tangga atau Kepala Tangga. Jujur, kegelisahan langsung menyergap karena penulis tidak ada membawa apa-apa.
"Tidak harus binatang korban, sepucuk rokok juga boleh," demikian penjelasan Amai Ica, Tetuha Adat yang ikut mengantar kami. Penjelasan itu menentramkan batin, sehingga penulis bisa tertidur pulas malam itu.
Di bawah cahaya mentari pagi yang kekuningan, dengan takzim satu batang rokok kretek diletakkan di tempat persembahan yang sudah disiapkan. Penuh dengan rasa hormat penulis mementaskan ulang ritual para leluhurku. Di situ penulis memperkenalkan diri sebagai salah satu keturunan yang baru pertama kali menjejakan kaki di Batu Ayau. Kemudian memberitahukan niat dan tujuan Tim Ekspedisi Kompas melintasi tempat itu.
Jalur Asang-Kayau
Dengan dinding terjal yang tegak, Batu Ayau memang tampak menyeramkan. Dalam Tetek Tatum atau Sastra Suci orang Ot Danum, tempat ini disebut Tantan Uhing Doung atau Puncak Uhing Doung.
Pada zaman dahulu, di tempat yang tingginya 1.652 meter ini para lelaki Dayak diinisasi. Seorang pemuda Dayak tidak akan dipenulisi sebagai lelaki dewasa kalau tidak pernah melintasi tempat ini. Ketika meminang seorang perempuan, maka secara halus akan ditanya "Apakah pernah melintasi Batu Ayau?"�
Pertanyaan itu hanyalah kiasan untuk mengetahui apakah sang lelaki itu pernah merantau jauh meninggalkan kampung kelahiran untuk mencari pengalaman hidup. Juga untuk mengetahui apakah ia laki-laki tangguh yang kuat menderita ketika menjelajah hutan, mengarung sungai dan mendaki bukit. Lebih spesifik lagi untuk mengetahui apakah ia pernah ikut mengayau ke arah Timur yaitu dengan melintas Batu Ayau.
Ketika asang-kayau atau perburuan kepala masih berlpenulis di pedalaman Kalimantan, dinding Muller merupakan tapal batas pemisah antar suku-suku yang saling berperang.
Asang berbeda dari kayau. Asang dilpenuliskan dalam kelompok besar dan penyerangan dilpenuliskan dengan pemberitahuan terlebih dahulu. Asang lebih merupakan ekspedisi para pemotong kepala. Sedangkan kayau dilpenuliskan oleh kelompok kecil, 3, 5, 7 atau 9 orang saja dan dilpenuliskan dengan tanpa pemberitahuan. Dalam Tetek Tatum diceritakan bahwa untuk menghindari asang ganas dari sungai Mahakam, orang-orang Ot Danum yang tinggal di hulu Sungai Joloi, anak sungai Barito bagian hulu, harus melpenuliskan pengungsian ke sungai Kahayan.
Tim Ekspedisi Rambang
“Dulu pada zaman Rambang, Tambun, Bungai dan Ringkai, di Batu Ayau ada titian ulin kami menyebutnya Pantar Rambang"�, demikian penjelasan masyarakat Tumbang Topus, ketika ditanya mengenai Batu Ayau.
Menurut Tetek Tatum, Rambang, Tambun, Bungai dan Ringkai adalah tokoh hero orang Ot Danum. Mereka adalah 4 pemuda yang bertekad melpenuliskan baleh-bunu atau menuntut balas atas perlpenulisan kejam orang Dayak Mahakam yang telah membuat leluhur mereka secara paksa mengungsi ke Kahayan. Dengan membawa serta 30 orang lainnya mereka melpenuliskan asang ke sungai Mahakam.
Setelah berpuluh-puluh hari menjelajahi hutan rimba, tibalah mereka di kaki Gunung Uhing Doung. Untuk mencapai puncak mereka membuat tangga dan dan tali-tali pengait. Mereka harus menebang pohon dan mengumpulkan rotan, kemudian memanjat dan mengikat. Melalui tangga dan kaitan itu tibalah mereka di Tantan Uhing Doung. Dari situ mereka berencana berjalan ke arah Timur menuju sungai Mahakam.
Namun ditempat itu mereka menghadapi masalah karena terdapat celah gunung yang curam sekali. Tempat itu mereka beri nama Petak Tapas atau Jurang Maha Dalam.
Untuk menyeberangi jurang maha dalam itu anggota tim membuat pantar atau jembatan/titian dari kayu ulin. Jembatan itu disebut dengan Pantar Rambang atau Titian Rambang. Menurut masyarakat Tumbang Topus, jurang maha dalam dan Pantar Rambang itu telah gaib, lenyap dari pandangan mata dan tidak dapat ditemukan lagi.
Dalam pembuatan titian penyeberangan itu, salah seorang dari anggota ekspedisi yang bernama Bihing jatuh ke dalam jurang Petak Tapas itu. Untuk mencari dan menyelamatkan Bihing yang jatuh ke jurang maha dalam itu, semua anggota tim ekspedisi mengumpulkan semua rotan yang ada di Batu Ayau. Namun Bihing tidak ditemukan juga.
Menurut orang Punan Murung di Tumbang Topus, hal itulah yang mengakibatkan tidak ada lagi tumbuhan rotan di sekitar Batu Ayau. Rotan sudah habis di pakai oleh Tim Ekspedisi Rambang untuk membuat tali, untuk mencari Bihing yang terjatuh.
Alkisah, untuk menghibur Tambun dan Bungai yang terus menerus menangis karena kehilangan Bihing paman tercinta mereka, Ramang membuat Patung Sapi. Sampai tahun 1980-an batu yang oleh penduduk setempat disebut dengan Batu Sapi itu masih ada. Namun kini batu itu telah dijarah oleh para pencuri dan dijual entah kemana.
Setelah menyeberangi jurang Petak Tapas, maka mereka berjalan menuruni gunung, menuju ke satu kampung di tepian sungai Mahakam. Kampung itu bernama Rangan Pulang, di mana Kandang Motong Anak Towong berada, pemimpin Dayak Mahakam yang ganas dan gagah berani. Menurut ceritera di sana Tim Ekspedisi Ramang melpenuliskan asang dan meraih kemenangan.
Batu Pengpenulisan Dosa
Tempat dimana Rambang membuat jembatan ulin dan Batu Sapi itulah yang sekarang disebut Batu Ayau. Pada zaman dahulu, setiap lelaki Dayak yang akan pergi mengayau ke Timur kalau melintasi Batu Ayau haruslah membuat semacam "pengpenulisan dosa"� bahwa keberangkatan mereka bukanlah sekedar iseng atau mencari orang yang tak bersalah, tetapi untuk mengambil kembali roh keluarga yang telah direngut oleh para durjana. Pengpenulisan semacam ini penting untuk dilpenuliskan sebab bagi orang Dayak penumpahan darah dengan tanpa alasan adalah perbuatan terkutuk.
Selain itu, di Batu Ayau juga menjadi tempat melpenuliskan beberapa ritual sebelum melpenuliskan penyerangan. Ritual itu antara lain mangahau liau yaitu upacara memanggil roh-roh keluarga yang dulu telah dipenggal kepalanya oleh musuh. Roh-roh itu diminta bersiap-siap sebab ada kaum keluarga yang akan datang menjemput.
Ritual lain adalah mandoi penyang yaitu setiap anggota ekspedisi pengayauan mandi dari air kucuran rendaman jimat yang ditumpahkan melalui rambat atau keranjang rotan. Setelah itu mereka marapi sabakang yaitu memasak nasi dalam bambu tamiang yang panjangnya kira-kira setengah meter. Tiap orang mendapat satu potongan nasi bambu.
Perdamaian Para Pengayau
Pada masa lalu, Tanah Borneo memang pekat dengan kengerian. Pesisir pantainya dihuni oleh para bajak laut dan daerah pedalaman merupakan arena berdarah kaum pengayau. Para ahli sejarah dan antropologi sepakat, situasi inilah yang membuat populasi di pulau besar ini tidak pernah banyak.
Pada tanggal 22 Mei - 24 Juli 1894, berkumpullah kurang lebih 830 orang Dayak di Tumbang Anoi yaitu sebuah perkampungan orang Ot Danum di hulu sungai Kahayan. Mereka menyelenggarakan rapat adat yang kini disebut dengan Rapat Damai Tumbang Anoi. Dalam Rapat Damai itu dibicarakan tentang hakayau-haasang-habunu (saling potong kepala, saling serang-saling dendam), hal-hal yang selama ini menggelisahkan dan membuat kehidupan mereka tidak nyaman.
Sangat luar-biasa! Orang-orang Dayak yang selama ini dianggap primitif dalam jangka waktu 32 hari itu telah membicarakan 233 perkara. Perkara-perkara yang dibicarakan adalah masalah kayau (perburuan dan pemotongan kepala), habunu (balas dendam), jipen-kabalik (pengorbanan manusia dalam upacara kematian, masalah penyanderaan, perampokan, perkara perkawinan dan masalah warisan).
Pertemuan damai yang dilaksanakan selama 32 hari itu berhasil menciptakan sejarah baru di bumi Kalimantan. Peradaban yang tanpa peperangan dan pemenggalan kepala telah lahir. Kesepakatan bersama pun diambil yaitu: menghentikan kebiasaan perang antar suku (asang) dan pemenggalan kepala (hakayau, menghentikan kebiasaan balas dendam (habaleh-bunu). Sejak itu tidak ada lagi korban kepala manusia dan perbudakan. Denda adat (jipen) yang dulunya dalam rupa manusia diganti dengan uang. Hukum adat diberlpenuliskan sebagai sistem peradilan suku.
Pada 24 Juli 1894, Rapat Damai itu ditutup dengan angkat sumpah bersama. Di hadapan Allah Pencipta dan disaksikan oleh para leluhur mereka bersumpah bahwa mulai hari itu sampai selamanya, baik mereka maupun keturunan mereka, akan tidak lagi saling hakayau-haasang-habunu. Setelah itu dilanjutkan dengan upacara perdamaian Tipuk Danum yaitu upacara pembersihan dendam dan kebencian.
Ziarah Spiritual
Di puncak Batu Ayau tampak tertancap beberapa potong kayu kecil berukuran kira satu depa. Diujung yang terbelah terselip satu atau dua bilah rokok kretek. “Inilah cara orang Dayak melaporkan dirinya, bila pertama kali melintas Batu Ayau haruslah memberi persembahan walaupun hanya sepucuk rokok, demikian penjelasan Amai Ica ketika ditanya apa arti dari kayu-kayu kecil yang ditancapkan itu.
Kendatipun era asang-kayau telah berlalu sejak Rapat Damai Tumbang Anoi 1894, Batu Ayau tidak pudar pesona mistisnya. Ia bukanlah sekedar dinding terjal curam penyimpan ceritera kepahlawanan Dayak, tetapi juga telah menjadi tempat ziarah spiritual. Ada banyak orang Dayak yang secara sengaja datang ke tempat itu. Selain untuk menapak-tilas cerita Rambang, Tambun, Bungai dan Ringkai, juga untuk bahajat yaitu untuk menyatakan niat hati, keprihatinan batin dan cita-cita hidup.
Sungguh, penulis ingin kembali ke Batu Ayau. Selain untuk mengibarkan bendera kuning dan mempersembahkan korban syukur, juga untuk membuat pengpenulisan dosa. Dosa karena tidak-berdaya melawan penjarahan hutan belantara “emas hijau" Kalimantan yang menjadi paru-paru dunia.
* MARKO MAHIN adalah Dosen Agama dan Budaya Dayak
di Sekolah Tinggi Teologi
Gereja Kalimantan Evangelis Banjarmasin
dan Peneliti di Lembaga Studi Dayak-21.
sumber : http://www.jurnalisme.org/Forums/viewtopic/t=85.html
Inilah gunung mitologis orang Ot Danum.
Mereka menamakan tempat ini sebagai Tantan Uhing Doung
tempat para pahlawan menyatakan niat suci untuk
mengembalikan harga diri yang telah dirampas kaum durjana.
Bulu kuduk langsung merinding ketika menapak Batu Ayau. Sebagai putra Dayak, penulis tahu persis Batu Kayau adalah tempat para pengayau menyatakan tekadnya untuk melpenuliskan perburuan kepala. Dendam, kebencian, dan pengpenulisan dosa ditumpahkan di tempat ini.
"Jika tiba di Batu Ayau jangan lupa melpenuliskan sedikit ritual," demikian pesan seorang tetuha kampung sebelum kami pergi. Pesan itu terus bergaung ketika kami bermalam di Takolok Tangga atau Kepala Tangga. Jujur, kegelisahan langsung menyergap karena penulis tidak ada membawa apa-apa.
"Tidak harus binatang korban, sepucuk rokok juga boleh," demikian penjelasan Amai Ica, Tetuha Adat yang ikut mengantar kami. Penjelasan itu menentramkan batin, sehingga penulis bisa tertidur pulas malam itu.
Di bawah cahaya mentari pagi yang kekuningan, dengan takzim satu batang rokok kretek diletakkan di tempat persembahan yang sudah disiapkan. Penuh dengan rasa hormat penulis mementaskan ulang ritual para leluhurku. Di situ penulis memperkenalkan diri sebagai salah satu keturunan yang baru pertama kali menjejakan kaki di Batu Ayau. Kemudian memberitahukan niat dan tujuan Tim Ekspedisi Kompas melintasi tempat itu.
Jalur Asang-Kayau
Dengan dinding terjal yang tegak, Batu Ayau memang tampak menyeramkan. Dalam Tetek Tatum atau Sastra Suci orang Ot Danum, tempat ini disebut Tantan Uhing Doung atau Puncak Uhing Doung.
Pada zaman dahulu, di tempat yang tingginya 1.652 meter ini para lelaki Dayak diinisasi. Seorang pemuda Dayak tidak akan dipenulisi sebagai lelaki dewasa kalau tidak pernah melintasi tempat ini. Ketika meminang seorang perempuan, maka secara halus akan ditanya "Apakah pernah melintasi Batu Ayau?"�
Pertanyaan itu hanyalah kiasan untuk mengetahui apakah sang lelaki itu pernah merantau jauh meninggalkan kampung kelahiran untuk mencari pengalaman hidup. Juga untuk mengetahui apakah ia laki-laki tangguh yang kuat menderita ketika menjelajah hutan, mengarung sungai dan mendaki bukit. Lebih spesifik lagi untuk mengetahui apakah ia pernah ikut mengayau ke arah Timur yaitu dengan melintas Batu Ayau.
Ketika asang-kayau atau perburuan kepala masih berlpenulis di pedalaman Kalimantan, dinding Muller merupakan tapal batas pemisah antar suku-suku yang saling berperang.
Asang berbeda dari kayau. Asang dilpenuliskan dalam kelompok besar dan penyerangan dilpenuliskan dengan pemberitahuan terlebih dahulu. Asang lebih merupakan ekspedisi para pemotong kepala. Sedangkan kayau dilpenuliskan oleh kelompok kecil, 3, 5, 7 atau 9 orang saja dan dilpenuliskan dengan tanpa pemberitahuan. Dalam Tetek Tatum diceritakan bahwa untuk menghindari asang ganas dari sungai Mahakam, orang-orang Ot Danum yang tinggal di hulu Sungai Joloi, anak sungai Barito bagian hulu, harus melpenuliskan pengungsian ke sungai Kahayan.
Tim Ekspedisi Rambang
“Dulu pada zaman Rambang, Tambun, Bungai dan Ringkai, di Batu Ayau ada titian ulin kami menyebutnya Pantar Rambang"�, demikian penjelasan masyarakat Tumbang Topus, ketika ditanya mengenai Batu Ayau.
Menurut Tetek Tatum, Rambang, Tambun, Bungai dan Ringkai adalah tokoh hero orang Ot Danum. Mereka adalah 4 pemuda yang bertekad melpenuliskan baleh-bunu atau menuntut balas atas perlpenulisan kejam orang Dayak Mahakam yang telah membuat leluhur mereka secara paksa mengungsi ke Kahayan. Dengan membawa serta 30 orang lainnya mereka melpenuliskan asang ke sungai Mahakam.
Setelah berpuluh-puluh hari menjelajahi hutan rimba, tibalah mereka di kaki Gunung Uhing Doung. Untuk mencapai puncak mereka membuat tangga dan dan tali-tali pengait. Mereka harus menebang pohon dan mengumpulkan rotan, kemudian memanjat dan mengikat. Melalui tangga dan kaitan itu tibalah mereka di Tantan Uhing Doung. Dari situ mereka berencana berjalan ke arah Timur menuju sungai Mahakam.
Namun ditempat itu mereka menghadapi masalah karena terdapat celah gunung yang curam sekali. Tempat itu mereka beri nama Petak Tapas atau Jurang Maha Dalam.
Untuk menyeberangi jurang maha dalam itu anggota tim membuat pantar atau jembatan/titian dari kayu ulin. Jembatan itu disebut dengan Pantar Rambang atau Titian Rambang. Menurut masyarakat Tumbang Topus, jurang maha dalam dan Pantar Rambang itu telah gaib, lenyap dari pandangan mata dan tidak dapat ditemukan lagi.
Dalam pembuatan titian penyeberangan itu, salah seorang dari anggota ekspedisi yang bernama Bihing jatuh ke dalam jurang Petak Tapas itu. Untuk mencari dan menyelamatkan Bihing yang jatuh ke jurang maha dalam itu, semua anggota tim ekspedisi mengumpulkan semua rotan yang ada di Batu Ayau. Namun Bihing tidak ditemukan juga.
Menurut orang Punan Murung di Tumbang Topus, hal itulah yang mengakibatkan tidak ada lagi tumbuhan rotan di sekitar Batu Ayau. Rotan sudah habis di pakai oleh Tim Ekspedisi Rambang untuk membuat tali, untuk mencari Bihing yang terjatuh.
Alkisah, untuk menghibur Tambun dan Bungai yang terus menerus menangis karena kehilangan Bihing paman tercinta mereka, Ramang membuat Patung Sapi. Sampai tahun 1980-an batu yang oleh penduduk setempat disebut dengan Batu Sapi itu masih ada. Namun kini batu itu telah dijarah oleh para pencuri dan dijual entah kemana.
Setelah menyeberangi jurang Petak Tapas, maka mereka berjalan menuruni gunung, menuju ke satu kampung di tepian sungai Mahakam. Kampung itu bernama Rangan Pulang, di mana Kandang Motong Anak Towong berada, pemimpin Dayak Mahakam yang ganas dan gagah berani. Menurut ceritera di sana Tim Ekspedisi Ramang melpenuliskan asang dan meraih kemenangan.
Batu Pengpenulisan Dosa
Tempat dimana Rambang membuat jembatan ulin dan Batu Sapi itulah yang sekarang disebut Batu Ayau. Pada zaman dahulu, setiap lelaki Dayak yang akan pergi mengayau ke Timur kalau melintasi Batu Ayau haruslah membuat semacam "pengpenulisan dosa"� bahwa keberangkatan mereka bukanlah sekedar iseng atau mencari orang yang tak bersalah, tetapi untuk mengambil kembali roh keluarga yang telah direngut oleh para durjana. Pengpenulisan semacam ini penting untuk dilpenuliskan sebab bagi orang Dayak penumpahan darah dengan tanpa alasan adalah perbuatan terkutuk.
Selain itu, di Batu Ayau juga menjadi tempat melpenuliskan beberapa ritual sebelum melpenuliskan penyerangan. Ritual itu antara lain mangahau liau yaitu upacara memanggil roh-roh keluarga yang dulu telah dipenggal kepalanya oleh musuh. Roh-roh itu diminta bersiap-siap sebab ada kaum keluarga yang akan datang menjemput.
Ritual lain adalah mandoi penyang yaitu setiap anggota ekspedisi pengayauan mandi dari air kucuran rendaman jimat yang ditumpahkan melalui rambat atau keranjang rotan. Setelah itu mereka marapi sabakang yaitu memasak nasi dalam bambu tamiang yang panjangnya kira-kira setengah meter. Tiap orang mendapat satu potongan nasi bambu.
Perdamaian Para Pengayau
Pada masa lalu, Tanah Borneo memang pekat dengan kengerian. Pesisir pantainya dihuni oleh para bajak laut dan daerah pedalaman merupakan arena berdarah kaum pengayau. Para ahli sejarah dan antropologi sepakat, situasi inilah yang membuat populasi di pulau besar ini tidak pernah banyak.
Pada tanggal 22 Mei - 24 Juli 1894, berkumpullah kurang lebih 830 orang Dayak di Tumbang Anoi yaitu sebuah perkampungan orang Ot Danum di hulu sungai Kahayan. Mereka menyelenggarakan rapat adat yang kini disebut dengan Rapat Damai Tumbang Anoi. Dalam Rapat Damai itu dibicarakan tentang hakayau-haasang-habunu (saling potong kepala, saling serang-saling dendam), hal-hal yang selama ini menggelisahkan dan membuat kehidupan mereka tidak nyaman.
Sangat luar-biasa! Orang-orang Dayak yang selama ini dianggap primitif dalam jangka waktu 32 hari itu telah membicarakan 233 perkara. Perkara-perkara yang dibicarakan adalah masalah kayau (perburuan dan pemotongan kepala), habunu (balas dendam), jipen-kabalik (pengorbanan manusia dalam upacara kematian, masalah penyanderaan, perampokan, perkara perkawinan dan masalah warisan).
Pertemuan damai yang dilaksanakan selama 32 hari itu berhasil menciptakan sejarah baru di bumi Kalimantan. Peradaban yang tanpa peperangan dan pemenggalan kepala telah lahir. Kesepakatan bersama pun diambil yaitu: menghentikan kebiasaan perang antar suku (asang) dan pemenggalan kepala (hakayau, menghentikan kebiasaan balas dendam (habaleh-bunu). Sejak itu tidak ada lagi korban kepala manusia dan perbudakan. Denda adat (jipen) yang dulunya dalam rupa manusia diganti dengan uang. Hukum adat diberlpenuliskan sebagai sistem peradilan suku.
Pada 24 Juli 1894, Rapat Damai itu ditutup dengan angkat sumpah bersama. Di hadapan Allah Pencipta dan disaksikan oleh para leluhur mereka bersumpah bahwa mulai hari itu sampai selamanya, baik mereka maupun keturunan mereka, akan tidak lagi saling hakayau-haasang-habunu. Setelah itu dilanjutkan dengan upacara perdamaian Tipuk Danum yaitu upacara pembersihan dendam dan kebencian.
Ziarah Spiritual
Di puncak Batu Ayau tampak tertancap beberapa potong kayu kecil berukuran kira satu depa. Diujung yang terbelah terselip satu atau dua bilah rokok kretek. “Inilah cara orang Dayak melaporkan dirinya, bila pertama kali melintas Batu Ayau haruslah memberi persembahan walaupun hanya sepucuk rokok, demikian penjelasan Amai Ica ketika ditanya apa arti dari kayu-kayu kecil yang ditancapkan itu.
Kendatipun era asang-kayau telah berlalu sejak Rapat Damai Tumbang Anoi 1894, Batu Ayau tidak pudar pesona mistisnya. Ia bukanlah sekedar dinding terjal curam penyimpan ceritera kepahlawanan Dayak, tetapi juga telah menjadi tempat ziarah spiritual. Ada banyak orang Dayak yang secara sengaja datang ke tempat itu. Selain untuk menapak-tilas cerita Rambang, Tambun, Bungai dan Ringkai, juga untuk bahajat yaitu untuk menyatakan niat hati, keprihatinan batin dan cita-cita hidup.
Sungguh, penulis ingin kembali ke Batu Ayau. Selain untuk mengibarkan bendera kuning dan mempersembahkan korban syukur, juga untuk membuat pengpenulisan dosa. Dosa karena tidak-berdaya melawan penjarahan hutan belantara “emas hijau" Kalimantan yang menjadi paru-paru dunia.
* MARKO MAHIN adalah Dosen Agama dan Budaya Dayak
di Sekolah Tinggi Teologi
Gereja Kalimantan Evangelis Banjarmasin
dan Peneliti di Lembaga Studi Dayak-21.
sumber : http://www.jurnalisme.org/Forums/viewtopic/t=85.html
No comments :
Post a Comment