Friday, January 27, 2012
Mengenal dan Memahami Sejarah asal usul suku Dayak Siang di Kabupaten Murung Raya Kalimantan Tengah
Oleh Thomas Wanly
Mengenal dan Memahami Sejarah asal usul suku Dayak Siang
di Kabupaten Murung Raya Kalimantan Tengah
Dalam kesusasteraan suku Dayak Kalimantan Tengah ,di mana orang Dayak sangat percaya bahwa suku-suku yang dikalimantan itu dicipta langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa yang dalam bahasa Sangiang orang Dayak yang masih mempertahankan keyakinan leluhurnya dengan ketat yaitu agama Kaharingan; dan sang pencipta itu di kenal dengan nama Ranying Hattala Langit Panganteran Bulan Raja Tuntung Matanandau (Raja dari segala Raja yang berkuasa atas Bulan dan Matahari) yang tinggal di lewu tatau habaras bulau habusung hintan(kampong kebahagiaan yang berlimpahkan emas permata ;kampong yang kekal tanpa ada penderitaan);Marko Mahin ;menyelami Kaharingan.
Dari manusia-manusia yang mendalami pulau Kalimantan saat ini ,di yakini bahwa orang Dayak itu keturunan raja telu yaitu keturunan Maharaja Bunu,Maharaja Sangen dan MaharajaSangiang yang mana dalam penitisan langsung dari Tuhan Yang Maha Esa . asal-usul Suku Dayak, meskipun masih terlihat adanya perbedaan-perbedaan pendapat. Akan tetapi, bagi penganut Agama Hindu Kaharingan yang dikemukakan oleh Riwut (1993; 2003), sesuai Tetek Tatum, orang Dayak berasal dari langit ketujuh yang diturunkan ke bumi dengan menggunakan Palangka Bulau oleh Ranying Hatalla langit di empat tempat, yaitu:
(1) di Tantan Puruk Pamatuan, yang terletak di hulu Sungai Kahayan dan Barito,
(2) di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting, yang terletak di sekitar Bukit Raya,
(3) di Datah Tangkasing hulu Sungai Malahui, yang terletak di daerah Kalimantan Barat, dan
(4) di Puruk Kambang Tanah Siang, yang terletak di hulu Sungai Barito.
Bagi orang Dayak, makna hidup tidak terletak dalam kesejahteraan, realitas, atau objektivitas seperti dipahami oleh manusia modern, tetapi dalam keseimbangan kosmos. Kehidupan itu baik apabila kosmos tetap berada dalam keseimbangan dan keserasian. Setiap bagian dari kosmos itu, termasuk manusia dan makhluk lainnya, mempunyai kewajiban memelihara keseimbangan semesta. Peristiwa-peristiwa mistis bagi orang Dayak adalah realitas transcendental, artinya objektivitas mistis jelas ada pada lingkungan hidup, flora, fauna, air, bumi, udara dan sebagainya, dimana makna religi dari lingkungan sekitar ini dilihat baik dari segi objektif maupun subjektifnya (Ukur, 1994).
Bahwa kehidupan suku-suku Dayak sejak jaman dulu telah diwariskan kepada generasi ke generasi dengan memelihara suatu hubungan pertalian kekeluargaan yang menggambarkan adanya hubungan yang tidak terputus tentang asal usul seseorang dengan alam, dimana dalam pergaulan kehidupan sehari-harinya bersikap dan bertindak sebagai satu
kesatuan baik dalam hubungannya dengan alam kebendaan (natural) maupun alam sekeliling yang tidak kelihatan (supra natural).
Di sekitar dan di dalam Kawasan wilayah atau daerah yang di tetapkan sebagai wilayah orang Dayak Siang diyakini masih terdapat banyak daerah-daerah yang dapat menopang kehidupan mereka baik secara fisik dan rohani, oleh karena itu sering dijumpai ekspresi permohonan keselamatan dan kesejahteraan hidup yang diwujudkan dengan sesaji-sesaji pada dan di sekitar pohon-pohon besar dan lingkungan yang agak spesifik yang merupakan simbol-simbol kehidupan masyarakat Dayak.
Dalam penitisannya manusia pertama di namakan Antang Bajela Bulau, seiring masa dan waktu dari sejarah tetek tatum (zaman masa ratap tangis) yaitu zaman manusia sekarang yang hidup utidak pernah jujur pada dirinya sendiri apa lagi pada alam ,lingkungan yang menopang kehidupanya,dan oleh pengaruh budaya budaya luar yang tidak semestinya di konsumsi malah membuat jebakan sendiri atas budaya uang tunai yang menyebabkan hilangnya memori social mereka di mana zaman dulu orang partisipativ (pilar-pilar Budaya Rumah Betang) / Thomas Wanly;Identitas Masyarakat Adat Dayak yang terkoyak ,hingga budaya konsumtip itu menjadi sebuah budaya baru yang sulit di hilangkan lagi.
Dayak siang adalah sub etnis suku dayak yang sebarannya di Kalimantan tengah yaitu antara kecamatan Laung Tuhup,Barito Tuhup Raya ,Murung dan Tanah Siang atau di daerah Puruk Cahu dan sungai Laung dan sungai Bomban juga di sungai Babuat.
Menurut sejarah Dayak siang merupakan salah satu suku yang di turunkan oleh Ranying Hattala Langit di Puruk Kambang Tanah Siang sekitar wilayah desa Oreng Kecamatan Tanah Siang Selatan,kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah yang diturunkan dengan Palangka Bulau. Dayak siang sebenarnya ada dua yaitu Siang dan Murung; dimana yang Murung kebanyakan yang mendiami daerah pinggiran sungai Berito dan sungai Bomban, dan Yang siang nya tersebar di tanah Siang,sungai Laung, dan sungai Babuat.
Dayak Siang pertmana kali lahir di lowu Korong Pinang dari pasangan suami –istri Langkit (suami)dan Mongei(istri) lama kelamaan Orang Siang dan Murung juga berkembang di Lowu Tomolum (desa Tamorum sekarang)yang juga merupakan tempat atau perkampungan para Sangiang atau para dewa yang luhur dan suci.
Lowu Korong pinang dan lowu Tamolum adalah dua lowu (kampong)yang bergaul sangat akrap dan mempunyai komonikasi budaya dan adat istiadat yang sangat berkembang dan beragam.Dan ada seorang Turunan dari Langkit dan Mongai yang bernama Tingang Ontah yang diambil oleh Dewa Dalung serta dibawa kelangit untuk belajar hukum adat,yang sekarang diberlakukan dan ditaati oleh seluruh turunan Dayak Siang, yang mana inti dari ajaran nya yang terutama bagai mana hubungan manusia dengan sesama dan alam sekitarnya untuk menyelamatkan tempat-tempat yang secara adat dilindungi/tidak boleh diganggu, seperti: Tajahan/Pahewan, Kaleka, Sepan dan lain sebagainya, serta konservasi kawasan ini juga akan dapat membantu masyarakat untuk mempertahankan prinsip-prinsip predikat Manusia Garing dan Manusia Tingang, dimana Manusia Garing dan manusia Tingang tersebut menurut (Ilon, 1990/1991) merupakan manusia yang bertugas selaku pengurus lingkungan dalam Garis-garis Besar Belom Bahadat (Norma Kesopanan) terhadap unsur flora, seperti: Ma`ancak, Manumbal/Manyanggar, dan sebagainya, serta terhadap unsur fauna, seperti:Mampun/Mahanjean, Ngariau/Ngaruhei, dan lain-lain yang menyangkut ritual budaya seperti Tiwah dan lain sebagainya. Dijelaskan lebih jauh, selaku pengurus lingkungan hidup (bukan penguasa), maka manusia mengurusi 5 (lima) unsur yang terdiri dari: unsur flora, fauna, sesama manusia, para arwah dan roh-roh gaib, dimana makhluk manusia, terdiri dari tiga unsur, yaitu: (jiwa/sukma bereng (jasad), hambaruan) dan salumpuk (roh). Oleh karena manusia mengurus ke-ima unsur tersebut, maka prinsip pelayanan sebagai wujud kesopanan, memerlukan ruang dan waktu yang tepat dan sesuai
Dan ada seorang tokoh yang bernama Cahawung terjatuh Ponyangnya (Jimat)diatas yang berada di hulu sungai Tingon (anak sugai Bantian) yang mana bukit tersebut di namakan Puruk Batun Ponyang.Ditempat yang sama ada kejadian yang menimpa seorang Dewa bernama Oling,ia terluka tangannya terkena Mandau (senjata khas Dayak/ besi buatan manusia) dan darahnya tak bisa berhenti keluar,lalu genangan darahnya berubah menjadi Lawang (danau) yang sekarang disebutLawang Kelami,yang letaknya antara Desa Tomolum dan desa Mongkolisoi.Hal tersebut menyebabkan para dewa–dewi yang yang mendiami desa Tomolum pindah k eke lowu Uut Sungoiyang di namakan Sungoi Cahai Langit.Smpai sekarang masih adabukti yaitu sebuah bukit yang dinamakan Keleng Lunjan yang dapat dilihat di Lowu Tokung di bukit Tokung ini bila di gali tanahnya akan ditemukan pecahan –pecahan guci.
Lowu Korong Pinang kemudian berkembang dan berpindah ke Lowu Dirung Jumpun,dari sini berpindah lagi ke LOwu Pina Lunuk atau Lowu Olung Owuh,pindah lagi ke Lowu Olung Mohoikemudian pindah lagi ke lowu Bangan Tawan, Adapun lowu Tomolum juga mengalami beberapa kali perpindahan yaitu ke Lowu Lawang Ulit Bakoi,Siwo,lalu ke Lowu Haju,lalu ke Datah Lahung,lowu Kalang Sisu,lowu Kuhung Apat,dan likun Puan dan kembali lagi ke Datah lahung.
Kata-kata Dayak “SIANG’ berasal dari sejarah yang berawal di Sungai Mantiat .Dihulusungai ini ada sebuah pohon yang dibri nama “SIANG” dan kayu ini kemudian tua rebah dan lapuk dan bekas tumbangnya pohon ini kemudian menjadi aliran sungai yang mengalir kesungai Mantiat Pari di desa Mantiat Pari sekarang. Orang yang hidup di Lowu Korong Pinang menggunakan air sungai yang berasal dari pohon siang ini,mereka ini kemudian di sebut Dayak Siang.Suku Dayak Siang ini kemudian berkembang membentuk beberapa perkampungan baru dan berpencar di beberapa tempat hingga sekarang ini.sedangkan kampong atau Lowu sejarah asal usul mereka adalah Lowu Tomolum yang ada sampai sekarang atau desa Tambelum ,Desa ini ada jauh sebelum zaman Belanda dan sebelum adanya Negara Republik Indonesia ini. Tapi apa yang sebenarnya kita anggap sebagai Tanah Keabadian sejak masuknya investasi atas nama pembangunan, daerah-daerah ini yang kita anggap sacral dan lambang jiwa manusia Dayak telah di hancurkan oleh kapitalis yang mana kawasan tersebut yang melimpah akan emas nya telah menjadi kubangan-kubangan raksasa dan tempat pembuangan tailing zat-zat beracun oleh PT.INDOMORO KENCANA STRAIT , PT.ANTANG MURA PERKASA dan para Pengusaha Group Broken Hill Property Billiton , yang juga Grup Gunung Bayan Reseurcys yang perlahan tapi pasti akan membunuh orang –orang dayak Siang selain Tanah dan sumber-sumber kehidupan yang bergantung pada alam dan hutan di rampas atas nama kebijakan investasi pembangunan.
Puruk Cahu ,Desember 2011
Penulis Thomas Wanly
(dari berbagai sumber dan observasi.)
Thursday, January 12, 2012
Inilah alasan penamaan Kabupaten Landak
Kabupaten Landak adalah salah satu Kabupaten di provinsi Kalimantan Barat yang terbentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Pontianak tahun 1999. Ibu kota kabupaten ini terletak di Ngabang. Memiliki luas wilayah 9.909,10 km² dan berpenduduk sebesar 282.026 jiwa. Landak terbagi menjadi 10 kecamatan dengan 174 desa dan 6 desa diantaranya termasuk desa tertinggal.
Kenapa nama daeranya menjadi Kabupaten Landak?
Landak berasal dari Bahasa Belanda yang terbagi menjadi dua suku kata Lan dan Dak, LAN artinya Pulau dan DAK artinya Dayak, ini di karenakan mayoritas penduduk aslinya adalah Suku Dayak.
Berdasarkan catatan sejarah bahwa kata "Dayak" ditulis oleh para penulis Belanda zaman itu dalam bentuk "Dyak" atau "Dyaker". Sementara kata "Land" berarti "tanah". "Land-Dyak" sebenarnya bermakna "Tanah Dayak" yang kemudian diubah menjadi "Landak". Kabupaten Landak ini sama sekali tidak berhubungan dengan binatang bernama landak.
Kenapa nama daeranya menjadi Kabupaten Landak?
Landak berasal dari Bahasa Belanda yang terbagi menjadi dua suku kata Lan dan Dak, LAN artinya Pulau dan DAK artinya Dayak, ini di karenakan mayoritas penduduk aslinya adalah Suku Dayak.
Berdasarkan catatan sejarah bahwa kata "Dayak" ditulis oleh para penulis Belanda zaman itu dalam bentuk "Dyak" atau "Dyaker". Sementara kata "Land" berarti "tanah". "Land-Dyak" sebenarnya bermakna "Tanah Dayak" yang kemudian diubah menjadi "Landak". Kabupaten Landak ini sama sekali tidak berhubungan dengan binatang bernama landak.
Thursday, January 12, 2012
Wednesday, January 11, 2012
Menyumpit Prestasi Menjaga Tradisi
Menyumpit Bagi Suku Dayak--MI/ Aries Munandar/cs (www.mediaindonesia.com) |
Bagi suku Dayak, sumpit merupakan salah satu warisan alat berburu yang
masih dilestarikan sampai sekarang. Kini, menyumpit pun digemari
kalangan atas.
Lelaki berpakaian adat Dayak Salako berdiri di barisan penonton di pinggir lapangan. Pakaian yang berbahan kulit kayu itu berhiaskan bulu landak serta taring babi hutan.
Sebilah sumpit setinggi 2 meter di genggaman tangan kanan menambah eksentrik penampilannya. Lelaki itu berulang kali mengalihkan perhatiannya dari arena pertandingan sumpit karena harus meladeni pertanyaan dan permintaan berfoto dari pengunjung. Semua permintaan itu dilayaninya dengan ramah.
''Saya datang dari Sambas dan menunggu giliran untuk bertanding,'' kata Lasius Belam, 60, sambil tersenyum. Pesumpit senior itu salah satu peserta International Borneo Sumpit Tournament yang digelar di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, tahun lalu. Turnamen itu diikuti 216 pesumpit dari seluruh Kalimantan termasuk Serawak, Malaysia, yang mengutus 25 atlet.
Lasius baru sekitar empat tahun menekuni olahraga tradisional itu. Salah satu prestasi terbaiknya ialah meraih peringkat III dalam kejuaraan sumpit se-Kalimantan Barat pada Festival Budaya Bumi Khatulistiwa di Pontianak, beberapa waktu lalu.
Kendati demikian, menyumpit bukan hal asing bagi pensiunan pegawai negeri sipil itu. Ia sudah mengenal tradisi menyumpit sejak kecil. Aktivitas itu semakin sering dilakukannya saat bertugas di pedalaman Ketapang dan Sambas.
Di saat senggang, Lasius kerap berburu rusa dan babi hutan bersama warga setempat. Mereka bisa seharian berada di hutan untuk mencari hewan buruan. Hasil buruan itu kemudian dibagi rata ke seluruh anggota kelompok.
''Kami biasa sampai naik (memanjat) pohon saat menyumpit agar tidak kelihatan oleh binatang buruan,'' kenang mantan petugas kesehatan itu.
Kini dia sudah jarang berburu. Ia mengalihkan kegemaran menyumpit ke arena olahraga. Lelaki berperawakan sedang tersebut berlatih setiap hari dengan membidik sasaran sejauh 30 meter.
Ia juga merekrut beberapa generasi muda di Sambas untuk dilatih sebagai atlet sumpit. Para atlet binaannya itu di antaranya masih berusia anak-anak. Mereka juga ikut meramaikan turnamen di Singkawang.
''Sebelumnya ada empat anak, tapi sekarang tinggal dua anak yang kami latih. Sulit mencari bibit muda untuk olahraga sumpit,'' ujar Lasius.
Standar dunia
International Borneo Sumpit Tournament merupakan kejuaraan sumpit Kalimantan pertama yang berskala internasional. Kompetisi yang berlangsung beberapa waktu lalu itu mempertandingkan delapan kategori untuk kelompok putra dan putri. Di antaranya kelas 20 meter dan 30 meter dengan posisi berdiri dan jongkok.
Kejuaraan yang berlangsung di halaman mes Pemerintah Kota Singkawang itu menjadi ajang pembinaan atlet sekaligus pelestarian tradisi dan promosi pariwisata.
''Kami mencoba mengangkat potensi budaya lokal supaya bisa 'dijual' sebagai objek pariwisata ke mancanegara,'' kata Direktur Promosi Dalam Negeri Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif M Faried, yang membuka secara resmi turnamen tersebut.
Penyelenggaraan turnamen itu menghasilkan beberapa catatan penting bagi perkembangan olahraga sumpit. Para kontingen menyepakati penyeragaman aturan dan kategori pertandingan serta standar peralatan yang digunakan.
Olahraga sumpit selama ini memang belum memiliki aturan dan standar baku. Kendati secara umum aturan dan peralatan yang digunakan relatif sama, beberapa daerah memiliki ketentuan dan kebiasaan tersendiri.
''Di Malaysia belum ada (kategori) jongkok. Kalau bisa, kami juga akan ubah sehingga selain berdiri, menyumpit juga dilakukan berjongkok,'' kata pemimpin kontingen Serawak Anthony Banyan.
Para pemain dan pelatih menyetujui pembakuan aturan main yang selama ini sudah disepakati secara informal. Di antaranya jarak target sumpitan sejauh 30 meter untuk putra dan 20 meter untuk putri.
Penyeragaman aturan itu dianggap penting untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme atlet. Di samping menaikkan gengsi sumpit di pentas internasional sehingga sejajar dengan cabang olahraga lainnya.
''Turnamen ini menjadi momentum kebangkitan sumpit menuju pentas internasional. Ini bisa menjadi ajang promosi pariwisata ke mancanegara,'' jelas Sekretaris Daerah Kota Singkawang Syech Bandar.
Olahraga elite
Olahraga sumpit dikenal luas dan begitu memasyarakat di Malaysia. Berbagai turnamen kerap digelar di negara bekas jajahan Inggris tersebut, mulai tingkat kampung hingga nasional.
Menyumpit bahkan telah menjadi gaya hidup warga kelas menengah ke atas di Serawak, selayaknya golf dan tenis di Indonesia. Mereka biasanya berkumpul di setiap akhir pekan untuk menyumpit bersama di lapangan. Mereka rela merogoh kocek dalam jumlah besar untuk memiliki beberapa set sumpit dan memainkannya.
Sebagai gambaran, harga sebilah laras sumpit di Kalimantan Barat rata-rata Rp2 juta. Nilai itu belum termasuk satu set anak sumpit atau damak, yang harganya bisa mencapai ratusan ribu rupiah.
Anthony, Wakil Presiden I Perhimpunan Nasional Dayak Serawak, berujar, setiap keluarga di Serawak pasti menyimpan minimal satu sumpit. ''Karena ini identitas orang Dayak.''Identitas itu yang terus dilestarikan Malaysia dan menjadi atraksi wisata andalan di Serawak. (N-3)
Aries Munandar, aris@mediaindonesia.com
Lelaki berpakaian adat Dayak Salako berdiri di barisan penonton di pinggir lapangan. Pakaian yang berbahan kulit kayu itu berhiaskan bulu landak serta taring babi hutan.
Sebilah sumpit setinggi 2 meter di genggaman tangan kanan menambah eksentrik penampilannya. Lelaki itu berulang kali mengalihkan perhatiannya dari arena pertandingan sumpit karena harus meladeni pertanyaan dan permintaan berfoto dari pengunjung. Semua permintaan itu dilayaninya dengan ramah.
''Saya datang dari Sambas dan menunggu giliran untuk bertanding,'' kata Lasius Belam, 60, sambil tersenyum. Pesumpit senior itu salah satu peserta International Borneo Sumpit Tournament yang digelar di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, tahun lalu. Turnamen itu diikuti 216 pesumpit dari seluruh Kalimantan termasuk Serawak, Malaysia, yang mengutus 25 atlet.
Lasius baru sekitar empat tahun menekuni olahraga tradisional itu. Salah satu prestasi terbaiknya ialah meraih peringkat III dalam kejuaraan sumpit se-Kalimantan Barat pada Festival Budaya Bumi Khatulistiwa di Pontianak, beberapa waktu lalu.
Kendati demikian, menyumpit bukan hal asing bagi pensiunan pegawai negeri sipil itu. Ia sudah mengenal tradisi menyumpit sejak kecil. Aktivitas itu semakin sering dilakukannya saat bertugas di pedalaman Ketapang dan Sambas.
Di saat senggang, Lasius kerap berburu rusa dan babi hutan bersama warga setempat. Mereka bisa seharian berada di hutan untuk mencari hewan buruan. Hasil buruan itu kemudian dibagi rata ke seluruh anggota kelompok.
''Kami biasa sampai naik (memanjat) pohon saat menyumpit agar tidak kelihatan oleh binatang buruan,'' kenang mantan petugas kesehatan itu.
Kini dia sudah jarang berburu. Ia mengalihkan kegemaran menyumpit ke arena olahraga. Lelaki berperawakan sedang tersebut berlatih setiap hari dengan membidik sasaran sejauh 30 meter.
Ia juga merekrut beberapa generasi muda di Sambas untuk dilatih sebagai atlet sumpit. Para atlet binaannya itu di antaranya masih berusia anak-anak. Mereka juga ikut meramaikan turnamen di Singkawang.
''Sebelumnya ada empat anak, tapi sekarang tinggal dua anak yang kami latih. Sulit mencari bibit muda untuk olahraga sumpit,'' ujar Lasius.
Standar dunia
International Borneo Sumpit Tournament merupakan kejuaraan sumpit Kalimantan pertama yang berskala internasional. Kompetisi yang berlangsung beberapa waktu lalu itu mempertandingkan delapan kategori untuk kelompok putra dan putri. Di antaranya kelas 20 meter dan 30 meter dengan posisi berdiri dan jongkok.
Kejuaraan yang berlangsung di halaman mes Pemerintah Kota Singkawang itu menjadi ajang pembinaan atlet sekaligus pelestarian tradisi dan promosi pariwisata.
''Kami mencoba mengangkat potensi budaya lokal supaya bisa 'dijual' sebagai objek pariwisata ke mancanegara,'' kata Direktur Promosi Dalam Negeri Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif M Faried, yang membuka secara resmi turnamen tersebut.
Penyelenggaraan turnamen itu menghasilkan beberapa catatan penting bagi perkembangan olahraga sumpit. Para kontingen menyepakati penyeragaman aturan dan kategori pertandingan serta standar peralatan yang digunakan.
Olahraga sumpit selama ini memang belum memiliki aturan dan standar baku. Kendati secara umum aturan dan peralatan yang digunakan relatif sama, beberapa daerah memiliki ketentuan dan kebiasaan tersendiri.
''Di Malaysia belum ada (kategori) jongkok. Kalau bisa, kami juga akan ubah sehingga selain berdiri, menyumpit juga dilakukan berjongkok,'' kata pemimpin kontingen Serawak Anthony Banyan.
Para pemain dan pelatih menyetujui pembakuan aturan main yang selama ini sudah disepakati secara informal. Di antaranya jarak target sumpitan sejauh 30 meter untuk putra dan 20 meter untuk putri.
Penyeragaman aturan itu dianggap penting untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme atlet. Di samping menaikkan gengsi sumpit di pentas internasional sehingga sejajar dengan cabang olahraga lainnya.
''Turnamen ini menjadi momentum kebangkitan sumpit menuju pentas internasional. Ini bisa menjadi ajang promosi pariwisata ke mancanegara,'' jelas Sekretaris Daerah Kota Singkawang Syech Bandar.
Olahraga elite
Olahraga sumpit dikenal luas dan begitu memasyarakat di Malaysia. Berbagai turnamen kerap digelar di negara bekas jajahan Inggris tersebut, mulai tingkat kampung hingga nasional.
Menyumpit bahkan telah menjadi gaya hidup warga kelas menengah ke atas di Serawak, selayaknya golf dan tenis di Indonesia. Mereka biasanya berkumpul di setiap akhir pekan untuk menyumpit bersama di lapangan. Mereka rela merogoh kocek dalam jumlah besar untuk memiliki beberapa set sumpit dan memainkannya.
Sebagai gambaran, harga sebilah laras sumpit di Kalimantan Barat rata-rata Rp2 juta. Nilai itu belum termasuk satu set anak sumpit atau damak, yang harganya bisa mencapai ratusan ribu rupiah.
Anthony, Wakil Presiden I Perhimpunan Nasional Dayak Serawak, berujar, setiap keluarga di Serawak pasti menyimpan minimal satu sumpit. ''Karena ini identitas orang Dayak.''Identitas itu yang terus dilestarikan Malaysia dan menjadi atraksi wisata andalan di Serawak. (N-3)
Aries Munandar, aris@mediaindonesia.com
Sumber : http://www.mediaindonesia.com
Wednesday, January 11, 2012
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)