BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Saturday, April 28, 2012

Petani Landak Rayakan Pesta Panen


persiapan-adat.jpg
TRIBUN PONTIANAK/HADI SUDIRMANSYAH
Seorang Nyangahan memimpin doa jelang dilaksanakanya pesta panen oleh masyarakat di Dusun Anyang Desa Amboyo Selatan Kecamatan Ngabang Kabupaten Landak, Jumat (27/4/2012)
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, LANDAK - Setelah enam bulan bercocok tanam di  sawah, akhirnya pada Jumat (27/4/2012) saatnya warga Dusun Anyang Desa Amboyo Selatan Kecamatan Ngabang merayakan pesta panen atau biasa di sebut dengan naik dango.

Sebelum merayakan pesta panen tersebut, terlebih dahulu masyarakat setempat melakukan ritual adat yang di pimpin oleh seorang warga yang biasa di sebut Nyangahan atau pemimpin ritual adat yang disertai beberapa sesaji untuk di berikan kepada Jubata dan serta para arwah leluhur.

Ritual yang di lakukan dalam rangka  mensyukuri hasil panen yang di dapat setiap tahun dan dalam kesempatan yang sama dilakukan memohon do'a dan restu dari Jubata dan arwah leluhur. Dengan harapan agar cocok tanam yang di lakukan nanti juga di limpahkan hasil panen yang meningkat.

Icep (55) warga dusun Anyang menuturkan ia bersyukur hasil panen tahun ini, dirinya mendapat hasil panen padi sekitar dua ton dan jika di olah menjadi beras sekitar 1,7 ton beras. "Kalau sekitar padi dua ton padi bisa jadi 1,7 ton beras, ini lebih dari cukup untuk persediaan setahun,"ungkap ayah dua orang anak ini.

Penulis : Hadi Sudirmansyah
Editor : Bowo

685 Kayu Illegal Sambas Disita

Kayu-Ilegal-3.jpg
FOTO ANTARA/Jessica Wuysang
Polda Kalbar amankan ribuan batang kayu ilegal, beberapa waktu lalu.
 
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SAMBAS - Sebanyak 685 batang kayu hasil illegal loging diamankan pihak kepolisian Polres Sambas. Saat barang bukti berupa kayu campuran diamankan di dua Mapolsek yaitu Mapolsek Teluk Keramat dan Sejangkung.

"Pelaku ada enam orang, dua diantaranya juragan kapal yang mengangkut kayu dari Galing dan kita tangkap di Teluk Keramat, sedangkan empat lainnya merupakan pemilik sawmill di Sejangkung," ujar Kapolres Sambas, AKBP Pahala HM Panjaitan kepada Tribunpontianak.co.id, Jumat (27/4/2012).

Empat pelaku di Sejangkung diantaranya WG, DW, BB, dan SP sedangkan tersangka di Teluk Keramat yaitu HM dan RH.

Dikatakan,  untuk penangkapan di Sejangkung pada Selasa (24/4/2012) dan untuk penangkapan di Teluk Keramat pada Rabu (25/4/2012).

"Untuk penangkapan di Teluk Keramat sebanyak 183 batang kayu campuran dan di Sejangkung sekitar 400 batang. Saat ini keenam pelaku diamankan di Mapolres Sambas," katanya.

Penulis : Suhendra Yusri
Editor : Bowo

"Credit Union : Kendaraan Menuju Kemakmuran"

Segera dapatkan buku
"Credit Union : Kendaraan Menuju Kemakmuran"

Penulis :
1. Munaldus (Penggagas, pendiri dan Ketua CU.Keling Kumang & Ketua Pusat Koperasi Kredit Khatulistiwa, Pontianak)
2. Yuspita Karlena (Manager Pusat Koperasi Kredit Khatulistiwa, Pontianak)
3. Yohanes RJ (General Manager CU.Keling Kumang)
4. B.Hendi Candra (General Manager CU. Semandang Jaya)
5. Saniansah (General Manager CU.Banuri Harapan Kita)

Editor : A.M. Lilik Agung
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo

"Pendirian Credit Union (CU) bermula dari kesetiakawanan sebagai anggota kelompok sosial, terutama dari kalangan masyarakat kelas bawah.
CU telah merebut hati masyarakat. Malah, sekarang CU telah menjadi milik semua lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat akar rumput hingga ke masyarakat kelas atas. (dikutib dari kata sambutan Mgr. Hieronymus Bumbun, OFMCap. Uskup Agung Pontianak)"

"... Pelayanan keuangan yang disediakan oleh Credit Union telah dimanfaatkan dengan baik oleh anggota yang setia ber-CU. Mereka rela memberi dulu baru menerima, rela berkorban dulu baru mendapatkan hasil. Tidak ada jalan pintas. Seperti para petani berladang, untuk mendapatkan hasil panen yang berlimpah, harus mulai dengan menentukan lahan pertanian, menebas, mengolah, menyemai, menanam, menyiangi, mengairi dan barulah memanen. sebuah proses yang panjang, tekad bulat, kesabaran dan kedisiplinan. (dikutib dari kata sambutan tim penulis)"

"..CU sekarang menjadi salah satu lembaga yang sangat terbukti membantu meningkatkan perekonomian masyarakat mengengah kebawah khusunya masyarakat Dayak. Saat ini kehidupan masyrakat Dayak sangat tergantung dengan Credit Union, karena dengan ber-CU masyarakat Dayak bisa meningkatkan perekonomian sedikit demi sekidit untuk mencapai kebebasan finansial" (Bonny Bulang admin Cerita Dayak)

Untuk pemesanan buku ini bisa menghubungi kami di
Bonny Bulang 0889653111113 atau dapat dibeli di toko buku Gramedia

Saturday, April 7, 2012

Makanan khas suku dayak menyuke kalimantan barat


Dange Cake
Dange Cake

Indonesia memiliki berbagai macam jenis makanan. Dari gorengan, sup, dan lain-lain, disetiap daerah di indonesia pasti memiliki berbagai macam makanan unik. Kali ini saya akan membahas makanan khas suku dayak dari kalimantan barat tempat kelahiran saya.
Makanan yang saya bahas kali ini adalah makanan yang sering digunakan pada pesta maupun acara adat. Mari mengenal lebih jauh makanan dari tempat kelahiran saya.
Kalo anda mau. Kalau tidak mau juga tidak apa-apa.
1. Lemang/pulut (po'e)
adalah makanan khas dari orang kalimantan barat. Meskipun juga banyak dijumpai makanan serupa diwilayah lain, malaysia juga mempunyai makanan khas lemang. Cara pembuatan lemang ialah dengan memasukan beras kedalam ruas bambu yang di dalam nya dilapisi daun pisang lalu diberi santan, dan bambu di panggang diatas bara api. Rasanya enak dan gurih, aroma nya itu lah yang membuat perut terasa tidak tahan ingin selalu di santap. Biasanya lemang di hidangkan disaat ada pesta perkawinan,syukuran maupun upacara adat.
2. Kue lepet.
Kue lepet adalah kue yang di lipat dengan daun pisang lalu di kukus. Lepet sebenar nya bahasa dayak yang berarti dilipat. Bahan-bahan nya antara lain beras yang di tumbuk sehingga menjadi tepung, kelapa parut, gula merah minyak goreng, dan daun pisang. Cara membuat nya buat adonan dengan tepung lalu masukan ke daun pisang yang sudah ditentukan ukuran nya juga sudah di oles dengan minyak goreng. Lalu buat isian dari kelapa parut dan gula merah cair. Setelah di isi di tutup hingga rata dan selanjutnya dikukus hingga matang. Kue lepet biasanya di hidangkan ketika ada pesta dan upacara adat.

3. Tampi
kue tampi adalah kue yang tidak ada rasa tetapi wajib hadir ketika ada upacara adat. Ukuran nya kecil-kecil bahan membuatnya adalah tepung beras yang di goreng.
4. kue dange
kue yang terbuat dari parutan kelapa, tepung dan gula. Lalu di panggang di pemanggang khusus kue dange. Biasanya kue ini ada di saat pesta maupun biasanya dijual sebagai camilan.

5. Kue lepet pisang
kue yang sama bentuknya dengan kue lepet tetapi bedanya tepung terbuat dari pisang. Isian nya juga pisang lalu di lipat dengan daun pisang, dan dikukus hingga matang. Baunya sedap dan khas. Bertekstur kenyal dan manis pisang kukus. Hmmm membuat saya lapar. Hehehe.... Sebenarnya masih banyak lagi makanan khas di daerah saya tetapi kurangnya informasi maka cuma hanya 5 saja yang saya bahas. Bagi anda semua yang akan berkunjung ke kalimantan barat tidak ada salahnya mencicipi makanan khas suku kami hehehe... Maaf artikel saya tidak menyertakan gambar makanan nya karena sekarang bukan musim pesta dan upacara adat

sumber : yadibagayo.blogspot.com

Sunday, April 1, 2012

Karya Seni Suku Dayak Dipamerkan di Museum Perancis

Salah satu Karya seni Suku Dayak yang di tampilkan di Pameran di Perancis
JAKARTA, KOMPAS.com--Sejumlah barang-barang karya seni suku Dayak bernilai tinggi dipamerkan di museum yang bertema "Tresors d'Indonesie" di Museum Kupu-Kupu (La Musee des Papillons), Saint-Quentin, Perancis selama dua bulan dari 24 Maret sampai 28 Mei mendatang.

Koordinator Fungsi Pensosbud KBRI Paris Arifi Saiman, Selasa mengatakan benda-benda karya seni suku Dayak yang dipamerkan antara lain mandau, perangkat upacara kematian, patung kayu, perahu kayu, dan foto-foto kehidupan keseharian suka Dayak Kalimantan.

Arifi Saiman secara khusus melakukan kunjungan ke Museum Kupu-Kupu, Saint-Quentin Perancis untuk menghadiri pameran bertemakan "Tresors d'Indonesie" tersebut.
Kunjungan ini mendapat sambutan Wakil Walikota Saint-Quentin Bidang Kebudayaan Stephane Lepoudere yang menjelaskan maksud dan tujuan penyelenggaraan pameran serta koleksi benda bersejarah milik suku Dayak Kalimantan.

Pada kesempatan ini, Arifi Saiman menyampaikan ucapan terima kasih atas perhatian pemerintah Saint-Quentin dan pihak Museum Kupu-Kupu (La Musee des Papillons) terhadap Indonesia, yang sangat menghargai prakarsa positif bagi penyelenggaraan pameran "Tresors d'Indonesie".
Selain memamerkan benda seni milik suku Dayak Kalimantan, pihak museum juga menggelar pameran kupu-kupu khas Indonesia.

Sesuai namanya La Musee des Papillons (Museum Kupu-Kupu), museum ini memiliki koleksi kupu-kupu sebanyak 600 ribu spesies kupu-kupu yang sebagian besar berasal dari wilayah Indonesia.
Kupu-kupu tersebut berasal dari sejumlah wilayah di Indonesia. Beberapa spesies tertentu dari kupu-kupu yang menjadi koleksi museum masuk kategori langka, dan bahkan beberapa spesies kupu-kupu diantaranya sudah dinyatakan punah.

Dalam rangka membantu meningkatkan pemahaman tentang Indonesia di kalangan generasi penerus Perancis, penyelenggara pameran mengagendakan untuk mengundang siswa sekolah di wilayah Saint-Quentin untuk menyaksikan pameran ini.

Diharapkan siswa di Saint-Quentin dapat lebih mengenal Indonesia secara lebih baik dan lebih dekat, khususnya mengenali kekayaan flora, fauna dan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Pameran bertema "Tresors d'Indonesie" di Museum Kupu-Kupu, Saint-Quentin merupakan upaya mengenalkan Indonesia kepada masyarakat Perancis, khususnya masyarakat Saint-Quentin.
Pameran ini melibatkan peran serta pemerintah Saint-Quentin dan kalangan kolektor benda-benda seni budaya Dayak dan kolektor kupu-kupu setempat.

Tingginya animo masyarakat Perancis khususnya di Saint-Quentin menyaksikan pameran yang digelar lembaga permuseuman setempat diharapkan dapat membantu memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat Perancis khususnya masyarakat Saint-Quentin. 

Sumber : Kompas.com

Menjaga Tarian Dayak Deyah dari Kepunahan

Foto : Ilustrasi
Pada usia sembilan tahun, Roesina mulai mempelajari tari. Sekitar 33 tahun kemudian, dia mendirikan sanggar tari di kampung halamannya dan bertahan sampai sekarang. Tujuan utamanya, melestarikan kesenian asli Dayak di Kalimantan, khususnya Dayak Deyah, dari kepunahan. DEFRI WERDIONO

Dalam suatu kesempatan pada November 2011, wajah Roesina menyiratkan rasa bahagianya seusai menyaksikan rekannya, Hasan (50), berhasil memanjat batang manau, sejenis pohon berduri.
Pagi itu Roesina banyak mengumbar senyum. Dia bersama timnya tampil sebagai pengisi kegiatan tahunan Festival Budaya Pasar Apung 2011 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Hasan, laki-laki bertubuh kekar itu, mampu memanjat batang manau yang penuh duri dengan telanjang kaki dan dada. Tidak tampak luka gores atau luka tusuk sedikit pun di tubuhnya. Senyum Hasan juga terus mengembang ketika sejumlah penonton yang dipenuhi rasa heran mendekat dan menyapanya.
Bagi Roesina, tari Balian Bawo Panjat Manau hanyalah salah satu kekayaan budaya Dayak yang sudah ada sejak dia bisa mengingatnya. Awalnya, masyarakat penganut Kaharingan menggunakan tarian ini sebagai media penyembuhan pada orang yang sakit.

Di samping itu, tari Balian Bawo Panjat Manau juga kerap ditampilkan untuk membayar nazar masyarakat setempat. Kegiatan tersebut biasanya diselenggarakan sehabis merayakan panen.
Dalam perkembangannya sekarang, tari Balian Bawo Panjat Manau tidak lagi terpaku pada waktu dan keperluan ritual tertentu. Aksi yang bisa membuat bulu kuduk bergidik itu belakangan ini dapat ditampilkan di muka umum, kapan saja dan untuk kesempatan apa saja, mulai dari hajatan sunatan sampai pesta pernikahan.

Menurut Roesina, tari Balian Bawo Panjat Manau hanya salah satu dari tari tradisi warga Dayak Deyah. Selain tarian itu, setidaknya ada juga lima jenis tarian Dayak Deyah lainnya, yakni tari Balian Dadas, Gintur, Mengundang, Nande, dan tari Balian Bukit.

Tarian pada masyarakat Dayak Deyah memiliki sedikit perbedaan dengan tari- tarian pada subsuku Dayak lainnya, yakni pada penggunaan alat. Tari-tarian Dayak Deyah umumnya lebih menekankan pada gintur (bambu).

Pemakaian gintur dalam tradisi Dayak Deyah bukannya tanpa sebab. Konon, bambu merupakan alat yang menjadi andalan nenek moyang Dayak Deyah untuk bergerilya melawan penjajah.
”Jadi penggunaan gintur tidak bisa digantikan,” ujar Roesina menegaskan.

Kaya bersuluh emas
Hampir selama 20 tahun terakhir ini, tari-tarian Dayak Deyah diajarkan Roesina kepada generasi muda setempat. Dia mengajarkan tari-tarian tradisi itu melalui sanggar Tatau Silu Bulau di Desa Pengelak, Kecamatan Upau, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.

Sanggar Tatau Silu Bulau berdiri pada tahun 1992. Kata ”tatau silu bulau” mengandung arti ”kaya bersuluh emas”. Tatau berarti kaya, silu artinya suluh, dan bulau sama dengan emas.

Lewat nama tersebut, Roesina berharap sanggar Tatau Silu Bulau bisa seperti emas yang tidak akan luntur selamanya. ”Semoga demikian pula dengan kesenian Dayak, tidak akan luntur selamanya” ujarnya.

Maksud dia seperti emas yang tidak akan luntur, begitulah kesenian Dayak di mata Roesina. Meski seni budaya dari luar budaya Dayak masuk ke wilayah tersebut, masyarakat tetap menjaga dan memelihara tradisi itu. ”Kesenian peninggalan leluhur kami bisa tetap bertahan, tidak lalu menjadi tergeser.”

Roesina lalu bercerita tentang awal didirikannya sanggar Tatau Silu Bulau. ”Modal utamanya adalah semangat melestarikan tari-tarian Dayak Deyah,” ujarnya.
Untuk melengkapi peralatan menari, ia upayakan secara swadaya. Sebuah babun, semacam gendang, ia beli seharga Rp 750.000. Ia kembali merogoh kocek untuk melengkapinya dengan tiga babun kecil seharga Rp 750.000.

Sedangkan untuk kelengkapan instrumen lainnya, seperti kenong, Roesina mencari pinjaman. ”Tahun 1992-1994 kami meminjamnya sebelum ada bantuan dari pemerintah kabupaten. Begitu pula untuk kostum penari, tahun 2006 kami berinisiatif mengirim proposal ke perusahaan tambang untuk mendapatkan bantuan,” ujarnya.

Tentang inovasi
Sejak berdiri hingga kini, empat kali Roesina mengirim proposal kepada pemerintah daerah dan perusahaan tambang batubara di daerah setempat. Sebagian uang itu dibelikan peralatan dan sebagian lainnya disimpan untuk keperluan sanggar di kemudian hari.

Cara ini ditempuh karena dia tak menarik iuran dari anak didiknya. Ia juga tak menyisihkan uang hasil pentas karena honor itu dibagi habis untuk anggota. Tak ada hasil pentas yang masuk kas operasional sanggar. Dalam setahun anggota sanggar bisa tampil hingga lima kali.

Bagi Roesina, menampilkan tarian tradisi kepada publik relatif tak ada kesulitan, termasuk saat ia melakukan ritual khusus sebelum memulai pertunjukan.
”Tahun 2009 rombongan kami pernah mengalami kecelakaan di jalan,” cerita mantan guru sekolah dasar itu tentang musibah yang pernah mereka alami berkaitan dengan pertunjukan.

Sejauh ini, lanjut Roesina, hanya tari Nande yang sulit ditampilkan sebab tarian ini harus dilakukan pada tengah malam. Apalagi dalam pertunjukan tari Nande, nyaris tidak ada penerangan. Penari bergerak dengan mengandalkan tali yang dipegangnya.

Meski permintaan naik panggung cukup banyak, sampai sekarang Roesina tetap mengandalkan gerakan- gerakan asli tari tradisi dalam pengajaran di sanggarnya.
”Kami sebenarnya terbuka untuk melakukan inovasi asal tidak meninggalkan gerakan-gerakan asli tarian warisan nenek moyang. Tetapi kendalanya justru dari pelatih yang punya kemampuan dan mau melakukan inovasi tersebut,” katanya.

Roesina keberatan bila untuk keperluan inovasi gerakan tari itu, dia harus mengambil pelatih dari luar sanggar. Masalahnya, dia tidak punya cukup dana untuk membayar honor bagi pelatih tari tersebut.
Lewat pengabdiannya pada kesenian tradisi Dayak Deyah pula, Roesina dikenal masyarakat. Kesungguhannya melestarikan tarian tradisi itu juga membuat dia mendapatkan penghargaan dari pemerintah kabupaten sebagai pelestari budaya.

Penghargaan pertama diterima Roesina tahun 1990 seusai dia berpentas di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Penghargaan berikutnya diterima pada tahun 2006.
”Satu hal yang membuat saya senang, kelima anak saya semuanya bisa menarikan tarian tradisi Dayak Deyah,” ujar Roesina bangga.
 
Sumber : Kompas.com

Dayak Punan Tersingkir dari Hutan Adat

Foto : Ilustrasi
SAMARINDA, KOMPAS - Masyarakat Dayak Punan dinilai menjadi korban dalam konflik lahan dengan perusahaan. Ini menunjukkan bahwa pemberian izin lokasi kepada perusahaan tidak sesuai prosedur sehingga masyarakat tersingkir dari hutan adat mereka sendiri.

Hal itu disampaikan Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Timur Rusman Yaqub seusai menemui perwakilan masyarakat adat Dayak Punan di Kantor DPRD Kaltim, Kota Samarinda, Selasa (13/3). ”Ini bukti izin yang dikeluarkan hanya di atas meja, tetapi tak sesuai realitas di lapangan. Seharusnya pemerintah tahu, di areal itu ada masyarakat adat yang tinggal,” kata Rusman.

Masyarakat Dayak Punan dari Desa Punan Dulau dan Desa Ujang, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, ini mengadu ke DPRD Kaltim terkait pencaplokan hutan adat mereka seluas 68.000 hektar oleh perusahaan kayu PT Intracawood Manufacturing. Sebelumnya, mereka melaporkan hal serupa ke Kantor Gubernur Kaltim.

Rusman mengungkapkan, meskipun PT Intracawood Manufacturing sudah mengantongi izin hak pengusahaan hutan (HPH) yang diterbitkan pemerintah pusat bukan berarti hak masyarakat diabaikan.
”Masyarakat Dayak Punan itu sudah lebih dulu tinggal di sana sebelum perusahaan masuk. Seharusnya mereka ditanyai, ini malah perusahaan cari jalan pintas,” tutur Rusman.

Rencananya, DPRD Kaltim akan memanggil Dinas Kehutanan Kaltim, Pemerintah Kabupaten Bulungan, dan perwakilan PT Intracawood Manufacturing untuk menyelesaikan persoalan konflik lahan di Desa Punan Dulau dan Ujang ini. ”Minggu depan kami akan agendakan pertemuannya,” ucap Rusman dan Iwan.

Intracawood mulai merambah hutan adat Punan Dulau dan Ujang sejak 1988. Dengan berbekal izin HPH dari Kementerian Kehutanan, mereka menguasai hutan adat Dayak Punan tanpa ada sosialisasi dan persetujuan dari masyarakat setempat.

Kepala Lembaga Adat Dayak Punan Kecamatan Sekatak Jonidi Apan mengungkapkan, setelah perusahaan masuk, masyarakat Dayak Punan tidak lagi dapat berburu dan terpaksa menanam singkong dan menangkap ikan di sungai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Padahal Dayak Punan merupakan suku yang biasa berburu dan meramu.

Mukhlis, Pelaksana Divisi Kehutanan Departemen Kelola Sosial PT Intracawood, mengakui, larangan berburu dan pemanfaatan hasil hutan yang dipasang perusahaan bukan ditujukan untuk masyarakat adat Dayak Punan, melainkan untuk warga dari luar Punan Dulau dan Ujang.(ILO)
Sumber : Kompas.com

Promosikan Wisata Budaya Melalui Desa Sanggu

BUNTOK, KOMPAS.com — Apa ciri khas Kabupaten Barito Selatan (Barsel) yang terletak di Kalimantan Tengah? Ternyata, untuk mengembangkan pariwisata, salah satunya adalah dengan menonjolkan sisi wisata budaya.

"Kami akan mempromosikan berbagai macam kebudayaan yang ada di Barsel, salah satunya tata cara perkawinan adat, upacara keagamaan adat, dan hal-hal lain yang mencerminkan kebudayaan daerah," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Barsel, Su’aib, di Buntok, Minggu (1/4/2012).

Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Barito Selatan (Barsel), Kalimantan Tengah (Kalteng), akan menonjolkan program wisata kebudayaan daerah setempat, untuk mengembangkan pariwisata yang menjadi ciri khas Barsel.
  
Ia mengatakan, salah satu strategi yang digunakannya untuk mengembangkan pariwisata di kawasan setempat yakni dengan cara mempromosikannya melalui media massa dan membuat brosur yang memperkenalkan kebudayaan di Barsel.

Brosur yang dibuat itu nantinya akan dibagikan kepada setiap maskapai penerbangan agar dapat dibagikan untuk para penumpangnya. Intinya menggunakan jasa pihak ke tiga dalam mempromosikan daerah.

"Selain melakukan pembenahan sarana dan prasarana tempat pariwisata yang ada, kami juga akan membuat paket wisata khusus bagi pengunjung atau wisatawan yang berkunjung ke Barsel," ucapnya.

Selain itu, lanjutnya, agar program paket wisata itu dapat berjalan, pihaknya akan melakukan kerja sama dengan kabupaten atau kota tetangga yang ada di Provinsi Kalteng. Khususnya dalam hal mempromosikan kebudayaan suku Dayak yang ada di Kalteng.

"Tidak hanya itu, dengan teknologi zaman sekarang kami juga sudah mempromosikan Barsel melalui website dan akun jejaring sosial seperti facebook. Sehingga yang melihat juga tidak hanya di Indonesia melainkan dunia," jelasnya.

Meski demikian, pihaknya masih memiliki beberapa kendala dalam mengembangkan program tersebut, salah satunya akses infrastruktur jalan yang menuju lokasi wisata masih kurang memadai.

Untuk melakukan pengembangan wisata minimal harus memiliki manajemen yang baik, seperti atraksi yang disuguhkan, fasilitas, dan tidak kalah penting akomodasi, serta akses untuk menuju lokasi wisata itu sendiri.

"Saat ini kami hanya mengandalkan obyek wisata yang gampang ditempuh aksesnya. Salah satunya adalah obyek wisata Desa Sanggu," ujarnya.

SUmber : Kompas.Com

Bertandang ke Betang Antang Kalang

Oleh Dwi Bayu Radius
 MARI bertualang ke pedalaman Kalimantan. Mari berkunjung ke rumah adat Dayak, Betang Antang Kalang. Untuk itu, kita harus menyusuri curamnya riam-riam sungai dan melintasi lebatnya hutan. Menantang dan mengasyikkan.

Betang adalah sebutan untuk rumah besar milik keluarga. Betang Antang Kalang terletak di Desa Tumbang Gagu, Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Tahap pertama menuju Tumbang Gagu ditempuh dari ibu kota Kalteng, Palangkaraya, menuju Kecamatan Tumbang Samba, Kabupaten Katingan, Kalteng. Perjalanan sebaiknya ditempuh dengan mobil berpenggerak empat roda.

Pada akhir Februari lalu, kami menggunakan mobil Hardtop untuk menempuh jarak 185 kilometer dengan waktu tempuh sekitar lima jam. Hingga Kasongan, ibu kota Katingan, jalan masih mulus. Namun, jalan selanjutnya merupakan jalur off road dengan lubang-lubang cukup dalam. Maklum, jalur itu dilalui truk-truk pengangkut sawit setiap hari. Meski mobil masih lincah menaklukkan medan berat, tubuh terguncang juga. Sekitar pukul 21.00, rombongan tiba di Tumbang Samba untuk bermalam di losmen sederhana.

Menempuh riam dan rimba
Perjalanan dilanjutkan dengan menumpang kapal kelotok. Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 06.00, kelotok sudah bertolak. Perjalanan menyusuri Sungai Katingan selama hampir tujuh jam itu ditempuh dengan beberapa kali mengarungi riam. Ini bagian yang mendebarkan. Namun, jangan khawatir. Juru mudi kelotok dengan cekatan meliuk-liukkan perahunya, sementara batu-batu besar di depan menghadang.

Lebih dari 10 riam dilewati sepanjang perjalanan, termasuk Mangkikit dan Leleng yang dikenal terjal. Begitu ganasnya medan di kedua tempat itu sehingga semua penumpang harus turun dulu, sementara pengemudi perahu berjuang menerjang riam. Perahu terlihat bersusah payah melawan arus, bahkan tak jarang harus terseret mundur untuk kemudian maju lagi. Penumpang dapat naik lagi ke perahu setelah berjalan kaki sekitar 200 meter menyusuri hutan dan rumah penduduk setempat.

Sesekali saat melintasi riam-riam kecil, air sungai terciprat dan membasahi sebagian pakaian. Jika dirasa perlu, awak perahu memasang terpal untuk melindungi penumpang, tetapi tetap saja ada sedikit cipratan air yang masuk. Susur sungai menempuh jarak 118 kilometer berakhir ketika perahu merapat di Desa Penda Tanggaring, Kecamatan Sanaman Mantikei, Katingan.

Petualangan dilanjutkan dengan berjalan kaki menjelajah rimba belantara sejauh 6 kilometer. Perjalanan dua jam itu menjadi menyenangkan dengan hawa segar karena lebatnya pepohonan seperti durian, karet, dan ulin. Ada pula durian hutan dengan buah berwarna merah.

Setidaknya di dua tempat terlihat onggokan kayu-kayu ulin berdiameter 50 sentimeter dan panjang hingga 5 meter. Kayu-kayu itu semula hendak digunakan untuk membangun Betang Antang Kalang. Suatu ketika kayu yang dibutuhkan ternyata sudah cukup dan gelondongan-gelondongan itu dibiarkan di hutan. Meski sudah hampir 1,5 abad lalu, kayu itu masih kokoh dan keras.

Setelah berjalan kaki sekitar dua jam, Betang Antang Kalang akhirnya dapat dicapai. Mira Rindu (53), penghuni betang tersebut, menerima dengan ramah rombongan wisatawan yang datang. Ia mempersilakan kami untuk melepas lelah dengan menyuguhkan teh panas nan legit.

Hening dan sejuk
Pagi datang dengan kicauan burung terdengar di sana-sini. Kabut tipis terlihat di kejauhan. Udara sejuk terasa. Menikmati suasana di Betang Antang Kalang berarti merasakan keheningan yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar.

Kehidupan di Antang Kalang berjalan sederhana. Warga memasak makanan menggunakan kayu bakar. Mereka mencukupi kebutuhan makanan dari kebun sendiri. Mereka mandi di Sungai Kalang. Ada juga bau teknologi berupa generator yang menyala sekitar pukul 18.00-24.00. Mereka perlu generator antara lain untuk menyalakan televisi, sekadar hiburan bagi penghuni betang.

Mira Rindu menuturkan riwayat singkat Betang Antang Kalang. Rumah itu dibangun Singa Jaya Antang pada tahun 1870 dan mulai dihuni tahun 1878. Singa Jaya Antang berasal dari Desa Bukit Rawi, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng. Singa membangun betang karena mencari daerah baru yang subur.

”Kalau letak rumah, Singa menentukannya berdasarkan petunjuk elang berdasarkan kepercayaan zaman dulu,” kata Mira yang merupakan generasi ketiga keturunan keluarga Singa.

Betang Antang Kalang sehari-hari dihuni hanya oleh lima orang. Namun, pada saat kumpul keluarga besar, betang bisa kedatangan hingga 100 orang. ”Soalnya, banyak penghuni betang bekerja di kota besar, menggarap kebun, dan menyadap karet di tempat yang jauh,” papar Mira. 



SUmber : Kompas.com
 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube