BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Wednesday, December 14, 2011

Teling Panjang, Budaya Dayak Yang Mulai Punah

Ilustrasi
Seni tato dan telinga panjang menjadi ciri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai penduduk asli Kalimantan. Dengan ciri khas dan identitas itulah yang membuat suku Dayak di kenal luas hingga dunia internasional dan menjadi salah satu kebanggan budaya yang ada di Indonesa. 

Namun tradisi ini sekarang justru semakin ditinggalkan dan nyaris punah. Trend dunia fashion telah mengikis budaya tersebut . Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian kecil golongan generasi tua suku Dayak yang berumur di atas 60 tahun. Generasi suku Dayak diatas tahun 80-an.

Tidak ada yang tahu secara pasti kapan suku Dayak mulai melakukan tradisi ini, semua menyatakan mengikuti tadisi yang diyakini juga seabgai tatanan kehidupan sosial suku Dayak. Secara tatanan sosial dan tradisi budaya Dayak, telinga panjang ini merupakan identitas yang tidak bisa di pesahkan dengan kehidupan sosial.

PERTANDA WANITA BANGSAWAN


Menurut asal-usulnya ratusan tahun lalu, budaya telinga panjang bukan hanya dilakukan wanita, pria juga ada yang memanjangkan telinga. Dan yang memanjangkan telinga hanya kaum bangsawan suku Dayak. Ini menandakan bahwa yang yang bersangkutan adalah keturunan bangsawan Dayak. 

Telinga panjang pada Wanita Dayak menunjukkan dia seorang bangsawan sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang dijadikan budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang.

Disamping itu telinga panjang digunakan sebagai identitas untuk menunjukkan umur seseorang. Begitu bayi lahir, ujung telinga diberi manik-manik yang cukup berat. Setiap tahun, jumlah manik-manik yang menempel di telinga bertambah satu. Karena itu, kalau ingin mengetahui umur seseorang, bisa dilihat dari jumlah manik-manik yang menempel di telinga. Jika jumlahnya 60, maka usianya pasti 60 tahun karena pemasangan manik-manik tidak bisa dilakukan sembarangan, cuma setahun sekali. 

Agar daun telinga menjadi panjang, biasanya daun telinga diberi pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang atau berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter.

Selain sebagai status sosial dalam kehidupan masyarakat, telinga panjang juga di nilai dari segi kecantikannya. Semakin panjang telinga seorang wanita Dayak, maka pemilik telinga semakin cantik.


MULAI PUNAH
Seiring perkembangan jaman dan medernisasi yang perlahan tapi tapi mulai masuk dan menggeser tradisi turun temurun ini.  Telinga panjang mulai punahn, menurut informasi yang kami dapatkan adalah ketika mulai masuknya para misionaris ke daerah pedalaman di perkampungan Dayak pada zaman kolonial Belanda dulu.

Tapi tidak ada yang tahu persisnya kapan mulai punah, tapi rata-rata yang masih mempertahankan budaya telinga panjang adalah wanita suku Dayak yang berusia diatan 60 tahun. Sedangkan genersi sekarang sudah tidak ada. Budaya ini pun semakin terkikis habis ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia di daerah perbatasan Kalimantan.

Saat itu berkembang stigma di masyarakat, mereka yang berdaun telinga panjang dan tinggal di rumah- rumah panjang, yang dihuni beberapa keluarga, merupakan kelompok masyarakat yang tidak modern. Tidak tahan terhadap pandangan seperti itu, akhirnya beberapa warga memotong telinga panjangnya.

Stigma semacam ini terus berlangsung hingga sekarang. Kalangan generasi muda Dayak tidak mau lagi membuat telinga panjang karena takut dianggap ketinggalan zaman dan tidak modern. Hanya sebagian kecil masyarakat Dayak yang masih memegang teguh tradisi berdaun telinga panjang, dan itu pun jumlahnya sangat minim.

dari berbagai sumber
  

Monday, December 12, 2011

Wacana Palangkaraya Jadi Ibu Kota Negara

Oleh Saidulkarnain Ishak
Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno pernah menyampaikan gagasan pemindahan ibu kota Republik Indonesia ke Palangka Raya sekitar tahun 1950-an, dan kini 2011 bergulir lagi ditandai dengan wacana melalui berbagai kegiatan yang dilakukan pemerintah negeri ini.

Wacana pemindahan ibu kota Negara yang juga dikemukakan Presiden Soekarno pada peresmian Palangka Raya sebagai ibu kota Kalimantan Tengah (Kalteng) pada 1957, yang saat itu bernama "Desa Pahandut" tersebut, Rabu (23/11), kembali dibicarakan dalam seminar kajian teknis pengembangan Palangka Raya menuju ibu kota Negara Indonesia.

Gubernur Agustin Teras Narang mengatakan, keinginan merancang dan mempersiapkan PAlangka Raya sebagai ibu kota Negara, secara visioner dituangkan dalam rencana induk (master plan) yang disusun Presiden Soekarno. Kota yang pernah diidamkan sebagai ibu kota Negara tersebut memiliki luas 2.678,51 Km persegi dan jauh lebih luas dari Jakarta, yang luasnya hanya 661,52 Km persegi itu.

Teras Narang mengatakan, secara geografis posisi Palangka Raya tepat berada di tengah Indonesia serta tidak berada pada daerah tektonik, sehingga kondisi ini relatif aman dari bencana alam gempa bumi, banjir dan tanah longsor. Secara kultural masyarakat Kalteng dengan falsafah "Huma Betang" siap menyongsong perpindahan ibu kota pemerintah tersebut.

Secara potensi dari garis pantai, tambahnya, Kalteng memiliki potensi garis pantai sepanjang 750 Km yang sangat memungkinkan dikembangkan pelabuhan-pelabuhan untuk mendukung keberadaan sebuah ibu kota pemerintahan, kata Gubernur Teras pada acara yang juga dihadiri para bupati, DRPD, dan sejumlah pakar perguruan tinggi daerah tersebut.

Dia mengatakan, secara ketersediaan lahan sangat dimungkinkan untuk sarana transportasi udara maupun transportasi sungai masih cukup luas, termasuk untuk pembangunan bandara skala internasional karena Kalteng memiliki luas wilayah  1,5 kali Pulau Jawa. Secara alamiah, di Kalteng juga terdapat sungai besar yang sangat penting untuk mendukung posisi tersebut.

"Sebuah kalimat kunci terhadap keunggulan dan potensi tersebut adalah bagaimana upaya kita bersama untuk mengkaji dan mengampanyekannya di forum-forum regional maupun nasional," kata Agustin Teras Narang pada seminar yang juga dihadiri tokoh masyarakat Kalteng antara lain TT Suan dan Dase Durasid dipandu Wakil Gubernur (Wagub) Kalteng H Ahmad Diran.

Teras mengatakan, seminar yang dilaksanakan tersebut merupakan momentum tepat dan strategis untuk membangunkan kesepahaman serta menyatukan persepsi dan langkah seluruh pemangku kepentingan dalam upaya merespon wacana persiapan Palangka Raya sebagai bagian dari provinsi Kalteng menjadi ibu kota pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Sudah ada Perda

Teras mengatakan, penyiapan Palangka Raya menuju ibu kota Negara RI merupakan tugas yang diamanahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Kalteng sesuai Peraturan Daerah (Perda) No.1/2011.  Ini dasar hukum yang dihasilkan legislatif provinsi untuk memperkuat komitmen pemindahan ibu kota NKRI tersebut.

Seminar bertajuk "Pengembangan Palangka Raya dan Sekitarnya Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah sebagai Ibu Kota Republik Indonesia Dalam Rangka Merespon Wacana Persiapan Palangka Raya Sebagai Ibu Kota Pemerintahan Republik Indonesia" itu berlangsung di Aula Bappeda Provinsi Kalteng diikuti pejabat, DPRD, akademisi, dan tokoh masyarakat setempat.

Banyak persoalan yang dibicarakan dalam forum stategis tersebut, termasuk masalah persiapannya perlu dipertajam dan dilihat dari berbagai aspek. Bahkan, ada diantara peserta yang menyorot masalah kultur dan ekonomi masyarakat, jangan sampai menjadi "penonton" atau termarjinalkan setelah ibu kota pemerintahan NKRI berdiri megah di daerah tersebut.

Prof H KMA M Usop mengatakan, soal pemindahan ibu kota ini sebaiknya dibangun kota baru dengan penataan bagus dan representatif sebagai ibu kota Negara karena kalau Palangka Raya yang dijadikan ibu kota pemerintahan NKRI, tentu pemerintah provinsi Kalteng harus merancang dan membangun kembali ibu kota provinsi yang baru.

Sebaiknya pemerintah pusat membangun kota baru di kawasan provinsi Kalteng, dengan penataan yang rapi dan bagus sehingga terlihat cantik tanpa "mengorbankan" kota Palangka Raya sebagai ibu kota provinsi Kalteng. Hal ini sangat dimungkinkan dilakukan, karena potensi lahan yang dimiliki provinsi Kalteng memenuhi syarat bagi sebuah sebagai ibu kota pemerintahan Negara.

"Begitupun, kami khawatir dalam kurun waktu 50 tahun kondisi itu akan sama seperti Jakarta, kalau ibu kota pemerintahan dipindah ke Palangka Raya tanpa pembangunan kota baru," kata Usop pada seminar yang juga dihadiri staf khusus Presiden Prof Dr M Mas’ud Said, Dr Veliks Wanggai dan Dr Andrino A Chaniago dari Universitas Indonesia (UI) tersebut.

Oleh karena itu, pemerintah pusat sebaiknya membangun kota baru yang lokasinya tetap di Kalteng, tapi berada di tengah-tengah antara Palangka Raya dengan kabupaten lainnya seperti Katingan. Daerah ini memiliki kawasan yang cukup luas untuk membangun kota baru, dan sangat dimungkinkan apabila dikembangkan bagi kemajuan di masa mendatang.

Tokoh masyarakat Kalteng Lukas Tingkes menyatakan sangat mendukung wacana pemindahan ibu kota Negara dari Jakarta ke Palangka Raya, namun perlu dipertajam dan mempertimbangkan secara cermat berbagai aspek kehidupan serta memperhatikan aspirasi masyarakat asli daerah karena ini diperkirakan akan terjadi pergeseran semacam urbanisasi.


Lestarikan nilai budaya

"Kami sangat mendukung wacana ini, namun pemerintah pusat perlu menjelaskan secara detail terkait pelaksanaan rencana tersebut. Selain itu juga perlu dikaji dan dipertimbangkan kesiapan warga masyarakat  asli daerah ini, jangan sampai mereka terpinggirkan," kata Lukas pada acara yang juga dihadiri tokoh sejarah dan mantan wartawan ANTARA di Kalteng, TT Suan.

Masyarakat asli Kalteng, khususnya yang berdomisili di kota Palangka Raya tidak ingin ketika ibu kota pemerintahan NKRI dipindahkan keberdaan mereka tersingkirkan. Ini perlu dipertimbangkan secara arif dan bijaksana, sehingga masyarakat yang selama puluhan tahun menikmati hidup di kota kelahirannya tiba-tiba terpinggirkan atau termarjinalkan.

Selain itu, pemerintah pusat dan berbagai elemen anak bangsa juga perlu mempertimbangkan nilai-nilai budaya dan adat istiadat daerah ini. Nilai budaya dan adat istiadat masyarakat harus dipertahankan serta dilestarikan bila Palangka Raya ingin dijadikan ibu kota pemerintahan. Semua harus dikaji secara mendalam sebelum rencana baik tersebut diimplementasikan.

Masalah ini menjadi syarat utama adalah budaya suku Dayak tidak boleh luntur karena itu identitas anak bangsa. Di samping itu, pemerintah pusat juga harus mempertegas dan mempertajam kebijakan serta sistem pelaksanaan wacana pemindahan ibu kota pemerintahan NKRI kepada masyarakat sebagai upaya menciptakan hubungan harmonis diantara warga urban.

Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu menyiapkan payung hukum dan berbagai hal lainnya terkait rencana tersebut, kata tokoh pemuda Kabupaten Katingan, Karyadi.  Selain itu juga pemerintah pusat juga perlu menjelaskan program secara makro mengenai rencana pemindahan ibu kota NKRI seperti dilakukan sejumlah Negara lainnya di dunia, tambahnya.

Wakil Gubernur (Wagub) H Ahmad Diran ketika memandu forum seminar tersebut mengatakan, pada prinsipnya masyarakat mendukung keinginan pemerintah untuk memindahkan pusat pemerintahan NKRI ke Palangka Raya, provinsi Kalteng dan sekitarnya. Semua ini dilakukan tanpa mengabaikan nilai budaya, adat istiadat dan keberadaan masyarakat daerah tersebut harus dipertahankan.

"Kami tidak ingin bila wacana pemindahan ibu kota NKRI jadi dilaksanakan, lalu masyarakat menjadi korban. Masyarakat asli daerah ini harus dilindungi dari berbagai sisi kehidupan. Mereka jangan sampai termarjinalkan. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu mempertajam wacana ini sehingga sistemnya jelas bila rencana tersebut dilaksanakan," ujarnya.

Palangka Raya menuju ibu kota pemerintahan Indonesia, dilihat dari berbagai asumsi dan argumentasi agaknya dimungkinkan dilakukan, dengan memperhatikan aspek kultural masyarakat yang selama ini hidup harmonis, rukun dan damai. Wacana yang kini bergulir lagi tersebut akan terwujud sesuai rencana manakala tujuannya untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama.

Sumber : www.kompas.com

Saturday, December 10, 2011

Makna Gerhana Bulan Bagi sub suku Dayak Desa dan Seberuang

Oleh : BONNY BULANG & TION NGALAI
Gerhana Bulan dalam sub suku Dayak desa dan seberuang di kabaupaten Sintang Kalimantan Barat disebut ''Bulan Telan Rauk'' Telan Rauk artinya bulan di telan oleh binatang/antu(setan) langit. Peristiwa yang jarang terjadi ini di yakini oleh masyarakat Dayak sebagai berkat dalam beuma (berladang). Kejadian ini biasa di sertai dengan upadara adat.

Dimulai dengan menyediakan Padi, Air dan darah Manuk (Ayam) yang di letakan dan dibiarkan menghampar di tahan lapang (biasa di sebut pedarak). Upacara ini di iringi dengan pukulan gong dalam jumlah banyak, siapa yang memiliki gong boelh membunyikannya di dekar rumahnya masing-masing.

Pada saat Bulan Telan Rauk ini juga di lakukan tembakan senapan Lantak (senjata rakitan laras panjang biasanya di gunakan untuk berburu) ke langit tanpa peluru. Tembakan ini bertujuan membatu bulan yang sedang di Telan Rauk supaya bisa pulih kembali. Upacara ini dilakukan sampai gerhana selesai.

Pada saat gerhana bulan selesai dalam istilah Dayak Desa dan Seberuang disebut bulan sudah di muntahkan oleh Rauk, pedarak yang di hamapar di tanah lapang tadi di simpan dan di sengkelan (pemberkatan) ke benih padi dan pulut yang akan di tanamn pada tahun ladang yang akan datang

Dulu upacaa ini di serrtai dengan tari-tarian khusus dengan pakaian adat lengkap dan menggunakan Mandau sebagai senjata khas Dayak. Pada zaman dahulu, upacara ini juga merupakan upacara yang sangat sakral karena berhubungan dengan kehidupan berladang yang menejadi. Namun seiring dengan masuknya modernisasi, upacara ini di lakukan hanya sebagai simbol tradisi saja dan bahkan hanya beberapa kampung yang masih melaksakan tardisi ini.

Makna Tato Bagi Masyarakat Dayak

Panglima Perang (Panglima Damai) Dayak, Edy Barau, mengatakan, motif yang digunakan masyarakat Dayak, khususnya Dayak Iban untuk mengukir pada tubuh berhubungan erat dengan kehidupan alam (hutan).

Dengan demikian, motifnya ada yang berasal dari binatang maupun tumbuhan seperti daun, bunga, dan buah yang semua memiliki arti dan makna bagi masyarakat Dayak.

Menurut Edy, ada tujuh bentuk motif tato yang berhubungan erat dan sering digunakan masyarakat Dayak Iban. Selain motif, tempat atau lokasi untuk diukirkan gambar juga tidak bisa sembarangan.

Ketujuh bentuk motif itu di antaranya, motif rekong, bunga terong, ketam, kelingai, buah andu, bunga ngkabang (tengkawang) dan bunga terung keliling pinggang yang masing-masing memiliki makna.

Ia memaparkan, tato atau ukir rekong biasanya diukirkan di leher. Bagi masyarakat Dayak Iban seseorang yang mendapatkan ukiran rekong adalah orang yang mempunyai kedudukan masyarakatnya, seperti Timanggong/Temanggung dan Panglima atau orang yang di-tua-kan di kampung halamannya sendiri maupun di tempat merantau.

Motif Rekong, lanjut Edy, berbeda-beda bentuknya karena disesuaikan dengan jabatan dan kedudukan. Selain itu, antara sub suku Dayak yang satu dengan yang lainnya juga memiliki bentuk motif yang berbeda tapi memiliki makna yang sama.

Motif rekong dapat berupa sayap kupu-kupu, kalajengking merayap dan kepiting. Intinya cenderung berbebtuk motif binatang.

Masyarakat Dayak yang biasanya tato rekong di leher adalah Dayak Kayan, Dayak Taman, dan Dayak Iban. Sementara masyarakat Dayak biasa yang tato rekong di leher akan dikenakan sanksi atau hukuman adat, namun untuk sekarang ini tidak lagi karena ada sebagian memandangnya sebagai seni, ucapnya.

Motif lainnya adalah Bunga terong merupakan bunga kebanggaan masyarakat Dayak Iban. "Bunga terong sudah naik, orang itu sudah profesional, kalimat itu sering diucapkan masyarakat Iban. Karena terong itu kebanggaan masyarakat Iban. Terong juga memberi makna pangkat/kedudukan sebab umumnya letak pertama ada di bahu," tuturnya kepada Tribun.

Bentuk motif dan jenis bunga terong ada berbagai macam dan letaknya juga berbeda. Ada yang tato terong dan meletakannya di lengan, tangan, kaki, dan perut, serta ada juga mengukir seluruh tubuhnya dengan bunga terong.

Bunga terong ada yang bersayap enam, dan ada yang delapan. " Seorang masyarakat Dayak Iban yang memiliki bunga terong keliling pinggang biasanya delapan buah berarti orang itu sudah plor atau penuh atau sudah puas merantau," ujarnya.

Sementara motif kelingai melambangkan binatang yang ada di lubang tanah memberikan arti hidup kita tidak terlepas dengan alam atau bumi. Motif kelingai biasanya diletakan di paha atau betis.

Demikian motif ketam juga memberikan arti hidup selalu menyentuh dengan alam. Meski begitu, ketam biasanya diletakan pada tubuh bagian punggung atau tepatnya dibelakang punggung.

Sedangkan motif buah andu dan bunga ngkabang atau bunga tengkawang melambangkan sumber kehidupan. Buah tengkawang merupakan bunga yang paling banyak di kampung masyarakat Iban dan ditatokan di atas perut.

Motif buah andu pada umumnya diukirkan di belakang paha, yang memberi arti, ketika merantau kita selalu berjalan jauh dan buah andu sebagai makanan untuk menyambung hidup, pungkasnya.

Sumber Tribunenews

Makna Tato Bagi Masyarakat Suku Dayak

Oleh : oleh M Syaifullah/Try Harijono
JANGAN kaget jika masuk ke perkampungan masyarakat Dayak dan berjumpa dengan orang-orang tua yang dihiasi berbagai macam tato indah di beberapa bagian tubuhnya. Tato yang menghiasi tubuh mereka itu bukan sekadar hiasan, apalagi supaya dianggap jagoan. Tetapi, tato bagi masyarakat Dayak memiliki makna yang sangat mendalam.

TATO bagi sebagian masyarakat etnis Dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, status sosial seseorang dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang. Karena itu, tato tidak bisa dibuat sembarangan.

Ada aturan-aturan tertentu dalam pembuatan tato atau parung, baik pilihan gambarnya, struktur sosial orang yang ditato maupun penempatan tatonya. Meski demikian, secara religi tato memiliki makna sama dalam masyarakat Dayak, yakni sebagai "obor" dalam perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah kematian.

Karena itu, semakin banyak tato, "obor" akan semakin terang dan jalan menuju alam keabadian semakin lapang. Meski demikian, tetap saja pembuatan tato tidak bisa dibuat sebanyak-banyaknya secara sembarangan, karena harus mematuhi aturan-aturan adat.

"Setiap sub-suku Dayak memiliki aturan yang berbeda dalam pembuatan tato. Bahkan ada pula sub-suku Dayak yang tidak mengenal tradisi tato," ungkap Mering Ngo, warga suku Dayak yang juga antropolog lulusan Universitas Indonesia.

Bagi suku Dayak yang bermukim di perbatasan Kalimantan dan Sarawak Malaysia, misalnya, tato di sekitar jari tangan menunjukkan orang tersebut suku yang suka menolong seperti ahli pengobatan. Semakin banyak tato di tangannya, menunjukkan orang itu semakin banyak menolong dan semakin ahli dalam pengobatan.

Bagi masyarakat Dayak Kenyah dan Dayak Kayan di Kalimantan Timur, banyaknya tato menggambarkan orang tersebut sudah sering mengembara. Karena setiap kampung memiliki motif tato yang berbeda, banyaknya tato menandakan pemiliknya sudah mengunjungi banyak kampung.

Jangan bayangkan kampung tersebut hanya berjarak beberapa kilometer. Di Kalimantan, jarak antarkampung bisa ratusan bahkan ribuan kilometer, dan harus ditempuh menggunakan perahu menyusuri sungai lebih dari satu bulan!

"Karena itu, penghargaan pada perantau diberikan dalam bentuk tato," tutur Ketua II Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT), Yacobus Bayau Lung.

Bisa pula tato diberikan kepada para bangsawan. Di kalangan masyarakat Dayak Kenyah, motif yang lazim untuk kalangan bangsawan (paren) adalah burung enggang yakni burung endemik Kalimantan yang dikeramatkan.

Adapun bagi Dayak Iban, kepala suku beserta keturunannya ditato dengan motif "dunia atas" atau sesuatu yang hidup di angkasa. Selain motifnya terpilih, cara pengerjaan tato untuk kaum bangsawan biasanya lebih halus dan detail dibandingkan tato untuk golongan menengah (panyen).

Bagi subsuku lainnya, pemberian tato dikaitkan dengan tradisi mengayau atau memenggal kepala musuh dalam suatu peperangan. Tradisi ini sudah puluhan tahun tidak dilakukan lagi, namun dulunya semakin banyak mengayau, motif tatonya pun semakin khas dan istimewa.

Tato untuk sang pemberani di medan perang ini, biasanya ditempatkan di pundak kanan. Namun pada subsuku lainnya, ditempatkan di lengan kiri jika keberaniannya "biasa", dan di lengan kanan jika keberanian dan keperkasaannya di medan pertempuran sangat luar biasa.

"Pemberian tato yang dikaitkan dengan mengayau ini, dulunya sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan suku kepada orang-orang yang perkasa dan banyak berjasa," tutur Simon Devung, seorang ahli Dayak dari Central for Social Forestry (CSF) Universitas Mulawarman Samarinda.
TATO atau parung atau betik tidak hanya dilakukan bagi kaum laki-laki, tetapi juga kaum perempuan. Untuk laki-laki, tato bisa dibuat di bagian mana pun pada tubuhnya, sedangkan pada perempuan biasanya hanya pada kaki dan tangan.

Jika pada laki-laki pemberian tato dikaitkan dengan penghargaan atau penghormatan, pada perempuan pembuatan tato lebih bermotif religius. "Pembuatan tato pada tangan dan kaki dipercaya bisa terhindar dari pengaruh roh-roh jahat dan selalu berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa," ujar Yacobus Bayau Lung.

Pada subsuku tertentu, pembuatan tato juga terkait dengan harga diri perempuan, sehingga dikenal istilah tedak kayaan, yang berarti perempuan tak bertato dianggap lebih rendah derajatnya dibanding dengan yang bertato. Meski demikian, pandangan seperti ini hanya berlaku di sebagian kecil subsuku Dayak.

Pada suku Dayak Kayan, ada tiga macam tato yang biasanya di sandang perempuan, antara lain tedak kassa, yakni meliputi seluruh kaki dan dipakai setelah dewasa. Tedak usuu, tato yang dibuat pada seluruh tangan dan tedak hapii pada seluruh paha.

Sementara di suku Dayak Kenyah, pembuatan tato pada perempuan dimulai pada umur 16 tahun atau setelah haid pertama. Untuk pembuatan tato bagi perempuan, dilakukan dengan upacara adat di sebuah rumah khusus. Selama pembuatan tato, semua pria tidak boleh keluar rumah. Selain itu seluruh keluarga juga diwajibkan menjalani berbagai pantangan untuk menghindari bencana bagi wanita yang sedang ditato maupun keluarganya.

Motif tato bagi perempuan lebih terbatas seperti gambar paku hitam yang berada di sekitar ruas jari disebut song irang atau tunas bambu. Adapun yang melintang di belakang buku jari disebut ikor. Tato di pergelangan tangan bergambar wajah macan disebut silong lejau.

Ada pula tato yang dibuat di bagian paha. Bagi perempuan Dayak memiliki tato di bagian paha status sosialnya sangat tinggi dan biasanya dilengkapi gelang di bagian bawah betis.

Motif tato di bagian paha biasanya juga menyerupai silong lejau. Perbedaannya dengan tato di tangan, ada garis melintang pada betis yang dinamakan nang klinge.

Tato sangat jarang ditemukan di bagian lutut. Meski demikian ada juga tato di bagian lutut pada lelaki dan perempuan yang biasanya dibuat pada bagian akhir pembuatan tato di badan. Tato yang dibuat di atas lutut dan melingkar hingga ke betis menyerupai ular, sebenarnya anjing jadi-jadian atau disebut tuang buvong asu.

Baik tato pada lelaki maupun perempuan, secara tradisional dibuat menggunakan duri buah jeruk yang panjang dan lambat-laun kemudian menggunakan beberapa buah jarum sekaligus. Yang tidak berubah adalah bahan pembuatan tato yang biasanya menggunakan jelaga dari periuk yang berwarna hitam.

"Karena itu, tato yang dibuat warna-warni, ada hijau, kuning dan merah, pastilah bukan tato tradisional yang mengandung makna filososfis yang tinggi," ucap Yacobus Bayau Lung.

Tato warna-warni yang dibuat kalangan pemuda kini, hanyalah tato hiasan yang tidak memiliki makna apa-apa. Gambar dan penempatan dilakukan sembarangan dan asal-asalan. Tato seperti itu sama sekali tidak memiliki nilai religius dan penghargaan, tetapi cuma sekadar untuk keindahan, dan bahkan ada yang ingin dianggap sebagai jagoan.


 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube