BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Friday, May 20, 2011

Gawai Dayak, Pesta Kota di Pontianak

13058972381297644711

Para tamu menaiki tangga Rumah Betang Jl Sutoyo Pontianak, Kalimantan Barat, untuk mengikuti prosesi adat Pekan Gawai Dayak, Jumat (20/5/11). Foto: Severianus Endi

EVENT budaya tahunan Pekan Gawai Dayak (PGD) XXVI Kalimantan Barat resmi dibuka, Jumat (20/5/11), di halaman replika Rumah Betang Kota Pontianak, Jl Sutoyo. Artis ibu kota Jajang C Noer tampak berada di tengah-tengah lautan manusia.

Saat diwawancarai wartawan, Jajang mengatakan, event seperti ini mengingatkan akan sisi tradisionil yang jangan sampai tergilas oleh modernisasi.

“Misalnya cara berpakaian, hal yang paling sederhana melestarikan konveksi tradisional dan khas daerah,” ujar Jajang yang mengenakan bawahan kain batik dipadu kaus hitam.

1305898979293952056

Jajang C Noer saat menaiki tangga Rumah Betang di Pontianak. Foto: Severianus Endi

Acara yang dipusatkan di replika Rumah Betang Jl Sutoyo Kota Pontianak ini dimeriahkan dengan aneka atraksi tradisional dan pawai kendaraan hias keliling kota. Puluhan kendaraan roda empat yang dihiasi dengan corak khas Dayak menyusuri jalan-jalan protokol. Atraksi barongsai dengan replika naga sepanjang 30 meter dari kalangan Tionghoa juga turut menyemarakkan acara.

Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, yang juga Ketua Umum Dewan Adat Dayak (DAD)berhalangan hadir membuka acara ini. Sebagai gantinya, diutuslah Asisten Gubernur MH Munsin, serta dari Kementerian Pariwisata diwakili Kepala Bidang Promosi Wisata Dalam Negeri.

Unsur pimpinan DAD Kalimantan Barat, Yakobus Kumis, mengatakan, pelaksanaan PGD yang hingga saat ini terus konsisten, sebagai bukti eksistensi budaya Dayak di tengah arus modernisasi.

“Apalagi event ini tak hanya dihadiri kalangan dalam negeri, tetapi juga dari rumpun etnis Dayak yang berdiam di Malaysia,” ucap Yakobus penuh semangat.

Satu di antara peserta dari Malaysia, Alim Ga Mindek, menuturkan, mereka hadir dalam bentuk perwakilan beberapa lembaga. Lebih dari 35 orang warga Dayak Sarawak yang hadir, tergabung dalam Dayak Chamber of Commerse and Industry (DCCI), Sarawak Dayak National Union (SDNU) serta Borneo Dayak Forum (BDF).

“Saya sangat menikmati naik kendaraan karnaval ini. Acara gawai di Sarawak tidak memiliki agenda pawai,” ujar Alim.

Event PGD berlangsung selama sepekan, sehingga di halaman Rumah Betang berdiri lebih dari 30-an petak kios yang menjual berbagai pernak-pernik, busana tradisional dan kuliner khas. Panitia juga memperlombakan sejumlah permainan tradisional serta kontes Bujang Dara Dayak.

13058991501999875386

Kendaraan hias dengan motif khas Dayak berparade keliling kota. Foto: Severianus Endi

Sejarah Pesta Penen

Dari sejarahnya semula sebagai pesta panen, Gawai Dayak kini telah menjadi event modern semacam town fiesta. Event rutin tahunan yang digelar setiap bulan Mei ini telah berlangsung selama 25 tahun.

Gawai Dayak menampilkan berbagai rangkaian acara unik dan menarik. Tak lagi sebatas ritual syukur ala tradisional, tetapi sudah dikombinasikan dengan penampilan kreasi seni budaya modern dengan ikon berupa kontes untuk kawula muda dengan sebutan Bujang-Dara Gawai.

Event budaya ini berakar dari tradisi terpenting suku Dayak, yakni upacara adat perladangan. Dari berbagai rangkaian ritual perladangan, upacara adat terakhir berupa syukur atas hasil panen kepada Jubata, sebutan untuk Tuhan.

Masing-masing sub suku Dayak memiliki ritual dan sebutan yang berbeda, dan di antaranya ada yang menyebut Naik Dango. Dahulu kala, upacara pascapanen ini dibatasi pada wilayah kampung atau ketimanggungan.

Acaranya pun hanya terbatas pada pelantunan doa atau mantra yang disebut nyangahatn, serta saling kunjung sesama warga dengan suguhan utamanya makanan tradisional seperti lemang, yakni nasi ketan yang ditanak di dalam bambu dan berbagai suguhan lainnya. Pelaksanaan gawai tradisional digelar sampai tiga bulan pada rentang April hingga Juni.

Dalam event modern Gawai Dayak saat ini, berbagai ritual tradisional tidak ditinggalkan. Acara inti tetap berupa nyangahatn, yang digelar sebelum pelaksanaan, sebagai wujud pemberitahuan dan mohon restu kepada Jubata untuk pelaksanaan pesta adat.

Kemudian pada hari pelaksanaannya, nyangahatn dilakukan untuk memanggil semangat atau jiwa padi yang belum kembali, untuk dikumpulkan kembali dan memberkati beras agar memberi kesehatan dan kesejahteraan.

Sebagai sebuai event budaya, Gawai Dayak menampilkan permainan tradisional, berbagai bentuk kerajinan yang juga bernuansa tradisional. Permainan unik bisa disaksikan, seperti gasing, lomba menumbuk padi, perlombaan menggunakan senjata sumpit, sampai lomba membuat patung kayu.

Di awal kemunculannya pada 30 Juni 1986, hanya berupa pentas seni satu malam yang diselenggarakan oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (Sekberkesda). Sejak 1992 berubah nama menjadi Gawai Dayak dan digelar selama sepekan.

Pelaksanaanya selalu difokuskan di replika rumah panjang di Jl Sutoyo Kota Pontianak. Rumah panjang merupakan jantung kebudayaan Dayak, karena dahulu kala komunitas-komunitas orang Dayak hidup di rumah panjang.

SEVERIANUS ENDI

sumber : www.kompasiana.com

Thursday, May 19, 2011

Sisa Kemolekan Borneo

Lebih dari 1,5 abad lalu, peneliti dari Hindia Belanda, DCALM Schwaner, menuliskan keindahan alam dan budaya masyarakat Kalimantan dalam buku Borneo Beschruving Van Het Stroomgebied Van Den Barito jilid I dan II. Apa yang dilihat Schwaner kala itu mungkin sulit ditemukan lagi, alam Kalimantan telah rusak. Yang membuat kian menarik, buku Schwaner yang berkisah tentang geliat kehidupan di dua sungai besar di Borneo, yakni Barito dan Kahayan, itu dilengkapi grafis berupa litografi atau chromolithograf berwarna karya CW Mieling, pegrafis yang juga dari Belanda.

Sebanyak 26 grafis, masing-masing 12 gambar kehidupan di sepanjang Sungai Barito dan 14 di Sungai Kahayan, dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta, 2-10 Februari 2010. Karya grafis asli yang memiliki ukuran kecil 13 x 23 sentimeter itu diperbesar dengan teknik cetak digital untuk kemudian dipamerkan kepada masyarakat.

Mieling melukiskan berbagai kehidupan masyarakat, seperti tarian kaum laki-laki dari suku Ot Danom yang berdiam di wilayah utara Kapuas. Sejumlah lelaki setempat melakukan upacara yang disebut babangsai dengan mengitari sebuah totem atau patung nenek moyang. Upacara yang dilakukan di halaman rumah adat itu menggunakan penerangan api unggun.

Tidak hanya itu, Mieling juga melukiskan bagaimana para dukun (balian) berusaha menyembuhkan wanita sakit. Di Borneo, dukun menjadi perantara antara roh dari alam gaib dan wanita di dunia nyata. Dalam proses penyembuhan, dukun memulainya dengan tarian, dengan memberikan benda kesukaan para roh untuk ditukar dengan penyakit yang diderita si perempuan.

Tambang

Perhatian Mieling tidak semata-mata ditujukan pada budaya dan tarian. Aktivitas masyarakat dalam melakukan penambangan intan tradisional juga tidak lepas dari perhatiannya. Penambangan emas di Martapura, misalnya. Dalam grafis terkait, digambarkan bagaimana 13 orang mendulang emas di sungai dengan latar belakang alam dan rumah-rumah tradisional. Hingga kini Martapura di Kalimantan Selatan mendapat julukan sebagai Kota Intan.

Selain itu, ada juga aktivitas penyeberangan masyarakat di Sungai Barito. Sejumlah masyarakat dengan perahu kecil, tetapi panjang, sejenis jukung, berpapasan dengan perahu lain yang berbentuk mirip rakit kayu, tetapi di atasnya terdapat bangunan mirip rumah. Alat penyeberangan seperti ini mampu memuat banyak penumpang.

Tidak berhenti sampai di situ, Mieling juga menggambarkan bagaimana pakaian kebesaran seorang Sultan Banjar pada masa itu. Sultan Banjar mengenakan jas berenda emas dan ikat kepala. Sultan membawa keris pusaka dari emas, sedangkan anak buahnya hanya membawa benda kesukaan sultan, seperti tempat kinang, tempat air, dan payung.

Apa yang digambarkan Mieling menunjukkan Kalimantan saat itu sangat kaya, bukan saja oleh kebudayaan, tetapi juga sumber daya alam. Kekayaan itu tersebar di gunung, sungai, kampung air (rawa), bahkan hingga pedalaman tempat suku dayak bermukim.

Kini, perlahan, tetapi pasti, kerakusan manusia telah menggerogoti kekayaan dan semua keindahan itu. Kalimantan mirip kulit bopeng akibat penambangan, terutama batu bara. Cekungan-cekungan lebar bekas tambang batu bara ditinggalkan begitu saja hingga menjadi danau.

”Melalui lukisan ini, kita bisa membayangkan bagaimana tanah yang indah ini telah diobrak-abrik tambang. Hutannya menjadi gundul habis-habisan,” kata Sindhunata, kurator seni.

Kerusakan alam Kalimantan dirasakan Rokhyat, seniman asli Suku Banjar yang menggagas kegiatan.

Menurut Rokhyat, gunung yang terlihat masih utuh satu bulan lalu tidak mustahil saat ini telah berubah menjadi cekungan. Masyarakat pun tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, mereka kerap menjadi kambing hitam apabila ada kerusakan lingkungan di sekitarnya.

Entah ke mana perginya para perusak hutan dengan hasil jarahannya? Kemolekan Borneo kini tinggal di lukisan grafis saja. (WER)

sumber : Kompas.com

Sumbu Perdamaian Tumbang Anoi

Oleh Agustinus Handoko dan Bayu Dwi Radius

Tumbang Anoi adalah tempat bersejarah perjalanan masyarakat Dayak. Tumbang Anoi menjadi tempat rapat akbar untuk mengakhiri tradisi ”mengayau” pada tahun 1894. Kini, setelah satu abad berlalu, Tumbang Anoi tetap menjadi sumbu perdamaian bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah.

Mengayau atau memenggal kepala musuh dalam perang antarsuku dahulu kala adalah salah satu kebiasaan sejumlah subsuku Dayak di daratan Kalimantan (kini terbagi menjadi wilayah Indonesia, Malaysia, dan Brunei) yang sangat ditakuti. Kadangkala, mengayau tidak hanya dilakukan dalam peperangan, tetapi juga ketika merampok, mencuri, atau menduduki wilayah subsuku lain.

Sebelum disepakati untuk dihentikan, mengayau makin membudaya karena semakin banyak kepala musuh yang dipenggal (dibuktikan dengan banyaknya tengkorak musuh di rumahnya), seorang lelaki semakin disegani. Bahkan, perselisihan antarsuku terus berlanjut karena masing-masing suku membalas dendam. Perselisihan berkepanjangan itu membuat Residen Belanda di Kalimantan Tenggara yang kini meliputi wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan merasa tidak aman.

Dalam bukunya, Pakat Dayak, KMA M Usop menuturkan, Brus, Residen Belanda Wilayah Kalimantan Tenggara, pada Juni 1893 mengundang semua kepala suku yang terlibat sengketa ke Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, untuk membicarakan upaya perdamaian.

Dalam pertemuan itu disepakati, harus digelar pertemuan lanjutan yang melibatkan seluruh suku Dayak di Borneo untuk membahas berbagai persoalan yang menjadi akar perselisihan. Namun, menggelar pertemuan lanjutan itu bukan pekerjaan mudah. Ketika itu, akses antarwilayah masih mengandalkan sungai.

Satu-satunya kepala suku yang mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah pertemuan akbar itu adalah Damang Batu, salah satu kepala suku Dayak Ot Danum di Tumbang Anoi. Sepulang dari Kuala Kapuas, Damang Batu yang ketika itu berumur 73 tahun langsung memulai pekerjaan besarnya menyiapkan tempat dan logistik.

Selama lima bulan hingga akhir 1893, Damang Batu tak pernah menetap di desanya. Ia terus berkeliling ke desa lain untuk mengumpulkan makanan. Ada cerita lain yang menyebutkan, Damang Batu juga menyiapkan 100 kerbau miliknya untuk makanan para undangan. Ia juga meminta masyarakat di Tumbang Anoi dan sekitarnya membangun pondok bagi tamu undangan rapat.

Damang Batu jugalah yang menyebarkan undangan rapat secara berantai kepada kepala suku-kepala suku di daratan Kalimantan.

Sebanyak 152 suku diundang ke Tumbang Anoi. Dalam rapat yang digelar selama dua bulan sejak 22 Mei hingga 24 Juli 1894 itu, sekitar 1.000 orang hadir. Mereka dari suku-suku Dayak dan sejumlah pejabat kolonial Belanda wilayah Borneo. Usop juga mencatat, sedikitnya 50 kerbau, 50 sapi, dan 50 babi, serta bahan makanan lain seperti beras dan ubi kayu disediakan untuk konsumsi mereka yang hadir ketika itu.

Selain mengakhiri tradisi pengayauan, rapat akbar itu juga menyepakati beberapa keputusan penting, di antaranya menghentikan perbudakan dan menjalankan hukum adat Dayak.

Dalam catatan sejarah yang ditulis Usop, rapat di Tumbang Anoi itu juga membahas sekitar 300 perkara. Sebanyak 233 perkara dapat diselesaikan, 24 perkara ditolak karena kedaluwarsa atau sudah lebih dari 30 tahun, dan 57 ditolak karena kekurangan bukti.

Kahayan

Tumbang Anoi adalah salah satu pusat permukiman penduduk Dayak Kadorih, salah satu subsuku Dayak Ot Danum di hulu Sungai Kahayan, Kalimantan Tengah. Tumbang Anoi kini masuk wilayah administratif Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang dihuni 418 warga dari 116 keluarga. Untuk mengenang kegigihan mengumpulkan dan menyelenggarakan rapat akbar yang sangat sulit dilakukan saat itu, nama Damang Batu dijadikan nama kecamatan.

Tumbang Anoi berjarak sekitar 300 kilometer arah utara Palangkaraya, ibu kota Kalimantan Tengah. Hingga saat ini, tempat itu masih harus ditempuh dengan perjalanan darat selama tujuh jam, dilanjutkan dengan menggunakan perahu motor menyusuri Sungai Kahayan ke arah hulu selama dua jam dari Tumbang Marikoi, ibu kota Kecamatan Damang Batu.

Waktu tempuh yang amat lama itu dipengaruhi kondisi jalan yang tidak bagus. Sebagian besar jalan belum diaspal dan hanya berupa jalan tanah. Ketika musim hujan, beberapa titik tidak dapat dilalui kendaraan berpenggerak dua roda.

Bekas tempat rapat akbar Tumbang Anoi tahun 1894 kini tinggal puing, berupa tiang-tiang rumah betang atau rumah panjang khas Dayak. Replika rumah betang dibangun tak jauh dari puing-puing rumah betang yang lama.

Malu

Kendati tempat rapat akbar itu tinggal menyisakan puing, semangat Damang Batu masih tetap membekas dan terus diperjuangkan oleh masyarakat Tumbang Anoi. Di daerah itu berkembang budaya malu melakukan kekerasan untuk menghormati Damang Batu yang kerangkanya disimpan di dalam sandung atau semacam rumah panggung kecil di depan rumah betang Tumbang Anoi.

Atmosfir itu terasa, misalnya, begitu kami menginjakkan kaki di Tumbang Anoi. Masyarakat menyapa ramah orang luar yang berkunjung.

Ngoa Huka Batuputera (42), salah satu keturunan Damang Batu dari generasi ketiga, menuturkan, pengorbanan Damang Batu untuk menyatukan seluruh suku Dayak di Borneo sangat membanggakan. ”Rasa bangga itu kami pelihara dengan menghormati semangatnya menjaga perdamaian. Tak hanya tradisi mengayau yang kami akhiri dan kami jaga agar sekarang tidak terulang, kami juga mengupayakan kondisi masyarakat yang tenteram tanpa kekerasan,” kata Ngoa.

Sekretaris Desa Tumbang Anoi Dagon Kapari menuturkan, di desanya nyaris tak pernah ada konflik masyarakat. Nilai-nilai perdamaian Tumbang Anoi diterapkan masyarakatnya dengan kuat. ”Rasanya malu kalau ada perselisihan. Ketika terjadi kerusuhan Sampit tahun 2001, tak ada warga Tumbang Anoi yang ikut-ikutan,” katanya.

Dagon mengakui, kerusuhan Sampit menjadi salah satu noktah dalam lembar sejarah perdamaian masyarakat Dayak yang diupayakan Damang Batu. ”Kami sangat menyesalkan adanya kerusuhan itu. Semua di luar kehendak kami,” kata Dagon.

Tradisi pakanan sahur lewu atau ungkapan syukur atas keselamatan selama satu tahun masih tetap dipertahankan masyarakat Tumbang Anoi. Ini adalah tradisi tahunan setiap Desember untuk memupuk rasa persaudaraan sesama masyarakat Tumbang Anoi yang kini telah beragam keyakinannya.

Dulu, masyarakat Tumbang Anoi menganut keyakinan Kaharingan. Kini, keyakinan yang dianut beragam, antara lain Kaharingan, Kristen, dan Islam. Masyarakat yang berbeda keyakinan saling menghormati dan memahami, misalnya, apa yang boleh atau tidak boleh dihidangkan bagi penganut lainnya.

sumber : Kompas.com

Wednesday, May 18, 2011

AS Kembalikan Lima Tengkorak Suku Dayak

NEW YORK, KOMPAS.com — Pemerintah Amerika Serikat membongkar penyelundupan lima tengkorak manusia berukir yang diyakini milik suku Dayak di Kalimantan dan berasal dari abad ke-18 dan ke-19. Tengkorak itu telah diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Tengkorak-tengkorak itu pada Senin (16/5/2011) diserahkan oleh Pemerintah AS kepada Pemerintah Indonesia dalam sebuah upacara di Konsulat Jenderal RI di New York.

Penanda tangan penyerahan dilakukan oleh Deputy Special Agent US Immigration and Customs Enforcement (ICE)-Homeland Security Investigation (HSI) di New York Mona B Forman, yang mewakili Pemerintah AS, dan Acting Konsul Jenderal RI di New York Zahermann Muabezi, mewakili Pemerintah Indonesia.

Upaya penyelundupan lima benda purbakala suku Dayak itu digagalkan setelah para petugas US Customs and Border Protection (CBP) menindaklanjuti kecurigaan mereka terhadap sebuah paket yang mereka periksa di kantor pos di Newark, New Jersey, Agustus 2010.

Paket tersebut mencantumkan Bali, Indonesia, sebagai alamat pengirim. Pernyataan yang melekat di paket mencurigakan itu menyebutkan bahwa barang-barang yang ada dalam paket nilainya tidak lebih dari 5 dollar AS.

Para agen HSI New York kemudian melakukan investigasi terhadap asal-muasal pengiriman serta melakukan pengecekan terhadap perkiraan nilai tengkorak-tengkorak, yang masing-masing memiliki ukiran dengan ciri khas tersendiri. Perkiraan diperlukan karena, menurut peraturan bea impor AS, setiap pengiriman benda dengan nilai lebih dari 2.000 dollar AS harus disertai dengan pernyataan yang jelas.

Ahli spesialis jual-beli benda seni yang ditunjuk HSI untuk melakukan penilaian secara independen terhadap kelima tengkorak ternyata menyebutkan nilai yang jauh berbeda. Setiap tengkorak dengan ukiran unik itu disebutkan memiliki nilai antara 3.000 dollar dan 4.800 dollar AS.

Tengkorak-tengkorak tersebut akhirnya disita oleh HSI karena nilai totalnya sekitar 20.000 dollar AS. HSI juga memutuskan kelima tengkorak diserahkan kepada Pemerintah Indonesia.

Pengembalian benda purbakala itu, ujar Mona B Forman, merupakan upaya AS dalam menunjukkan rasa hormat pada warisan budaya milik rakyat Indonesia.

"Pengembalian benda seni yang unik, bernilai seni, dan sangat berharga bagi rakyat Indonesia ini mengingatkan kita kembali akan nilai penting benda-benda bersejarah dan benda-benda warisan budaya, yaitu bahwa nilainya jauh lebih besar daripada harga yang bisa disebutkan dalam dollar dan sen," kata Forman.

Forman mengatakan, saat ini investigasi masih terus dilakukan dalam upaya mengungkap pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam kasus pengiriman barang-barang purbakala tersebut ke AS.

Diterbangkan ke Jakarta

Zahermann Muabezi seusai penandatanganan serah terima menyampaikan pujian atas kerja keras dan kerja sama yang disampaikan oleh ICE HSI dan CBP. Ia mengungkapkan, kelima tengkorak suku Dayak itu akan langsung diterbangkan pada Senin malam ke Jakarta.

Benda-benda purbakala tersebut akan dibawa oleh Konsul Protokol dan Konsuler KJRI-New York Abraham FI Lebelauw menggunakan pesawat maskapai penerbangan Singapore Airlines, yang dijadwalkan tiba di Jakarta pada Rabu (18/5/2011).

Lima tengkorak Dayak kemudian akan diserahterimakan keesokan harinya (19/5/2011) dari Kementerian Luar Negeri RI kepada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Setelah itu, akan ditentukan apakah tengkorak-tengkorak tersebut akan diserahkan kepada komunitas suku Dayak di Kalimantan atau akan disimpan di museum.

Menurut Mona B Forman, penyerahan pada hari Senin merupakan pertama kalinya yang dilakukan ICE HSI New York menyangkut benda-benda purbakala selundupan asal Indonesia. ICE adalah badan pemerintah AS yang kerap memainkan peran utama dalam berbagai investigasi tindak kriminal terkait dengan impor dan distribusi cagar budaya secara ilegal, juga perdagangan ilegal benda seni, terutama barang-barang seni yang dilaporkan hilang atau dicuri.

Sejak tahun 2007, ICE telah merepatriasi lebih dari 2.100 cagar budaya, benda seni, dan benda antik ke lebih dari 15 negara. Melalui 70 kantor atase di 40 negara, kantor ICE Urusan Internasional dapat melakukan kerja sama dengan pemerintah asing untuk menjalankan investigasi bersama guna mengungkap kasus-kasus penyelundupan dan perdagangan cagar budaya.

Di AS, pelaku perdagangan ilegal cagar budaya, benda seni, dan barang antik diancam hukuman penjara hingga 20 tahun, juga denda serta kemungkinan pembayaran ganti rugi terhadap pengembalian barang.

sumber : Kompas.com

Monday, May 2, 2011

Penghancuran Otoritas Kedamongan

Dulu seorang Damong Adat begitu sangat dihormati dan dihargai sebagai penjaga identitas di wilayah kedaulatan adatnya. Petuah-petuah yang disampaikannya pun begitu sangat ditaati oleh warga komunitasnya. Menjadi seorang Damong bukanlah sebuah jabatan atau pengakuan semata tanpa pertimbangan yang khusus. Damong Adat harus memiliki kriteria yang dianggap mampu membawa keberlangsungan dan menjaga keberlangsungan adat dan tradisi dalam komunitasnya. Oleh karena itu, syarat untuk seseorang yang bisa menjadi Damong haruslah orang yang Becangkam Landas Beliur Bisaq (memiliki karisma), rela berkorban dan tidak menuntut imbalan atas jasanya atau dengan kata lain digaji.
Dalam hal perkara adat misalnya, sosok Damong Adat ini sangat dibutuhkan dalam menjaga nilai-nilai demokratisasi. Karena yang berhak mengadakan sidang hukum adat atau perkara adat adalah pengurus adat atau Damong Adat yang diangkat komunitasnya. Damong adat tersebut tahu semua hal tentang hukum adat karena memang itulah syarat mutlak yang dimiliki seorang Damong Adat. Bahkan kalau sampai Damong Adat tidak ada atau tidak bisa datang, perkara adat tersebut tidak dapat dilaksanakan atau ditunda untuk mengambil sebuah keputusan. Begitu pula dalam setiap proses pelaksanaan upacara adat, peran Damong Adat begitu besar. Sehingga dengan sangat besarnya peran yang dimiliki ini, warga kampung pun sangat tanggap dan selalu berpartisipasi, baik itu berupa tenaga, dukungan materi (bahan-bahan ritual adat), waktu, maupun pikiran.
Namun sangat ironis pada kondisi saat ini, hampir sebagian besar di komunitas orang Dayak, seorang Damong Adat kini hampir-hampir tidak ada perannya lagi. Gaungnya kalah jauh dibandingkan dengan peran dan kepopuleran lembaga-lembaga adat yang pembentukan dan pemilihannya tidak lagi mengutamakan prinsip-prinsip yang seyogyanya berlaku dalam pembentukan dan pemilihan seorang Damong Adat pada setiap komunitas Dayak.
Sebut saja lembaga-lembaga adat seperti Majelis Adat Dayak (MAD), Dewan Adat Dayak (DAD), dan seorang Kepala Desa ataupun Kepala Dusun yang sudah merasuki ke seluruh elemen kehidupan sosial kemasyarakatan. Dampaknya, saat ini mekanisme pemilihan Damong Adat sudah ada yang tidak lagi secara langsung dipilih oleh warga komunitasnya. Justru, ada Damong Adat yang secara langsung dipilih dan ditentukan secara sepihak oleh Pemerintah tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan warga kampung sesuai mekanisme pemilihannya. Kemudian aspek yang berkaitan dengan kebijakan penggabungan beberapa kampung menjadi satu Desa juga, sangat membatasi gerak dan peran Damong Adat. Setelah wilayah kekuasaan dipersempit, dimunculkanlah beberapa organisasi “tandingan” oleh Pemerintah Daerah tanpa melibatkan masyarakat komunitas, seperti DAD Desa, DAD Kecamatan, DAD Kabupaten. Tidak mengherankan sehingga kemudian terjadilah tumpang tindih kekuasaan, kebingungan, dan saling menunggu dalam menerapkan hukum adat. Hal ini sangat berpengaruh terhadap otoritas dan eksistensi Damong Adat.
Di komunitas Dayak Simpakng fakta ini sudah terjadi. Ketika benua Simpakng dipecah menjadi dua wilayah administratif, yakni Kecamatan Simpang Hulu dan Kecamatan Simpang Dua, otoritas Damong semakin terlupakan, bahkan dalam proses pemilihan kepala adat (Patinggi), pun mulai menjauh dari mekanisme pemilihan yang sebenarnya. Pemilihannya sarat dengan manupulasi, intervensi dan tak ubahnya seperti pemilihan politik untuk menentukan wakil rakyat baik ditingkat legislatif maupun eksekutif. Otoritas Damong Adat semakin terlupakan seiring dengan pengaruh-pengaruh ekseternal seperti kemajuan informasi dan komunikasi yang tidak berimbang, pendidikan yang terpaku pada kurikulum nasional, dan agama yang memporakporandakan tatanan nilai-nilai budaya lokal menjadi faktor penentu dalam keberlangsungan identitas asli masyarakat Simpakng. Kondisi ini juga terjadi di daerah dimana komunitas Dayak secara turun temurun hidup dengan tradisi leluhurnya yang saat ini berada dalam situasi kegamangan.
Selain itu juga, seringkali ditemukan kata-kata sakti yang selalu dipakai atau dijadikan senjata oleh pihak pemerintah dan Investor untuk menakut-nakuti dan mengalahkan peran Damong Adat yakni bahwa Hukum adat tidak diakui dalam negara Indonesia dan tidak diakui dalam sistem hukum di Indonesia. Hukum Adat selalu dibenturkan dengan Hukum Negara. Hukum adat disebut hukum negatif bukan hukum positif. Sehingga, Damong Adat terutama yang belum mendapat pengetahuan secara memadai tentang hukum negara, sering takut atau ragu-ragu menerapkan hukum adat kepada pihak luar yang merampas hak-hak mereka.
Dampaknya pun sangat terasa dalam kehidupan masyarakat adat Dayak dimana pun saat ini. Otoritas Damong Adat semakin terpinggirkan, tidak ditaati sehingga kepercayaan terhadap Damong Adat semakin terkikis dan menjauhi segala aturan-aturan adat yang berlaku. Tidak heran jika ada kasus-kasus yang sebenarnya bisa diselesaikan ditingkat Damong Adat harus menunggu DAD terlebuh dahulu atau dibawa kekepolisian atau ke pengadilan. Begitu pula dalam setiap proses upacara adat, banyak warga kampung yang tidak lagi mengikuti sampai habis. Datang sebentar lalu pulang. Padahal dalam upacara-upacara adat tersebut akan ditetapkan tentang pantang pantiq atau aturan adat mana yang harus ditaati. Dan yang sangat memprihatinkan lagi, jika ada upacara adat dan perkara adat justru yang ditunggu-tunggu dan dinanti-nanti kedatangannya adalah seorang Kepala Desa, kepala dusun dan DAD. Damong Adat yang sesungguhnya pun semakin dilupakan karena posisi mereka dijadikan bagian dari struktural keberadaan lembaga-lembaga tersebut, padahal keberadaan damong-damong adat ini independen, sehingga segala keputusan dan keberlangsungan adat istiadat didalam lingkup komunitasnya menjadi tanggung jawab dan wewenangnya sendiri bukan harus tergantung pada keberadaan lembaga-lembaga adat itu.
Fenomena inilah yang kemudian menjadi dilema kebanyakan para Damong Adat. Derasnya arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, semakin membiaskan keberadaan para Damong Adat. Ditambah lagi dengan keberadaan lembaga-lembaga adat yang begitu diagung-agungkan justru semakin mengebiri identitas orang Dayak itu sendiri. Di beberapa daerah ada pengurus DAD yang memanfaatkan posisinya bekerjasama dengan para investor untuk menyosialisasikan perusahaan perkebunan dan pertambangan dan meminta agar warga masyarakat Dayak mau menerima agenda bisnis berkedok kesejahteraan ini dan menyerahkan tanahnya dengan nilai yang sangat murah. Ada indikasi, oknum dari pengurus DAD itu disogok oleh pihak investor agar keinginan bisa terwujud. Hal seperti itu bisa saja terjadi, karena lembaga-lembaga adat tersebut sangat strategis dan dianggap representatif dalam menggoyah keteguhan hati orang Dayak dalam mempertahankan kedaulatan wilayah adatnya yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka.
Di Indonesia, sesungguhnya keberadaan hukum adat diakui. Dalam penjelasan UUD 1945 (hasil amandemen), pasal 18 B ayat 2, pasal 28I ayat 3 UUD 1945, UUD RIS 1949 pasal 146, Tap MPR No IX/2001 pasal 4 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA huruf j, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 6, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 2 ayat 9, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 3, UU No 41/1999 tentang Kehutanan pasal 4 ayat 3, UU No. 7/2004 tentang sumber Daya Air pasal 6 ayat 3, UU No 18/2004 tentang perkebunan pasal 9 ayat 2, UU No. 14 tahun 1974 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 23 ayat 1 dan pasal 27 ayat 1, UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 pasal 3 dan 5, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1. Berdasarkan peraturan tersebut, memberi pemahaman bahwa sebenarnya secara yuridis atau hukum, hukum adat itu diakui oleh Negara. Tinggal kini mau atau tidaknya pihak pemerintah dan investor untuk menerapkan pengakuan secara de facto terhadap hukum adat dan Damong Adat sendiri tidak lagi merasa takut dan tergantung pada pihak luar dalam melaksanakan aturan adat. Ada saling keterkaitan antara Hukum adat dan Damong Adat. Kalau Damong Adat dibatasi perannya, maka hukum adat juga akan dibatasi. Dan, kalau Hukum Adat tidak diakui maka Damong Adat tidak akan memiliki peran lagi.
Keberadaan lembaga adat dikalangan masyarakat Dayak memang begitu penting karena mengatur hajat hidup masyarakatnya, namun akhir-akhir ini pergeseran nilai dan manfaat yang terjadi telah menafikan sisi positif dari lembaga adat tersebut. Faktor-faktor seperti tidak becusnya para pemangku adat, ditungganginya DAD oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak diakuinya lembaga adat lokal telah membuat gaung hukum adat semakin kecil. Risih rasanya melihat para tokoh adat Dayak yang hanya memperjuangkan isi dompetnya sendiri dan berkonspirasi terhadap kasus-kasus yang merugikan masyarakat Dayak. Dewan Adat Dayak yang memiliki kekuatan cukup besar dalam kehidupan sosial masyarakat Dayak ternyata hanyalah tameng bagi pemerintah dan pemilik modal, mereka tidak lagi murni memperjuangkan hak-hak masyarakat Dayak dan menjadi pengayom hukum daerah melainkan telah bergeser fungsi dan manfaat. (*FL & AP)

sumber : www.franslakon.blogspot.com
 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube