BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Saturday, February 5, 2011

Wisata Kalimantan, dari Madu hingga Songket Dayak

PERNAH meminum madu borneo? Manisnya khas karena dihasilkan dari lebah hutan Apis Dorsata. Jika Anda sudah puas menikmati keindahan Danau Sentarum dengan segala flora dan faunanya maka tak ada salahnya memburu madu borneo itu.

Di sekitar lokasi Danau Sentarum dalam lingkup Taman Nasional Betung Karihun, terdapat perkampungan penghasil madu yang sudah berlangsung turun temurun. Di wilayah ini sebanyak 70 ton madu dihasilkan tiap tahunnya.

Dikelola secara tradisional, madu borneo justru memiliki keunggulan karena keasliannya. Penduduk di sana hanya mengambil madu lebah hutan dari sarang yang sudah matang dengan ketinggian di atas pohon bisa mencapai 50 meter lebih.

Di samping itu cara pengambilan madu tidak dengan memeras sarang, akan tetapi dengan cara memotong sarang (labang kepala) dan meletakkannya di atas kain penapis kemudian dibiarkan menetes dengan sendirinya.

Yang membedakan madu borneo di kawasan Danau Sentarum ialah berasal dari lebah liar yang mempunyai habitat di hutan, bukan lebah budidaya. Lebah-lebah hutan itu bebas membuat koloni (sarang) di pohon, kadang kadang juga di bebatuan di tebing jurang. Pakan pun memilih sendiri dari bunga-bunga alami di hutan. Dengan demikian madu yang dihasilkan adalah organik.

Penduduk di sana memanfaatkannya untuk diramu dengan sejenis rempah agar badan menjadi bugar dan hangat saat diminum. Tak heran orang Malaysia memburu jenis madu ini langsung ke masyarakat sekitar hutan untuk kemudian dikemas dan dijual kepada wisatawan di Malaysia.

Kepala Bidang Sosial Budaya Bappeda Kapuas Hulu Amini Maros mengakui banyaknya potensi ekonomi yang bisa untuk menyejahterakan warga di sekitar Danau Sentarum. "Mungkin ke depan kita harus punya konsep menyeluruh menjadikan Danau Sentarum menjadi destinasi wisata ecotourism," katanya.

Pengembangan wisata ecotourism ini diyakini mampu menyedot wisatawan asing yang jika berada di wilayah Kalimantan hanya sampai di Kucing dan Serawak (Malaysia) saja. Dengan modal keindahan alamnya, kegiatan masyarakat di sekitar Danau Sentarum yang terbilang unik serta seni dan budayanya, destinasi seperti ini menawarkan sensasi pariwisata yang komplit.

Tak jauh dari kawasan Danau Sentarum terutama, warga Kumpang Ilong di Kabupaten Sekadau banyak yang melakukan aktivitas menenun. Tenunan mereka dikenal dengan tenun Belitang. Masyarakat juga membuat tikar lampit, bakul, dan raga, semacam ayaman berbentuk kotak untuk menyimpan oleh-oleh.

Untuk melestarikan tradisi menenun ini pemerintah provinsi Kalimantan Barat mewadahinya dalam Dekranas. Tradisi menenun bayak dilakukan oleh suku dayak Kantuk dan Iban.

Yuliana, seorang warga Dayak Kantuk, mengisahkan tenunan mereka banyak dicari wisatawan yang berkunjung ke Kalbar. Harga tenun tangan menurutnya bervariasi tergantung motif dan bahan yang digunakan. Warna kuning, merah terlihat mendominasi tenunan mereka.

Yuliana menyontohkan, kain tenun dengan lebar 70x170 cm dihargai sekitar Rp 350 ribu. "Kita biasa membuat pesanan untuk taplak meja dan sarung bantal," katanya, sambil memainkan tangannya menggerakkan alat tenun tradisional.(MI/*)

sumber : Media Indonesia

Pelestari Musik Dayak Sape

Agustinus Handoko

”Sape’ benutah tulaang to’ awah”. Petikan ungkapan itu termuat dalam ”Tekuak Lawe’”, sastra lisan yang turun-temurun ada di kalangan masyarakat Dayak Kayaan-Kenyah. Secara harfiah, ungkapan itu berarti alat musik sape’ mampu meremukkan tulang belulang hantu yang bergentayangan.

” Ungkapan itu menggambarkan bahwa alat musik sape’ mampu membuat orang yang mendengarkan merinding hingga menyentuh tulang atau perasaan kita. Kalangan tetua adat zaman dulu memang betul bisa merasakannya karena nuansa pedesaan saat itu masih ’kental’,” kata Dominikus Uyub, pemain sekaligus pelestari alat musik sape’.

Sape’ adalah alat musik petik dari Dayak Kayaan-Kenyah. Bentuknya seperti gitar. Perbedaannya terdapat pada posisi grip dan tak adanya lubang untuk menggaungkan bunyi petikan senar. Sumber bunyi sape’ hanya berasal dari petikan senar.

Alat musik ini biasa dimainkan dalam acara-acara adat. Dulu, alat musik sape’ juga sering dimainkan kaum muda ketika mereka berkumpul pada malam hari. Di perkampungan masyarakat Dayak Kayaan- Kenyah pada masa lalu, sape’ juga sering dipakai kaum muda untuk mendekati perempuan yang ditaksirnya.

Biasanya sape’ dimainkan di rumah panjang atau rumah betang, yaitu rumah komunal masyarakat Dayak. Rumah betang itu disekat-sekat untuk ruang pribadi masing-masing keluarga. Di rumah betang juga tersedia ruang besar untuk acara adat atau berkumpul keluarga besar yang tinggal di rumah betang tersebut. Di ruang besar itulah, pada masa lalu, para pemuda Dayak unjuk kebolehan bermain sape’.

”Dari cerita-cerita orang tua, dulu, pemain sape’ yang mahir biasanya mendekati wanita yang disukainya dengan menggunakan sape’. Sangat romantis,” ujar Uyub.

Dewasa ini, sape’ juga sering dimainkan dalam acara-acara seremoni pemerintah, terutama ketika ada tamu dari luar daerah. Sape’ terdiri dari minimal tiga senar. Di Dayak Kenyah, grip-grip akan menghasilkan 14 nada tunggal, sedangkan di Kayaan grip sape’ biasanya menghasilkan delapan nada.

Ditertawakan

Uyub mengenal alat musik sape’ sejak masih kecil. Ayahnya adalah pemain sape’ yang diakui mahir di kampungnya, Dusun Pagung, Desa Datah Diaan, Kecamatan Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

”Awal ketertarikan saya justru dari rasa heran. Waktu masih anak-anak, saya menyangka sape’ adalah sampan, tetapi kok sangat kecil dan bisa mengeluarkan bunyi,” cerita Uyub mengenang masa kecilnya.

Pada umur tujuh tahun, dia mulai belajar memetik sape’. Sebelum mengenal alat musik itu, Uyub lebih dulu mahir menari. Ini juga karena darah seni dari ayahnya. Dia belajar sape’ secara otodidak.

”Saya sering ditertawakan kawan- kawan semasa kecil dulu karena mereka menganggap sape’ itu alat musik kuno. Mereka lebih senang belajar gitar, alat musik yang lebih modern,” tutur Uyub.

Sape’ biasanya dimainkan mengikuti perasaan pemainnya. Dalam tradisi masyarakat Dayak yang dekat dengan alam, alunan sape’ biasanya mengikuti suasana alam di sekitarnya. Indah atau tidaknya permainan sape’ juga dipengaruhi perasaan pemainnya.

”Memainkan sape’ benar-benar harus dalam kondisi stabil. Kalau kita sedang emosi, permainan yang dihasilkan biasanya jelek. Tetapi, kalau hati kita sedang senang, permainan bisa bagus,” ujarnya.

Bakat dan ketekunan seseorang menentukan kualitas permainan sape’ karena alat musik ini tak memiliki kunci baku seperti layaknya gitar. Sape’ mengandalkan perpaduan petikan dan loncatan jari pemainnya dari satu grip ke grip yang lain.

Pola permainan alat musik pentatonik ini biasanya mengulang- ulang beberapa birama. Keindahan alunan sape’ justru karena birama pertama tiba-tiba bisa muncul lagi pada birama ke-10 dan seterusnya.

Keunikan inilah yang membuat Uyub makin mencintai sape’, bahkan saat alat musik modern semakin gencar masuk dalam komunitas-komunitas budaya lokal. Ketika duduk di kelas V SD, ia sudah tampil pada gawai Dayak Dange, pesta adat setelah panen, di kampungnya.

”Saya mainkan sape’ dengan instrumentasi ciptaan sendiri. Ketika itu, saya menciptakan lagu berdasarkan perasaan saja,” katanya.

Sanggar seni

Tantangan menciptakan lagu untuk sape’ berasal dari diri setiap pemainnya. Uyub bercerita, setiap pemain sape’ dari Dayak Kayaan- Kenyah akan berupaya mewujudkan ungkapan sape’ benutah tulaang to’ awah.

”Musik yang dihasilkan tetap harus indah, tetapi bagaimana membuat tulang belulang itu remuk, membuat yang mendengarnya bisa merinding. Itulah tantangannya,” kata Uyub.

Selain nuansa yang dihasilkan selaras dengan bunyi-bunyian di alam, sape’ pada masa lalu juga terbuat dari bahan alam. Badan sape’ terbuat dari kayu yang diperoleh di hutan. Senar berasal dari imaan, serat pohon sejenis enau atau aren. Grip sape’ terbuat dari potongan rotan.

Persinggungan Uyub dengan alat musik sape’ kemudian benar-benar intens ketika ia meninggalkan kampung. Tahun 1990 ia pindah ke Kota Pontianak. Saat itu sape’ relatif masih asing bagi warga perkotaan. Kecintaan kepada sape’ mendorong dia membentuk sanggar dengan merekrut kaum muda Dayak.

”Saya berterima kasih kepada sape’ karena dari alat musik inilah saya bisa kuliah,” katanya.

Tahun 1997, Uyub ditawari kontrak bermain di sebuah hotel selama setahun setiap pukul 11.00-14.00. Dari situlah Uyub bisa membiayai kuliahnya, sekaligus menggembleng kaum muda Dayak yang diajaknya ikut bermain di hotel itu. Bisa dikatakan 70 persen dari biaya kuliahnya dipenuhi dari hasil bermain sape’. Sisanya dia peroleh dari sang kakak yang ketika itu sudah bekerja di Pontianak.

Sanggar seni yang didirikan Uyub kemudian menjadi tempat bagi banyak generasi muda Dayak belajar seni tradisi dan sape’. Namun, bagi dia, itu pun belum cukup.

”Saya merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelangsungan alat musik sape’ yang unik ini. Melalui sanggar, saya juga berusaha melestarikan sape’,” kata Uyub yang mengajari pula cara membuat sape’ kepada kaum muda Dayak.

Hingga kini, Uyub tetap menyediakan waktu berbagi ilmu di sanggarnya, di tengah-tengah kesibukan dia memimpin rekan-rekannya mengelola majalah Kalimantan Review.

***

Dominikus Uyub

• Lahir: Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, 16 Juni 1975

• Istri: Maria Yanti (almarhumah)

• Pendidikan: - SD Negeri Datan Diaan, Kapuas Hulu - SMP Datan Kayaan, Kapuas Hulu - SMA Karya Budi, Putussibau, Kapuas Hulu - Akademi Manajemen Panca Bakti, Pontianak

• Pekerjaan: Pemimpin redaksi majalah ”Kalimantan Review”

sumber : kompas.com

Wednesday, February 2, 2011

Kawasan Hutan Lindung Kutai Makin Hancur

SANGATA, KOMPAS.com —

Kawasan hutan lindung Taman Nasional Kutai di Desa Martadinata, Desa Suka Rahmat, dan Desa Suka Damai di Kecamatan Teluk Pandan, Kutai Timur, Kaltim, kian hancur oleh berbagai aktivitas yang merusak lingkungan.

Kawasan konservasi lingkungan itu sebelumnya sudah rusak akibat aktivitas pembalakan liar dan pembukaan lahan tanpa izin kini kian parah akibat kegiatan penambangan galian C, yakni menggali dan mengambil batu gunung kebutuhan bangunan.

TN Kutai disebut-sebut benteng terakhir hutan tropis dataran rendah yang masih tersisa di Kaltim dengan luas 189.000 hektar.

Maraknya kasus perusakan hutan di kawasan itu diperkirakan hampir 75 persen kawasannya sudah rusak baik dalam tingkatan biasa, parah, maupun sangat kritis.

Di kawasan itu, selain terdapat hamparan hutan damar terbesar di dunia, juga memiliki berbagai satwa langka, antara lain, rusa sambar, uwauwa, orangutan, dan buaya maura.

Terlihat puluhan warga yang melakukan kegiatan ilegal atau tanpa izin tetap nekat dengan mendirikan tenda-tenda di sekitar lokasi untuk melakukan kegiatannya sejak pagi hingga sore.

Warga yang melakukan kegiatan menambang batu gunung sekitar tidak saja melibatkan laki-laki, tetapi puluhan ibu-ibu rumah tangga ikut bekerja sebagai buruh harian.

Mereka seperti berlomba menggunakan alat tradisional, seperti cangkul untuk menggali dan palu besar untuk memecahkan batu berukuran besar itu.

Sejumlah kendaraan roda empat dan roda enam mengantre di lokasi penambangan untuk mengangkut batu berbagai ukuran ke Kota Bontang dan Sangata, Kutai Timur.

Petugas keamanan seperti tidak berdaya, padahal kegiatan penambangan ilegal itu berjarak sekitar 50 meter dari pos polisi Unit Teluk Pandan Sektor Sangata, Kutai Timur.

Irwan (34), warga Desa Martadinata, mengatakan bahwa kegiatan warga itu memang tanpa izin dan menyalahi peraturan, tetapi para penambang liar berkilah bahwa hal itu akibat desakan kebutuhan hidup.

"Apalagi kini, akibat kondisi ekonomi tidak menentu, kehidupan warga sekitar daerah kian terpuruk," paparnya.

Bahkan, sebagian penambang liar itu, menurut Irwan, adalah orang upahan karena sudah ada cukong baik dari Kutai Timur maupun Bontang—daerah terdekat lokasi—yang menyiapkan gaji, peralatan, dan transportasi untuk membawa keluar batu gunung yang dimanfaatkan untuk proyek bangunan atau jalan tersebut.

Hal senada dikatakan oleh Syamsuddin (55), salah seorang buruh penambang batu yang mengaku kesulitan ekonomi untuk menghidupkan tiga orang anaknya.

Ketua Komisi III DPRD Kutai Timur Kasmidi Bulang, saat dikonfirmasi, mengatakan bahwa Dewan akan membuat raperda inisiatif galian C.

"Potensi galian C di Kutai Timur cukup besar, makanya perlu ada produk hukum yang mengaturnya," tambahnya.

Terkait status kawasan itu adalah TNK, maka tindakan warga untuk melakukan penambangan liar di kawasan itu melanggar UU tentang Lingkungan Hidup.


sumber : http://regional.kompas.com/read/2011/01/26/2227254/Kawasan.Hutan.Lindung.Kutai.Makin.Hancur

Habitat Jadi Perkebunan, Tambang dan Ilegal Logging Orangutan di Hutan Matan Hilir Selatan Terancam


ORANGUTAN: Orangutan Kalimantan di habitatnya. Terancam punah akibat pembukaan areal perkebunan, tambang dan illegal logging.ISTIMEWA
Sebagian besar hutan di Kecamatan Matan Hilir Selatan merupakan hutan rawa dataran rendah yang tersebar dibeberapa desa. Kawasan ini merupakan tempat tinggal orangutan dan satwa lainnya. Andi Chandra, Ketapang


SURVEY yang dilakukan oleh Yayasan Palung di daerah Pematang Gadung dan Desa Sungai di dapat informasi dan data ada beberapa desa bisa di jumpai habitat dan populasi orangutan di alam bebas. Itu termasuk wilayah-wilayah yang sekarang telah menjadi areal perkebunan sawit, pertambangan, dan transmigrasi. “Keberadaan orangutan sebagai salah satu satwa dilindungi yang terancam punah sudah cukup memprihatinkan terutama habitat dan populasi Orangutan yang berada di luar kawasan konservasi,” ujar Petrus Kanisius, dari Yayasan Palung.

Adapun ancaman terhadap habitat lebih disebabkan maraknya pembukaan areal perkebunan pertambangan dan pemukiman, illegal logging. Modus Illegal logging yang terjadi di Kecamatan Matan Hilir Selatan adalah dengan cara memanfaatkan kayu yang masih dalam bentuk tegakan maupun di areal land clearingsalah satu perusahaan perkebunan sawit. Semakin besarnya kebutuhan masyarakat akan lahan pertanian dan perkebunan dengan sumber daya alam yang terbatas, maka semakin meningkat pula ancaman keberadaan dan kelangsungan Orangutan untuk hidup. Para pekerja kayu (logger) baik di Kecamatan Matan Hilir Selatan kebanyakan berasal dari masyarakat lokal terutama masyarakat desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan.

“Hasil investigasi ditemukan kebanyakan para pekerja kayu berasal dari Desa Sungai Pelang, Desa Sungai Besar, dan Desa Pesaguan Kanan,” terangnya.Tidak hanya itu, ancaman juga terjadi pada beberapa jenis kayu diantanya adalah Punak (Tetrameristra glabra), Ramin (Gonistylus bancanus), Meranti (Shorea sp), Nyatoh (Palaquium sp), Medang (Litsea sp), Geronggang (Cratoxylum arborescens), Prepat (Soneratia alba), Menggeris (Compasia exelsa), Keruing (Dipterocarpus sublamelatus) yang digunakan untuk bahan bangunan dalam bentuk papan dan tiang, Bedaru, yang digunakan untuk bahan bangunan dalam bentuk papan dan tiang, biasanya juga untuk mebel.

Kecamatan Matan Hilir Selatan saat ini berjumlah 10 Desa. Sedangkan habitat dan populasi Orangutan terdapat di Desa Sungai Pelang, Desa Sungai Besar, Desa Pematang Gadung, Desa Pesaguan Kanan dan Desa Kemuning Biutak. Hutan di beberapa desa di Kecamatan Matan Hilir Selatan sebagian besar merupakan hutan rawa gambut dan menjadi tempat yang nyaman bagi Orangutan untuk berdiam. Hasil investigasi yang pernah dilakukan sejak tahun 2004-2010 di Kecamatan Matan Hilir Selatan teridentifikasi 14 kasus pemeliharaan Orangutan yang dilakukan masyarakat (Data Yayasan Palung 2010-2011). Kasus pemeliharaan itu sebagian besar Orangutannya di dapat dari wilayah hutan di beberapa desa di Kecamatan Matan Hilir Selatan. (*)

sumber : www.pontianakpost.com

Tuesday, February 1, 2011

Pansus DPD-RI Sikapi Pindah Negara


Sejumlah agenda telah dijadwalkan terkait kepindahan warga perbatasan ke Malaysia. Impitan ekonomi faktor dominan yang menjadi pemicu. Langkah konkretnya apa?

Pontianak. Kepindahan kewarganegaraan masyarakat Dusun Gun Jemak, Desa Suruh Tembawang ke Malaysia disikapi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Pansus Perbatasan yang dibentuk Desember tahun lalu berencana mengunjungi perbatasan Kalbar-Malaysia.

“Bulan Februari kita akan ke perbatasan,” kata Hairiah, anggota Pansus Perbatasan DPD-RI dihubungi Equator dari Pontianak, Minggu sore (30/1).

Kepindahan kewarganegaraan masyarakat perbatasan akan menjadi agenda pembahasan dalam kunjungan Pansus tersebut. Sementara untuk lokasi kunjungan, tidak hanya di Kalbar. Daerah perbatasan Kaltim dengan Malaysia juga akan dikunjungi tim Pansus Perbatasan DPD-RI. “Mungkin juga persoalan kepindahan ini tidak hanya di perbatasan Kalbar, tapi juga di daerah lainnya,” tutur Hairiah.

Pansus beranggotakan 15 orang, dan tiga orang peninjau. Anggota Pansus dan peninjau tersebut semuanya anggota DPD-RI yang berasal dari daerah-daerah yang berbatasan dengan negara lain, baik berbatasan darat maupun berbatasan laut.

Tim Pansus akan mencari kebenaran soal kepindahan warga Negara masyarakat perbatasan. Pihak terkait akan diminta konfirmasi tentang kebenaran kepindahan warga masyarakat di kawasan perbatasan tersebut.

“Kita akan menjadwalkan pertemuan dengan instansi-instansi terkait, seperti dari pemerintah daerah, TNI AD, AL, maupun AU, Badan Pengelolaan Perbatasan serta Kanwil Hukum dan HAM. Kita akan meminta klarifikasi kepada mereka soal pelaksanaan tugas di lapangan,” kata Hairiah.

Anggota DPD-RI asal Kalbar ini mengatakan, Kementerian Hukum dan HAM akan diminta menjelaskan duduk perkara sesungguhnya, bagaimana proses kepindahan warga negara tersebut. Pemerintah daerah tempat warga Negara yang pindah berasal juga akan dimintakan penjelasan.

Menurut Hairiah, tidak mudah seseorang dapat mengubah kewarganegaraan. Maka diperlukan kejelasan pihak terkait supaya permasalahan menjadi jelas dan dapat diselesaikan dengan baik.

Hairiah menambahkan wilayah perbatasan tidak sebatas di Kalbar, tetapi ada beberapa kawasan yang menjadi batas antarnegara. Daerah itu tersebar di beberapa Provinsi meliputi Papua berbatasan dengan Papua New Guine, NTT berbatasan langsung dengan Timor Leste, Perairan Laut Sulawesi Utara dengan Filipina serta Kalimantan Timur dan Kalbar berbatasan dengan Malaysia.

“Mungkin saja fenomena serupa hampir terjadi di seluruh wilayah perbatasan Indonesia,” ungkapnya.

Tim Pansus akan mendorong pembangunan kawasan perbatasan. Kebutuhan di daerah perbatasan mesti pemerintah pusat penuhi. Kesenjangan pembangunan di kawasan perbatasan harus ditekan mengingat wilayah perbatasan merupakan beranda depan sebuah negara.

Prospek ekonomi perbatasan, kata dia, mesti pemerintah dorong. Hal tersebut tentu saja membutuhkan sinkronisasi pemerintah pusat dan daerah. Dan pemerintah pusat mesti memiliki komitmen dalam membangun kawasan perbatasan.

“Mengenai segala kebutuhan di kawasan perbatasan, tentunya pemerintah daerah lebih mengetahui secara persis. Aspirasi itu harus pemerintah pusat realisasikan sebab tidak sedikit kasus mengubah kewarganegaraan karena alasan ekonomi, walaupun masih perlu ditelusuri secara mendalam,” ulasnya.

Menurut Hairiah, kunjungan ke perbatasan tak hanya berhenti dalam pertemuan tim Pansus dengan instansi-instansi terkait. Dari pertemuan tersebut, Tim Pansus akan memberikan rekomendasi ke Presiden.

“Rekomendasi itu akan kita berikan ke Presiden. Kementerian-kementerian terkait juga akan kita berikan,” pungkas Hairiah.

Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Untan, Budi Hermawan Bangun memastikan kepindahan kewarganegaraan bukan barang haram. “Secara hukum itu tidak dilarang. Ada undang-undang yang mengaturnya,” singkat Budi. (bdu)

KONFLIK LAHAN Warga Masyarakat Adat Wajib Lapor Polisi

KOMPAS Minggu, 30 Januari 2011

Sintang, Sebanyak 13 orang dari masyarakat adat Desa Sejirak, Kecamatan Ketungau Hilir, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, harus melapor ke Kepolisian Resor Sintang setelah penahanan mereka ditangguhkan. Mereka menjadi tersangka perusakan lahan perkebunan milik perusahaan yang terlibat kontrak dengan mereka.

Seorang tersangka, Sindau (35), mengatakan, mereka wajib lapor sekali seminggu ke Kepolisian Resor Sintang. ”Kami ditahan di Polres Sintang selama 14 hari pada Agustus 2010. Setelah mendapatkan penangguhan, karena ada penjamin dari aparat desa, kami harus melapor ke Polres,” kata Sindau, Ketua Badan Perwakilan Desa Sejirak.

Sindau menuturkan, masyarakat adat terjerat kasus hukum setelah perusahaan yang melakukan kontrak pakai lahan milik masyarakat ingkar janji mengenai pembayaran royalti. ”Dalam kontrak disebutkan, kami mendapatkan Rp 15.000 per meter kubik kayu akasia yang ditanam di lahan kami dan menjadi tenaga kerja perawatan. Namun, sudah lewat lima tahun dari masa panen, kayu tak juga dipanen oleh perusahaan dengan alasan tak ada anggaran,” kata Sindau.

Penebangan kayu seharusnya dilakukan di tahun ke-8 setelah penanaman. Namun, hingga 2011 yang merupakan tahun ke-13, kayu tak juga ditebang, sehingga masyarakat tidak mendapatkan penghasilan. Semula, masyarakat mendapatkan penghasilan dari menanam dan merawat pohon, tetapi sejak lima tahun lalu tidak ada pekerjaan penanaman dan perawatan.

”Kami sudah beberapa kali meminta perusahaan untuk menebang dan memberikan royalti untuk kami. Kalau tidak ada anggaran, kami bersedia diupah dalam bentuk kayu. Namun, permintaan kami diabaikan,” ujar Sindau.

Sejumlah warga lalu menebang pohon di lahan milik mereka untuk mengganti royalti yang tidak dibayar perusahaan. Namun, polisi datang meminta mereka memberi keterangan ke Polres Sintang jika ada panggilan.

”Kami datang untuk memberi keterangan, tetapi langsung ditahan dengan tuduhan merusak lahan,” kata Sindau.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Sintang Ajun Komisaris Donny Sardo Lumbantoruan mengatakan, masyarakat disangka melakukan perusakan karena lahan itu masih menjadi konsesi perusahaan.

”Berkasnya masih ada di penyidik Reskrim Polresta Sintang, tetapi kami sudah kirim surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri Sintang untuk segera melimpahkan kasus ini,” kata dia.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)- Kalimantan Barat melakukan advokasi kepada masyarakat. Kepala Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalbar Hendrikus Adam mengungkapkan, tindakan masyarakat merupakan murni perjuangan untuk mempertahankan hidup ketika sumber pangan dikuasai oleh pemodal. (AHA)

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/27/04090630/warga.masyarakat.adat.wajib.lapor.polisi

 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube