BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Wednesday, December 29, 2010

Sinterklas dan Kalteng

Harian Umum Tabengan,
Oleh KUSNI SULANG)**

Masuknya berbagai agama ke negeri kita, membawa serta dan menumbuhkan suatu kebudayaan baru. Masuk dan berkembangnya isme atau pandangan baru ini kemudian menumbuh-kembangkan suatu budaya baru.

Budaya Dayak yang oleh Damang Salilah sejak Zaman Pendudukan Jepang disebut Kaharingan, disebut Kebudayaan Ngaju oleh Scharer, sebenarnya tidak lain dari produk pengolahan oleh Uluh Biaju yang kemudian disebut Uluh Dayak Ngaju atau Dayak Ngaju terhadap masukan-masukan baru ini (Lihat: Pdt. Dr. Hermogenes Ugang, “Menelusuri Jalur-Jalur Leluhur” Bab II dan III, 1983, 247 hlm.).

Kebudayaan murni tanpa terpengaruh, tanpa menyerap unsur dari luar manapun itu tidak ada. Karena itu, ghettoisme, ethnosentrisme, sektarisme, tutup pintuisme budaya, separatisme adalah pikiran dan sikap sesat yang ankronis. Sedangkan fanatisme adalah suatu sikap yang menyangkal hukum gerak hal ikhwal menghentikan perkembangan waktu, menempatkan diri berada di ruang belakang laju perkembangan.

Isme-isme di atas terjadi karena kebingungan ketika berhadapan dengan perkembangan. Untuk tidak melyang-layang seperti daun jatuh dari dahan, para pendukung isme-isme itu lalu bertahan pada apa yang mereka sudah miliki tanpa filter. Artinya bersifat defensif, bukan lagi bersikp seniscayanya kreatif dan tanggap. Saya khawatir, Kalteng sekarang justru berada pada posisi defensif ini secara kebudayaan (pemikiran dan sikap)..
Tokoh Sinterklas yang hadir di masyarakat kita, termasuk di Kalteng, adalah satu tokoh yang datang bersama masuknya Kristianisme seiring dengan invasi Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) ke Kalimantan Selatan sekitar 1606 (Ahim S. Rusan et.al, 2006: 52). -VOC, sebagai suatu komunitas (gemeenschap) umumnya seperti ditunjukkan oleh Lilie Suratminto dalam bukunya Makna Sosio-Historis Batu Nisan VOC Di Batavia (Wedatama Widya Sastra, Jakarta, 2008: 9).

Posisi Kristianisme ini di Kalimantan makin terkonsonsolidasi dengan berdirinya Gereja Dayak Evangelis (GDE) pada 1835 (Marko Mahin & Rama Tulus, ed., 2005:3). Ketika kolonialisme Belanda memperkokoh penguasaannya atas Tanah Dayak melalui Pertemuan Tumbang Anoi 1894, serta politik desivilisasi ragi usang dilancarkan dengan sistematik, Kristianisme pun makin kokoh dengan mengorbankan budaya Biaju, yang disebut sebagai heiden (penyembah berhala) atau Agama Helu (dalam pengertian. Usang atau Dahulu). Sekarang disebut sebagai “budaya setan”. Yang terjadi bukan akulturasi tapi agresi kebudayaan untuk penaklukan budaya. (Lihat:
Imam Ali Khamenei, “Perang Kebudayaan”, Penerbit Cahaya, Jakarta, hlm. 15-17).

Bersamaan dengan perkembangan ini, tokoh Sinterklas masih merasuk ke kalangan masyarakat Dayak, bahkan Indonesia sampai-sampai ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berarti sudah dipandang sebagai bagian dari budaya Indonesia.

Sinterklas menurut KBBI (hlm. 946) adalah tokoh suci (dalam agama Kristen) yang konon sangat sayang dan selalu memberi hadiah kepada anak-anak pada hari-hari penting (terutam pada ulang tahunnya tanggal 6 Desember); perayaan memperingati hari ulang tahun Sinterklas tanggal 6 Desember.

Sinterklas nampak muncul terutama di Perayaan Natal. Barangkali kebiasaan merayakan hari ulang tahun dalam masyarakat Dayak juga muncul seiring dengan mengokohnya posisi Kristianisme di Tanah Dayak. Sebab, sebelumnya masyarakat Dayak tidak mengenal kebiasaan merayakan hari jadi. Pada hari-hari perayaan Natal 25 Desember, Sinterklas membagi-bagi hadiah kepada anak-anak. Pada hari ultah yang berultah menerima hadiah ini-itu sehingga tidak jarang, apabila ultah tidak dirayakan menimbulkan satu kekecewaan dan dampak psikologis anak pada lingkungannya.

Kebiasaan merayakan ultah ini, akhirnya mentradisi, paling tidak di kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Karena Sinterklas berasal dari Barat, dari daerah empat musim, sering ia tampil dengan mantel musim dingin putih tebal –- hal yang asing bagi daerah beriklim tropis.

Makna apa yang tersirat di balik tokoh Sinterklas ini? Seperti digambarkan oleh KBBI, Sinterklas adalah seorang tokoh suci (dalam agama Kristen) yang konon sangat sayang dan selalu memberi hadiah. Artinya, pada tokoh Sinterklas terdapat tiga nilai yaitu: suci, pengasih dan selalu memberi hadiah. Suci dan kasih, tentu saja diukur dengan standar nilai Kristiani.
Terhadap dua nilai ini, saya kira tidak ada yang dipermasalahkan. Karena dalam budaya manapun, termasuk dalam Masyarakat Adat (MA), masalah suci dan kasih juga terdapat, walaupun dalam kenyataannya atas nama nilai-nilai ini, kolonialisme Belanda memandang apa yang dimiliki oleh MA Dayak sebagai “ragi usang”. Sehingga atas nama kesucian dan kasih, kekerasan dan penindasan pun dilakukan.

Oleh penampilan Sinterklas sebagai sosok Orang Barat, kebetulan demikian bisa secara langsung atau tidak langsung, mencitrakan bahwa Orang Barat itu adalah orang-orang suci dan pengasih, murah hati dan suka memberi hadiah, padahal generalisasi demikian tidak mencerminkan kenyataan pula. Tapi efektif sebagai alat agresi kebudayaan untuk penaklukkan budaya, atau perang kebudayaan, serta pengelabuan, apalagi jika dilakukan secara terus-menerus selama ratusan tahun.

Tokoh begini berperan dalam mendorong lahirnya citra Orang Barat yang ‘’mulia’’, sedangkan orang lokal dipandang primitif, terbelakang dan bodoh sehingga muncullah kemudian kompleks rendah diri pada penduduk lokal, kompleks superioritas pada Orang Barat. Kompleks begini diperlukan oleh penjajah lama dan baru, dan sampai sekarang masih terdapat dalam masyarakat dengan rupa-rupa nama baru seperti modernitas, globalisasi, go international.

Ketika secara budaya suatu bangsa sudah ditaklukkan, maka bangsa dan negeri itu sebenrnya
sudah menjadi bangsa dan tanah jajahan sekalipun menyebut diri sebgai bangsa dan negeri merdeka. Tapi suatu kemerdekaan dan kedaulatan yang semu. Dalam keadaan demikian, Sinterklas tidak bisa disebut produk akulturasi, tapi menggambarkan budaya Barat semu (baca:penjajah) sebagai budaya supra (super culture).

Apalagi berbarengan dengan lukisan demikian, dicitrakan dan dimaknakan ‘’Dajakker” sebagai perilaku menyimpang dari norma-norma yang dianggap baku, menggambarkan sikap yang urakan, norak, primitif, serba negatif ( Roedy Haryo Widjono AMZ, 1998: 38). Sedangkan sifat pemurah, suka memberi dari Sinterklas, selain memupur wajah sesungguhnya dari penjajahan dan pengurasan oleh Perusahaan Besar Swasta (PBS) Barat serta para investor, secara tidak langsung menyemai semangat ketergantungan dan menadah tangan mengharapkan belas kasihan dari pihak yang menguras dan memeras.

Padahal yang diberikan hanyalah remah-remah dengan nama pinjaman atau hutang, bunga rendah, bantuan, dana tanggung jawab sosial, sebenarnya tak berarti apapun dibandingkan dengan hasil pengurasan yang menggunung.

Dalam konteks sejarahnya, kehadiran tokoh Sinterklas di Indonesia, termasuk di Tanah Dayak tidak lepas dari sejarah penjarahan yang dilakukan oleh para penjajah, bentuk dari politik etis penjajah. Kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negeri tidak bisa diharapkan dari Sinterklas, tapi perjuangan tanpa takut mandi darah dan airmata oleh kita sendiri. Inilah sari pola pikir dan mentalitas, sari budaya Utus Panarung Uluh Itah.

Sayangnya sari budaya ini sekarang kurang diindahkan, oleh “jiwa-jiwa mati”, meminjam istilah Nikolai Gogol, atau hambaruan (roh) yang dijual obral .***

**) Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Palangka Rya (LKD-PR).

sumber : www.hariantabengan.com

Friday, December 24, 2010

Punahnya Budaya Telinga Panjang Wanita Suku Dayak

Oleh : Teddy Rumengan

Seni tato dan telinga panjang menjadi ciri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai penduduk asli Kalimantan. Dengan ciri khas dan identitas itulah yang membuat suku Dayak di kenal luas hingga dunia internasional dan menjadi salah satu kebanggan budaya yang ada di Indonesa. Namun tradisi ini sekarang justru semakin ditinggalkan dan nyaris punah. Trend dunia fashion telah mengikis budaya tersebut . Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian kecil golongan generasi tua suku Dayak yang berumur di atas 60 tahun. Generasi suku Dayak diatas tahun 80-an bahkan generasi sekarang mengaku malu.

Di Kalimantan Timur untuk bisa menemui wanita suku Dayak yang masih mempertahankan budaya telinga panjang sangat sulit. Karena kini hanya bisa ditemui dipedalaman Kalimantan Timur dengan menempuh jalur melewati sungai yang memakan waktu berhari-hari. Karena gaya hidup suku Dayak memang lebih akrab dengan hutan maupun gua.

Untuk melestarikan budaya, tradsi maupun adat suku Dayak Pemerintah Kota Samarinda membangun perkampungan budaya suku Dayak yang diberi nama Kampung Budaya Pampang. Di desa ini ada sekitar 1000 warga suku Dayak yang masih mempertahankan budaya, tradisi maupun adat.

Namun sayangnya khusus untuk budaya telinga panjang hanya sedikit wanita suku Dayak saja yang mempertahankannya. Lainnya telah memotong karena mengaku malu. Wanita suku Dayak yang masih mempertahankan telinga panjang itu dan tidak pernah keluar dari kampong itu, bahkan mereka pun hanya terlihat saat ada kegiatan ataupun ucapacara adat.

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengunjungi desa Pampang dan berbincang-bincang dengan nenek Meh (60) wanita suku Dayak yang masih mempertahankan budaya telinga panjang itu.

Untuk bisa menuju Kampung Budaya Pampang, memakan waktu sekitar 30 menit dari pusat Kota samarinda, karena letaknya berjarak sekitar 20 km. Biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 50 ribu. Sebenarnya suku Dayak yang tinggal di Kampung Pampang merupakan sub-etnis Dayak Kenyah.
Semula kawasan tersebut merupakan hutan, namun setelah warga Dayak Kenyah dari Desa Long , Apokayan, Kabupaten Bulungan yang berjumlah 35 orang bermigrasi, kawasan itu kemudian berkembang seperti sekarang ini. Kendati menerima budaya modern dari luar, warganya tetap teguh mempertahankan tradisi sehingga perkampungan ini dijadikan Kampung Budaya Pampang oleh Pemerintah Kota Samarinda.

Warga suku Dayak Kenyah di Pampang tetap mempertahankan budaya leluhurnya, seperti menenun, mengukir, dan membuat aneka kerajinan tangan. Di Kampung ini pun masih terdapat Lamin (rumah panjang khas Dayak). Bagi para wisatawan yang ingin membeli souvenir, di Desa Pampang banyak orang yang menjajakan berbagai pernak pernik dari yang kecil hingga yang besar seperti gantungan kunci dan patung kayu.

Setiap hari libur, warga Dayak menggelar berbagai tarian tradisional di Lamin antara lain Tari Kancet Lasan, Kancet Punan Lettu, Kancet Nyelama Sakai, Hudog, Manyam, Pamung Tawai, Burung Enggang, dan tari Leleng.

PERTANDA WANITA BANGSAWAN

Menurut asal-usulnya ratusan tahun lalu, budaya telinga panjang bukan hanya dilakukan wanita, pria juga ada yang memanjangkan telinga. Dan yang memanjangkan telinga hanya kaum bangsawan suku Dayak. “Kalau dulu hanya yang memiliki status social ataupun yang disebut bangsawan yang memanjangkan telinga,” kata Moh dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.

Moh pun mengaku tidak tahu kapan tepatnya suku Dayak mulai memanjangkan telinga. Dirinya hanya tahu sejak ratusan tahu lalu. “Saya pun memiliki telinga panjang ini karena orang tua yang memasangkan gelang ini sejak masih bayi,” ucap, ibu enam anak ini.

Telinga panjang pada Wanita Dayak menunjukkan dia seorang bangsawan sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang dijadikan budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang.

Disamping itu telinga panjang digunakan sebagai identitas untuk menunjukkan umur seseorang. Begitu bayi lahir, ujung telinga diberi manik-manik yang cukup berat. Setiap tahun, jumlah manik-manik yang menempel di telinga bertambah satu.

“Karena itu, kalau ingin mengetahui umur seseorang, bisa dilihat dari jumlah manik-manik yang menempel di telinga. Jika jumlahnya 60, maka usianya pasti 60 tahun karena pemasangan manik-manik tidak bisa dilakukan sembarangan, cuma setahun sekali,” ucap Moh lagii

Teling panjang juga memiliki makna dimana untuk melatih kesabaran. “Bayangkan saja, betapa beratnya manik-manik yang tergantung di telinga, tetapi, karena dipakai setiap hari, kesabaran dan rasa penderitaan mereka menjadi terlatih,” terangnya.

Agar daun telinga menjadi panjang, biasanya daun telinga diberi pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang atau berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter.

Moh menuturkan, selain status social, wanita suku Dayak yang memanjangkan telinga karena dianggap cantik. “Makin panjang telinga, maka akan semakin cantiklah wanita Dayak,” terang wanita yang tak pernah mengenyam pendidikkan ini .

MULAI PUNAH

Yang masih mempertahankan budaya telinga panjang kini tinggal sedikit. Mereka yang asalnya bertelinga panjang secara sengaja memotong ujung daun telinga mereka. Alasan yang sering dikemukakan, takut dianggap ketinggalan zaman atau khawatir anak-anak mereka merasa malu.

Dikatakan Moh, mulai punahnya budaya telinga panjang, menurut cerita yang ia tahu ketika mulai masuknya para misionaris ke daerah pedalaman di perkampungan Dayak pada zaman kolonial Belanda dulu.

Meski ia tak tahu persisnya kapan mulai punah, tapi rata-rata yang masih mempertahankan budaya telinga panjang adalah wanita suku Dayak yang berusia diatan 60 tahun. Sedangkan genersi sekarang sudah tidak ada. Budaya ini pun semakin terkikis habis ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia di daerah perbatasan Kalimantan.

Saat itu berkembang stigma di masyarakat, mereka yang berdaun telinga panjang dan tinggal di rumah- rumah panjang, yang dihuni beberapa keluarga, merupakan kelompok masyarakat yang tidak modern. Tidak tahan terhadap pandangan seperti itu, akhirnya beberapa warga memotong telinga panjangnya.

Stigma semacam ini terus berlangsung hingga sekarang. Kalangan generasi muda Dayak tidak mau lagi membuat telinga panjang karena takut dianggap ketinggalan zaman dan tidak modern. Hanya sebagian kecil masyarakat Dayak yang masih memegang teguh tradisi berdaun telinga panjang, dan itu pun jumlahnya sangat minim.

TETAP AKAN MEMPERTAHANKAN

Namun hal itu tidak berlaku bagi Moh, ia tetap tidak akan mau memotong telinganya yang kini telah panjang sekitar 30 cm. Bahkan ia merasa bangga dan percaya diri dengan bertelinga panjang. Walaupun mendapat desakan dari anak ataupun cucunya, Moh tak bergeming dan tetap mempertahankan.

Dirinya mengakui, dengan telinga panjang, anak maupun cucu nya merasa malu. Tapi ia tak peduli, baginya ini merupakan tradisi yang akan dipertahankan hingga dirinya menghadap yang kuasa. Apalagi ia menghormati leluhur dan pesan orang tuanya, agar telinga panjang miliknya tidak dipotong.

Namun Moh memahami keinginan anak maupun cucu nya, karenanya, wanita berkulit kuning langsat ini pun tidak pernah bersama anak ataupun cucu nya jika ke Kota samarinda. Ia pun bahkan hanya berdiam di rumah dan berladang, hanya muncul sekali-kali jika ada kegiatan ucapara adat.

Moh juga tidak pernah malu, jika terkadang mendapat cibiran ataupun ejekan dari warga yang datang ke Kampung Pampang termasuk dari anak dan cucu nya. Justru sering mendapat pujian dari masyarakat karena mempertahankan tradisi itu. “Banyak yang kagum melihat telinga saya yang panjang,” tuturnya sambil tertawa.

MENDATANGKAN REJEKI

Dengan telinganya yang panjang, Moh justru menghasilkan rejeki. Sejak Kampung Pampang ditetapkan sebagai desa budaya oleh Pemerintah Kota Samarinda, membawa keuntungan bagi Moh. Pasalnya Pampang setiap hari Minggu selalu didatangi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Setiap hari Minggu, pukul 14.00 hingga 16.00 wita, biasanya digelar acara budaya yang menampilkan berbagai tarian Dayak, bertempat di rumah panjang khas Dayak. Tarian yang biasa ditampilkan, yakni tari Kancet Lasan, Kancet Punan Lettu, Kancet Nyelama Sakai, Hudog, Manyam, Pamung Tawai, Burung Enggang, dan tari Leleng.

Kehadiran wisatawan maupun pengunjung itulah yang membawa berkah. Pasalnya setiap pengunjung selalu meminta foto bersama. Kesempatan itulah digunakan Moh, untuk meraup rejeki. Tarif yang dipasangnya untuk sekali berfoto Rp 25 ribu. “Yah lumayan untuk menambah biaya hidup,” ujar wanita yang tak bisa membaca ini.

Setiap Minggu, Moh bisa menghasilkan hingga ratusan ribu rupiah dari hasil foto bersama pengunjung. Selain itu dirinya juga mendapat honor dari pertunjukkan menari dihadapan pengunjung.

Disamping itu beberapa daerah kerap memakai dirinya saat ada agenda kunjungan pejabat pusat hingga presiden. Begitu juga jika ada acara nasional yang di selenggarakan di Kalimantan Timur, termasuk launching beberapa perusahaan dan produk local.

DIANGGAP KETINGGALAN JAMAN

Menarik mendengar tanggapan salah satu cucu Moh, Ayan Abel yang sempat berbincang- bincang dengan saya. Gadis remaja yang kini duduk di bangku SMP ini menuturkan budaya telinga pajang tidak modern alias sangat ketingalan zaman.

Ia pun mengaku dengan memiliki telinga panjang, wanita tidak akan terlihat cantik. Saat ini kata Abel, wanita Dayak juga dituntut untuk juga mengikuti dunia fesyen yang sedang kian trend setiap tahunnya.

Abel mengakui dirinya sempat minder memiliki nenek, dengan telinga panjang. Dirinya bahkan beberapa kali menganjurkan agar neneknya memotong telinga, namun sang nenek tak bergeming dan tetap dengan telinga panjangnya.

“Kata nenek dengan telinga panjang akan terlihat cantik, tapi itu kan menurut tradisi dulu dan sekarang tidak mungkin, justru kalau dengan penampilan seperti itu akan membuat malu, kalau harus jalan-jalan (mejeng),” aku, gadis berparas cantik ini.

Meski Abel menentang, namun dalam hatinya bisa memahami, hanya saja tuntutan zaman yang dianggap tidak sesuai lagi. “Yah mau apalagi, karena tradisinya sudah seperti itu, yang pasti saya mungkin tidak pernah jalan bersama nenek ke mall dengan kondisi seperti itu, meski saya juga merasa bangga,” tandasnya. (teddy rumengan/berbagai sumber)


original source : www.kompasiana.com

Sejarah Kalimantan

Sejarah Kalimantan menggambarkan perjalanan sejarah Pulau Kalimantan dimulai sejak zaman prasejarah ketika manusia ras Austrolomelanesia memasuki daratan Kalimantan pada tahun 8000 SM hingga sekarang.[rujukan?]

1. Zaman prasejarah

Bangsa Austronesia memasuki pulau ini dari arah utara kemudian mendirikan pemukiman komunal rumah panjang. Peperangan antar-klan menyebabkan pemukiman yang selalu berpindah-pindah. Adat pengayauan yang dibawa dari Formosa (Taiwan) dan kepercayaan menghormati leluhur dengan tradisi kuburan tempayan merupakan ciri umum kebiasaan penduduknya. Pulau Kalimantan ini dikenal di seluruh dunia dengan nama Borneo yaitu sejak abad ke-15 M. Nama Borneo itu berasal dari nama pohon Borneol (bahasa Latin: Dryobalanops camphora)yang mengandung (C10H17.OH) terpetin, bahan untuk antiseptik atau dipergunakan untuk minyak wangi dan kamper, kayu kamper yang banyak tumbuh di Kalimantan,[1][2] kemudian oleh para pedagang dari Eropa disebut pulau Borneo atau pulau penghasil borneol, Kerajaan Brunei yang ketika datangnya bangsa Eropa ke wilayah Nusantara ini nama Brunei itu dipelatkan oleh lidah mereka menjadi "Borneo"[rujukan?] dan selanjutnya nama Borneo ini meluas ke seluruh dunia. Nama Pulau ini di identikkan dengan nama Kerajaan Brunei[3] saat itu (Yaitu oleh para pedagang Arab, Eropa serta China) karena Kerajaan Brunei pada masa itu merupakan kerajaan yang terbesar di pulau ini, sehingga para pedagang dari seluruh penjuru dunia yang akan berkunjung ke Pulau ini yang ditujunya meraka adalah Kerajaan terbesar dipulau ini saat itu yaitu Kerajaan Brunei, sehingga pulau ini kemudian disebut Pulau Brunei yang oleh pedagang Eropa kemudian di pelatkan menjadi "Borneo". Nama Kalimantan dipakai di Kesultanan Banjar kemudian oleh pemerintah Republik Indonesia dipakai sebagai nama Provinsi Kalimantan.

  • 8000 SM : Migrasi manusia ras Austrolomelanesia memasuki daratan Kalimantan.
  • 2500 SM : Migrasi nenek moyang suku Dayak dari Formosa (Taiwan) ke Kalimantan membawa tradisi ngayau.
  • 1500 SM : Migrasi bangsa Melayu Deutero ke pulau Kalimantan.

2. Zaman Pengaruh India (Agama Hindu)

Orang Melayu menyebutnya Pulau Hujung Tanah (P'ulo Chung). Para pedagang asing datang ke pulau ini mencari komoditas hasil alam berupa kamfer, lilin dan sarang burung walet melakukan barter dengan guci keramik yang bernilai tinggi dalam masyarakat Dayak. Para pendatang India maupun orang Melayu yang telah mendapat pengaruh budaya India memasuki muara-muara sungai untuk mencari lahan bercocok tanam dan berhasil menemukan tambang emas dan intan untuk memenuhi permintaan pasar. Lokasi pertambangan emas berkembang menjadi pemukiman sehingga diperlukan adanya suatu kepemimpinan. Pengaruh India ditandai munculnya kerajaan tahap awal dengan pemakaian gelar Maharaja bagi pemimpin suatu kekerabatan (bubuhan) dan sekelompok orang lainnya yang bergabung dalam kepemimpinannya dalam kesatuan wilayah wanua (distrik), yang saling berseberangan dengan wanua-wanua tetangganya yang dihuni keluarga lainnya dengan dikepalai tetuanya sendiri. Gelar India Selatan warman (yang melindungi) dilekatkan pada penguasa wanua tersebut, yang kemudian memaksa wanua-wanua tetangganya membayar upeti berupa emas dan hasil alam yang laku diekspor. Klan-klan (bubuhan) mulai disatukan oleh suatu kekuatan politik yang memusat menjadi sebuah mandala (kerajaan) yang sebenarnya bukan tradisi Austronesia. Kerajaan awal ini sudah merupakan campuran ras yang datang dari beberapa daerah, tetapi di pedalaman bangsa Austronesia masih hidup dalam komunitas rumah panjang yang mandiri dan terpisah serta saling berperang untuk berburu kepala.

  • 242-226 SM : Candi Agung di kota Amuntai didirikan, merupakan situs kerajaan pertama. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).
  • 200 : Penduduk Nusa Kencana migrasi ke pulau Bawean selanjutnya ke pulau Jawa, sebagian melanjutkan perjalanan ke pulau Pawinian (Karimun Jawa) menuju Sumatera.
  • 400 : Pendatang India meng-hindu-kan raja dari Kerajaan Kutai sehingga terbentuklah kerajaan Hindu pertama di Nusantara. Prasasti Yupa dan Lesong Batu oleh Raja Mulawarman menandai zaman sejarah.
  • 525 : Suku Melayu yang sudah mendapat pengaruh India memperkenalkan sistem kerajaan kepada bangsa Austronesia di lembah sungai Tabalong yaitu suku Maanyan dan suku Bukit sehingga berdirinya Kerajaan Tanjungpuri/Kerajaan Nan Sarunai berpusat di Tanjung.
  • 600 : Sebagian Proto Suku Dayak Maanyan bermigrasi ke Madagaskar.

3. Zaman Pengaruh Sriwijaya dan Awal Kedatangan Islam

  • 700 : Pengaruh Kerajaan Melayu dan Sriwijaya ditandai penemuan patung Buddha Dipamkara dan batu bertulis aksara Pallawa "siddha" dari abad ke-7 di sungai Amas, Kalimantan Selatan.
  • 745 : Kedatangan Islam pertama kali di Nusantara ditandai penemuan Batu Nisan Sandai di Sandai, Ketapang wilayah Kerajaan Tanjungpura bertarikh 127 Hijriah (745 M).
  • 1076: Kerajaan Bulungan berpusat di kawasan Bulungan sampai tahun 1156.
  • 1156: Pusat Kerajaan Bulungan berpindah ke pesisir yakni, di kawasan sungai Kayan sampai 1216.

4. Zaman Pengaruh Singhasari dan Majapahit

Pengaruh Singhasari terutama pada Bakulapura di barat daya Kalimantan.

  • 1292 : Ratu Sang Nata Pulang Pali I memerintah Kerajaan Landak, Kalimantan Barat.
  • 1300 : Aji Batara Agung Dewa Sakti menjadi Raja Kutai Kartanegara I sampai tahun 1325. Ia mendirikan kerajaannya di Tepian Batu yang kini dinamakan Kutai Lama.
  • 1325 : Aji Batara Agung Paduka Nira menjadi Raja Kutai Kartanegara II sampai tahun 1360.
  • 1340 : Patih Gumantar memerintah di Kerajaan Mempawah.

5. Zaman Kekuasaan Majapahit dan Awal Kesultanan Islam

  • 1360 : Aji Maharaja Sultan menjadi Raja Kutai Kartanegara III sampai tahun 1420. Walupun raja belum memeluk Islam, dari gelarnya menunjukkan sudah munculnya pengaruh Islam.
  • 1362 : Nan Sarunai Usak Jawa, serangan yang terulang oleh Marajampahit (Majapahit) terhadap Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Kuripan menyebabkan suku Bukit menyingkir ke pegunungan Meratus dan suku Maanyan menyingkir ke daerah yang ditempati suku Lawangan.
  • 1365 : Nagarakretagama digubah oleh mpu Prapaรฑca menyebutkan negeri-negeri di Nusa Tanjungnagara yang berada di bawah perlindungan Majapahit di bawah Patih Gajah Mada yaitu negeri-negeri Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Ungga, Kota Waringin, Sambas, Lawai, Kadandangan, Landa, Samadang, Tirem, Sedu, Barune, Kalka, Saludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalong, Tanjung Kutei dan Malano di pulau Tanjungpura.
  • 1383 : Awang Alak Betatar bergelar Sang Aji menjadi Sultan Brunei I sampai tahun 1402.
  • 1385 : Dara Juanti sebagai Raja Puteri di Kerajaan Sintang dilamar oleh Patih Logender yang berasal dari Majapahit.
  • 1387 : Kerajaan Negara Dipa didirikan oleh Ampu Jatmika yang berasal dari Keling. Menurut Veerbek (1889:10) Keling, provinsi Majapahit di barat daya Kediri.
  • 1394 : Kerajaan Tidung berpusat di Pimping bagian barat dan Tanah Kuning sampai tahun 1557
  • 1400 : Baddit Dipattung, Raja Berau I dengan pusat pemerintahannya di Sungai Lati, Gunung Tabur, Berau.
  • 1408 : Pateh Berbai menjadi Sultan Brunei II sampai tahun 1425.
  • 1420 : Aji Raja Mandarsyah menjadi Sultan Kutai IV sampai tahun 1475. Islam datang di Kutai pada masa pemerintahannya dibawa oleh Tuan Tunggang Parangan.
  • 1425 : Syarif Ali, seorang menantu Sultan Brunei yang berasal dari Mekkah dinobatkan sebagai Sultan Brunei III sampai tahun 1432.
  • 1429 : Bhre Tanjungpura dijabat oleh Manggalawardhani Dyah Suragharini [= Putri Junjung Buih?] puteri dari Bhre Tumapel II (= abangnya Suhita) berkuasa sampai tahun 1464.
  • 1431 : Kota Sukadana menjadi pusat Kerajaan Tanjungpura sampai dengan tahun 1724 sejak pemerintahan Pangeran Karang Tunjung (1431-1450).
  • 1432 : Adipati Agong menjadi Sultan Brunei IV sampai tahun 1485.
  • 1441 : Nisan dari batu andesit ditemukan di Keramat Tujuh, Kabupaten Ketapang bertuliskan huruf Arab bertarikh tahun 1363 Saka. Bentuk nisannya berasal dari abad terakhir Majapahit.
  • 1472 : Raden Ismahayana gelar Raja Dipati Karang Tanjung Tua menjadi Raja Landak sampai 1542.
  • 1475 : Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya dari Paser dinobatkan menjadi Raja Kutai Kartanegara V sampai tahun 1545.
  • 1478 : Maharaja Sari Kaburungan menjadi raja Kerajaan Negara Daha yang berpusat di Nagara. Islam datang pada masa pemerintahannya, karena seorang anaknya menikah dengan putri dari Sunan Giri.
  • 1485 : Bolkiah menjadi Sultan Brunei V sampai tahun 1524.
  • 1516 : Putri Petung menjadi Ratu Pasir sampai tahun 1567. Penguasa Pasir yang pertama ini berasal dari Kuripan (Negara Daha).
  • 1524 : Abdul Kahar menjadi Sultan Brunei VI sampai tahun 1530.
  • 24 September 1526 : Suriansyah, Sultan Banjar I memeluk Islam diperingati sebagai Hari Jadi Kota Banjarmasin. Kerajaan yang baru berdiri ini melepaskan diri dari Kerajaan Negara Daha atas dukungan Kesultanan Demak.[4]
  • 1533 : Saiful Rizal menjadi Sultan Brunei VII sampai tahun 1581.
  • 1538 : Kerajaan Tanjungpura dipimpin oleh Panembahan Baruh (1538-1550)
  • 1545 : Aji Raja Mahkota Mulia Alam menjadi Raja Kutai Kartanegara VI sampai tahun 1610, raja pertama yang memeluk Islam.
  • 1550 : Rahmatullah menjadi Sultan Banjar II sampai tahun 1570.
  • 1557 : Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet memerintah Kerajaan Tidung sampai tahun 1571 berlokasi di kawasan Pamusian wilayah Tarakan Timur.
  • 1567 : Raja Aji Mas Patih Indra menjadi Raja Pasir sampai tahun 1607.
  • 1570 : Hidayatullah I menjadi Sultan Banjar III sampai tahun 1595.
  • 1571 : Amiril Pengiran Dipati I menjabat Raja Tidung sampai tahun 1613.
  • 1581 : Shah Brunei menjadi Sultan Brunei VIII sampai tahun 1582.
  • 1582 : Muhammad Hasan menjadi Sultan Brunei IX sampai tahun 1598.
  • 1590 : Penguasa Kerajaan Tanjungpura memeluk Islam dengan memakai gelar Panembahan dan Giri, yaitu Panembahan Giri Kusuma dan mengubah nama kerajaan Hindu Tanjungpura menjadi Kesultanan Sukadana-Matan.

6. Zaman Pengaruh Awal VOC

  • 1595 : Mustainbillah menjadi Sultan Banjar IV sampai tahun 1638.
  • 1596 : Pedagang Belanda merampas 2 jung lada dari Banjarmasin yang berdagang di Kesultanan Banten.
  • 1598 : Abdul Jalilul Akbar menjadi Sultan Brunei X sampai tahun 1659.
  • 1599 : Sultan Brunei mengadakan perhubungan dengan Spanyol di Manila.
  • 1600 : Anam Jaya Kesuma menjadi penguasa Kerajaan Landak.
  • 1600 : Oliver van Noord, pedagang Belanda datang ke Brunei.
  • 1600 : Abang Pencin alias Pangeran Agung yang memerintah tahun 1600 - 1643 adalah Raja Sintang yang pertama memmeluk Islam.
  • 1604 : Kerajaan Matan/Sukadana mengikat perjanjian dengan Belanda (VOC) yang menimbulkan kemarahan Raja Mataram.
  • 14 Februari 1606 : Ekspedisi Belanda dipimpin Koopman Gillis Michaelszoon tiba di Banjarmasin, Karena perangainya yang buruk nahkoda ini terbunuh dalam suatu kericuhan
  • 1607 : Raja Aji Mas Anom Indra menjadi Raja Pasir sampai tahun 1644.
  • 1607 : 17 Juli 1607 Ekspedisi VOC dipimpin Koopman Gillis Michaelszoon tiba di Banjarmasin, semua ABK dibunuh sebagai pembalasan atas perampasan kapal jung Banjar di Banten tahun 1596.
  • 1 Oktober 1609 : VOC melakukan pakta kerja sama dengan Ratu Sapudak dari Kerajaan Sambas.
  • 1610 : Aji Dilanggar menjadi Sultan Kutai VII sampai tahun 1635.
  • 1610 : Raja Kudung memerintah Kerajaan Landak yang berpusat di Pekana, Karangan.
  • 1612 : Kompeni Belanda menembak hancur Banjar Lama ibukota Kesultanan Banjar, sehingga ibukotanya dipindahkan ke Martapura. Kongsi Perdagangan Inggris yang diketuai oleh Sir Hendry Middleton datang ke Brunei.
  • 1613 : Amiril Pengiran Singa Laoet menjabat Raja Tidung sampai tahun 1650.
  • 1615 : Pangeran Dipati Anta-Kasuma mendirikan Kerajaan Kotawaringin, pecahan wilayah Kesultanan Banjar paling barat yang berbatasan dengan Kesultanan Sukadana-Matan.
  • 1622 : Giri Mustika (Raden Saradewa) menantu Pangeran Dipati Anta-Kasuma dinobatkan menjadi sultan Sukadana-Matan dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin (1622-1659). Kesultanan Mataram mengirim Tumenggung Bahurekso, Bupati Kendal menyerang Kesultanan Sukadana-Matan, serangan ini mengkhawatirkan kerajaan-kerajaan Kalimantan akan serangan Mataram.
  • 1625 : Muhammad Ali menjadi Sultan Brunei XII sampai 1660.
  • 1626 : Produksi lada Banjar sangat meningkat, sehingga VOC berusaha untuk memperoleh monopoli lada, dan berusaha menghilangkan kejadian tahun 1612 yaitu penyerbuan Belanda terhadap kesultanan Banjar. Belanda juga meminta maaf atas perbuatannya merampok kapal kesultanan Banjar dalam pelayaran perdagangan ke Brunei 4 Juli 1626. Perdagangan kesultanan Banjar diarahkan ke Cochin Cina (Veitnam) tidak ke Batavia.
  • 1634: VOC mengirim 6 kapal dagang ke Banjarmasin dipimpin Gijsbert van Londensteijn, kemudian ditambah beberapa kapal di bawah pimpinan Antonie Scop dan Steven Barentsz.[5]
  • 1635 : 17 Juni 1635 Kapal Pearl Inggris tiba di Banjarmasin, Tewseling dan Gregory.
  • 1635 : 4 September 1635 Sultan Banjar diwakili oleh Syahbandar Ratna Diraja Goja Babouw mengadakan kontrak dagang pertama di Betawi dengan Kompeni Belanda yang wakili oleh : Hendrik Brouwer, Antonio van Diemen, Jan van der Burgh, Steven Barentszoon. VOC juga membantu Banjar untuk menaklukan bagian timur Kalimantan (Pasir).
  • 1635 : Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura menjadi Sultan Kutai VIII sampai tahun 1650. Raja ini menaklukan Kerajaan Kutai Martadipura.
  • 1636 : Kesultanan Banjar mengklaim daerah sepanjang Kerajaan Sambas sampai Kesultanan Berau serta Karasikan sebagai wilayahnya karena saat itu Banjarmasin sudah memiliki kemampuan militer untuk menghadapi serangan dari Mataram.
  • 1636: Pertama kali Belanda mulai berdiam di Banjarmasin ketika VOC mendirikan kantor dagang di Banjarmasin di bawah pimpinan Wollenbrant Gelijnsen.[5]
  • 1638 : Inayatullah menjadi Sultan Banjar V sampai tahun 1645. Kesultanan Sukadana-Matan dan bawahannya Kerajaan Mempawah mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar. Raja Muhammad Zainudin dari Kesultanan Matan memindahkan ibukota kerajaan dari sungai Matan ke negeri Indra Laya yang disebut Kerajaan Indra Laya.
  • 1638 : Contract Craemer menolak permintaan Sultan Banjar untuk mengirimkan lada ke Makassar, pecahlah perang anti VOC sebanyak 108 orang Belanda, 21 orang Jepang dibunuh, dan loji VOC dibakar serta penghancuran terhadap kapal-kapal VOC di Banjarmasin.
  • 1640 : Gubernur Jenderal VOC Antonio van Diemen memerintahkan agar permusuhan dengan Kesultanan Banjar dihentikan dan hanya menuntut 50.000 real sebagai ganti rugi kejadian tahun 1638.
  • 1641 : Upeti yang terakhir dari Kesultanan Banjar dikirim ke Kesultanan Mataram, pengiriman upeti sempat terhenti sejak meninggalnya Sultan Demak terakhir.[5]
  • 1644 : Raja Aji Anom Singa Maulana menjadi Raja Pasir sampai tahun 1667.
  • 1645 : Saidullah menjadi Sultan Banjar VI sampai tahun 1660.
  • 1650 : Aji Pangeran Dipati Agung ing Martapura menjadi Sultan Kutai IX sampai tahun 1665. Amiril Pengiran Maharajalila I menjabat Raja Tidung sampai tahun 1695.
  • 1659 : Muhammad Zainuddin I (Marhum Negeri Laya) memerintah Kesultanan Sukadana-Matan (1659-1724). Abdul Jalilul Jabbar menjadi Sultan Brunei XI sampai tahun 1660.
  • 1660 : Rakyatullah menjadi Sultan Banjar VII sampai 1663, ia membuat perjanjian dengan VOC 18 Desember 1660. Abdul Mubin menjadi Sultan Brunei XIII sampai tahun 1673.
  • 1661 : Abdul Hakkul Mubin menjadi Sultan Brunei XIII sampai tahun 1673. Utusan kesultanan Sukadana-Matan datang di Kesultanan Banjar untuk melaporkan bahwa Sukadana kembali menjadi daerah pegaruh dari Kesultanan Banjar semenjak sebelumnya pada tahun 1638.
  • 1662 : Menurut Barra pada tahun 1662 hanya ada 12 jung orang Melayu, Inggris, Portugis mengangkut lada dan emas ke Makassar, sementara di Pelabuhan Banjarmasin dipenuhi lebih dari 1000 perahu layar, baik perdagangan interinsuler maupun perdagangan inter-kontinental.
  • 1663 : Sultan Amrullah menjadi Sultan Banjar VIII, tetapi ia kemudian dikudeta oleh Sultan Agung menjadi Sultan Banjar IX sampai tahun 1679, dengan bantuan suku Biaju dan memindahkan ibukota ke Sungai Pangeran, Banjarmasin.
  • 1665 : Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura menjadi Sultan Kutai X sampai tahun 1686.
  • 1667 : Panembahan Sulaiman I menjadi Raja Pasir sampai tahun 1680.
  • 21 Januari 1668 : Lamohang Daeng Mangkona mendirikan Kota Samarinda yang penduduknya dikenal sebagai orang Bugis Samarinda Seberang.
  • 1670 : Sultan Muhammad Tajuddin dari Sambas memerintah sampai tahun 1708.
  • 1672 : Sultan Nata Muhammad Syamsudin Sa’idul Khairiwaddien, sebagai Raja Sintang yang pertama memakai memakai gelar yang lebih tinggi Sultan, memerintah sampai tahun 1737.
  • 1673 : Muhyiddin menjadi Sultan Brunei XIV sampai tahun 1690.
  • 1675 : Muhammad Syafeiuddin I menjadi Sultan Sambas sampai tahun 16701675 - 1685.
  • 1680 : Amirullah Bagus Kusuma naik tahta kembali menjadi Sultan Banjar X sampai tahun 1700. Panembahan Adam I menjadi Raja Pasir sampai tahun 1705. Raja Senggauk menjadi Raja Mempawah.
  • 1686 : Ratu Agung, wanita pertama memimpin Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1700.
  • 18 Januari 1689 : Penyebar agama Katolik, Antonio Ventimiglia tiba di Banjarmasin dari Goa, India.[6]
  • 25 Juni 1689 : Kapal Portugis di bawah pimpinan Kapten Cotingo memasuki daerah Pulau Petak di kabupaten Kapuas dan menjalin hubungan dengan suku Dayak Ngaju.
  • 1690 : Nassaruddin menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1705.
  • 1695 : Amiril Pengiran Maharajalila II menjabat Raja Tidung sampai tahun 1731.
  • 1699 : Pada bulan April, dua orang bangsa Inggris Henry Watson dan Captain Cotesworth diinstruksikan mendirikan factory/gudang di Banjarmasin.[7]
  • 1700 : Hamidullah menjadi Sultan Banjar XI sampai tahun 1734. Aji Pangeran Dipati Tua menjadi Sultan Kutai Kartanegara XII yang sampai tahun 1710. Tahun 1700 terjadi perang antara Landak dan Matan,karena perebutan pewarisan intan kobi. Landak dibantu oleh Banten dan VOC, karena itu kemudian Banten menyatakan Landak dan Matan di bawah kuasa Kesultanan Banten.
  • 1701 : Sesudah kekalahan orang-orang Banjar dalam Perang Inggris-Banjar I pada Oktober 1701, orang-orang Cina kehilangan tempat dan hak mereka dalam pasar lada. Karena sebagian besar tindakan raja Banjar diatur oleh Inggris sebagai pemenang perang, maka diperintahkanlah semua rakyatnya untuk menjual ladanya kepada orang-orang di bawah pengawasan Inggris, yang mendirikan tempat penjagaan yang terletak di muara sungai Barito.
  • 1703 : Sultan Aji Muhammad Alamsyah menjadi Sultan Pasir I sampai tahun 1726, untuk pertama kalinya penguasa Pasir mengambil gelar yang lebih tinggi Sultan.
  • 1705 : Hussin Kamaluddin menjadi Sultan Brunei (periode I) sampai tahun 1730.
  • 1707 : Orang-orang Inggris diusir dari Banjar dalam Perang Inggris-Banjar II tahun 1707, sehingga orang-orang Cina dapat bebas kembali untuk mengadakan transaksi dengan para pedagang lada Banjar dan Biaju. Jumlah orang-orang Cina yang berkumpul di daerah Kesultanan Banjar makin hari makin besar terdiri atas pedagang-pedagang jung dan pedagang-pedagang menetap.
  • 1708 : Umar Akamuddin I menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1732.
  • 1710 : Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura menjadi Sultan Kutai Kartanegara XIII sampai tahun 1735.
  • 1724 : Pemerintahan Kerajaan Matan/Sukadana oleh Sultan Ma’aziddin (1724-1762).
  • 1726 : Sebagai menantu dari Sultan Pasir, La Madukelleng (Pahlawan Nasional) menjabat Raja Pasir sampai tahun 1736.
  • 1730 : Muhammad Alauddin menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1745.
  • 1731 : Wira Amir menjadi Sultan Bulungan I sampai tahun 1777. Amiril Pengiran Dipati II menjabat Raja Tidung sampai tahun 1765.
  • 1732 : Abubakar Kamaluddin I menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1762. Ibukota Kesultanan Kutai dipindah dari Kutai Lama ke Pemarangan.
  • 1733 : Panglima perang dari La Madukelleng (Arung Singkang) menyerang Banjarmasin tetapi mengalami kegagalan.
  • 1734 : Tamjidillah I menjadi Sultan Banjar XII sampai tahun 1759.
  • 1735 : Aji Muhammad Idris menjadi Sultan Kutai Kartanegara XIV sampai tahun 1778.
  • 1736 : Sultan Sepuh I Alamsyah menjadi Sultan Pasir II sampai tahun 1766.
  • 1740 : Panembahan Mempawah, Opu Daeng Manambung mendatangkan pekerja tambang dari daratan Cina.
  • 1745 : Hussin Kamaluddin menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1762 untuk kedua kalinya.
  • 1747 : Kompeni Belanda mendirikan benteng di Pulau Tatas (Banjarmasin) merupakan permukiman Eropa pertama di Kalimantan hingga tahun 1810 kemudian ditinggalkan oleh Marshall Daendels sesuai perjanjian dengan Sultan Banjar.
  • 1750 : Puana Dekke meminjam tanah kepada Tamjidullah I untuk mendirikan pemukiman di tenggara Kalsel yang kelak dikenal sebagai orang Bugis Pagatan.

7. Zaman Kekuasaan VOC

Orang-orang Italia merupakan orang Eropa pertama yang mengunjungi Kalimantan pada abad ke-14, kemudian disusul orang Spanyol, Inggris, dan Belanda. Kerajaan Sambas merupakan daerah pertama yang berada di bawah pengaruh Belanda semenjak kontrak dengan VOC yang dibuat oleh Ratu Sapudak (Raja Sambas) pada tanggal 1 Oktober 1609. Pada tanggal 4 September 1635, Kesultanan Banjar membuat kontrak perdagangan yang pertama dengan VOC dan VOC akan membantu Banjar menaklukan Paser. Sejak 1636, Banjarmasin berusaha menjadi pusat mandala bagi kerajaan-kerajaan lainnya yang ada di Kalbar, Kalteng, dan Kaltim. Hikayat Banjar mencatat adanya pengiriman upeti kepada Sultan Banjarmasin dari Sambas, Sukadana, Paser, Kutai, Berau, Karasikan (Buranun/Sulu), Sewa Agung (Sawakung), Bunyut dan negeri-negeri di Batang Lawai. Sukadana (dahulu bernama Tanjungpura) merupakan induk bagi kerajaan Tayan, Meliau, Sanggau dan Mempawah. Pada tahun 1638 di Banjarmasin terjadi tragedi pembantaian terhadap orang-orang Belanda dan Jepang sehingga Belanda mengirim ekspedisi penghukuman dan membuat ancaman terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan Kerajaan Sukadana. Tahun 1700 Sukadana (Matan) mengalami kekalahan dalam perang dengan Landak (vazal Banten). Landak dibantu Banten dan VOC, sehingga Banten mengklaim Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar) sebagai wilayahnya. Tahun 1756 VOC berusaha mendapatkan Lawai, Sintang dan Sanggau dari Banjarmasin. Daerah awal di Kalimantan yang diklaim milik VOC adalah wilayah sepanjang pantai dari Sukadana sampai Mempawah yang diberikan oleh Kesultanan Banten pada 26 Maret 1778. VOC sempat mendirikan pabrik di Sukadana dan Mempawah tetapi 14 tahun kemudian ditinggalkan karena tidak produktif (Sir Stamford Rafless, The History of Java). Pendirian Kesultanan Pontianak yang didukung VOC di muara sungai Landak semula diprotes Landak karena merupakan wilayahnya tetapi akhirnya mengendur karena tekanan VOC. Pada 13 Agustus 1787, Kesultanan Banjar menjadi daerah protektorat VOC dan vazal-vazal Banjarmasin diserahkan kepada VOC meliputi Kaltim, Kalteng, sebagian Kalsel, dan pedalaman Kalbar, yang ditegaskan lagi dalam perjanjian 1826. Hindia Belanda kemudian membentuk Karesidenan Sambas dan Karesidenan Pontianak dengan diangkatnya raja-raja sebagai regent dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Belakangan Karesidenan Sambas dilebur ke dalam Karesidenan Pontianak beserta daerah pedalaman Kalbar menjadi Karesidenan Borneo Barat. Tahun 1860 Hindia Belanda menghapuskan Kesultanan Banjar, kemudian terakhir wilayahnya menjadi bagian dari Karesidenan Afdeeling Selatan dan Timur Borneo.

  • 1756 : Pada 20 Oktober 1756 Tamjidullah I membuat perjanjian dengan VOC berisi larangan berdagang lada dengan orang Cina, Inggris dan Prancis selanjutnya VOC akan membantu menaklukkan kembali daerah yang memisahkan diri seperti : Berau, Kutai, Paser, Sanggau, Sintang dan Lawai.
  • 1759 : Muhammad Aliuddin Aminullah menjadi Sultan Banjar XIII sampai tahun 1761.
  • 1761 : Susuhunan Nata Alam adalah Sultan Banjar XIV sampai tahun 1801, sebelumnya sebagai wali Putra Mahkota yang masih kecil.
  • 1762 : Umar Akamuddin I menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1793. Di Brunei, Omar Ali Saifuddin I menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1795.
  • 1765 : Amiril Pengiran Maharajadinda menjabat Raja Tidung sampai tahun 1782.
  • 1766 : Sultan Ibrahim Alam Syah menjadi Sultan Pasir III sampai tahun 1786.
  • 23 Oktober 1771 : Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie yang pada tahun 1778 direstui VOC-Belanda sebagai Sultan Pontianak I berkuasa sampai tahun 1808. Pendirian kerajaan baru di muara sungai Landak ini semula diprotes oleh Kerajaan Landak.
  • 1772 : Sayyid Idrus Alaydrus, menantu Sultan Mahmud Badaruddin I dari Kesultanan Palembang diangkat VOC-Belanda menjadi Yang DiPertuan Kerajaan Kubu yang pertama, memerintah sampai tahun 1795.
  • 1775 : La Pangewa, pemimpin orang Bugis-Pagatan direstui Sultan Tahmidullah II sebagai raja pertama Kerajaan Pagatan, setelah menggempur Pangeran Amir (Raja Kusan I) yang menyingkir hingga ke Kuala Biaju.
  • 1777 : Republik Lanfang sebuah negara Hakka di Kalimantan Barat didirikan oleh Low Fang Pak sampai akhirnya dihancurkan oleh VOC-Belanda di tahun 1884.
  • 1778 : Menurut akta tanggal 26 Maret 1778 Landak dan Sukadana diserahkan kepada Kompeni Belanda oleh Sultan Banten. Inilah wilayah yang mula-mula menjadi milik VOC.
  • 1778 : Aji Muhammad Aliyeddin menjadi Sultan Kutai Kartanegara XIV sampai tahun 1780.
  • 1780 : Aji Muhammad Muslihuddin menjadi Sultan Kutai Kartanegara XV sampai tahun 1816.
  • 1782 : Amiril Pengiran Maharajalila III menjadi Raja Tidung sampai tahun 1817.
  • 28 September 1782 : Pemindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara dari Pemarangan ke Tepian Pandan.
  • 1785 : Pangeran Amir dibantu Arung Tarawe menyerang Tabaneo dengan pasukan 3000 orang Bugis-Paser berkekuatan 60 buah perahu untuk menuntut tahta Kesultanan Banjar dari Tahmidullah II.[8]
  • 1786 : Ratu Agung menjadi Sultan Pasir II sampai tahun 1788.
  • 14 Mei 1787 : Pangeran Amir ditangkap Kompeni Belanda, kemudian diasingkan ke Srilangka.
  • 13 Agustus 1787 : Sultan Tahmidullah II menyerahkan kedaulatan Kesultanan Banjar kepada VOC menjadi daerah protektorat dengan Akte Penyerahan di depan Residen Walbeck, setelah VOC-Belanda berhasil menyingkirkan Pangeran Amir, rivalnya dalam perebutan tahta. Sebagian besar Kalimantan diserahkan menjadi properti perusahaan VOC.
  • 1788 : Sultan Dipati Anom Alamsyah menjadi Sultan Pasir III sampai tahun 1799. Sultan ini menikahi Ratu Intan I yaitu Ratu dari Tjangtoeng dan Batoe Litjin.
  • 1789 : Sultan Pontianak dengan dukungan Belanda melakukan serangan terhadap Panembahan Mempawah dengan tujuan merebut wilayah Panembahan Mempawah. Kongsi Lan Fong kemudian juga mengirimkan pasukannya membantu pasukan Sultan Pontianak. Panembahan Mempawah kalah kemudian Raja Panembahan Mempawah mengundurkan dirinya ke daerah Karangan dan kemudian menetap di sana.
  • 1790 : Abubakar Tajuddin I menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1814.
  • 1795 : Muhammad Tajuddin menjadi Sultan Brunei IX sampai tahun 1807. Memerintahkan Khatib Haji Abdul Latif menuliskan Silsilah Raja-Raja Brunei serta memerintahkan supaya membuat rumah wakaf untuk jamaah haji Brunei di Mekkah.
  • 1797 : Kedaulatan atas daerah Paser dan Pulau Laut diserahkan VOC kembali kepada Sultan Banjar, Tahmidullah II.
  • 1799 : Sultan Sulaiman II Alamsyah menjadi Sultan Pasir IV sampai tahun 1811.

8. Zaman Hindia Belanda

  • 1801 : Sulaiman Saidullah II menjadi Sultan Banjar XV sampai tahun 1825.
  • 1806 : Muhammad Jamalul Alam I menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1807.
  • 1806 : 11 Agustus 1806 Keraton Banjar berganti nama dari Bumi Kencana menjadi Bumi Selamat.
  • 1807 : Muhammad Kanzul Alam menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1829.
  • 1808 : Syarif Kasim Alkadrie menjadi Sultan Pontianak II sampai tahun 1819.
  • 1810 : Sultan Alimuddin menjadi sultan pertama Kesultanan Sambaliung, pecahan Kesultanan Berau yang dibagi dua.
  • 1811 : Sultan Ibrahim Alamsyah menjadi Sultan Pasir sampai tahun 1815.
  • 1812 : Alexander Hare menjadi Resident-commissioner bagi pemerintahan Inggris di Banjarmasin.[9]
  • 1814 : Ratu Imanuddin memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Kotawaringin dari Kotawaringin Lama ke Pangkalan Bun.
  • 1814 : Muhammad Ali Syafeiuddin I menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1828.
  • 1815 : Sultan Mahmud Han Alamsyah menjadi Sultan Pasir sampai tahun 1843.
  • 1816 : Aji Muhammad Salehuddin menjadi Sultan Kutai XVI sampai tahun 1845.
  • 1817 : Amiril Tadjoeddin menjabat Raja Tidung sampai tahun 1844.
  • 1817 : 1 Januari 1817 Kontrak Persetujuan Karang Intan I antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.
  • 1819 : Syarif Osman Alkadrie menjadi Sultan Pontianak III sampai tahun 1855. Ia ditunjuk Pemerintah Hindia Belanda untuk memimpin Afdeeling Pontianak.
  • 1820 : Zainul Abidin II bin Badruddin (1820 - 1834) menjadi Sultan Gunung Tabur I, pecahan dari Kesultanan Berau. Pangeran Musa menantu Sultan Sulaiman dari Banjar menjadi Raja Kusan II sampai tahun 1830.
  • 1823 : 13 September 1823 : Kontrak Persetujuan Karang Intan II antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias.
  • 1825 : Adam Alwasikh Billah menjadi Sultan Banjar XVI sampai tahun 1857. Di Brunei, Muhammad Alam menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1828.
  • 1825 : Bulan Juli 1825, Pangeran Aji Jawi, Raja Tanah Bumbu menjalin kontrak dengan Hindia Belanda.
  • 1826 : Setelah serangan penaklukan keraton Banjar di Banjarmasin pada tahun 1826, Hindia Belanda telah membuat aturan daerah mana saja yang masih dikuasai Kesultanan Banjar dan menentukan pembagian wilayah-wilayah.
  • 1828 : Usman Kamaluddin menjadi wali Sultan Sambas sampai tahun 1832.
  • 1829 : Omar Ali Saifuddin II menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1852.
  • 1830 : Pangeran M. Nafis bin Pangeran Musa menjadi Raja Kusan III sampai tahun 1840.
  • 1832 : Umar Akamuddin III menjadi wali Sultan Sambas sampai tahun wafat 22 Desember 1846.
  • 1835: Zending dari Jerman mulai bekerja di selatan Kalimantan.[10]
  • 1837 : Berdirinya swapraja Kerajaan Matan berdiri dengan rajanya Panembahan Anom Kusuma Negara.
  • 1840 : Pangeran Jaya Sumitra bin Pangeran M. Nafis menjadi Raja Kusan IV sampai tahun 1850.
  • 24 September 1841 : James Brooke diangkat menjadi gubernur Sarawak
  • 1841 : Pangeran Aji Jawi, Raja Tanah Bumbu mangkat. Pangeran Mangku Bumi menjadi Raja Sampanahan, Pangeran Muda Muhammad Arifbillah menjadi Raja Cengal, Manunggul, Bangkalaan, sedangkan Raja Aji Mandura sebagai Raja Cantung.
  • 18 Agustus 1842 : James Brooke diberi gelar Rajah oleh Sultan Brunei. James Brooke menguasai wilayah Sarawak yang paling barat hingga kematiannya pada 1868.
  • 1843 : Sultan Adam II Aji Alamsyah menjadi Sultan Pasir sampai tahun 1853.
  • 1844 : Amiril Pengiran Djamaloel Kiram menjabat Raja Tidung sampai tahun 1867.
  • 11 Oktober 1844 : Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.
  • 1845 : Swapraja Kerajaan Matan dipimpin oleh Panembahan Muhamamad Cabran dari tahun 1845-1908.
  • 18 Maret 1845 : Kontrak dengan Hindia Belanda mengenai wilayah Kesultanan Banjar. Wilayah baru ini lebih kecil dibanding dengan sebelumnya, yaitu hanya daerah inti dari Kesultanan Banjar dan tidak mempunyai akses ke laut. Dan Belanda mengangkat gubernur bernama Weddik. [5]
  • 1846 : Raja Aji Mandura, menggabungkan negeri Buntar-Laut dengan Kerajaan Cantung, sehingga ia menjadi Raja Cantung dan Buntar-Laut.
  • 1846 : Abu Bakar Tadjuddin II menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1854. Masa pemerintahan Ratu Intan II, ratu dari Bangkalaan, Manoenggoel dan Tjingal.
  • 28 September 1849 : Gubernur Jenderal J.J. Rochussen datang ke Pengaron di Kesultanan Banjar untuk meresmikan pembukaan tambang batu bara Hindia Belanda pertama yang dinamakan Tambang Batu Bara Oranje Nassau Bentang Emas.
  • 1850 : Pangeran Akhmad Hermansyah menjadi Raja Kotawaringin sampai tahun 1865. Aji Muhammad Sulaiman menjadi Sultan Kutai XVIII sampai tahun 1899. Pangeran Jaya Sumitra menjadi Raja Pulau Laut I sampai tahun 1861.
  • 1852 : Abdul Momin menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1885.
  • 8 Agustus 1852 : Tanpa persetujuan Sultan Adam, Pangeran Tamjidillah II diangkat menjadi Sultan Muda oleh Pemerintah Hindia Belanda merangkap Mangkubumi di Kesultanan Banjar. Hindia Belanda dan Tamjidilah II sudah membangun konsesus dalam mendapatkan tanah apanase di Pengaron sebagai wilayah pertambangan batu bara.
  • 1853 : Pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Asisten Residen di Samarinda. Sultan Sepuh II Alamsyah menjadi Sultan Pasir sampai tahun 1875.
  • 1854 : Umar Kamaluddin menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1866.
  • 1855 : Syarif Hamid Alkadrie menjadi Sultan Pontianak IV sampai tahun 1872.
  • 9 Oktober 1856 : Hindia Belanda mengangkat Hidayatullah II sebagai Mangkubumi Banjar untuk meredam pergolakan di Kesultanan Banjar atas tersingkirnya Pangeran Hidayatullah yang didukung oleh kaum ulama dan bangsawan keraton serta telah mendapat wasiat dari Sultan Adam sebagai Sultan Banjar.
  • 30 April 1856 : Pangeran Hidayatullah II menandatangani persetujuan pemberian konsesi tambang batu bara kepada Hindia Belanda karena pengangkatannya sebagai Mangkubumi Banjar.
  • 1857 : Tamjidillah Alwasikh Billah diangkat Belanda menjadi Sultan Banjar XVII sampai tahun 1860 kemudian dimakzulkan dan dikirim Belanda ke Bogor.
  • 11 November 1858 : Pertama kali meletusnya Perang Banjar, dipimpin Pangeran Antasari.
  • 18 April 1859 : Penyerangan terhadap tambang Oranje Nassau dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari dibantu oleh Pembekal Ali Akbar dan Mantri Temeng Yuda atas persetujuan Pangeran Hidayatulah II.
  • 25 Juni 1859 : Hindia Belanda memakzulkan Tamjidillah II sebagai Sultan Banjar sebagai hasil kesepakatan Mangkubumi Pangeran Hidayatullah II dan Kolonel Andresen untuk memulihkan keadaan. Dengan siasat menempatkan Pangeran Hidayatullah sebagai Sultan Banjar dan menurunkan Tamjidillah II karena Belanda menilai penyerangan tambang mereka berkaitan dengan kekuasaan di Kesultanan Banjar.
  • 27 September 1859 : Belanda berhasil menduduki benteng pasukan Pangeran Antasari di Gunung Lawak.
  • 5 Februari 1860 : Belanda mengumumkan bahwa jabatan Mangkubumi Pangeran Hidayat dihapuskan.[11]
  • 11 Juni 1860 : Residen Belanda, I. N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan kerajaan di seluruh Kalimantan, termasuk pemerintahan Kesultanan Banjar.
  • 1860 : Pangeran Syarif Ali Alaydrus putera dari Syarif Idrus Alaydrus raja Kerajaan Kubu diangkat Belanda menjadi Raja Sabamban I
  • 1861 : Pangeran Abdul Kadir menjadi Raja Pulau Laut II sampai tahun 1873.
  • 14 Maret 1862 : Pangeran Antasari ditabalkan sebagai Panembahan (Sultan Banjar XVIII) oleh para kepala suku Dayak yang dipimpin oleh Kiai Yang Pati Jaya Raja, adipati (gubernur) wilayah Tanah Dusun, Kapuas dan Kahayan.
  • 11 Oktober 1862 : Pangeran Antasari (Pahlawan Nasional) mangkat karena penyakit cacar.
  • 1862 : Gusti Muhammad Seman menjadi Sultan Banjar XIX dalam pemerintahan Pagustian sampai gugur di tembak Belanda pada tahun 1905.
  • 1863 : Suku Iban bermigrasi ke daerah hulu sungai Saribas dan sungai Rajang, dan menyerang suku Kayan di daerah hulu sungai-sungai dan terus maju ke utara dan ke timur. Perang dan serangan pengayauan menyebabkan suku-suku lain terusir dari lahannya.
  • 27 Februari 1864 : eksekusi Demang Lehman di tiang gantungan di tanah lapang Martapura.
  • 1865 : Pangeran Ratu Anom Kusuma Yudha menjadi Raja Kotawaringin sampai tahun 1904.
  • 16 Agustus 1866 : Muhammad Syafeiuddin II menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1924.
  • 1867 : Datoe Maoelana/Ratoe Intan Doera menjabat Raja Tidung sampai tahun 1896.
  • 1872 : Syarif Yusuf Alkadrie menjadi Sultan Pontianak V sampai tahun 1895.
  • 1873 : Pangeran Berangta Kasuma menjadi Raja Pulau Laut III sampai tahun 1881.
  • 1875 : Pangeran Aji Inggu putera Sultan Sepuh II Alamsyah menjadi Raja Pasir sampai tahun 1876.
  • 1876 : Perang Sukadana dengan Pontianak, pelabuhan Sukadana akhirnya ditutup. Sultan Abdur Rahman Alamsyah (1876 - 1896) dinobatkan oleh rakyat menjadi Sultan Pasir di Benua dan Sultan Muhammad Ali (1876 - 1898) dinobatkan oleh Belanda menjadi Sultan Pasir di Muara Pasir.
  • 1877 : Abdul Momin membuat perjanjian dengan Gustavus Baron de Over-back dan Alfred Dent mengenai penggadaian terhadap wilayah-wilayah Brunei di Sabah.
  • 1881 : Sabah diambil alih oleh British North Borneo Company kemudian menjadi protektorat Britania Raya dengan masalah internal tetap diadministrasi oleh perusahaan tersebut tahun 1888. Pangeran Amir Husin Kasuma menjadi Raja Pulau Laut IV sampai tahun 1900.
  • 1885 :Hashim Jalilul Alam Aqamaddin menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1906.
  • 1894 : Pertemuan suku-suku Dayak di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah untuk mengakhiri tradisi ngayau.
  • 1895 : Pencatatan penduduk Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo terdiri : 598 orang Eropa, 4.525 orang China, 1.534 orang Arab, 116 orang Timur Asing serta 803.013 orang Bumiputera. Syarif Muhammad Alkadrie menjadi Sultan Pontianak VI sampai tahun 1944.
  • 1896 : Datoe Adil menjabat Raja Tidung sampai tahun 1916.
  • 1898 : Kevakuman pemerintahan Kesultanan Pasir sampai tahun 1899 karena diambil alih Belanda.
  • 1899 : Residen C.A Kroesen memimpin Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo. Aji Muhammad Alimuddin menjadi Sultan Kutai XIX sampai 1910. Sultan Ibrahim Khaliluddin menjadi Sultan Pasir sampai tahun 1908.
  • 1903 : Sultan Brunei mengutus surat kepada Sultan Abdul Hamid II, Turki Usmaniyah karena Limbang (wilayah Brunei) direbut oleh Charles Brooke pada tahun 1890.
  • 1905 : Pangeran Ratu Sukma Negara menjadi Raja Kotawaringin sampai tahun 1913.
  • 24 Januari 1905 : Sultan Muhammad Seman, putra dari Pangeran Antasari gugur melawan Belanda di pedalaman sungai Barito.
  • 15 September 1905 : Panglima Batur digantung Belanda.
  • 1906 : Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin menandatangani Perjanjian Protektorat Inggris atas Brunei dan menerima Sistem Residen di Brunei. Penggantinya, Muhammad Jamalul Alam II menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1924.
  • 1908 : Gusti Muhammad Saunan berkuasa di swapraja Kerajaan Matan sejak 1908-1944.
  • 1914 : Pangeran Ratu Sukma Alamsyah menjadi Raja Kotawaringin sampai tahun 1939.
  • 1919 : Banjarmasin ibukota Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo mendapat otonomi pemerintahan menjadi Gemeente Bandjermasin.
  • 1920 : Untuk menghindari rodi (erakan) yang dijalankan Belanda gelombang terakhir suku Banjar migrasi menyusuri jalur selatan Kalimantan Barat, pantai utara Bangka (Belinyu) menuju Kuala Tungkal dan Tembilahan selanjutnya menyebar ke Sumatera Utara, Batu Pahat dan Perak, Malaysia. Jalur ini merupakan jalur kuno migrasi Suku Maanyan ke Madagaskar.
  • 14 November 1920 : Sultan Aji Muhammad Parikesit menjadi Sultan Kutai XX.
  • 1923 : Nasional Borneo Kongres ke-1 diprakarsai oleh Sarekat Islam.
  • 1924 : Muhammad Ali Syafeiuddin II menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1926 dan di Brunei, Ahmad Tajuddin menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1950. Di Banjarmasin, J. De Haan menggantikan kedudukan C.J. Van Kempen sebagai residen Belanda sampai tahun 1929
  • 29 Maret-31 Maret 1924 : National Borneo Congres ke-2, dihadiri Sarekat Islam lokal dan wakil-wakil Perserikatan Dayak (non Islam).
  • 1926 : Muhammad Ibrahim Syafeiuddin menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1944.
  • 1929 : R. Koppenel menjadi residen Belanda di Banjarmasin sampai tahun 1931.
  • 1933 : W.G. Morggeustrom menjadi residen Belanda di Banjarmasin sampai 1937.
  • 12 Juni 1936: Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Tanjung Puting sebagai cagar alam dan suaka margasatwa.
  • 1938 : Residentie Wester Afdeeling van Borneo dan Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo menjadi sebuah Kegubernuran Borneo dengan dr. A. Haga sebagai gubernur sampai kedatangan Jepang. Gemeente Bandjermasin ditingkatkan menjadi Stads Gemeente Bandjermasin.
  • 1940 : Pangeran Ratu Anom Alamsyah menjadi Raja Kotawaringin sampai tahun 1948.
  • 25 Desember 1941 : Jepang membom Lapangan Terbang Ulin, Landasan Ulin, Banjarbaru.

9. Zaman Jepang

  • 21 Januari 1942 : Jepang menembak jatuh pesawat Catalina-Belanda di sungai Barito perairan Alalak, Barito Kuala.
  • 8 Februari 1942 : Jepang memasuki Muara Uya, Tabalong, Gubernur Haga mengungsi ke Kuala Kapuas selanjutnya menuju pedalaman Barito yaitu Puruk Cahu, dengan rencana untuk merebut kembali ibukota Borneo (Banjarmasin) dengan perang gerilya.
  • 10 Februari 1942 : Tentara Jepang memasuki Banjarmasin, ibukota Borneo (Kalimantan).
  • 12 Februari 1942 : Tentara Jepang mengeluarkan maklumat kota Banjarmasin dan daerahnya diserahkan kepada Pimpinan Pemerintahan Civil.
  • 3 Maret 1945 : Misi operasi Platypus mulai dijalankankan di Balikpapan.[12]
  • 5 Maret 1942 : A.A Hamidhan menerbitkan surat kabar Kalimantan Raya di Banjarmasin.
  • 18 Maret 1942 : Kiai Pangeran Musa Ardi Kesuma ditunjuk Jepang sebagai Ridzie, penguasa tertinggi pemerintah sipil meliputi wilayah Banjarmasin, Hulu Sungai dan Kapuas-Barito.
  • 1944 : Syarif Thaha Alkadrie menjadi Sultan Pontianak VII sampai tahun 1945.Muhammad Taufik menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1984.
  • 17 April 1945 : Rakyat Banjarmasin mulai diwajibkan memberi hormat dengan membungkukkan badan kepada setiap tentara Jepang baik yang naik sepeda, mobil dan sebagainya.

10. Zaman NICA dan Federalisme

  • 1945 : Sultan Hamid II menjadi Sultan Pontianak VIII sampai tahun 1950.
  • 6 Mei 1945 : Pembentukan TRI pasukan MN 1001, MKTI (MN=Muhammad Noor)
  • 2 September 1945 : Pemerintahan Sukarno-Hatta melantik Ir. H. Pangeran Muhammad Noor sebagai gubernur Kalimantan.
  • 17 Oktober 1945 : Penerjunan pertama pasukan payung Republik Indonesia di Desa Sambi, Arut Utara, Kotawaringin Barat (Palagan Sambi). Tanggal ini menjadi Hari Jadi Paskhas TNI AU.
  • 9 November 1945 : Pertempuran di Banjarmasin melawan Belanda.
  • 31 Januari 1946 : Di Yogyakarata, Presiden Sukarno menerima 32 pemuda Kalimantan[13]
  • 1946 : Pemerintahan perusahaan British North Borneo Company berakhir dan Sabah menjadi koloni dari British North Borneo sampai menjadi federasi Malaysia pada 1963.
  • 17 Mei 1949 : Proklamasi Kalimantan oleh Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan oleh Letkol. Hasan Basry (Pahlawan Nasional).
  • 1950 : Omar Ali Saifuddin III menjadi Sultan Brunei 1967.
  • 18 April 1950 : Pembubaran Dewan Dayak Besar, Dewan Banjar dan Federasi Kalimantan Tenggara.

11. Zaman modern

  • 14 Agustus 1950 : Pembentukan provinsi Kalimantan setelah bubarnya RIS dengan gubernur dr. Moerjani, tetap diperingati sebagai Hari Jadi Propinsi Kalimantan Selatan.
  • 23 September 1953 : Wafatnya Ratu Zaleha, putri Sultan Muhammad Seman, tokoh emansipasi wanita Kalimantan, sebelumnya diasingkan di Cianjur.
  • 4 Oktober 1956 : Sidang Kabinet memutuskan untuk memekarkan Propinsi Kalimantan menjadi tiga provinsi otonom.
  • 7 Desember 1956 : Kalimantan dipecah menjadi provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.
  • 23 Mei 1957 : Pembentukan provinsi Kalimantan Tengah dimekarkan dari Kalimantan Selatan.
  • 8 Desember 1962 : Revolusi Brunei pecah yang dipimpin oleh Yassin Affandi dan pemberontak bersenjatanya (Tentara Nasional Kalimantan Utara).
  • 1963 : Sabah dan Sarawak bergabung dalam federasi Malaysia.
  • 1967 : Haji Hassanal Bolkiah Mu'izzaddin Waddaulah menjadi Sultan Brunei XXIX hingga kini.
  • 4 Januari 1979 : Brunei dan Britania Raya telah menandatangani Perjanjian Kerjasama dan Persahabatan.
  • 1 Januari 1984 : Brunei Darussalam telah berhasil mencapai kemerdekaan sepenuhnya.
  • 1984 : Pangeran Ratu Winata Kusuma sebagai kepala rumah tangga Kesultanan Sambas.
  • 12 Mei 1984 : Penetapan Taman Nasional Tanjung Puting oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia.
  • 1999 : Haji Aji Muhammad Salehuddin II menjadi Raja Kutai Kartanegara XXI hingga kini.
  • 26 Mei - 29 Mei 2008 : Rakernas I Majelis Adat Dayak Nasional di Palangkaraya menuntut Otonomi Khusus untuk Kalimantan

12. Referensi

  1. borneo
  2. borneol definition
  3. 'Baru nah'
  4. (ms)Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990.
  5. ^ (id) Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan
  6. Characteristics of the Diocese Diocese of Palangka Raya
  7. R. Suntharalingam, The British in Banjarmasin: An Abortive Attempt in Settlement 1700-1707
  8. Buginese on Borneo
  9. (id) Rosihan Anwar, Sejarah kecil "petite histoire" Indonesia, Jilid 1, Penerbit Buku Kompas, 2004 ISBN 979-709-141-4, 9789797091415
  10. (id) Th. van den End, Ragi Carita 1, Jilid 1 dari Ragi carita: sejarah gereja di Indonesia, BPK Gunung Mulia, 1987, ISBN 979-415-188-2, 9789794151884
  11. (id) Tamar Djaja, Pustaka Indonesia: riwajat hidup orang-orang besar tanah air, Volume 2, Bulan Bintang, 1966
  12. (en) A. B. Feuer, Australian commandos: their secret war against the Japanese in World War II, Stackpole Military history series, Stackpole Books, 2006, ISBN 0-8117-3294-0, 9780811732949
  13. [http://books.google.co.id/books?id=QrL5g_wp3i8C&lpg=PA42&dq=balikpapan%20banjarmasin&pg=PA43#v=onepage&q=balikpapan%20banjarmasin&f=true (id) Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, Kronik revolusi Indonesia, Volume 1, Kepustakaan Populer Gramedia, 1999 ISBN 9799023270, 9789799023278]. Diakses 3 September 2010

Original source : www.wapedia.mobi


Thursday, December 23, 2010

Patung Burung Garuda Kesultanan Sintang Akan Dipamerkan

BANJARMASINPOST.CO.ID, SINTANG - Kepala Bidang Museum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sintang Siti Musrikah mengatakan patung burung garuda yang menjadi lambang Kesultanan Sintang akan dipamerkan di Bandung.

"Dalam waktu dekat akan ada pameran perbatasan di Museum Konferensi Afrika Bandung dan patung burung garuda itu diminati untuk ikut dibawa," kata Siti Musrikah di Sintang, Minggu.

Ia mengatakan, pameran itu mengambil tema Kalimantan Barat Dalam Naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Kegiatan akan berlangsung selama dua bulan yaitu minggu ketiga Desember hingga bulan Januari 2011 nanti," kata Pengelola Museum Kapuas Raya Sintang ini.

Ia mengatakan, mengenai peminjaman lambang garuda itu, sudah mendapat surat langsung dari Kepala Museum Asia Afrika belum lama ini.

"Mereka juga meminta Museum Kapuas Raya Sintang turut berpartisipasi dalam pameran itu dengan membantu menyiapkan materi lainnya," jelasnya.

Dalam pameran nanti, ia mengatakan Museum Kapuas Raya akan memamerkan berbagai dokumen dari Sintang seperti film dokumenter berjudul "Indonesia di Tepi Batas", foto Desa Jasa Kecamatan Senaning, pakaian pengantin tradisional.

"Kita juga akan menampilkan alat musik tradisional Dayak, Melayu dan Tionghoa serta Tenun Ikat khas Sintang," ujarnya.

Menurutnya, pameran yang akan diikuti tersebut banyak mengambil bahan pamer dari Sintang, tetapi ada juga yang diambil dari Kesultanan Pontianak.

"Karena, silsilah burung garuda yang akan dipemerkan itu dulunya dipinjam Sultan Hamid II untuk ikut sayembara lambang negara," ucapnya.

Kemudian, kata dia, setelah melalui perubahan, maka burung garuda yang dimaksud tersebut ditetapkan sebagai lambang negara.

"Alasan dipilihnya Museum Kapuas Raya sebagai wakil Kalbar dalam even pameran itu karena museum kita merupakan satu-satunya museum yang berada tepat di kawasan perbatasan, kabupaten lain tak punya museum selain provinsi," imbuhnya.

Dalam pameran itu, ia mengatakan, pelajar Sintang juga diundang untuk belajar serta melakukan tatap muka secara langsung dengan pelajar dari kota Bandung.

"Pelajar dari Sintang hanya 4 orang, dari SMAN 3 dan SMA Pancasetya," jelasnya.

Diakui dia, pelaksanaan pameran perbatasan di Museum KAA itu akan memberikan banyak manfaat bagi Sintang.

"Terutama dalam upaya kita mempromosikan daerah," ucapnya.

Menurutnya, tujuan dari pameran itu adalah agar masyarakat lebih mengenal daerah perbatasan provinsi Kalbar khususnya Sintang.

"Juga untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air dan menggelorakan semangat mempertahankan wilayah perbatasan," jelasnya.

Saat ini, menurutnya, museum KAA sedang mempersiapkan pelaksanaan pameran dengan melakukan pengumpulan informasi, foto-foto, dokumen dan buku-buku mengenai kebudayaan.

"Museum penyelenggara sedikit mengalami kesulitan untuk mendapatkan barang pamer, tetapi terus diupayakan," kata dia.

Situs Kalimantan News dalam menampilkan bahwa Raja Sintang H.R.M.Ichsani Ismail Tsyafioeddin dalam sebuah ritual adat kerajaan melayu pada pernikahan salah satu keponakannya mengatakan bahwa Sultan Hamid II dari Kesultanan Pontianak yang disebut-sebut sebagai pencetus ide lambang negara ini, telah meminjam lambang kerajaan Sintang.

Peristiwa itu tepatnya di tahun 1948 dan dibawa ke Pontianak. Sultan Hamid II sendiri merupakan putra pertama Raja Kesultanan Pontianak Sultan, Syarif Muhammad Alkadrie.

Sultan Sintang dan tokoh sepuh yang masih kerabat Keraton, Gusti Djamadin mengaku masih menyimpan dokumen peminjaman lambang kerajaan Sintang oleh Sultan Hamid II tersebut.

Lambang kerajaan Sintang sendiri yang kini masih tersimpan di Istana Al Muqqaromah Sintang ada berupa patung burung yang memang sama dengan lambang negara kita saat ini.

Patung burung itu sendiri menurut Gusti Djamadin dibuat oleh seorang putra Dayak yaitu Sutha Manggala di masa kerajaan Sultan Abdurrahman. Patung tersebut disyahkan sebagai lambang kerajaan Sintang tahun 1887.

Gambar patung burung yang kemudian dijadikan sebagai lambang Kesultanan Sintang ini menurut penuturan Gusti Djamadin diambil dari salah satu bagian gantungan gong dari bagian seperangkat gamelan yang dijadikan barang hantaran lamaran Patih Lugender kepada Putri Dara Juanti.

Pada bagian gantungan gong terdapat ukiran menyerupai burung garuda. Memiliki dua kepala yang berlawanan pandang. Satu kepala asli burung namun satu lagi menyerupai kepala manusia. Sedangkan pada lambang Sintang kepala patung diukir menyerupai kepala manusia.

sumber : www.banjarmasinpost.co.id

Pencipta lambang Garuda Indonesia dari Kalimantan Barat

SEPANJANG orang Indonesia, siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda. Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadiSultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB diIndonesia dan Belanda. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.

Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerlingyang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar – karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL. Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saatSultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.

Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karyaSultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pitayang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.

Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis. Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karyaSultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.

Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RISSultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini. Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara dimana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya.

Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempatyang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulaidari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,” katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi Kal-Bar.** Sultan Hamid II Pencipta Burung Garuda Syarif Abdul Hamid Alkadrie yang bergelar Sultan Hamid Alkadrie II dan Sultan ke 8 Pontianak, Kalbar ini adalah pencipta Burung Garuda. Sultan Hamid juga orang Indonesia pertama yang berpangkat tertinggi di dunia militer. Pontianak: Nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie memang kurang dikenal di Tanah Air. Padahal, tokoh nasional dari Pontianak, Kalimantan Barat ini adalah pencipta lambang negara Indonesia, Burung Garuda. Selain pencipta lambang negara, Syarif yang bergelar Sultan Hamid Alkadrie II dan Sultan ke 8 Pontianak ini juga adalah orang Indonesia pertama yang berpangkat tertinggi di dunia militer, yaitu mayor jendral.

Sultan Hamid membuat lambang negara berdasarkan penugasan Presiden Sukarno pada 1950. Saat itu dia menjabat menteri tanpa porto folio. Rekannya, Muhammad Yamin sebenarnya juga membuat rancangan lambang negara, Namun, Sukarno akhirnya memilih rancangan Sultan Hamid. Setelah disempurnakan, gambar Burung Garuda diresmikan Sukarno sebagai lambang negara pada 10 Februari 1950. Salinan sketsa Burung Garuda yang tersimpan di Keraton Kadriah, Pontianak ini menunjukkan proses pembuatan lambang negara sangat rumit hingga harus diubah berkali-kali.

sumber : http://lookman89.wordpress.com/2010/01/10/pencipta-lambang-garuda-indonesia/

Budaya Nugal (Menanam Padi) di Kalimantan Barat

oleh : Bambang Supriadi

(Di SINTANG - Kalimantan Barat)

NUGAL adalah kegiatan menanam Padi di Ladang (Huma) yang dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat sekampung dan keluarga terdekat.

Masyarakat SINTANG (Kalimantan Barat) dan sekitarnya memiliki kebiasaan menanam padi di Ladang/ kebun yang disebut juga HUMA. Kegiatan ber-Huma dimulai dengan menyiapkan lahan, yaitu menebang pohon-pohon kemudian dibakar kegiatan ini disebut juga NUNU Huma. Tradisi ini sudah dilakukan turun temurun sejak jaman dulu, maka tidak heran kalau menjelang musim menananm padi sering terjadi pembakaran hutan/kebun, hal ini bertujuan untuk membersihkan sampah-sampah pohon yang ditebang dan sekaligus abu pembakarannya diyakini berguna sebagai pupuk alami yang dapat menyuburkan tanah atau menjaga keseimbangan keasaman tanah. Terlepas dari dampak fositif dan negatifnya cara ini dianggap cara yang paling efektif dan efisien dalam menyiapkan lahan pertanian untuk Huma.

Kegiatan selanjutnya adalah NUGAL (= menanam padi). Nugal merupakan budaya yang unik karena memiliki makna filosofi kebersamaan dan kekeluargaan. Pertama-tama Pemilik Ladang memberitau hari/tanggal waktu pelaksanaan Nugal. sekaligus mengundang orang-orang berkisar 10 samapai 30 orang tergantung luas Ladangnya. Biasannya diutamakan keluarga dan tetangga rumah yang sekampung, atau masyarakat di sekitar Ladang. Nugal diikuti bukan hanya oleh orang tua saja, melainkan anak-anak, laki-laki, perempuan. Mereka berbagi tugas, ada yang bertugas melubangi tanah pakai tongkat kayu (tugal) yang ditajamkan, ada yang bertugas memasukan benih padi kelubang yang sudah disiapkan, ada yang bertugas memasak menyiapkan makanan dan minuman, bahkan ada yang sekedar ikut memeriahkan saja (tidak bekerja) tapi cuma ikut makan saja. ( termasuk saya sediri …. hehehe) .

Pemilik Ladang berkewajiban menyediakan bibit dan makanan/minuman untuk pekerja Nugal. Mereka yang bekerja tidak diupah tetapi diberi makan/minum saja. Versi lain Nugal dapat juga dilakukan dengan cara diupah, setiap orang Rp. 20.000,00 sampai denagan Rp 30.000,00 hal ini dilakukan jika para pekerja Nugal bukan keluarga. Walaupun demikian masih saya nilai Unik juga karena pekerja nugal biasanya diundang orang sekampung, mulai remaja samapi orang tua (tidak dibatasi). Dalam hal ini Pemilik Ladang tidak berkewajiban menyediakan makan, paling sekedar menyediakan minuman saja. Sealain tanaman utama yaitu Padi, ditanam juga tanaman lainnya sebagai tumpang sari, yaitu jagung, dan berbagai jenis sayuran seperti terung, sawi, cabe, singkong, labu, bayam, kacang-kacangan, timun, dst.) keuntungannya sambil menunggu panen Padi kita dapat memanen sayuran, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, atau dapat juga dijual untuk mengembalikan modal/ongkos yang dikeluarkan saat Nugal.

Masalah kualitas sayurnya cukup lumayan karena bebas dari pupuk kimia dan tentunya sangat baik untuk memenuhi kebutuhan tubuh kita akan serat. Begitulah cerita pengalaman saya tetang budaya Nugal. Bagaimana menarik? mungkin bagi orang yang sudah terbiasa melakukannya hal ini biasa-biasa saja, namun jika kita mau merenungkannya, bayak hal yang bisa kita pelajari dan kita ambil hikmahnya. Terimakasih.

sumber : www.kompasiana.com

Pohon Natal Kalbar Catat Rekor Muri

Pontianak (ANTARA News) - Provinsi Kalimantan Barat mencatatkan rekornya di Museum Rekor Indonesia (Muri) kategori Pohon Natal Konstruksi Kayu di Indonesia.

"Muri memberikan penghargaan kepada Bapak Gubernur Kalbar Cornelis dan istrinya Frederika sebagai tuan rumah dan Gubernur selaku tempat berdirinya pohon natal itu," kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Setda Kalbar, Numsuan Madsun, di Pontianak, Rabu.

Menurut dia, rekor yang didapat menjadi dua pertama Pohon Natal Konstruksi Kayu dan Kalbar tuan rumah pohon natal tertinggi.

"Sehingga sertifikatnya dua," ujar Numsuan.

Pohon Natal yang menggunakan bahan dasar kayu cerucuk sebanyak 108 meter kubik, dengan tinggi 37,5 meter itu berdiri tegak di halaman Pendopo Gubernuran kalbar Jalan Ahmad Yani.

Pohon yang dipasang sejak 22 Desember hingga 10 Januari 2011 itu dikerjakan selama 1,5 bulan dengan menghabiskan kain hijau sebanyak 1.500 meter.

"Kemudian pohon itu juga dihias dengan lampu seri sebanyak 500 buah dan lampu sorot 50 ribu watt," ungkap Numsuan Madsun.

Ketika ditanya pers, berapa besar dana yang dihabiskan untuk membuat Pohon Natal Konstruksi Kayu itu, Numsuan mengatakan bahwa Gubernur Kalbar menggunakan dana pribadinya untuk itu.

"Karena dari Pemprov Kalbar tidak menyediakan anggaran untuk pembuatan pohon natal seperti itu. Ya Gubernur Kalbar menggunakan uang pribadinya," jelas Numsuan Madsun.

Pohon Natal yang berwarna dasar hijau itu, tampak terang benderang pada malam hari dengan kelap-kelip lampu seri dan taburan hiasan berbentuk bingkisan kado.
(U.ANT-089/P003)

COPYRIGHT © 2010

Wednesday, December 22, 2010

Perkawinan Masyarakat Dayak Kanayatn

Masyarakat Dayak Kanayatn mengenal adat perkawinan yang diturunkan oleh Ne' Matas dan Ne' Taguh, Ne' Matas untuk wilayah-wilayah seperti Kec. Sengah Temila, Darit dan wilayah-wilayah disekitar sungai Landak.

Sedangkan Ne' Taguh untuk wilayah-wilayah seperti Sebadu, Mandor, Toho, Menjalin dan Karangan.

Mengingat Binua Talaga terletak diwilayah Sengah Temila maka adat istiadat Perkawainan yang digunakan berasal dari Ne' Matas.

Dari Adatperkawainan terungkap bahwa perkawainan dapat dilakukan apabila dari hasil baosol(menyelusuri asal usul) dalam ikegiatan bakomo' (musyawarh keluarga) kedua belah pihak tidak ditemukan garis waris dekat ( keturunan/keluarga/kerabat dekat)

Ne' Matas memberikan rambu-rambu bagi kedua belah pihak yang ingin mengadakan perkawainan. Perkawainan antar keluarga baru dapat diadakan apabila hubungan keluarga sudah mencapai garis keturunan yang kedelapan.

Apabila perkawainan masih berada pada garis keturunan yang ketujuh yaitu page atau pupu 6 kali maka perkawainan masih dianggap sumbang, walaupun sudah jauh.

Apabila terjadi perkawinan pada garis keturunan yang ke tujuh ini, maka kedua belah pihak dikenakan sangsi adat yaitu adat panguras.

Namun garis keturunan yang paling kuat tidak boleh melangsungkan perkawainan yaitu garis keturunan ketiga : dua madi' ene atau pupu 2 kali.

Untuk garis keturunan keempat sampai dengan ketujuh untuk saat ini sudah nampak longgar. Namun kedua belah pihak , walaupun berada pada garis keturunan ke empat sampai dengan ke tujuh, akan dikenakan sanksi.

Asal Usul, Sejarah dan Penyebaran Dayak Kanayatn

Peneliatian tradisi lisan Kanayatn ini disebut Tradisi Lisan Banua Talaga.Menueurt hasil pegamatan dan penelitian, rekaman tardisi, cerita, kisah, omong-omong, diketahui bahwa masyarakat Dayak Kanayatn yang berasal dari Bukit Talaga Kecamatan Sengah Temila mempunyai sejarah asal usul tentang terjadinya orang Dayak atau Talino ( Manusia dibumi).

Sejarah dapat dilihat berawal dari kisah cerita Ne' Baruakng Kulup ( salah satu versi cerita) yang menurunkan padi dari atas langit, ke bumi. Ne' Baruakng adalah anak Ne' Ja'ek, yang berjasa memperoleh tangkai padi untuk pertama kalinya dari seekor burung pipit, yang membawangnya diantara dua buah batu badangkop ( batu kembar) dan sekarang dapat ditemui dibukit Talaga.

Alkisah, mereka tinggal diatas (langit) . Ne' Baruakng ini yang sering turun ke bumi berkomunikasi dengan mahluk di bumi, suatu hari melihat mereka (penduduk bumi) makan kulat karakng (cendawan), yang sangat asing baginya. Secara kebetulan pula Ne' Baruakng waktu di bumi membawa butir butir putih ( yang kemudian dikenal dengan nasi).

Keadaan ini terlihat oleh mahluk di bumi. Mereka meminta dan memakannya. Terasa enak. Singkat kata, sejak saat itulah Ne' Baruakng lalu memperkenalkan padi di Bumi.

Sejak itu pula mahluk dibawah (bumi) mulai makan nasi dan meninggalkan cendawan kerang.



Kepercayaan masyarakat Talaga bahwa asal Dayak, khususnya Kanayatn( mereka sebut pula dengan Dayak Bukit) adalah atas, tempat yang serba menyenangkan dan dikenal dengan sebutan Bawakng. Karenanya, dalam setiap bentuk upacara adat para tokoh Dayak ini tidak melupakan sebuatan Bawakng ini, yang menyatakan sumber atau asal usul Dayak Kanayatn. Nampaknya tempat inilah dulunya yang merupakan asal usul keluarga Ne' Baruakng, yang sudah menjadi Talino. Melihat bukti sejarah, seperti batu badangkop di bukit Telagadapat diketahui bahwa Talaga adalah bagian dari tempat diatas (langit) atau Bawakng.

Dayak Kanayatn yang bermukim di Binua Talaga yang terdapat di kecamatan Sengah Temila kini menyebar kebeberapa Kampung ( Sahamp, Palo'atn, Aur Sampuk, Sinakin. Gombang)


Sumber : Institut Dayakologi

Rotan Dalam Sistem Ketahanan Usaha dan Budaya Suku Dayak

Oleh : Januminro Bunsal

Wilayah Kalimantan Tengah sudah sejak lama dikenal sebagai wilayah yang pertama kali memulai upaya budidaya rotan secara komersial.

Upaya budaya tanam rotan di kalangan warga Dayak Kalimantan Tengah, sebenarnya muncul dan berawal dari kebutuhan masyarakat dayak akan manfaat dan kegunaan rotan sebagai salah satu bahan untuk keperluan mendukung aktivitas kesehariannya. Kegiatan budidaya rotan merupakan bentuk perwujudan dari penghargaan masyarakat dayak akan pentingnya pelestarian terhadap komoditas rotan dan juga pelestarian lingkungan sekitar lokasi di mana rotan dibudidayakan.

Dalam proses budidaya, pemanfaatan dan proses pengolahan rotan sampai menghasilkan barang jadi, tergambar dengan jelas perjalanan sebuah komunitas local untuk mempertahankan dan membangun model ketahanan usaha dan ketahanan budaya yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi ketahanan ekonomi dan identitas lokal.

Rotan dan Ketahanan Usaha

Peradaban manusia khususnya masyarakat dayak Kalimantan Tengah sudah sejak lama mengenal dan menggunakan rotan dalam berbagai keperluan hidupnya sehari-hari, bahkan dibeberapa tempat bahan rotan telah menjadi pendukung perkembangan budaya masyarakat setempat.

Sedangkan kegiatan budidaya rotan dilingkungan warga dayak Kalimantan Tengah, pada awalnya merupakan bagian dari salah satu jenis tanaman yang dikembangkan pasca siklus kegiatan perladangan berpindah. Dalam siklus kegiatan perladangan berpindah yang dilakukan oleh warga dayak Kalimantan Tengah, jenis tanaman utama yang di tanaman adalah padi.Kegiatan budidaya padi merupakan bentuk upaya menyediakan kebutuhan karbohidrat , sedangkan pemenuhan kebutuhan protein dilakukan melalui pola kegiatan berburu hewan danikan.

Dalam rentang siklus tersebut, ada berbagai aktivitas yang memerlukan manfaat rotan sebagai bahan yang dapat membantu aktivitas masyarakat Dayak , antara lain sebagai alat ikat dalam proses pembuatan rumah panggung dan bahan pengikat untuk membuat jebakan binatang dan bahan untuk menjala ikan.

Pola perladangan selalu diakhiri dengan hadirnya beragam jenis tanaman di bekas-bekas ladang, jenis tanaman utama pasca padi adalah karet, diikuti dengan penanaman pohon rambatan berupa bungur dan tanaman rotan, serta tanaman buah-buahan lokal.Budidaya rotan dalam realitas keseharian warga dayak telah melahirkan adanya ketahanan usaha, hal itu dapat dilihat pada setiap kebun rotan akan terdapat beragam jenis pohon dengan beragam manfaat, seperti karet (getah dan kayu), bungur (kayu pertukangan) pohon buah-buahan.

Dengan adanya pola perpaduan jenis tanaman semacam itu, tidak pernah ada keluhan berarti dari masyarakat dayak Kalimantan Tengah begitu terjadi goncangan harga pada satu salah satu komodi. Tidak ada keluhan berarti ketika harga rotan turun, karena warga dayak akan mengalihkan pola panen ke komoditi karet. Atau harga kedua komoditi tersebut ambruk, masyarakat dayak masih memiliki ketahanan pangan dari sisa lumbung padi, berburu, mencari ikan atau menjual hasil buah-buahan. Tapi yang pasti dengan ketahanan usaha tersebut, sampai saat ini tidak pernah terjadi bahwa warga dayak mati kelaparan atau kekurangan pangan akibat rendahnya harga jual salah satu komoditi.

Lebih dari itu pola budidaya rotan selalu berkait dengan lingkungan yang terjaga, karena rotan selalu memerlukan rambatan untuk tumbuh. Budidaya rotan mencerminkan kedekatan dan semangat warga dayak untuk selalu mempertahankan dan memelihara lingkungan dan menjamin siklus manusia dengan lingkungan.

Rotan dan Ketahanan Budaya

Melalui upaya pemanfaatan tanaman rotan, maka lahirlah tradisi kuliner umbut rotan, di kalangan warga dayak. Saat ini tradisi kuliner umbut rotan telah menjadi menu pilihan utama di beberapa restoran lokal, dan menjadi salah satu menu makanan yang dicari para wisatawan bila berkunjung ke Kalimantan Tengah. Meningkatnya pemanfaatan umbut rotan tersebut akan memberikan dampak pada peningkatan penghasilan para petani rotan, yang tidak sebatas memungut batang rotan tua untuk keperluan pembuatan barang anyaman. Tidak tertutup peluang minat kuliner umbut rotan mendunia, dan berpeluang suatu saat umbut rotan diekspor dalam bentuk segar.

Kalimantan Tengah sebagai wilayah yang memiliki kawasan budidaya rotan terbesar,sudah sejak lama masyarakat secara turun temurun mengembangkan tradisi membuat aneka kerajinan yang terbuat dari rotan. Karena begitu lamanya tradisi itu berkembang, maka saat ini suku Dayak Kalimantan Tengah harus bangga, karena memiliki bentuk motif anyaman berciri khas, yang menjadi salah satu kekayaan budaya lokal, yang dijadikan hiasan beragam bahan kerajinan.

Pola-pola serta motif-motif yang umumnya digunakan oleh suku dayak selalu terinspirasi secara keseluruhan dari lingkungan alam sekitar, yang mencerminkan keselarasan keselarasan hubungan. Hal ini disebabkan karena kehidupan suku Dayak sangat bergantung dan dekat dengan alam. Gambaran kedekatan tersebut terlihat dari motif-motif anyaman yang dibuat tergambar dalam bentuk asimetris, zig-zag, spiral, bentuk binatang dan bentuk tanaman,

Upaya penelusuran ragam hias tradisionil berupa motif anyaman dayak Kalimantan Tengah , merupakan upaya untuk menggali secara seksama semua ciri, corak serta keunikan dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ragam hias tradisionil. Upaya penelusuran dan penggalian aneka motif tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dan sumber inspirasi untukmengangkat ragam hias tradisionil dayak Kalimantan Tengah menjadi salah satu identitas lokalyang secara fisik menjadi pembeda dengan identitas lainnya. Adanya perbedaan tersebut dapat dijadikan dasar untuk dikembangkan sebagai sebuah potensi ekonomi lokal yang mendunia.

Berbagai ragam hias tradisionil apabila dapat digali, akan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi kepentingan masyarakat Kalimantan Tengah Khususnya dan Bangsa Indonesia umunya. Untuk itu upaya menggali ragam hias tradisionil dayak tidak hanya terhenti untuk menggali aspek keindahanya, namun harus dapat mengali aspek historis, aspek nilai, ciri, corak, ragam dan makna yang terkandung dari setiap ragam hias tersebut, dan menggali peluang pengembangannya untuk dapat menyesuaiakan dan beradaptasi dengan kondisi jaman yang selalu menuntut perubahan.

Tantangan mempertahankan ketahanan usaha dan budaya

Sistem ketahanan usaha warga dayak sempat goyah ketika ada program pengembangan lahan gambut (PLG) pada lahan seluas ± 1 juta hektar yang berada pada wilayah lumbung rotan : Kabupaten Barito Selatan, Kapuas, Pulang Pisau dan sebagian Kota Palangka Raya. Akibat dari aktivitas pembuatan saluran kanal dan pembersihan lahan yang awalnya kawasan hutan yang masih potensial, telah memicu kawasan menjadi terbuka, kering dan mudah terbakar, sehingga banyak kawasan yang menjadi habitat rotan milik rakyat tergusur dan terganggu.

Tantangan lainnya muncul sebagai dampak dari dikembangkan secara meluas komoditas kelapa sawit, yang berdasarkan perhitungan memberikan nilai ekonomi lebih baik dibandingkan dengan komoditas rotan. Bahkan saat ini cakupan budidaya kelapa sawit dapat mengancam kelansungan budidaya rotan, karena cakupan pengembangan budidaya kelapa sawit sudah masuk ke lahan-lahan dengan tingkat kesuburan rendah seperti lahan gambut.

Selain itu aktivitas penambangan emas yang dilakukan pada pinggiran sungaisepanjang wilayah DAS Barito, Kapuas dan Kahayan sempat pula menurunkan gairah untuk melakukan pemungutan rotan, mengingat harga emas begitu menjanjikan. Namun kini dengan semakin menipisnya hasil yang didapat dari kegiatan penambangan dan tidak berimbangnya biaya produksi untul melakukan penambangan, maka masyarakatkembali melirik kebun rotan kembali.

Dari aspek budaya, maka tantangan paling berat adalah semakin menurunnya minat anak muda dayak Kalimantan Tengah untuk menekuni dan mempertahankan budaya menganyam. Kegiatan pemungutan, pengolahan awal dan menganyam barang yang terbuat dari rotan memiliki rantai yang panjang dan menjadi pekerjaan yang tidak lagi banyak menarik minat anak muda untuk menekuninya. Apalagi nilai jual yang didapat tidak memberikan hasil yang baik, maka lambat atau cepat ketahanan budaya dayak Kalimantan Tengah akan hilang.

Tantangan lebih serius juga muncul dari hadirnya bahan sintetis yang secara nyata telah memasuki wilayah-wilayah pangsa pasar rotan alami. Hal itu secara nyata dapat dilihat hadirnya berbagai meubel rotan berbahan sintetis terutama untuk keperluan eksterior.

Dalam rangka mempertahankan serta melestarikan motif anyaman dan hasil kerajinan dayak Kalteng bukanlah pekerjaan mudah. Untuk itu perlu kesadaran dan apresiasi yang tinggi dari masyarakat Dayak itu sendiri, untuk melakukan terobosan dalam rangka meningkatkan minat anak-anak muda untuk menekuni usaha tersebut. Beberapa rekomendasi yang memungkinkan antara lain menjadikan kegiatan anyam-mengayam dimasukan menjadi kurikulum muatan lokal dan mendirikan beberapa sanggar anyaman di beberapa tempat sebagai wadah pelatihan dan sekaligus menjadi bagian dari lokasi objek wisata budaya, pameran dan pemasaran produk.

Selain itu sampai saat ini belum adanya kebijakan untuk segera melindungi motif anyaman khas dayak Kalimantan Tengah dengan cara mendaftarkannya secara Nasional dan Internasional, sehingga di masa datang tidak adanya klaim dari Negara lainnya terhadap motif anyaman khas Kalimantan Tengah.

Kondisi tersebut akan dapat lebih parah lagi apabila pola tata niaga rotan ke depan semakin tidak memberikan harapan, maka terbuka peluang pola budidaya rotan sebagai bagian dari bentuk ketahanan usaha tradisionil dan ketahanan budaya suku dayak akan memudar akibat digantikan dengan komoditas dan usaha lainnya yang lebih prospektif.

Penutup

Di masa mendatang apapaun kebijakan politik dan ekonomi yang akan dilakukan oleh Pemerintah, semangatnya adalah bagaimana agar potensi rotan terutama di wilayah Kalimantan Tengah bisa memberikan manfaat untuk para petani dan pengrajin. Karena dalam sistem tata niaga rotan, fihak yang paling dirugikan adalah para petani dan pengrajin rotan yang tidak banyak mengambil manfaat dari kebijakan yang telah dibuat.

Berkenaan dengan itu, maka upaya pengembangan rotan ke depan, terutama di Kalimantan Tengah harus dapat mempertahankan dan meningkatkan pola ketahanan usaha dan ketahanan budaya, yang telah berkembang selama ini agar dapat menjadi sumber potensi untuk meningkatkan ekonomi lokal dan menjadi identitas budaya di wilayah Kalimantan Tengah.

Dalam rangka berkomitmen untuk menurunkan efek rumah kaca, patut dipertimbangkan dan diperjuangkan kawasan kebun rotan dapat menjadi salah satu kawasan yang masukdalam skema REDD+, sehingga adanya insentif tersebut dapat memacu para petanitetap mempertahankan kawasan kebun rotan.

WWW.kompasiana.com

 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube