BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Wednesday, October 27, 2010

Dayak Meratus dan Kebersahajaan








Barabai, Kalsel (ANTARA News) - Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, merupakan daerah terkecil ketiga setelah Kota Banjarmasin dan Banjarbaru.

Dengan luas 1.743,11 Km2, HST dihuni oleh penduduk sebanyak 240.382 jiwa, terdiri dari etnis Banjar dan Dayak sebagai penduduk asli serta Jawa, Arab, Bugis, Madura dan Cina dengan jumlah yang lebih kecil.

Keanekaragaman penduduk HST dengan budaya dan perilakunya yang berbeda, membawa nuansa tersendiri di bumi `Murakata` (sebutan lain untuk HST) itu. Puluhan bahkan ratusan tahun dalam perbedaan, ternyata tidak menimbulkan konflik di sana dan masyarakatnya hidup dalam keharmonisan.

Etnis Banjar adalah mayoritas yang menguasai sebagian besar aspek kehidupan. Sementara, etnis Dayak yang mendiami wilayah pegunungan Meratus, meski juga merupakan penduduk asli tetapi memiliki peran yang lebih kecil, bahkan terkadang lebih kecil dibandingkan etnis pendatang yang mendiami wilayah perkotaan.

Tak jarang, etnis Dayak Meratus terpinggirkan dan seakan hanya sebagai pelengkap saja ketika bersentuhan dengan persoalan administrasi pemerintahan atau penguasaan teknologi. Begitu pula ketika masuk dalam ranah ekonomi, nyaris tak ada etnis Dayak Meratus yang berperan sebagai pelaku usaha.

Etnis Dayak Meratus, biasa disebut pula suku Bukit oleh etnis Banjar Pahuluan (yang mendiami kawasan Banua Anam atau hulu) dan suku Biaju oleh etnis Banjar Kuala (yang mendiami wilayah pesisir atau hilir).

Terkadang, ada sebagian masyarakat yang menganggap sebutan suku Bukit atau Biaju sebagai ungkapan ketertinggalan terhadap suku Dayak. Mendengar kata Dayak saja terkadang memunculkan gambaran tentang etnis terasing dan primitif.

Dalam hal penguasaan teknologi, orang Banjar dikenal sebagai etnis yang lebih maju. Hal itu berkenaan dengan peran mereka yang lebih besar dalam hal itu.

Menurut Koordinator Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, Juliade yang menaungi etnis Dayak di Kalsel, perasaan tertinggal dan terpinggirkan memang dirasakan nyata oleh etnis itu.

"Bukan hanya perasaan tertinggal tetapi bahkan banyak dari orang Dayak, khususnya mereka yang berpikiran kritis, justru beranggapan telah ditinggalkan," ujarnya.

Tertinggal dan ditinggalkan, jelas mempunyai makna yang berbeda. Bila tertinggal, artinya masih ada kesempatan untuk mengejar agar menjadi sama atau sejajar.

Namun bila ditinggalkan, menimbulkan kesan bahwa etnis Dayak memang tidak dianggap atau dengan kata lain ada unsur kesengajaan disitu. Dan itu, sungguh menyakitkan.

Perasaan ditinggalkan, nyata terungkap saat pelaksanaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) di Jakarta tanggal 17 Maret 1999 lalu. Di mana perwakilan etnis Dayak Meratus melontarkan harapan agar diakui.

Mereka menyatakan bahwa hanya akan mengakui keberadaan Negara Indonesia bila Negara mengakui mereka. Kiranya itu merupakan sebuah pernyataan di tengah keterdesakan atas sebuah pengakuan.

Mereka berharap, Negara mengakui kedaulatan masyarakat adat meliputi wilayah, agama dan tradisi sebagai bentuk penghargaan bila memang bangsa ini ingin dihargai pula.

Dalam hal ini, menurutnya tidak ada pihak yang harus disalahkan. Akses pembangunan misalnya, yang tidak menjangkau pemukiman etnis Dayak Meratus lebih disebabkan oleh lokasi mereka yang jauh di pedalaman.

"Dimana dalam hal ini, untuk melakukan pembangunan pada kawasan itu memerlukan investasi yang tidak sedikit," katanya.

Hal itu ditambah lagi letak pemukiman dalam satu wilayah yang disebut Balai, letaknya saling berjauhan sehingga aspek manfaat pembangunan menjadi berkurang karena jumlah penduduk yang sedikit.

Kondisi tersebut kemudian memunculkan kesan tentang ketidakpedulian dan keterasingan walau sebenarnya tidak semua etnis Dayak Meratus menganggapnya terlalu serius.

Berbeda dengan etnis Banjar misalnya, yang mendiami wilayah tertentu dalam jumlah banyak sehingga lebih mudah dilakukan pembangunan karena aspek manfaat yang lebih besar.

Etnis Dayak Meratus sendiri menyadari hal itu. Mereka yang lebih senang berdiam di kawasan hutan, memiliki tingkat keterbukaan lebih rendah terhadap etnis lain. Karena itulah, tak pernah terjadi konflik meski perasaan ditinggalkan itu sebenarnya ada.

"Konflik bisa muncul bila ada pihak ketiga yang berperan sebagai provokator. Provokator bisa dari luar Dayak yang memanfaatkan keluguan etnis itu untuk tujuan tertentu atau justru berasal dari etnis itu sendiri,"tambahnya.

Provokator yang berasal dari etnis itu sendiri sangat jarang terjadi bila hanya bersinggungan dengan masalah ekonomi misalnya atau bukan pada hal yang prinsipil.

Itupun biasanya, diperankan oleh orang Dayak Meratus yang telah terkontaminasi oleh kehidupan modern dengan tuntutan materialismenya.

Namun konflik akibat provokator jenis ini, biasanya tidak diikuti oleh mayoritas Dayak keseluruhan namun hanya sebagian kecil saja.

Pengamat sosial budaya dan politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarmasin, Taufik Arbain menilai, etnis Dayak Meratus memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap pendatang atau orang dari luar etnis mereka.

"Dayak Meratus adalah kelompok etnis yang sangat bersahaja dan tidak memiliki sifat kompetitif, sangat bertolak belakang dengan etnis Banjar yang kompetitif," ujarnya yang juga Ketua Litbang Dewan Kesenian Budaya Banjar itu.

Kebersahajaan dan sifat tidak kompetitif itulah yang mendorong mereka mengambil keputusan untuk hidup menyendiri dan bersahaja, karena bagi mereka hal itu lebih baik dan lebih nyaman.

Di sisi lain, etnis Banjar meski berperan lebih dominan dalam berbagai aspek kehidupan, namun apa yang dilakukan bukanlah sebuah bentuk penguasaan secara masif sistemik.

Etnis Banjar yang memiliki sifat kompetitif, hanya menjalankan perannya di tengah kebersahajaan etnis Dayak Meratus yang membuka peluang untuk itu. Karena itulah, tak pernah ada konflik di antara kedua etnis itu.

Begitu pula etnis lain sebagai kaum pendatang. Pola yang mereka terapkan di HST bukanlah sebuah penguasaan seperti halnya yang dilakukan oleh perusahaan besar yang secara nyata telah melakukan penguasaan sumber ekonomi.

"Sebagaimana halnya manusia, potensi konflik antara etnis Dayak dengan Banjar maupun yang lainnya, selalu ada. Tetapi hal itu tidak signifikan dibandingkan dengan potensi kekhawatiran yang muncul," katanya.

Antara etnis Dayak Meratus dengan Banjar, hal itu sangat mendasar karena mereka memiliki rumpun yang sama dalam hal kebudayaan. Sehingga ketika terjadi konflik bisa mengkomunikasikan hak-hak mereka melalui pendekatan budaya.

Penyelesaian konflik dengan cara pendekatan asas rumpun yang sama berdasarkan persamaan genetik yang hanya dibedakan oleh kepercayaan, membuat konflik yang muncul tidak sampai meruncing dan melebar pada persoalan lain.

Etnis pendatang yang ada di HST, kiranya juga melakukan pendekatan serupa meski mereka tidak berasal dari rumpun yang sama. Keserasian sosial antar identitas etnis akhirnya menghindari terjadinya konflik.

"Konflik antara etnis Dayak Meratus dengan Banjar atau lainnya, dapat terjadi bila muncul kesenjangan akibat penguasaan ekonomi yang berimbas pada rasa ketidakadilan hingga memunculkan kondisi dimana hilangnya hak-hak dasar mereka," tambahnya.

Namun hal itu juga tidak terlalu signifikan sebagai penyebab munculnya konflik yang melibatkan seluruh elemen. Etnis Dayak Meratus dengan tingkat toleransi dan kebersahajaan mereka relatif dapat mentoleransi hal-hal yang berlatar belakang ekonomi.

Keadaannya akan menjadi berbeda ketika bersinggungan dengan harga diri dan budaya yang dikeramatkan.

Sebagai etnis yang menjunjung tinggi harga diri dan nilai-nilai kearifan lokal, Dayak Meratus lebih mengedepankan hal-hal budaya dengan nilai-nilai rohaniah. Sehingga, konflik hanya akan terjadi bila penguasaan ekonomi yang dilakukan etnis tertentu, bersinggungan dengan harga diri dan menabrak nilai-nilai kultural.

Di luar itu, etnis Dayak Meratus akan lebih toleransi dan lebih memilih menjalani kehidupan mereka yang bersahaja.

Mereka tidak akan pernah mempermasalahkan apapun bentuk `penguasaan` yang dilakukan etnis lain selama masih menghargai dan menghormati harga diri dan nilai-nilai kultural yang ada.

Sifat toleransi dan `mengalah` pada diri Dayak Meratus sebenarnyalah berada pada tingkatan tertinggi.

Namun bila harga diri dan nilai-nilai kultural sudah tidak lagi diindahkan, maka etnis Dayak Meratus akan memperlihatkan sikap tegas mereka yang didasari oleh sikap untuk bertahan.

Bentuk `penguasaan` oleh etnis Banjar yang kemudian diadaptasi oleh etnis pendatang lain, dilakukan dengan santun dan penuh penghormatan terhadap harga diri serta nilai-nilai kultural yang berlaku.

Sebelum memasuki ranah adat, etnis Banjar menampilkan sikap bijaksana dengan merangkul etnis Dayak melalui sebuah prosesi kebudayaan yang disebut `ba angkatan dangsanak`.

`Ba angkatan dangsanak` adalah sebuah pengakuan yang mensejajarkan antara etnis Dayak Meratus dengan Banjar. Melalui proses itu, mereka menjadi sepasang saudara sehingga tidak mungkin akan muncul konflik.

Sebuah penghormatan yang dilakukan dengan bijak sehingga bilapun muncul konflik akan dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Karena bukankah sesama saudara tidak semestinya bertikai. " Karena itulah, konflik yang bilapun ada, hanya akan berupa riak-riak untuk kemudian menghilang begitu saja," katanya.

Taufik menilai, peran pemerintah dalam hal ini sangat besar dalam upaya menghindari kemungkinan munculnya konflik antar etnis.

"Peran aktif pemerintah mutlak diperlukan. Karena konflik yang terjadi akan berimbas bukan hanya pada tatanan kehidupan mereka yang berkonflik tetapi juga kepada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara," katanya.

Pemerintah dipandang perlu melakukan komunikasi secara terus menerus terhadap nilai-nilai yang menghargai keberagaman identitas etnik dan agama.

Penting dilakukan tindakan yang memberikan kesempatan dan keadilan terhadap akses sumber-sumber, seperti sumber ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, pendidikan dan kesehatan, atas masing-masing etnis.

Tak kalah pentingnya adalah menyelenggarakan kegiatan yang mengarah pada interaksi antar etnis.

"Bila terjadi konflik, pemerintah harus melakukan tindakan penyelesaian melalui pendekatan secara kultural sebelum melakukan penyelesaian secara hukum dan keamanan," tambahnya.

Melalui tindakan-tindakan itu, dipercaya akan mampu menekan kemungkinan munculnya sebuah konflik horisontal antar etnis.

Terlebih lagi pada etnis Dayak Meratus, dengan kebersahajaan mereka, konflik bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan akan terjadi selama tidak bersinggungan dengan harga diri dan nilai-nilai kultural yang berlaku.
(ANT194/J006)

sumber : www.antaranews.com

Monday, October 25, 2010

Kekuatan magis bulu perindu










Dalam dunia mistik, bulu perindu dikenal sebagai senjata ampuh untuk membantu dalam percintaan. Buluh perindu berasal dari sarang burung Elang. Tetapi tidak setiap sarang burung elang akan terdapat bulu perindu, biasanya bulu tersebut terdapat pada saat telur burung elang tersebut belum menetas. Jika sudah menetas, maka bulu2 tsb biasanya bulu2 tsb akan patah oleh anak burung elang.

Dalam sebuah sarang, hanya terdapat 5-8 helai. Sarang elang tsb bukan sarang yang berada pada bebatuan tetapi berada pada ketinggian pohon.
Untuk mendapatkannya sarang tersebut, maka dapat dibayangkan betapa sulitnya meski memang sudah nyata keberadaannya. Sarang burung elang biasanya berada pada ujung pohon besar dg ranting2 penyangga yg hanya sebesar ibu jari.

Ada 2 jenis bulu perindu yang ada yaitu berdasarkan warna, al :

1. Buluh perindu berwarna coklat, kemampuannya lebih kecil dan lebih sulit dicari.

2. Buluh perindu berwarna hitam, kemampuannya lebih besar dan mudah dicari.

Bulu perindu memiliki panjang kurang lebih 5-10 sentimeter dan memiliki diameter kurang dari 1 milimeter. Warna dari bulu perindu ini adalah coklat kehitam2an dg bentuk dasar sama dengan bulu alis mata, yaitu pada ujungnya lebih kecil jika dibandingkan dengan batannya. Ia memiliki sifat yg keras dan mudah patah manakala ia berada dalam keadaan kering, tetapi akan menjadi lunak dalam kondisi basah.

Fungsi dari bulu perindu tsb adalah memiliki beberapa kegunaan dalam bidang mistik. Pada umumnya kekuatan / aura yang timbul dari bulu tersebut adalah berwarna putih kehijau2an. Ini berarti kekuatan terbesarnya adalah sbg pemikat, maka dapat juga digunakan sebagai media pelaris dalam berdagang.

Dari keterangan beberapa orang kawan yang memiliki benda tersebut, maka penggunaan dalam berbagai keperluan memiliki jawaban yg sama yaitu ingin mendapatkan cinta dari seseorang.

Misalkan pengguanan mantera untuk pelet :
"Wahai bulu perindu getarkan hatinya si.... ( sebut namanya ).

bacaan mantera sama dengan mantera2 pengasih lainnya jaran goyang, semar mesem atau pengasih wijoyo kusuma, maka dengan media bulu perindu ini akan didapatkan efek yang lebih afdol.

Untuk keperluan lainnya adalah sebagai media pelaris dalam berdagang, maka ditaruhlah bulu perindu pada etalase atau tempat penyimpanan uang, dipercaya dg ditaruhnya bulu perindu tsb, maka para penjualan akan berjalan lebih lancar.

Buluh Perindu memilki pasangan berupa " BAMBU PERINDU / BAMBU TEMU "
( bukan bambu pethuk ). Bambu ini adalah jika batannya dibelah menjadi 2 dan kemudian keduannya ditempatkan pada sungai yang mengalir dg bersebrangan, maka yg terjadi adalah keduanya akan menyatu.
Kedua belahan bambu akan bergerak perlahan dan kemudian menyatu kembali. Belahan bambu tsb memang masih ada bekasnya karena menyatunya kedua belah bambu ini hanya bersifat menempel saja. Ini adalah pengujian keaslian dengan bantuan alam dan biasanya dilakukan pada bambu perindu.

Pengujian keaslian dari bulu perindu dan bukan merupakan pengujian isi atau kekuatan gaibnya, dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :

1. Metode Bantuan Alam.

Metode ini membutuhkan aliran sungai sbg media mutlak yang digunakan untuk pengujian. Jika bulu perindu dimasukan dalam air sungai yang mengalir, maka bulu perindu tsb tidak akan terbawa arus ( nusang, sepeti bambu pethuk ). Jika bulu perindu tsb merupakan benda alami, meskipun tidak memilki kekuatan gaib atau penghuninya telah pergi dari bulu tsb, ia tetap bergerak melawan arus.

2. Metode Bantuan Air.

Jika bulu perindu tersentu oleh air, maka ia akan berputar ke arah kanan, manakala ia dilihat dari atas genggaman tangan. Buluh perindu akan bergerak berputar dengan sendirinya jika ia dalam keadaan basah.
hal ini juga sering dapat digunakan sebagai penentu keaslian dari bulu perindu.
Air yg digunakan dalam pengujiankeaslian ini tidak harus ditentukan air tertentu, tetapi bebas. Biasanya yg digunakan adalah air ludah dari penguji.

Bulu perindu biasanya dibuat sebagai minyak pengasih juga. Yaitu dg merendamnya kedalam minyak melati atau sejenisnya. Minyak yg digunakan, biasanya adalah minyak yg memilki sifat halus dan rendah alkohol.

Jika dibuat minyak, maka kekuatan gaib yang berada dalam buku perindu tsb akan memudar kemudian akan mati. Lama kelamaan jika ia direndam dalam minyak, maka ia tidak akan dapat berputar jika terkena air. Bulu perindu dalam aplikasinya adalah sama dg minyak yg berasal dari bulu perindu tsb.

Biasanya bulu perindu adalah berasal dari Kalimantan dan dari suku Dayak pedalama. Bulu perindu juga bisa berasal dari Pulau Jawa jika memang di Jawa terdapat populasi burung elang dan pohon2 tinggi seperti di Kalimantan.

sumber : www.indomp3z.us

Tuesday, October 19, 2010

Sebuyau Ibans are prepared to use themselves as human sheilds against Quality Concrete Holding’s Bulldozers






Sebuyau Ibans Blockade against Quality Concrete Holding’s Bulldozers at "Camp Ngintu Menoa" Selabu, Ulu Sebangan.
Written Christina S. Suntai, Friday, October 15th 2010

My brother Numpang anak Suntai and his wife, Helen Unchat, together with 11 tribal leaders and villagers from 11 longhouses are now camping in Ulu Sebangan as we speak. They are leading the villagers to form a blockade to stop bulldozers used by illegal loggers, Quality Concrete Holdings, whose Executive Chairman is Tiang Ming Sing, from further penetration into their native customary lands, which include rice fields, pepper vines, fruit trees, rubber plantations and communal forest at Ulu Sebangan.

Another very important reason for the blockade is to make sure that all the logs will not be removed prior to certification by the Department of Forestry, Sarawak, Malaysia. Quality Concrete Holdings must get a certification from the Department of Forestry Department before the logs can be removed from the area. It is highly illegal for Forestry Department of Sarawak, Malaysia to certify logs that were stolen from Native Customary Rights forest or currently being disputed.Quality Concrete Holdings is planning to go ahead with the destruction of the native customary trees and forests as there are 6 heavy equipment to include bulldozers and backhoe are being put in place inside the native forests. Surely Government of Malaysia has a law against this blatant disregards to people's property!

The illegal loggers, Quality Concrete Holdings, whose Executive Director is Tiang Ching Kok and major shareholder is Rodiah Binti Mahmud, sister of CM Taib Mahmud remain relentless in their efforts to grab the valuable trees. They are bulldozing their way to get to the trees and destroy everything in their path! Every tree they killed for the timber, 28 other little trees will die with it. So far the loggers continue to steal the valuable trees when on one is around to stop them. Therefore the villagers decided to set camp in the jungle to guard the forest, to ensure that the valuable trees will not be stolen by Quality Concrete Holdings.

The NCR land and forest in Ulu Sebangan is their life and they are prepared to defend it against known enemies and trespassers who are cronies of the present government of Sarawak. They are prepared to stay for the duration to defend their native land from being destroyed and ancient trees from being bulldozed. They are prepared to go to jail if the State Government of Sarawak under the current Barisan Nasional Administration supported the illegal loggers and arrest them.

This area of the jungle holds many burial grounds and old longhouse sites. This is the first place where the Sebuyau Ibans settled after their migration from Bukit Balau area more than a hunred years ago. Descandants of Sendi, please note this is the place where "Buah Jupong" is located. This the area where Sendi paddled to Saribas to look for Guang, a man she was destined to marry as was told by Kumang in her dreams. They are there not only to protected the trees but also to protect the spirits of our great great fathers, "nyaga Petara Aki, Petara Ini" and the spirit of our great great grandmother Sendi.

The Sebuyau Ibans are the legal owner of these lands and forests as substantiated by Department of Land and Survey since 1956. There were many news article written about their heartbreaking efforts to protect their land and forests from further destruction. The Sarawak Barisan Nasional Government of Malaysia is not doing anything to stop the illegal activities. This is a very sad day for Sarawak natives when illegal loggers have more rights and are sanctioned and protected by the current Barisan Nasional Administration in Sarawak, Malaysia.

The natives who own the land and forest are watching helplessly while their property is being grabbed and destroyed.
Just this past Thursday, October 7th 2010, the massive destruction caused by logging was made devastatingly clear in Sibu Division, up the Balleh area and down the mighty Batang Rajang. The type of devastation to the environment will continue to occur. What happened in Ulu Balleh and the massive logjam of Batang Rajang will happen to Sebangan River if the illegal logging activities are not stopped. They are destroying what our Petara had created.
It is your duty to protect your land because if you do not do it, who will do it for you?
The Sebuyau Ibans are calling all brave Ibans to help with the blockade at Ulu Sebangan and be prepared to stay for the duration. Thanks for the donations from their relatives in the United States of America, they have enough food and supply to last for a few more days.
They are still in need of your help to provide tents, food, generators and petrol. They also need your donation to pay for lawyers who are brave enough to take their case to court against the Forestry Department and the BN State Government of Sarawak, Malaysia.
Calling all elected Dayak leaders, James Masing, Alfred Jabu, Mawan Ikom and the rest of you Menteris and DUN out there to stop this blatant disregards to your own people’s basic right

Sunday, October 17, 2010

Ratu Beringkak






Suatu hari ada salah seorang keturunan dari Abang Bari (selimbau) menghanyutkan diri mengikuti sungai Kapuas sampai ke Nanga Belitang. Ia bernama bernama Ratu Beringkak, seorang gadis. Saat ditolong oleh masyarakat Mualang, ia menceritakan asal usul purihnya (keturunannya) dan setelah di susun keturunannya, gadis tersebut dianggap sebagai Bangsa Masuka / Suka ( tingkat golongan tinggi atau Purih Raja ), hingga tiada satupun masyarakat lain yang berani mengawininya. Pada saat itu masyarakat Mualang dipimpin oleh Temenggung Saman Tangik, kemudian orang Mualang membawa Ratu Beringkak, ke hulu sungai Belitang, memperkenalkannya kepada seorang pedagang yang menjadi tokoh bagi masyarakat Melayu belitang yang bernama Meriju, oleh Meridju, Ratu Beringkak dijodohkan kepada seorang Mualang, dari Bangsa Masuka / Suka. Setelah pernikahan selesai, Meriju diberi gelar oleh masyarakat Mualang sebagai Kiayi, yakni; Kiyai Madju. Karena statifikasi sosial Dayak Mualang merupakan Bangsa Masuka / Suka dan lebih tinggi dibandingkan dengan suku Dayak maupun Senganan, ataupun suku melayu pedagang yang datang di Belitang maupun di Sekadau, maka orang Mualang tidak mau tunduk kepada peraturan dan perjanjian apapun, demikian juga terhadap Kiayi Madju sekalipun, atas jasanya menikahkan Ratu Beringkak.

Hal ini memicu kemarahan Kiayi madju yang akhirnya memobilisasi orang – orang Melayu untuk menyerang Dayak Mualang yang berada dihulu sungai Merian. Dalam peperangan tersebut, orang-orang Melayu dapat dikalahkan, dan dikejar hingga tercerai-berai, sebagian lari hingga ke sungai Mengkiyang Sanggau, sisanya menetap di sekitar Belitang. Orang-orang melayu masih belum puas, mereka mendatangkan empat orang kuat Melayu pada waktu itu disebut Panglima. Terhadap orang – orang Melayu yang tersisa beserta panglimanya tersebut, yang tidak mau pergi, akhirnya Dayak Mualang daerah Belitang, mengundang Dayak Mualang keturunan dari Tampun Juah di Kaki bukit rambat yang bernama; Macan singkuh. Karena Macan Singkut telah tua, maka ia mengutus anaknya yang bernama Singa Uda Letnan, untuk menghadapi sisa –sisa orang Melayu beserta panglimanya. Pertarungan antar orang kuat terjadi yakni empat orang Panglima Melayu melawan seorang Manok Sabung Mualang. Pertarungan ini dilakukan secara sportif. Akhirnya ke empat orang Panglima Melayu tersebut dapat dikalahkan, maka Kiyai Madju dan seluruh orang Melayu dan Panglimanya pergi dan pindah dari daerah Mualang ke Nanga Jungkit, dalam perpindahan tersebut Ratu beringkak ikut serta dan di Nanga Jungkit ia meninggal dunia, tetapi sebelumnya ia minta dikubur di Nanga Ansar. Sampai saat ini Nanga Jungkit dan Nanga Ansar dianggap sebagai tempat keramat.

sumber : Paternus. Ngelala Adat Basa Dayak Mualang. Pontianak: Pemberdayaan Pengelolaan Sumbar Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK) Pancur kasih. 2001.

sumber gambar : google.com (Bala Mualang Jeman Tuai 1920)

Saturday, October 16, 2010

Mendapat Gelar Dayak, Uskup Naik Traktor

KETAPANG, KOMPAS.com - Peringatan Hari Pangan Sedunia Keuskupan Ketapang berlangsung di Paroki Santo Petrus Rasul Nanga Tayap. Jarak paroki ini kurang lebih 200 kilometer dari Kota Ketapang.

Dalam acara itu, ditampilkan tumpeng dari bahan pangan lokal sebanyak 75 buah, persembahan dari umat yang berasal dari pusat sampai pelosok paroki. Ini untuk merayakan kegembiraan, bahwa tahun 2010 ini Uskup Ketapang Mgr Blasius Pujaraharja Pr memasuki usia 75 tahun.

Acara berlangsung 11 Oktober 2010, dan menjadi kenangan tersendiri bagi Mgr Puja, panggilan akrabnya. Karena pada peringatan ini, Mgr Pujo mendapat gelar kehormatan dari masyarakat Dayak setempat.

Sejak itu, Uskup Pujaraharja bergelar Gemale Keputot Cangkar Temage Pencinte Damai Semua Bangse. Artinya adalah seorang tokoh panutan yang mencintai kedamaian dan mencintai semua masyarakat.

Demong adat setempat menjelaskan, gelar Gemale Keputot ini adalah gelar tertinggi dalam masyarakat adat Dayak Kayong Ketapang. Hal yang tidak terlupakan dalam kegiatan tersebut, adalah bahwa dalam perjalanan dari Kota Ketapang menuju Kecamatan Nanga Tayap, uskup itu harus diangkat memakai traktor.

Wah, apa pasal? Saat itu hujan, jalan licin, dan di jalan menuju Nanga Tayap ada yang baru ditimbun. Mobilnya nyangkut, Mgr Puja harus turun dari mobil dan berjalan kaki. Malangnya, Uskup Puja terjebak dalam kubangan lumpur sampai ke pangkal paha.

"Saya tidak bisa bergerak. Maju tidak bisa, mundur tidak bisa. Terpaksa saya diangkat pakai traktor,” kenang Uskup Puja.

Ya, gara-gara jalan jalan becek, jadilah pemegang gelar tertinggi Gemale tersebut, harus diangkat traktor. Lepas dari kejadian tersebut, Uskup Pujo tetap senang melihat partisipasi umat.

"Saya senang, dalam kegiatan Hari Pangan ini, umat dari berbagai wilayah sangat antusias terlibat. Mereka datang dari berbagai pelosok, padahal, sekarang lagi musim hujan dan sulit transportasi”, ucapnya. (*)

sumber : www.kompas.com

Friday, October 15, 2010

Sungai-Utik, Hutan Adat Pertama Penerima Sertifikat Ekolabel

Putussibau, Kalbar, (ANTARA News) - Kearifan tradisional yang selama ini dilakukan sebuah komunitas adat di Suku Dayak Iban di pedalaman Kampung Sungai Utik, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), sehingga hutan adatnya masih terjaga dan lestari membuahkan sebuah penghargaan sertifikat ekolabel dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).

"Suku Dayak Iban masih memegang teguh aturan adatnya, dan menolak tawaran investor untuk mengekploitasi hutan adatnya, sehingga hutan mereka hingga kini masih terawat baik, inilah kearifan tradisional yang kian langka, dan setelah melalui serangkaian penilaian sertifikasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML), kita berikan sertifikat ekolabel pertama di Indonesia untuk hutan adat," kata Direktur Eksekutif LEI, Ir Taufiq Alimi di
Putussibau, Kalbar, Rabu.

Wartawan ANTARA yang mengikuti kegiatan itu, dari Putussibau melaporkan, proses pemberian sertifikat ekolabel itu dijadwalkan akan diberikan Kamis (7/8) disaksikan oleh Menteri Kehutanan (Menhut), MS Kaban, Gubernur Kalbar, Drs Cornelis dan para pemangku kepentingan lainnya, baik dari kalangan LSM dan pemerintah daerah dan lembaga donor.

Ia menjelaskan, pada tahun 2004-2006 LEI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Forest Watch Indonesia (FWI), dan Uni Eropa menyelenggarakan program kerjasama bersama di Kampung Sungai Utik. Program kerja itu juga melibatkan peran tiga organisasi pendampinga masyarakat yang berkantor pusat di Pontianak.

Organisasi itu adalah Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), Pemberdayaan Pengelolaan Sumberdaya Alam Kerakyatan (PPSDAK), dan Program Pemberdayaan Sistem Hutan Kerakyatan (PPSHK), yang kemudian mempersiapkan implementasi standar Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), yang memungkinkan bisa diperankan oleh kelompok-kelompok masyarakat tradisional.

Kemudian, pada Maret 2008 telah dilakukan serangkaian penilaian sertifikasi PHBML oleh PT Mutuagung Lestari (MAL) sebagai badan penyelenggara sertifikasi mutu di bawah akreditasi LEI, dimana penilaian sertifikasi hutan (ekolabel) yang dilakukan telah menyatakan bahwa masyarakat Kampung SUngai Utik berhasil memperoleh sertifikat pengelolaan hutan lestari.

Dikemukakannya bahwa semangat utama yang hendak disampaikan kepada publi secara nasional --bahkan internasional--adalah bahwa di tengah maraknya eksploitasi dan konversi hutan menjadi pertambangan dan perkebunan, ternyata masih terdapat kearifan tradisional sebuah komunitas adat yang patut dijadikan teladan dalam merawat hutan.

"Penolakan untuk mengambil kayu secara besar-besaran itu didasarkan pada keyakinan bahwa adat telah mengatur bagaimana memanfaatkan kayu di hutan, dan pengambilan kayu dalam jumlah masif, ternyata bertentangan dengan hukum adat Sungai Utik, inilah hal paling mendasar yang kemudian mampu menjaga kelestarian hutan mereka," katanya.


Rumah panjang

Menurut Taufiq Alimi, ketaatan pada adat dan norma sosial komunitas Dayak Iban Sungai Utik, yang menempati kawasan hutan seluas 9.452,5 ha di Kabupaten Kapuas Hulu itu, tidak terlepas dari peran "Rumah Panjang" sebagai identitas dan pengikat solidaritas warga.

"Rumah Panjang ini besar sekali peranannya dalam mengontrol akses dan kepemilikan lahan, baik antarwarga maupun antardesa," katanya dan menambahkan saat ini di bawah pimpinan kolektif dari "Tuai Adat", kepala kampung dan temenggung serta para hulubalangnya, semua masalah berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dapat ditangani dan diselesaikan di tingkat pertemuan "Rumah Panjang".

Sementara itu, "Pak Janggut" --yang menjadi "Tuai Adat" Suku Dayak Iban di Sungai Utik--menjelaskan, sebenarnya masyarakat adat, mulai dari nenek moyang hingga kini tertib menjaga hutan, karena hal itu sudah ada aturannya dalam adat mereka--dan hal itu dipahami sejak dari orang tua yang diturunkan kepada anak, kepada cucu dan seterusnya hingga saat ini.

"Sayur dan ikan selalu ada dan tersedia, masyarakat memiliki batas-batas daerah sesuai kesepakatan, dan (tutupan) hutan menuju ke taman nasional juga diberi tanda," kata Pak Janggut.

Perbatasan hutan adat Suku Dayak Iban Sungai Utik adalah dengan Taman Nasional Betung Karihun (TNBK), yang berada di perbatasan tiga negara, yakni Indonesia-Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Kondisi ideal ini, kata Taufiq Alimi, tidak dimiliki kampung-kampung lain di sekitar Sungai Utik yang "tidak beruntung" dalam membangun pranata rumah panjang mereka. Kebijakan "rumah sehat" dari pemerintah diberlakukan dan wilayah hutan sudah dikapling menjadi HPH (hak pengusahaan hutan) sehingga membangun rumah panjang menjadi mustahil.

Sekalipun beberapa mempunyai rumah panjang, tetapi terlalu kecil untuk menampung semua warga. Akibatnya mereka menjadi komunitas Iban yang tercerai berai dalam satuan rumah keluarga inti.

Dari studi yang dilakukan oleh LEI pada tahun 2005, tawaran investor kayu dari Malaysia, yang sangat memahami masyarakat Iban di Serawak, sulit ditolak kampung-kampung di luar komunitas Dayak Iban Sungai Utik. Para peneliti LEI itu adalah Satria Astana, Wibowo Djatmiko, Semiarto Aji, Luhut Simanjuntak dan Wahyu F Riva

Studi itu mendapati bahwa selain keuntungan dari usaha menebang dan mengolah kayu, kepada mereka juga dijanjikan untuk dibuatkan rumah panjang apabila mau melepas hutan adat untuk diambil kayunya.

Dalam konteks persaingan dengan kampung lain, identitas kampung yang diperkuat oleh rumah adat menjadi penting. Karena itulah, orang Dayak Iban Sungai Utik membanggakan keaslian dan ketuaan rumah panjangnya, sementara kampung lain yang tidak memiliki rumah panjang, juga menyimpan harapan untuk suatu saat memilikinya dalam bentuk yang bisa dibanggakan.

Usaha kayu menjadi harapan yang paling masuk akal, apalagi tambahan fasilitas berupa listrik dan jalan beraspal juga dijanjikan oleh investor. Ketika usaha kayu berjaya, kampung-kampung lain dapat memamerkan diri pada orang Sungai Utik bahwa mereka juga sudah mempunyai rumah panjang lengkap dengan listrik dan jalan aspal yang belum dimiliki Sungai Utik.

Namun demikian kerusakah lingkungan seperti sungai yang berlumpur adalah harga yang harus ditebus oleh kampung lain itu. Dalam hal ini, Pak Janggut menyatakan bahwa alam dan sungai adalah nafas manusia, kalau tidak dilindungi akan berisiko terhadap masyarakat. "Air adalah darah, tanah adalah asal dan tempat kembali manusia," katanya.

Namun demikian Pak Janggut tetap khawatir mengenai perambahan hutan untuk perkebunan dan hutan tanaman. Hal ini disebabkan letak Kampung Suku Dayak Iban Sungai Utik yang berada di lintasan strategis dekat dengan perbatasan Serawak, Malaysia.

Kampung Sungai berdekatan dengan dua kampung lainnya, yaitu Kampung Mungguk dan Kampung Lauk Rugun. Kecamatan Embaloh Hulu berbatasan dengan Serawak di bagian Utara dan Barat, Kecamatan Putussibau di bagian timur, dan Kecamatan Batang Lupar di bagian selatan. Sedangkan Kabupaten Kapuas Hulu berbatasan dengan Serawak (Malaysia) di bagian Utara, Provinsi Kalimantan Timur di bagian Timur, Kabupaten Sintang di bagian Selatan dan Barat.

Selain itu kawasan hutan Sungai Utik kaya akan beragam jenis kayu. Jenis-jenis meranti dan kapur merupakan jenis dominan. Jenis kayu lainnya antara lain ladan, gerunggang (bahan pembuat sirap atap), kempas, dan jelutung. Suku Dayak memanfaatkannya untuk bahan bangunan, bahan pembuat sampan, dan kayu bakar, namun jenis-jenis kayu di kawasan hutan Sungai Utik merupakan jenis komersial yang laku dijual.

"Masalah yang paling berat adalah menjaga agar hutan tidak hilang akibat perubahan lahan untuk HTI dan perkebunan kelapa sawit," kata Pak Janggut dalam studi LEI saat ditanyakan permasalahan yang dihadapi oleh komunitas Sungai Utik berkaitan dengan keberlanjutannya.

Karena itu upaya-upaya untuk menjaga keberlanjutan komunitas Dayak Iban Sungai Utik terus dilanjutkan dengan proses sertifikasi ekolabel, dan lulus penilaian sertifikasi pengelolaan hutan lestari oleh PT MAL pada bulan Mei 2008.

"Masyarakat ingin pengakuan yang tertulis supaya didengar oleh orang luar, ada dokumen-dokumennya. Sertifikasi merupakan titik penting yang bermanfaat bagi masyarakat. Sertifikasi `Sui Utik` (Sungai Utik) diharapkan bisa menjadi contoh bagi daerah lain. Masyarakat harus bisa mengikuti arus perubahan dunia," katanya.(*)

sumber: Antara News
http://www.antara.co.id/arc/2008/8/6/sungai-utik-hutan-adat-pertama-penerima-sertifikat-ekolabel/

Wilayah Malaysia Yang diambil Indonesia

Oleh Surya Kelana

Untuk mengingatkan bahwa Wilayah Malaysia pernah diambil oleh Indonesia tanpa melalui peperangan.

Jagoi Babang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Dahulu Kec. Jagoi Babang merupakan bagian dari Malaysia (Kerajaan Inggris tepatnya) Penduduk asli Jagoi Babang adalah Subsuku Dayak yang dikenal dengan Bidayuh. Orang Bidayuh juga terdapat di Malaysia. Keduanya merupakan kerabat dekat. Jika ada perayaan Gawai (pesta panen) dan hari raya banyak penduduk yang melakukan perjalanan lintas negara untuk berkunjung kepada sanak saudara mereka.

Pada masa penjajahan Belanda, di Seluas (sekarang Kecamatan Seluas) ada seorang pandai. Orang tersebut sengaja disekolahkan dan dididik Belanda untuk mengurusi masalah lokal di wilayah tersebut. Karena dianggap mampu menyelesaikan perkara dengan baik, banyak orang berperkara datang kepadanya, termasuk dari Jagoi. Saat itu Jagoi masih masuk dalam Wilayah Inggris. Hal ini membuat gerah pemerintah Inggris. Sehingga dia mengajukan protes kepada pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya disepakati mereka untuk berunding. berdasarkan kesepakatan bersama mereka menyatakan dimana tempat mereka bertemu disitulah tapal batas negara ditentukan. sesuai perjanjian pertemuan akan diadakan jam 7 pagi.

Ternyata wakil pemerintah Belanda lebih rajin dan berinisiatif untuk melakukan perjalanan pada tengah malam. Dari Seluas mereka berjalan menuju Bau, Kota dimana wakil pemerintahan Inggris berada. Setelah menyeberangi Sungai Seluas (anak Sungai Sambas) mereka berjalan dengan menggunakan penerangan seadanya. Saya yakin perjalanan mereka sangat sulit karena harus menembus hutan dan dan rawa-rawa, belum lagi serangan nyamuk, agas bahkan hewan buas selalu mengancam. tetapi mereka bertekad untuk meluaskan wilayah. Dilain pihak wakil pemerintah Inggris, bangun terlambat. kemudian mereka berjalan dari Bau menuju kearah Seluas.

Akhirnya mereka bertemu di suatu tempat yang dikenal sebagai Serikin untuk Malaysia dan Jagoi untuk Indonesia. ditempat tersebutlah ditandatangani kesepakatan batas teritori kedua wilayah. yang menandai batas kedua negara hanya sebuah sungai, seukuran parit kalau dijakarta. Kemudian tempat itulah yang menjadi batas wilayah kedua negara kita dan Malaysia. Kalau diukur mungkin wilayah Indonesia maju sekitar 20an KM. Sekarang Batas negara hanya tandai oleh trapesium logam. (maaf foto diambil saat sedang Pilkada Gubernur sehingga tampak salah gambar kontestan pilgub)

Kisah ini saya dengar dari seorang tokoh masyarakat Jagoi Babang, Bapak Asem. Coba kalo sekarang ? bisa-bisa wilayah Indonesia yang diambil karena kebiasaan jam karet orang Indonesia… :-)

sumber : www.regional.kompasiana.com

Tuesday, October 12, 2010

Greenpeace Ancam Boikot Perkebunan Sawit Kalteng

Metrotvnews.com, Palangkaraya: Greenpeace, sebuah organisasi lingkungan dunia mengancam akan memboikot perkebunan kelapa sawit di wilayah Kalimantan Tengah (Kalteng).


"Kami menilai Pemerintah Provinsi Kalteng hanya berpikir menarik investor asing untuk berinvestasi bidang perkebunan sawit tanpa memperhatikan analisis dampak lingkungannya, seperti akan mengakibatkan banjir pada masa mendatang atau masalah lain," kata Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Rekson Silaban di Palangka Raya, Rabu (6/10).

Hal itu disampaikan oleh Rekson Silaban karena berdasarkan informasi yang dia dapat, bahwa saat ini Greenpeace sangat memperhatikan hutan yang ada di Kalteng untuk dijaga kelestariannya serta mengenai buruknya manajemen perusahaan asing terhadap ketenagakerjaan di Kalteng.

Menurutnya, apabila Pemprov Kalteng menarik investor asing yang bergerak di bidang perkebunan sawit untuk berinvestasi akan tetapi tidak memperhatikan analisis dampak lingkungan secara serius dikhawatirkan dunia internasional akan mengarahkan boikot kelapa sawit di kawasan setempat. Hal tersebut akan membuat ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan.

Rekson yang juga General Council International Labour Organication (ILO) dari Indonesia tersebut, sangat mengharapkan Pemprov Kalteng bisa melakukan tiga hal dalam mengantisipasi masalah itu. Yakni, mencegah dari awal terjadinya pengrusakan lingkungan dan membentuk komite lingkungan hidup yang strukturnya terdiri dari berbagai macam organisasi dan pemerintah pada bidang tersebut.

"Pemprov harus bisa bertindak tegas kepada perusahaan asing untuk menjalankan kewajibannya dalam menjaga lingkungan dan mematuhi undang-undang tentang Ketenagakerjaan, sehingga tidak mendapat pandangan negatif dari dunia internasional," ucapnya.

Pihaknya juga mengharapkan, para buruh dan masyarakat lokal bisa mendapatkan keuntungan dari para pengusaha asing tersebut, dengan lebih memperhatikan gaji atau upah yang sesuai standar, jaminan kesehatan, serta tunjangan untuk hari tua.

"Bayangkan saja, berdasarkan data yang kami dapat jumlah buruh yang ada di Kalteng mencapai 117.000 orang, tapi yang terdaftar sebagai peserta Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) hanya 9.000 orang," ungkapnya.

Pihaknya menyimpulkan, berarti para buruh yang ada di Kalteng sangat minim mendapatkan perhatian dari Pemprov setempat. Padahal perusahaan sudah jelas-jelas melanggar Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Oleh karena itu, pihaknya sangat mengharpkan Pemprov Kalteng bisa lebih memperhatikan nasib para tenaga kerja yang ada di kawasan setempat, serta bisa menindak tegas kepada perusahaan yang tidak mematuhi Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Selain itu, pihaknya juga mengingatkan, Pemprov perlu memberikan pelatihan kepada warga lokal mengenai masalah lingkungan hidup sebagai salah satu antisipasi dalam mengahadapi pemanasan global. Karena itu ke depan pasti akan menjadi konflik sosial antara pemerintah, masyarakat, dan perusahaan asing.(Ant/BEY)

sumber : www.metrotvnews.com

Monday, October 11, 2010

Rumah Betang Ojung Batu

Di Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Propinsi Kalimantan Tengah, masih banyak terlihat rumah-rumah penduduk yang berbentuk rumah betang yang tradisonil . Rumah-rumah betang yang ada di Kecamatan Delang rata-rata berumur ratusan tahun dan masih terpelihara dengan baik hingga saat ini. Hal itu menandakan bahwa penduduk di Kecamatan Delang sampai saat ini masih melestarikan adat-istiadat dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Salah satu rumah betang di Kecamatan Delang yang masih terawat dengan baik dan sering dikunjungi oleh banyak wisatawan adalah Rumah Betang Ojung Batu. Yang membedakan Rumah Betang Ojung Batu dengan rumah-rumah betang lainnya adalah di dalamnya terdapat banyak tajau. Konon, rumah betang ini dulunya dikenal sebagai tempat kediaman seorang tokoh masyarakat Dayak yang sangat kaya yang memiliki ribuan tajau, sebuah benda mirip tempayan yang oleh masyarakat setempat dijadikan sebagai simbol kekayaan dan kehormatan seseorang.

Tajau juga dianggap sebagai benda yang memiliki kekuatan gaib dan dapat membawa rejeki bagi orang yang memilikinya. Konon, orang yang membuat tajau bukanlah orang sembarangan, karena dia harus menguasai upacara khusus sebelum membuatnya. Namun sayang, jumlah tajau yang ada di rumah betang ini sekarang sudah jauh berkurang, menjadi ratusan saja. Saat ini, rumah betang yang sudah berumur hampir 1.000 tahun dimiliki oleh Omas Petinggi Kaya, salah satu tetua adat di Kecamatan Delang. Oleh Pemerintah Kabupaten Lamandau, Rumah Betang Ojung Batu ditetapkan sebagai bangunan bersejarah yang dilindungi.

Rumah Betang Ojung Batu memiliki keunikan dan keistimewaan tersendiri. Bentuknya memanjang ke belakang sekitar dua ratus meter, bertiang panggung dari kayu ulin dengan diameter di atas 50 sentimeter dan tinggi 1,5 meter, serta beratap sirap yang juga terbuat dari kayu ulin. Di dalam rumah betang ini terdapat puluhan bilik dan satu bilik dihuni oleh satu keluarga. Setiap keluarga penghuni bilik memiliki koleksi barang-barang antik berupa piring keramik, gong, meriam kuno, talam tembaga, dan berbagai bentuk perhiasan Cina dan Belanda yang sudah sangat jarang dijumpai. Para penghuni Rumah Betang Ojung Batu dikenal pula memiliki seni budaya cukup tinggi, yang dapat dilihat dari berbagai bentuk ukiran yang menghiasi hampir di seluruh bagian rumah, mandau (senjata khas Suku Dayak ) yang menempel di dinding rumah, tombak, dan berbagai bentuk anyaman yang terbuat dari rotan.

Meskipun ukuran rumah ini terbilang luas dan besar, namun hanya ada satu pintu masuk utama untuk memasuki rumah ini. Hal ini menyiratkan makna filosofis yang luhur, yaitu agar semua anggota keluarga yang menghuni rumah ini memiliki persamaan persepsi dan tujuan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Apapun aktivitas yang dilakukan oleh para penghuni rumah, mereka tetap masuk dan keluar dari pintu yang sama. Di samping itu, dengan hanya memiliki satu pintu utama, diharapkan penghuni rumah dapat lebih mampu mengenal antara penghuni yang satu dengan penghuni lainnya secara lebih dekat. Untuk memasukinya, penghuni rumah harus melewati anak tangga yang berada di bawah kolong rumah.

Selain memiliki keistimewaan dari sisi arsitekturnya, Rumah Betang Ojung Batu juga memiliki sisi keistimewaan lainnya, yaitu keramahan para penghuninya. Setiap pengunjung yang datang akan disambut dengan ramah, tidak dipungut biaya, dan cukup mengisi buku tamu sebagai media perkenalan. Apabila berkenan, pengunjung akan diajak untuk minum tuak (minuman tradisional dari beras ketan) dan makan sirih karena dianggap menghargai budaya masyarakat lokal.

Pemandangan bersahaja lainnya juga dapat dilihat dari ekspresi kebersamaan dan persaudaraan di antara para penghuni rumah, terutama ketika ada permasalahan yang menimpa salah satu penghuni. Misalnya, jika salah satu anggota keluarga ada yang meninggal dunia maka masa berkabung mutlak diberlakukan selama satu minggu bagi semua penghuni dengan tidak menggunakan perhiasan, tidak berisik, tidak minum tuak, dan tidak menghidupkan peralatan elektronik.

sumber : www.lamandau.go.id, www.kalimantan-news.com

Saturday, October 9, 2010

Borneo Extravaganza 2010, Kalimantan Tidak Kalah dari Bali

KUTA, KOMPAS.com - Empat provinsi di Pulau Kalimantan menggelar promosi bersama bertajuk Borneo Extravaganza 2010 di sebuah mal di kawasan wisata Kuta, Bali, Jumat (8/10). Lewat kegi atan dua hari itu, para pemangku kepentingan di Kalimantan ingin menarik lebih banyak wisatawan mancanegara.

"Kalimantan tidak kalah dengan Bali. Pulau itu kaya akan keanekaragaman hayati dan budaya serta pesona alamnya. Melalui pameran wisata seperti inilah kesempatan membuka apa-apa yang dimiliki pulau itu kepada para turis. Semoga lebih banyak wisatawan mancanegara berkunjung ke Borneo," kata Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Iptek Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Titin Soekarya, dalam acara pembukaan pameran itu di Kuta, Jumat (8/10).

Borneo Extravaganza merupakan salah satu kegiatan pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bekerja sama dengan provinsi yang ada di Kalimantan, yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan . Acara ini pertama kali diselenggarakan di Mal Taman Anggrek, Jakarta, pada 2004 lalu. Tahun ini merupakan penyelenggaraan Borneo Extravaganza keempat.

Dikatakan, luasnya wilayah Nusantara harus ditawarkan pada para turis asing. Jenis wisata yang potensial, antara lain berpetualang masuk hutan belantara, mendaki gunung, dan melihat langsung hutan yang selama ini dikenal dengan paru-paru dunia, seperti Taman Nasional Danau Sentarum dan Betung Kerihun di Kabupaten Kapuas Hulu.

"Orang juga selalu rindu dengan suasana pasar terapung di Kalimantan. Kita dorong agar masyarakat di sekitarnya membuka penginapan sehingga menjadi tempat penginapan ( homestay) yang pasti digemari wisatawan," kata Titin.

Selama pameran, Borneo Extravaganza antara lain menyajikan paparan tentang potensi wisata yang kini digiatkan, seperti seperti Museum Mulawarman, Tugu Khatulistiwa, serta Wisata Sungai Mahakam, Barito, dan Kapuas. Sedangkan pada wisata kuliner, disajikan sensasi menikmati makanan khas Kalimantan tempo dulu dan sekarang yang sudah bercampur dengan budaya Melayu dan Bugis.

sumber : www.travel.kompas.com

Darah Dan Jiwa DAYAK

Tanah, sungai dan hutan adalah 3 elemen terpenting yang memungkinkan sesorang hidup sebagai orang Dayak sejati. Selama berabad-abad 3 elemen ini telah membentuk sebuah identitas yang unik yang kita kenal sekarang sebagai orang Dayak. Orang Dayak dapat mempertahankan eksistensi dan cara hidup mereka yang khas dengan menerapkan 7 prinsip dalam menejemen sumber daya alam, yaitu :

1. Kesinambungan
2. Kolektivitas
3. Keanekaragaman
4. Subsistensi
5. Organik
6. Ritualitas
7. Hukum Adat

Ke 7 prinsip ini dapat ditemui dalam sistem pengelolaan sumber daya alam pada semua sub suku Dayak. Secara konsisten orang Dayak menerapkan ke 7 prinsip ini sehingga terjadilah apa yang dicita-citakan banyak orang yakni sebuah sistem pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Para ahli mengemukakan bahwa Pembanguna berkelanjutan harus memenuhi sekurang-kurangnya 3 syarat, petama, secara ekonomis menguntungkan, kedua, secara ekologis lestari dan ketiga, secara budaya tidak merusak. Orang Dayak sesungguhnya telah menerapkan praktek pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan selama berabad-abad.Hampir 80% masyarakat adat (Indigenous Peoples) Dayak di Kalimantan mata pencahariannya berladang. Berladang bukan sekedar untuk hidup tapi ladang turut membentuk peradaban orang Dayak. Karena dari membuka lahan hingga akhir panen ada aturan yang hatus ditaati, adatnya inilah yang membentuk kebudayaan Dayak. Tidak benar aktivitas ladang berpindah sama dengan kegiatan merusak hutan. Istitut Dayakologi menyebutkan bahwa sistem ladang berpindah itu sebagai sistem pertanian asli terpadu (integrated indigenous farming system). Bukan ladan gberpindah tetapi ladang bergilir. Sebab sistem perladangan dari masyarakat Dayak ini berladang dilahan lain untuk memberi kesempatan lahan lama itu cukup tua (10-15 tahun) yang nantinya akan mereka ladangi lagi. Sistem pertanian ini merupakan jawaban yang tepat bagi perjuangan mempertahankan kehidupan iatas tanah yang relatif kurang subur. Menurut Prof. Dr. Syarif Ibrhamim Alqadri dari FISIP Universitas Tanjungpura, sistem perladangan seperti ini tidak dapat dituding sebagai sumber kerusakan hutan. Daur perladangan sekitar 10-15 tahun secara teratur menyebabkan hutan subur berkelanjutan.

Aktifitas berladang tidak bisa terlepas dari hutan. Tanpa hutan, maka tidak akan ada ladang. Dalam berladang lahan yang dibutuhkan tidak luas maksimal hanya 1,5 hektar, setelah panen ladang ditanami pepohonan seperti karet, tengkawang, rotan, dan aneka jenis buah. Dalam waktu 10-15 tahun lahan tersebut telah berubah menjadi hutan kembali. Menanami ladang dengan pepohonan adalah wajib bagi setiap peladang. Kewajiban itu tidak terlepas dari adat yang dipegang oleh masyarakat Dayak. Jadi tidaklah mengherankan apabila hutan adalah eksistensi masyarakat Dayak.

Hutan bagi masyarakat Dayak merupakan dunia, sumber kehidupan. Kedudukan dan peran hutan seperti itulah yang mendorong masyarakat Dayak untuk memanfaatkan hutan di sekitar mereka dan sekaligus menumbuhkan komitmen untuk menjaga kelestariannya demi keberadaan dan kelanjutan hidup hutan itu sendiri. Untuk melakukan hal itu, masyarakat Dayak dibekali oleh mekanisme alamiah dan nilai budaya yang mendukung pemanfaatan hutan demi kelanjutan hidup dan pelestarian alam. Seperti penerapan 7 prinsip pengelolaan sumber daya alam yang telah disbutkan diatas.

Selain itu untuk memelihara, menjaga dan melindungi keberadaan hutan itu muncul dari perlakuan adat istiadat, peranan isntitusi adat dalam pengaturan sangsi dan denda serta mekanisme yang berkembang secara alamiah dari alam.

Hutan bagi masyarakat adat Dayak memang berperan sangat besar, ini terbukti dari sumber mata pencaharian mereka bersumber dari hutan (berladang), semua unsur kehidupannya juga bersumber dari hutan seperti bahan-bahan untuk membuat rumah panjang, semua didapat dari hutan. Seluruh bangunan berbahan kayu, tentu saja saat ini sudah banyak rumah panjang yang menggunakan seng sebagai atap rumah, paku baja sebagai pengikat dan pasak. Sebelum ada semua itu, bahan dasar pembuat rumah panjang dari kayu dan rotan. Demikian juga alat angkut, seperti sampan, lalu alat-alat rumah tangga seperti tikar, bakul dan alat-alat berperang seperti perisai, sumpitan, semua terbuat dari kayu.

Maka tidaklah mengherankan jika ada ungkapan yang mengatakan bahwa hancurnya hutan akan menghancurkan kehidupan ideologi, budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat adat Dayak. Menurut Prof. DR Syamsuni Arman, seorang peneliti dari FISIP Universitas Tanjungpura, ada dua kekuatan besar yang akan mengubah drastis kebudayaan Dayak, yakni, pertama, perubahan ekologi hutan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif sehingga hubungan sosial yang dibina diatasnya akan mengalami perubahan juga. Kedua, berubahnya orientasi orang Dayak sehingga ketergantungan mereka terhadap hutan makin berkurang.

Masyarakat adat Dayak dalam mengelola sumber daya alamnya meeka membagi wilayah mereka (Binua) kedalam beberapa bagian, seperti masyarakat adat Dayak Simpakng yang menunjukkan kearifan mereka dalam mengelola sumber daya alam seperti :

1. Proses Perladangan
Sistem perladangan (Uma – Dayak Simpakng, Umai – Dayak Iban, Muh- Dayak Mayau, Huma – Dayak Kanayatn, Lakau- Dayak Jalai, Lako – Dayak Krio dan Pawan) pada beberapa subsuku Dayak dilaksanakan melalui proses yang sangat arif dan bijaksana.

Pada masyarakat adat Dayak Simpakng sebelum mereka membuka hutan mereka melakukan upacara adat nudok angko tautn, yakni upacara adat membuka tahun, meminta ijin pada Duwata (Tuhan), kemudian dilanjutkan dengan ngusok/nurutn tagor yaitu survey calon kawasan ladang, dan meminta ijin pada Menkedum Jembalang Tonah dan Puyaknggana (Duwata pemilik hutan). Upacara ini juga untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah, menghindari sumber mata air, pohon kayu madu, kayu damar, dan buah-buahan, serta menghindari tembawang dan tanah keramat.

Adapun tahapan perladangan masyarakat adat Dayak Simpakng adalah sebagai berikut :

1. Musyawarah batas, maksudnya menentukan batas ladang dan meminta ijin pada pemilik diareal perladangan nantinya. Jadi harus ada mufakat dalam musyawarah tersebut. 2. Minu (menebas), setelah mendapatkan lahan hal yang perlu dilakukan adalah penebasan. Alat yang digunakan seperti bore (parang), baliokng (beliung). Ketika melakukan penebasan tersebut lahan yang bersangkutan tiba-tiba dihinggapi oleh panginget/penyinyet (lebah madu) maka lahan itu harus segera ditinggalkan dan mencari lahan baru. 3. Nobakng (menebang), dalam melakukan aktifitas ini ada beberapa aturan yangharus ditaati, yaitu tidak boleh mengenai usaha orang lain, jamih (bawas) orang lain, pohon madu, kebun, kampokng buah, keramat. Jika kejadiannya tidak desengaja maka yang bersangkutan harus segera memberitahukan kepada pemiliknya. 4. Mpo ropa (masa pengeringan), masa ini berkisar antara 1,5 – 2 bulan, tergantung dari kondisi iklim. Bila panas terus menerus maka daun, ranting, dahan dan batang kayu akan cepat kering. Bila demikian maka ladang akan dibakar hangus (mosu). Hangus tidaknya sebuah ladang yang akan dibakar sangat menetukan tingkat kesuburan tanaman baik padi maupun tanaman sayur mayur lainnya. 5. Miadakng (membuat sekat bakar), merupakan proses pembersihan disekeliling muh (ladang) yang sudah ditebang dengan tujuan agar api tidak menjalar ketempat lain.(me lada’ – Dayak Jalai, lale’ – Dayak Iban, watah – Dayak Hibun) 6. Ngucol (membakar), setelah miadakng maka dilakukan pembakaran, namun sebelum dilakukan pembakaran semua warga yang ladang, kebun atau usaha lain yang berdekatan dengan ladang yang akan dibakar harus diberitahukan terlebih dahulu. Membakar juga harus berlawanan dengan arah angin, tidak boleh membakar dimusim angin kencang dan panas terik, dan biasanya pembakaran dimulai pukul 14.00 wib. 7. Ngarorak, jika di hutan rimba setelah pembakaran selama minimal 3 hari tidak boleh keladang karena masih ada bara yang menyala. Ketika api sudah padam maka kayu yang tidak ahbis terbakar disingkirkan kegiatan inilah yang dinamakan ngarorak. Tumpukan kayu bekas bakaran itu namanya panok. Panok itu akan dibakar sebelum pulang pada pukul 18.00 wib. Areal bekas membakar panok itu akan subur untuk menanam cabe, jahe, kunyit, terong dan sebagainya. 8. Tamurok (menanam padi), kegiatan penanaman padi ini biasanya dilakukan 2 orang seorang laki-laki yang membuat lobang diikuti dibelakangnya, seorang wanita, yang melakukan penanaman benih padi. Alat yang digunakan adalah tugal yang panjangnya 2,5 meter dengan diameter 3 cm ujungnya diruncingkan agak tumpul. 9. Miobuh (merumput), sekitar 1,5 bulan setelah padi ditanam dilakukan pembersihan rumput diladang, tujuannya agar rumput tidak mengganggu pertumbuhan padi. 10. Biti ampar kuning podi, setelah merumpun kegiatan berladang berhenti sampai masa panen tiba, masa 3 minggu- 1bulan digunakan untuk perbaikan jalan ke pondok, membuat tempat pemberhentian (mpadas/ mpalakng) sebelum padi di masukkan kedalam jurokng (lumbung). Mereka juga kadang menoreh karet untuk kemudian dijual kepasar. 11. Ngotump (panen), padi yang dipanen ini harus benar-benar masak, jika belum maka padi itu akan cepat busuk jika disimpan, padi yang pertama masak diambil dan setiap anggota keluarga harus mencicipi berasnya. Sebelum panen ada upacara adat yang bernama mota dan ngamaru. Mota adalah upacara yang menyatakan bahwa panen akan dimulai dan ngamaru upacara pemberitahuan bahwa padi hasil panen itu akan dimakan oleh anggota keluarga. 12. Gawe Tautn (upacara syukuran), upacara syukuranyang melibatkan seluruh warga di kampung yang bersangkutan. Didalamnya terdapat makan-makan bergendang (tarian), minum tuak, menari dan sebagainyadan upacara ini dilakukan di rumah bentang atau rumah panjang. 13. Bacucok batonam (bersosok tanam), ladang yang baru dipanen padinya dinamakan jamih atau bawas. Jamih ini dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :

i. Jamih mongut (bawas muda dibawah 5 tahun)

ii. Jamih malakng (bawas yang subur berumur sampai 7 tahun)

iii. Jamih muntuh (bawas tua yang berumur 7-25 tahun)

Jamih bisa ditanami tanaman keras seperti karet, pohon madu, kayu belian, keladan, dan lain-lain. Sedangkan buah-buahan seperti diatn (durian), ramut (rambutan), duku, rosat (langsat), galimikng (belimbing), pakawe (sejenis durian), kunyet, sore, pinang, nyior, sireh, tuba, itu semua ditanam disekitar pondok (dango).

2. Pengelolaan Kebotn gotah
Kearifan masyarakat adat Dayak dalam mengelola sumber daya alamnya, yaitu menanam lahan bekas berladang dengan tanaman keras. Bibitnya telah disiapkan 6 bulan – 1 tahun sebelum panen berakhir. Bibit ini diambil dari lahan lain, ketika lahan ditinggalkan selama 7-10 tahun maka sudah siap dipanen.

3. Pengelolaan pohon madu
Pohon madu yang dimaksud adalah pohon yang biasa digunakan oleh lebah untuk membuat sarang. Pohon madu ini termasuk sebagai keramat pedagi (benda keramat)

4. Pengelolaan kawasan hutan cadangan

Kawasan hutan ini sangat dikeramatkan, ini merupakan hutan konservasi yang tidak boleh dimanfaatkan, termasuk sebagai tonah colap tarutn pusaka. Ciri kawasan jenis ini adlaah bukit atau gunung yang didalamnya terdapat banyak tanaman obat, tanaman langka, banyak binatang, sungai yang masih banyak ikan, dan terdapat aneka bahan bangunan, kawasan tersebut telah ditetapkan dan diwariskan secara turun temurun dan pengelolaannya diatur dalam hukum adat. Biasanya kayu boleh diambil untuk keperluan hidup bukan untuk diperjualbelikan.

5. Pengelolaan keramat

Masyarakat adat Dayak selain memiliki wilayah keramat didaratan juga di lubuk sungai. Temapt seperti ini dipelihara, dilindungi dan dihormati oleh warga masyarakat. Didaerah tersebut tidak boleh ada kegiatan apapun kecuali upacara adat yang dilakukan 3 kali dalam setahun.

6. Pengelolaan Tembawang

Kawasan ini adalah bekas lahan yang telah ditinggalkan selama 5-10 tahun ditandai dengan banyak tanaman keras dan juga beberapa bekas perabot rumah tangga. Tembawang dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis, yaitu :

1. Tembawang rumah/ kambokng, terdapat dirumah 2. Tembawang dango, terdapat disekitar pondok ladang 2-5 tahun yang lalu. 3. Tembawang dukoh, terdapat disekitar pondok semi permanen yang pernah didiami antara 5-10 tahun. 4. Tembawang bagant, terdapat di rimba, sempat didiami selama 3 minggu sampai sebulan kegiatan berburu.

7. Pengelolaan Jamih

Jamih adalah lahan bekas ladang, dan biasanya masih dirawat oleh pemiliknya karena akan diladangi lagi sekitar puluhan tahun lagi. Antara jamih dengan jamih lainnya ada batasan (bat) biasanya batasan ini berupa sungai, kayu yang tahan lama seperti kayu belian, bambu hidup, tanaman buah seperti durian atau angkabakng (tengkawang)

8. Pengelolaan are sungai

Air sungai merupakan sumber kehidupan lain bagi masyarakat adat Dayak. Agar air sungai dapat digunakan untuk masyarakat maka masyarakat Dayak tidak pernah berladang di tepi sungai, sehingga kayu yang berada di pinggir aliran sungai akan tetap ada yang berguna juga untuk pelindung dan penangkal erosi. Terkadang masyarakat Dayak melakukan ritual untuk menuba di aliran sungai tetapi meuba itu pun tidak boleh tiap hari. Ada upacara adat yang harus dilakukan sebelum melakukan penubaan

9. Mokatn tonah dan Nungkat Gumi

tujuan pelaksanaan adat ini adalah memulihkan kembali hutan kawassan adat yang dikelola oelh warga masyarakat adat. Upacara Nungkat Gumi dilakukan setiap 7 tahun sekali selama 7 hari 7 malam. Setelah upacara itu masyarakat melakukan pantakng ponti, dan selama masa pantangan itu tidak diperbolehkan memetik tanaman (balayo), me bia ikatn dari amun toruh tanyokng ka soju, toruh tanyokng ka soba (tidak boleh mengambil ikan tujuh tanjng kehilir dan kehulu dari sungai tempat mandi mereka), memotong atau makan hewan potongan, nyingor (bersiul), berpesta dan sebagainya.

Dari penjelasan diatas maka terlihat bahwa Masyarakat Adat Dayak mempunyai kearifan terhadap lingkungan yang sangat tinggi, walaupun terkadang mereka di tuding sebagai aktor perusak lingkungan karena mereka melakukan sistem pertanian dengan sistem ladang berpindah.

Bentuk partisipasi masyarakat adat adalah adanya usaha memetakan wilayah mereka, terutama yang berkaitan dengan wilayah adat mereka. Pemetaan partisipatif ini dilakukan mengingat masyarakat adat Dayak hidup sepenuhnya tergantung dari Hutan. Sehingga mereka merasa perlu untuk menata ulang dan menginventarisasi ulang kepemilikan sumber daya alam yang mereka miliki. Pemetaan wilayah adalah suatu kegiatan memetakan wilayah adat yang dilakukan oleh masyarakat adat. Selain memetakan peruntukan lahan yang disesuaikan dengan fungsinya, juga memetakan sumber daya alam (potensi) lainnya seperti hewan dan binatang yang terdapat di dalam hutan. Setelah dilakukan pemetaan tersebut maka dibeberapa daerah dilakukan pembentukan Sistem Hutan Kerakyatan (SHK). Pada SHK ini terdapat dua konsep yang menjadi satu kesatuan. Yakni „sistem hutan” dan „kerakyatan”. „Sistem hutan” artinya bahwa hutan dalam konsep SHK bukan sekedar tegakan kayu melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan „wilayah hukum adat” yang elemen-elemennya terdiri dari kawasan kambokng (kampung/ pemukiman), muh, uma, mih, lakau, lako (ladang), kebont (kebun), rimma (rimba), tamakng (tembawang), karamat (keramat/tempat suci), kubor atau tamak (perkuburan), sunge (sungai), dano (danau). Dalam sistem hutan ini tedapat pembagian peruntukan lahan yang disesuaikan dengan fungsinya. Sistem hutan berfungsi sebagai penopang sistem kehidupan setempat dan sumber pengembangan kebudayaan setempat. Sebagai penopang sistem kehidupan, formasi sistem hutan alam memberikan prasyarat bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat setempat dengan menyediakan air, menjaga kesuburan tanah, sumber makanan, dan lain-lain. Sistem hutan ini juga berfungsi sebagai sumber pengembangan kebudayaan, masyarakat setempat dengan kemampuan budi dan nalarnya mengembangkan pengetahuan, nilai-nilai, norma kepercayaan mereka pada setiap model pengelolaan hutan kawasan adat.

Kata „kerakyatan” menegaskan bahwa aktor utama dalam pengelolaan hutan adalah komunitas-komunitas lokal. Karena itu tujuan pengelolaan hutan adalah memberikan manfaat dan keuntungan sebesar-besarnya pada komunitas-komunitas lokal, dengan demikian akan terwujud pengelolaan hutan yang adil dan lestari.

Suatu kawasan layak dinamakan sistem hutan kerakyatan jika memenuhi 9 karakteristik. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :

1. Aktor utama adalah rakyat (masyarakat lokal) 2. Lembaga pengelola dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh rakyat. 3. Memiliki penguasaan teritorial yang jelas. 4. Interaksi antara masyarakat adat dengan lingkungannya sangat erat dan langsung. Ekosistem menjadi bagian yang penting dari sistem kehidupan rakyat setempat 5. Pengetahuan lokal menempati posisi yang penting dan melandasi kebijaksanaan dan tradisi sitem pengelolaan hutan. 6. Teknologi lokal adalah proses adaptasi yang dikuasai rakyat. 7. Skala produksi tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip-prinsip kelestarian (sustainability) 8. Sistem ekonomi didasarkan pada kesejahteraan bersama dan keuntungan dibagi secara adil serta profesional. 9. Keanekaragaman hayati mendasari berbagai bidangnya; dalam jenis dan genetis; pola budidaya dan pemanfaatan sumber daya; sistem ekonomidan lain-lain.

Aktor dari sistem hutan kerakyatan ini adalah masyarakat adat, karena mereka memiliki budaya, pengalaman dan pengetahuan sejak turun temurun dalam mengelola sumber daya alam hutan mereka. Hal ini bisa dilihat dari tahapan-tahapan yang mereka lakukan sebelum membuka ladang, kepercayaan mereka akan tanda-tanda alam serta penggunaan alat dalam mengelola sumber daya alam yang semuanya tidak merusak alam disekitar mereka.

Sumber : www.infoborneo.co.cc

Kriminalisasi Masyarakat (Adat) atas Pemanfaatan SDA?

By. Hendrikus Adam*

Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara. Pernyataan yang dicetuskan oleh rakyat Indonesia (masyarakat adat/MA) dari berbagai penjuru nusantara dalam Kongres I Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta tahun 1999 ini boleh dibilang sebagai bentuk ”perlawanan” dan juga ”protes” atas sikap negara (pemerintah) yang cenderung mengabaikan eksistensi MA. Pernyataan ini tentunya sangat argumentatif, karena MA telah ada jauh sebelum negara Republik Indonesia ini dideklarasikan sebagai negara yang berdaulat pada 17 Agustus 1945 silam. Sisi lain dari keberadaan MA, juga sebagai bagian dari warga di negeri ini. Sebagain bagian dari makhluk di dunia, kehadiran setiap pribadi masyarakat memiliki harkat dna martabat yang sama.
Didefinisikan, Masyarakat Adat merupakan sekelompok penduduk yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya, serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat. Demikian halnya istilah MA seringkali digunakan dalam istilah yang beragam.

Di beberapa negara lain, banyak istilah yang digunakan untuk menjelaskan masyarakat adat, misalnya first peoples di kalangan antropolog, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous cultural communities di Filipina, bangsa asal dan atau orang asli untuk sebutan di Malaysia. Sedangkan di tingkat PBB penggunaan indigenous peoples tertuang dalam deklarasi PBB (draft on the UN declaration on the Rights of the Indigenous Peoples). Di Indonesia, berdasarkan versi pemerintah menyebutnya dengan Istilah “masyarakat hukum adat” atau “masyarakat tradisional”.

Istilah Masyarakat Adat mulai disosialisasikan di Indonesia pada tahun 1993 setelah sekelompok orang yang menamakan dirinya Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, akademisi dan aktivis organisasi non pemerintah (Ornop) menyepakati penggunaan istilah tersebut sebagai suatu istilah umum pengganti sebutan yang sangat beragam. Pada saat itu, secara umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat pembangunan. Sedangkan pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya sesuai nama suku mereka masing-masing (Artikel utama dalam WACANA HAM, Media Pemajuan Hak Asasi Manusia, No. 10/Tahun II/12, Juni 2002, Jakarta). Pemahaman mengenai Masyarakat Adat tentunya tidak hanya merujuk pada etnis/kelompok tertentu, tetapi sangat luas meliputi segenap warga yang masih memelihara sistem nilai adat dan budayanya dengan keberadaan SDA yang masih tetap terjaga.
Lantas bagaimana dengan nasib MA saat ini? Masyarakat adat sebagai bagian dari komponen masyarakat sipil cenderung (senantiasa) berada pada posisi lemah, dan rentan terhadap perlakuan refresif manakala berhadapan dengan pemodal dan aparatur negara khususnya dalam upaya menuntut hak dan keadilan terhadap kondisi sosial-ekologi yang berkelanjutan. Perjuangan warga terhadap akses dan kontrol rakyat atas lingkungannya seringkali dikesampingkan. Dengan posisi yang lemah tersebut menjadikan masyarakat cenderung kurang ”berani” dan potensial untuk selalu mendapat dampak buruk.

Upaya dan tantangan atas perjuangan yang dialami masyarakat adat di Kalimantan Barat, mempunyai dinamika tersendiri. Sebagai bagian penduduk di bumi ini, warga Kalimantan Barat dengan latar belakang yang beragam dan tinggal (umumnya) di pedalaman dalam kesehariannya senantiasa berhubungan langsung dengan alam dan lingkungannya. Potensi sumber daya berupa hutan, tanah dan air adalah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dari hidup dan kehidupan masyarakat adat yang senantiasa menggantungkan hidupnya pada hasil bumi. Hutan, tanah dan air merupakan alat produksi bagi masyarakat yang tinggal disekitar hutan.

Massifnya kebijakan investasi skala besar dalam bentuk perkebunan sawit, pertambangan, HPH, HTI dan lainnya sebagai bentuk dari pemanfaatan sumber daya alam versi penguasa namun memberikan ruang yang sangat memungkinkan terjadinya perampasan atas hak kelola masyarakat (adat) atas potensi alam melahirkan sejumlah konsekuensi logis. Upaya pengelolaan sumber daya alam berbasis kepentingan ekonomi semata, namun cenderung mengesampingkan aspek lingkungan sosial-budaya, adat istiadat dan ekologi adalah jalan pasti menuju kehancuran.

Hal ini dapat dilihat dengan upaya-upaya yang dilakukan selama ini. Atas nama pembangunan dengan dalih kesejahteraan, pemodal yang sedari awal tidak memiliki sejengkal tanahpun memang sangat ”profesional” dalam mewujudkan impiannya dengan ”mengambil alih” kepemilikan hak atas tanah yang dimiliki masyarakat dengan berbagai cara untuk membuka investasi melalui izin penguasa (Negara). Berbagai iming-iming dan citra positif untuk membuai masyarakat agar dapat diterima seringkali disampaikan secara sepihak yang berakibat pada pelepasan tanah dan sumber daya alam warga dan bahkan berujung pada konflik sosial bila kemudian warga akhirnya sadar dan melawan.

Sedikitnya ada empat mitos yang seringkali digunakan untuk membuai warga soal investasi yakni; memberikan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan pendapatan asli daerah/PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat. Keempat mitos ini tentunya tidak harus ditelan mentah-mentah, bila dikaji lebih kritis maka sesungguhnya keempat dalih tersebut tidak lebih dari ”akal bulus” yang kurang mendasar.

Dampak dari pemberian ruang bertumbuh kembangnya investasi skala besar (perkebunan sawit, pertambangan, HTI) yang menguras sumber daya alam disekitar lahan kelola masyarakat dan bahkan mengabaikan hak-hak MA seringkali memiriskan hati dengan berbagai fakta dan realita yang terjadi selama ini. Sebaliknya, masyarakat yang sadar berjuang dan menolak investasi seringkali dipersalahkan. Kriminalisasi terhadap masyarakat yang menginginkan hutan, tanah dan air nya tetap utuh menjadi fenomena sebagai konsekeunsi sebuah perjuangan melawan kaum bermodal yang mendapat restu dari penguasa.

Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah. Kasus Penangkapan dua warga Semunying Jaya (Momonus/Kades-Jamaludin/BPD) tahun 2006 silam di Bengkayang yang memperjuangkan kedaulatannya, penahanan tiga warga Pelaik Keruap di Kecamatan Menukung Melawi, penahanan dua masyarakat adat (Andi-Japin) di Ketapang yang berjuang mempertahankan hak mereka atas tanah dan SDA dari PT. Bangun Nusa Mandiri (BNM) adalah sejumlah persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa peran negara masih sangat rapuh dalam melindungi hak-hak warganya yang menginginkan kawasan dan alat produksi berupa hutan-tanah-air tetap lestari.

Demikian halnya dengan kriminalisasi terhadap dua orang ibu rumah tangga di Kampung Sanjan Emberas, Kabupaten Sanggau mengambil sisa brondolan sawit yang ”tidak lagi terpakai” oleh pihak perusahaan (PTPN XIII) adalah sisi lain dari sebuah realitas yang terjadi akhir-akhir ini, betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justeru seringkali harus menelan pil pahit, karena tidak lagi menjadi tuan atas tanah yang dimiliki. Juga terpisah dari lingkungannya. Pendekatan keamanan dengan menggunakan tangan aparat (polisi-brimob dll) dan menempuh jalur hukum negara melalui kriminalisasi masyarakat seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh oleh managemen perusahaan investasi (investor) guna melindungi usahanya. Padahal dalam sisi yang lain, pihak aparat tidak semestinya ”ngepam” di areal kawasan perusahaan.

Di Sintang, kriminalisasi oleh pihak pemodal (PT. Finnantara Intiga yang saat ini dimiliki Sinar Mas Group sebagai pemilik saham dominan dan Inhutani III) juga dialami 15 orang warga Sejirak (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka (warga). Selama belasan hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi Polres Sintang beberapa waktu lalu (baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang, 25/8), dan kini masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten Sintang. Dalam setiap kali turun setidaknya seratus ribu harus dirogoh dari saku untuk keperluan turun ke kota Sintang.

Berbagai catatan tersebut adalah bagian dari sejumlah realita dari sekian banyak persoalan yang dihadapi masyarakat kita yang selama ini mengandalkan hidup dan kehidupannya dari kekayaan sumber daya alamnya.

Keberadaan masyarakat di daerah pedalaman khususnya Masyarakat Adat adalah bagian dari warga di republik ini yang memiliki hak sama untuk diperlakukan sebagaimana mestinya secara beradab. Hal ini didasarkan pada pemahaman universal yang harusnya mengakar dalam pemahaman yang sama bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai makhluk ciptaanNya. Sehingga dengan demikian selayaknya dihargai.

Keberadaan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari segala potensi sumber daya alam yang ada di perut bumi adalah sebuah realitas dari kehidupan mereka yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Bagi masyarakat adat (Dayak khususnya), berbagai aspek kehidupan seperti hutan; tanah dan air merupakan tiga komponen sumber hidup dan kehidupan yang sangat vital sebagai penunjang keberlangsungan hidup. Hutan, tanah dan air merupakan ”apotik” dan ”supermarket” bagi masyarakat adat. Ketiganya merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antar satu sama lain.

Atas berbagai dinamika dan sejumlah motif yang dilakukan para spekulan (Pemodal, Penguasa), selayaknya rakyat untuk selalu mawas diri dan berhati-hati dengan didasari sikap kritis. Dengan demikian layak kiranya kita ragukan niat baiknya bila ada para spekulan maupun pihak asing yang merasa ”risih” dengan hutan-tanah-air yang dimiliki masyarakat adat saat ini. Sebuah refleksi berikut kiranya pantas menjadi catatan penting: Salahkah bila kondisi HUTAN yang ada disekitar lingkungan masyarakat adat tetap utuh?; Salahkah bila TANAH yang ada tetap dimiliki oleh rakyat tanpa harus diserahkan pada para spekulan?; Salahkah bila kondisi AIR (sungai dan berbagai sumber air bersih) yang ada tetap bening dengan kesejukan alaminya?

Tentu, ketiga sumber hidup dan kehidupan ini diharapkan tetap menjadi kebanggaan kita bukan? Dan hanya orang serakah yang akan menyangkal dan mengatakan tidak setuju dengan sejumlah pertanyaan refleksi tersebut. Kejadian kriminalisasi yang dialami masyarakat selama ini terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam harusnya mendapat perhatian bersama yang tidak perlu terjadi.

Harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat (hutan-tanah-air) dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan. Masyarakat Adat selayaknya dihargai sebagai bagian dari anak negeri yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Jangan ada perlakuan yang tidak adil bagi rakyat. Upaya untuk menghentikan kriminalisasi terhadap warga negeri ini hendaknya massif dilakukan atas dasar niat yang baik, ketika negara dianggap tidak lagi menjadi pelindung bagi rakyat, ketika negara tidak memberikan perlindungan terhadap kondisi yang lestari. Saatnya, perjuangan memang harus dimulai dengan kesadaran dan keyakinan bahwa rakyat memang harus bersatu. Karena KETIKA RAKYAT BERSATU, TAK BISA DI KALAHKAN. Semoga!

* (Aktifis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat)
sumber foto : by Hendrikus Adam

Thursday, October 7, 2010

ANEKNG ATAU ANDENG? KISAH SEKITAR PENAMAAN KAMPUNG (Kampong Anekng, Kec. Sangah-Tumila, Kab. Landak, Kalimantan Barat) bagian II

Oleh : Anam *
Kembali Ke Anekng.(1997-Sekarang)

Pada saat pemetaan pertama di Kalimantan Barat berlangsung di Sidas Daya pada tahun 1994, penulis adalah salah satu aktivis Pancur Kasih yang tergabung dalam Koperasi Pancur Dangeri di Pontianak. Dari cerita-cerita tentang pemetaan yang beredar di kalangan aktivis, penulis kemudian mengunjungi kantor PPSDAK Pancur Kasih pada tahun 1996. Informasi yang penulis dapat kemudian disampaikan ke rekan-rekan sedesa. Berdasarkan informasi ini kemudian kepala desa Andeng mengirimkan surat permohonan pemetaan ke PPSDAK pada bulan Januari 1997. Dua bulan berikutnya serombongan aktivis PPSDAK datang ke desa untuk melakukan sosialisasi pemetaan. Pada pertemuan sosialisasi warga dan tim PPSDAK memutuskan untuk melakukan pemetaan pada bulan Juni 1997. Pemetaan dilakukan selama beberapa hari. Kelima dusun dalam desa Andeng disurvei satu per satu. PPSDAK menyerahkan peta kepada masyarakat pada akhir 1997.

Dalam proses pemetaan, khususnya dalam kegiatan PRA, masyarakat digugah untuk membedah sejarah, tata ruang, budaya, tempat keramat dan lain-lain. Dari proses inilah kemudian orang Anekng tahu bahwa penyebutan Andeng untuk wilayah komunitasnya merupakan pengaburan sejarah. Begitu pula tentang tatanan sosial yang telah terusik. Dalam kegiatan PRA tersebut terjadi penyadaran pentingnya sebuah identitas. Namun sangat disayangkan dalam pemetaan di Anekng kegiatan ini tidak teragendakan dengan baik. Padahal inilah titik yang menghubungkan antara proses pemetaan dengan kebangkitan masyarakat desa Anekng untuk ‘menggugat sebuah kebijakan’ yang tidak berpihak. Gugatan tersebut memunculkan kesadaran akan kejanggalan, peninaboboan, dan pengebirian hak-hak masyarakat adat yang berlangsung selama ini.

Pemetaan kawasan adat Desa Andeng membuat orang sadar dan terperangah bahwa penggabungan wilayah dan perubahan nama Anekng menjadi Andeng adalah tindakan yang melecehkan kearifan dan sejarah masyarakat di wilayah tersebut. Nama masing-masing kampung pembentuk desa Andeng punya sejarahnya sendiri-sendiri. Dengan demikian identitas dan keberadaan masingmasing kampung perlu dihormati dan dijaga. Jadi bila dalam peta pemerintahan hanya ada nama desa Andeng, bagaimana dengan keberadaan kampungkampung lainnya? Warga desa baru tersadar akan nilai sebuah nama, sejarah, dan hak ulayatnya selama proses pemetaan. Setelah pemetaan warga desa kembali memakai nama Anekng sebagai nama yang benar, bukan Andeng yang lebih merupakan kecelakaan sejarah. Kesadaran ini menimbulkan kebangkitan atas kebanggaan terhadap identitas Dayak dan keinginan untuk merevitalisasi budaya Dayak. Kebangkitan ini mendapat momentum ketika Cornelis, sekarang Gubernur Kalimantan Barat, saat masih menjadi bupati Landak mendorong pemakaian kembali nama-nama asal. Menuju Demokratisasi Pemetaan Selain dampaknya terhadap penguatan adat, peta yang dihasilkan juga berhasil membatalkan maksud Dinas Kehutanan untuk memperluas hutan lindung sampai ke pemukiman desa.

Pembentukan Ketimanggongan Tungkasa
Kesadaran sejarah dan upaya revitalisasi adat ini terus bergulir pasca pemetaan. Dalam sebuah rapat desa pada tahun 1998 yang dihadiri wakil PPSDAK masyarakat desa Anekng memutuskan untuk membentuk ketimanggongan sendiri sebagai wadah revitalisasi adat. Akhirnya warga desa mengadakan pertemuan dengan dampingan aktivis PPSDAK untuk membentuk ketimanggongan baru tersebut. Dalam rapat kemudian sampai pada pembicaraan nama ketimanggongan. Sebagian peserta mengusulkan nama Tungkalakng. Namun karena nama itu dinilai bisa menimbulkan konflik, maka sekretaris desa saat itu mengusulkan untuk memakai nama TungKaSa sebagai jalan tengah dan untuk menjaga persatuan warga desa. Nama ini adalah singkatan dari Tungkalakng, Kalampe dan Sairi yang merupakan nama-nama binua pembentuk desa Anekng. Wilayah ketimanggongan ini persis sama dengan wilayah desa gaya baru ini.

Pada bulan Maret 2008 warga memilih timanggong TungKaSa yang pertama yang dikukuhkan pada bulan November 2008. Figur seorang timanggong terkesan tidak jauh dari pada periode regrouping desa, tetapi mulai nampak ada upaya pencitraan diri yang positif. Gaya pengurusan yang kurang berkenan mulai mengalami perbaikan, seiring dengan keinginan warga Anekng.

Memang harus diakui bahwa beberapa proses di atas belum berhasil mempengaruhi struktur pemerintahan di kampung, tetapi mulai ada. Kedudukan timanggong mulai mendapat porsi dalam berbagai pertemuan tingkat kampung. Segala sengketa dan persoalan adat sedapat mungkin selesai di tingkat Timanggong. Karena itu para timanggong juga mulai membenahi kapasitas perangkatnya, agar semakin tumbuh pengakuan dan kepercayaan masyarakat.

Proses revitalisasi ini tidak hanya terjadi di tingkat desa, namun juga sudah menjadi perjuangan masyarakat adat secara luas. Salah satu isi perjuangan tersebut adalah mengembalikan posisi binua dalam sistem pemerintahan kabupaten Landak. Usulan struktur telah dituangkan dalam bentuk Raperda Sistem Pemerintahan Binua yang telah diserahkan ke pemerintah dan DPRP
Landak. Namun sampai saat ini usulan tersebut belum digubris. Salah satu isi usulan tersebut adalah mengembalikan nama kampung/desa sesuai dengan ejaan dan lafal nama aslinya.

KESIMPULAN
Anekng adalah nama sebuah kampung yang memiliki sejarah yang terkait erat identitas warganya. Nama tersebut terkait dengan sejarah migrasi penduduk dan posisi geografis kampung. Namun masuknya pengaruh pemerintah Indonesia, yang memuncak pada regrouping desa, mengubah kampung secara drastis dan mencerabut warganya dari sejarahnya. Bentuk yang paling mencolok adalah pemberian nama Andeng untuk kampung yang sama dan akhirnya
menjadikannya sebagai nama desa gaya baru. Perubahan nama dan pembentukan desa baru ini seolah merupakan sekumpulan kabut yang menutup delapan kampung lainnya. Struktur sosial dan pelaksanaan adat pun mencari carut marut, bahkan seperti kehilangan makna.

PP di desa Andeng menggugah kembali kesadaran akan sejarah dan identitas kampung. Kegiatan tersebut mendorong warga untuk menimbang ulang semua yang telah terjadi selama proses Regrouping Desa. Dalam kesempatan ini regrouping desa ditempatkan sebagai sebuah kebijakan yang mengacaukan dan menindas tatanan sosial yang ada, sehingga komunitas adat setempat menjadi tamu di tanahnya sendiri. Pemetaan bukan saja mendorong warga untuk memakai nama-nama asli untuk kampung-kampung mereka, tetapi juga bahkan membentuk struktur adat yang independen melalui pembentukan ketimanggongan.

Profil penulis :
(*) ANAM, masyarakat dari Kampong Anekng, Desa Andeng, Kecamatan Sangah-Tumila, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Sehari-hari bekerja sebagai petani. Pada tahun 1997, ketika masyarakat kampong Anekng melakukan pemetaan, dia banyak memotivasi masyarakat yang lainnya untuk terlibat dalam kegiatan ini. Dalam hal tulis menulis, ini merupakan pengalaman pertama bagi dia.

Wednesday, October 6, 2010

ANEKNG ATAU ANDENG? KISAH SEKITAR PENAMAAN KAMPUNG (Kampong Anekng, Kec. Sangah-Tumila, Kab. Landak, Kalimantan Barat)

Oleh : Anam *
PENGANTAR

Tulisan ini memaparkan bagaimana sebuah kebijakan pemerintah membuat masyarakat adat tercerabut dari asal-ususlnya dan bagaimana proses pemetaan menjadi sebuah kegiatan yang “menyadarkan” begitu pentingnya sebuah sejarah. Pada tahun 1980an Gubernur Kalimantan Barat memutuskan untuk melakukan proses penataan ulang batas-batas administrasi desa (Regrouping Desa) yang membuat perubahan sangat mendasar dalam tatanan sosial politik masyarakat Dayak.. Kebijakan ini adalah turunan dari upaya penyeragaman desa gaya Jawa yang dilakukan rejim Orde Baru melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Desa-desa di seluruh Indonesia mengalami yang serupa akibat kebijakan ini. Kegiatan pemetaaan partisipatif menimbulkan kesadaran baru untuk menimbang ulang atas semua yang telah terjadi akibat upaya penyeragaman tersebut.

Dari berbagai dampak yang ada tulisan ini akan menjabarkan dampak politik penyeragaman tersebut terhadap kehidupan orang Dayak. Dalam kesempatan ini regrouping desa ditempatkan sebagai sebuah kebijakan yang mengacaukan dan sebuah penundukan atas tatanan sosial yang membuat komunitas adat setempat seperti “tamu” di tanah sendiri, sehingga mengusik berbagai sendi sosial masyarakat adat. Untuk itu penulis ingin memaparkan bagaimana perubahan nama kampung akibat kebijakan regrouping desa, dengan mengambil contoh kasus kampung Anekng, sebuah desa yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Sangah Tumila kabupaten Landak (yang sebelumnya adalah bagian dari kabupaten Pontianak provinsi Kalimantan Barat). Dalam hal ini penulis ingin menekankan nama desa yang berubah-ubah selama 40 tahun terakhir dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan tersebut dari masa ke masa. Untuk itu tulisan ini memakai tiga periode: masa sebelum regrouping desa, masa sesudah regrouping desa, dan masa sesudah pemetaan partisipatif.

ANEKNG DALAM PERSEKTIF SEJARAH
Anekng adalah nama sebuah kawasan hunian adat (kampokng atau kampung dalam bahasa Indonesia) yang berbatasan dengan binua Tungkalakng di utara, binua /wilayah ketemenggungan Ayo di selatan, binua Sapari’di di timur, dan binua Samaroa’ di barat. Dinilai dari sisi fonetik dan geografi nama Anekng mempunyai makna tersendiri. Kampung tersebut terletak tepat di punggung bukit (tajur). Karenanya warga komunitas ini harus berteriak untuk berbicara dengan orang-orang yang tinggal di kaki bukit tersebut. Bila tidak terdengar, maka orang yang diajak bicara akan berteriak “lanekng-lanekng”(lantang). Akhirnya kata lanekng berubah menjadi Anekng sebagai nama tempat (Kampung). Posisi yang di punggung bukit tidak lepas dari sejarah kampung yang pernah mengalami bencana banjir, sehingga mereka membangun pemukiman di tempat yang tinggi untuk menghindari banjir.

Orang Anekng sebetulnya berasal dari dua binua. Kelompok pertama adalah penduduk Binua Sapari yang kemudian bermukim di suatu tempat yang sekarang disebut timawakng Palu’ (sekarang tempat ini telah berubah menjadi areal persawahan). Kampung ini berada di dataran rendah nan datar dekat sungai Tungkalakng. Suatu ketika sebuah banjir besar menghancurkan rumah panjang (radakng betang) dan dango (lumbung padi) serta menghanyutkan segala macam ternak. Akibat peristiwa tersebut komunitas ini pindah ke tempat yang agak tinggi yang kemudian disebut Timawakng Punti (tempat ini pun telah berubah menjadi areal persawahan). Karena ada suatu wabah penyakit, komunitas Timawakng Punti akhirnya pindah lagi ke Kampung Anekng sekarang.

Kelompok kedua berasal dari binua Sangah. Mereka mengembara dan kemudian berladang dan menetap di Timawakng Pade’ untuk beberapa saat. Kemudian
kelompok ini melanjutkan lagi perjalanannya ke pemukiman Sinompok. Di pemukiman ini ada ketidakjelasan tentang perpindahan penduduk selanjutnya. Diduga sebagian pindah ke hilir menuju kampung Anekng, sedangkan sebagian lainnya memilih pindah ke arah hulu dan membuka kampung baru yang disebut Barangan. Hingga sekarang tempat ini masih dihuni oleh satu keluarga. Dalam perkembangan sekarang timawakng Sinompok telah berubah menjadi bawas.

Sebelum tahun 1945 kampung Anekng merupakan bagian dari binua Kalampe yang ditinggalkan karena sebuah peristiwa pada jaman Belanda. Warga kampungtersebut kemudian berpindah ke arah barat dan bermukim di tempat yang kemudian dinamai kampung (sekarang dusun) Tonakng.

Anekng Menuju Desa Gaya Lama (Sebelum 1987)
Seperti juga kampung Dayak lainnya, kampung Anekng berada di dekat aliran sungai, yaitu sungai Tungkalakng, dan semua warganya tinggal dalam sebuah rumah panjang. Bangunan ini bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga pusat kegiatan sosial dan budaya di kampung. Di rumah panjang tiap keluarga tinggal di sebuah bilik yang memiliki ruang tidur dan dapur. Di bagian depan bilik-bilik ini terdapat ruangan terbuka yang memanjang yang menjadi ruang publik bagi
seluruh penghuni rumah panjang. Di ruang yang memanjang inilah warga berkumpul untuk bercengkerama, orang tua mendongeng, kegiatan kesenian berlangsung, dan upacara-upacara adat dilakukan. Seperti kampung-kampung Dayak lainnya, di rumah panjanglah kebudayaan orang Anekng dipelihara dan diturunkan.

Pada masa ini tatanan adat kampung Anekng masih di bawah kendali Timanggong untuk tingkat binua, pasirah untuk tingkat kampung dan pamanae di tingkat kelompok pemukiman penduduk yang jumlahnya ditentukan berdasarkan kesepakatan komunitas yang bersangkutan. Timanggong merupakan figur pengurus adat tertinggi yang independen dan berwibawa. Ia adalah soko teladan dalam kehidupan sosial, memiliki pengetahuan adat yang luas,dihargai pendapat dan kedudukannya, serta menjadi penjaga segala norma. Kampung mengurus semua urusan sendiri mencakup apa yang sekarang dikenal sebagai aspek-aspek eksekutif, legislatif dan yudikatif sekaligus. Penyelenggara adat saat itu sangat otonom dan bebas dari pengaruh kekuasaan dan kepentingan. Pemilihan seseorang sebagai perangkat adat ditentukan berdasarkan profesionalismenya, tanpa harus ada pendidikan formal.

Pengurus adat pada masa ini memiliki posisi yang sangat kuat. Semua orang patuh kepada tetua adat dan para pemimpin yang kharismanya sangat besar. Kata-kata seorang Timanggong sangat menentukan dan praktis tidak ada perlawanan, bagaikan titah seorang raja. Namun keputusan tersebut tidak diambil sendiri, secara semena-mena. Seorang Timanggong adalah seorang organisator kebijakan yang memusyawarahkan dulu masalah yang dihadapi bersama para gapit Timanggong dan perangkat adat lainnya untuk mendapatkan kata mufakat. Jarang sekali muncul perselisihan tentang putusan adat karena memang pengambilan keputusan dilakukan secara demokratis dan bijaksana. Orang yang bertikai, misalnya, dibuat sedapat mungkin untuk menyadari dasardasar pengambilan keputusan sehingga paham akan kekeliruan kedua belah fihak, bukan keputusan sefihak yang semata-mata mengandalkan kekuasaan yang menyebabkan orang terpaksa dan diperlakukan tidak adil. Rasa banggadan kuatnya posisi pengurus adat menyebabkan warga kampung bangga pula melafalkan nama kampungnya sebagaimana mestinya, Anekng. Namun rasa bangga tersebut mulai berubah pada tahun 1960an.

Pada dekade 1960an pengaruh pemerintah Indonesia mulai terasa dalam kehidupan kampung. Pemerintah mendorong warga kampung Anekng untuk membongkar rumah panjang, sehingga masing-masing keluarga membangun rumah tinggal pribadi. Pembongkaran ini berdampak pada berkurangnya ikatan sosial di antara para warga.

Pada masa ini terjadi pemisahan pengurusan kampung antara kekuasaan adat dan otoritas pemerintahan. Pemimpin kampung, yang sebelumnya disebut tuha kampung, mendapat gelar jabatan baru yaitu kepala kampung yang dibantu oleh seorang kabayan (setaraf dengan sekretaris desa) dan sejumlah pengurus lainnya. Mereka bertugas mengurus administrasi pemerintahan. Sementara struktur pemerintahan adat juga tetap dipertahankan pada masa itu yang terdiri dari Timanggong, pasirah, dan pamane. Kampung Anekng pada saat itu menjadi bagian dari ketimanggongan Sanyiupm.

Awalnya pengurus kampung dan pengurus adat bisa saling melengkapi, duduk bersanding bagai kedua mempelai. Mereka memiliki pembagian wewenang yang jelas. Tetapi lama kelamaan kedua struktur tersebut saling bersaing bagai dua kubu yang berseteru yang menimbulkan dualisme kepemimpinan desa. Mereka saling bersaing dalam hal kepentingan, legalitas, kekuasaan , dan lain-lain. Perebutan pengaruh itu terjadi karena minat yang kuat untuk dekat dengan pusat kekuasaan dan sumber uang. Apalagi proyek dan subsidi pemerintah mulai masuk. Bahkan subsidi menjadi daya tarik untuk menjadi kepala kampung. Pembagian wewenang yang sebelumnya jelas menjadi kacau. Salah satu dampaknya adalah seorang Kepala Kampung bisa mengurus sengketa adat. Hal ini dianggap wajar bahkan bisa dianggap sebagai sebuah prestasi yang super, biarpun putusannya kurang bahkan tidak memenuhi rambu-rambu hukum adat. Kemerosotan sistem sosial ini berdampak sangat serius terhadap jati diri orang Anekng.

Bersamaan dengan adanya perhatian pemerintah itulah nama Andeng mulai dikenal. Perubahan lafal tersebut kemungkinan karena pengaruh bahasa Melayu yang kesulitan melafalkan kata Anekng. Namun perhatian pemerintah secara perlahan justru mengubah pandangan warga Anekng tentang kampung mereka. Salah satunya adalah pendapat warga yang melihat perubahan nama kampung sebagai bentuk kemajuan. Makin lama nama Anekng berkonotasi kampungan, kolot, udik dan tidak mengikuti perkembangan. Akhirnya warga kampung malu
menyebut nama Anekng.

Setelah UU Pemerintahan Desa berlaku pada tahun 1979 semua kampung di Kalimantan Barat kemudian diubah statusnya menjadi desa, yang sekarang dikenal sebagai desa gaya lama. Struktur organisasi kampung pun berubah harus mengikuti undang-undang, sehinggal kepala kampung pun berubah nama jabatan menjadi kepala desa. Perubahan ini membuat goncangan baru terhadap kehidupan warga Anekng dan masyarakat Dayak lainnya di provinsi tersebut.

Andeng Sebagai Desa Gaya Baru (1987-1997)
UU Pemerintahan Desa memandatkan bahwa pembentukan desa harus memperhatikan “syarat-syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat lain” (pasal 2 ayat 1). Menteri Dalam Negeri kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 4 tahun 1981 tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa sebagai peraturan pelaksanaan yang dimandatkan UU. Untuk menjalankan peraturan tersebut di tingkat provinsi pada tanggal 9 September 1987 Gubernur Kalimantan Barat mengeluarkan surat keputusan No. 353/1987 tentang Penyatuan Desa dalam Rangka Penataan Kembali Desa di Kalimantan Barat. Surat keputusan inilah yang menjadi dasar program penataan desa secara besar-besaran di provinsi tersebut yang membentuk desa gaya baru. Program ini kemudian dikenal dengan istilah Regrouping Desa.

Untuk menjadi suatu desa gaya baru, desa yang ditata ulang harus memenuhi syarat: luas wilayah, jumlah penduduk mininal, memiliki akses pelayanan publik, dan lain-lain. Di antara berbagai syarat tersebut, persyaratan jumlah penduduk minimal yang menjadi persoalan besar. Sebuah desa harus memiliki penduduk minimal 500 KK atau 2500 jiwa. Sementara desa-desa di Kalimantan Barat umumnya memiliki wilayah yang luas namun penduduknya sedikit. Akibatnya
beberapa desa yang berdekatan harus digabungkan untuk memenuhi syarat jumlah penduduk tersebut. Hal inilah yang terjadi dengan kampung Anekng.

Kampung Anekng yang telah berubah nama menjadi desa Andeng pun mengalami regrouping. Namun proses pembentukan desa gaya baru ini sama sekali tidak melibatkan masyarakat dan tidak memperhatikan sejarah masyarakat, sehingga binua-binua yang ada dicampur aduk tak karuan. Inilah yang terjadi dengan desa Andeng. Desa gaya baru ini merupakan gabungan dari 9 kampung yang berasal dari tiga binua, yaitu:
1) Kampung Anekng yang merupakan sebuah kampung dari binua Kalampa
2) Seluruh wilayah binua Tangkalakng yang terdiri dari kampung Tampi, Bide, Pakatatn, Tampalaas, dan Talo’ Manuk
3) Seluruh wilayah binua Sairi yang terdiri dari Bajamu Sairi, Pinyaho’, dan Kamayo

Karena posisi kampung Anekng yang strategis, yaitu berada di persimpanganjalan, maka kampung tersebut ditetapkan sebagai pusat desa. Sehingga nama desa pun dipilih Andeng. Sementara kampung-kampung lain menjadi dusundusun dalam wilayah desa gaya baru ini. Namun dari sembilan kampung tersebut hanya dibentuk lima dusun sebagai berikut:
1. Kampung Anekng menjadi dusun Andeng
2. Kampung Bajamu Sairi, Kamayo dan Pinyaho digabung menjadi dusun Bajamu Sairi
3. Kampung Tampi dan Bide menjadi dusun Tampi Bide
4. Kampung Pakatatn menjadi dusun Pakatatn
5. Kampung Tampalaas dan Talo’ Manok menjadi dusun Tampalaas

Struktur pengurusan desa pun berubah. Seperti juga desa gaya lama, pemerintahan desa dipimpin oleh kepala desa. Namun sekarang di bawahnya terdapat kepala-kepala dusun yang memimpin dusun-dusun. Selanjutnya dusun dibagi lagi menjadi rukun tetangga (RT) yang dipimpin oleh ketua rukun tetangga. Struktur yang baru ini hanya mengurus administrasi pemerintahan desa, tidak lagi mengurus adat. Karenanya dibentuk pengurus adat di desa. Di tingkat desa pengurus ini disebut pasirah, sedangkan di tingkat dusun disebut pamane. Pada awal 1990an pemerintah membentuk binua-binua baru. Masing-masing binua terdiri dari beberapa desa dengan pimpinan seorang Timanggong yang ditunjuk pemerintah daerah. Desa Andeng sendiri menjadi bagian dari binua Temila Ulu I. Pengurus-pengurus adat ini kemudian dihimpun pemerintah dalam suatu Dewan Adat Kecamatan. Akibatnya, banyak orang yang tidak paham adat tetapi berambisi menjadi pengurus adat.

Perebutan pengaruh yang sudah lama terjadi ini diperparah lagi dengan makin merosotnya kebanggaan orang Dayak akan jati dirinya. Yang paling mencolok adalah keengganan orang Dayak memakai nama, atribut dan barang yang telah dimilik turun temurun, karena Dayak pada masa itu diidentikkan dengan orang primitif, kolot, kotor dan sebagainya. Orang-orang Dayak kemudian cenderung menamai anak-anaknya dengan nama-nama Jawa, Kristen, Melayu atau Cina. Belum lagi negara tidak mengakui pelaksanaan hukum adat Dayak yang tidak tertulis. Negara tidak mengakui pernikahan adat karena tidak adanya surat nikah. Begitu pun dengan klaim atas tanah tidak diakui karena tidak adanya surat bukti. Dalam kasus warga Anekng mereka tidak mendapatkan pelayanan administrasi pemerintahan bila tetap memakai nama asli kampungnya. Semua hal tersebut membuat warga tidak menginginkan nama Anekng sebagai nama desa dan lebih suka memakai nama Andeng seperti yang diberikan oleh pemerintah. Namun perubahan drastis terjadi setelah PP di desa Andeng.

Bersambung...

Profil penulis :
(*) ANAM, masyarakat dari Kampong Anekng, Desa Andeng, Kecamatan Sangah-Tumila, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Sehari-hari bekerja sebagai petani. Pada tahun 1997, ketika masyarakat kampong Anekng melakukan pemetaan, dia banyak memotivasi masyarakat yang lainnya untuk terlibat dalam kegiatan ini. Dalam hal tulis menulis, ini merupakan pengalaman pertama bagi dia.

sumber : http://www.jkpp.org/
 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube