BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Sunday, January 31, 2010

SEJARAH DAYAK LUNDAYEH

A. Legenda Dayak Lundayeh
Sampai saat ini belum ada penelitian yang mendalam tentang asal-usul dayak Lundayeh yang dapat dijadikan referensi yang akurat. Namun menurut legenda bahwa nenek moyang dayak Lundayeh berasal dari daratan Cina yang berimigrasi ke bumi Borneo berabad-abad yang lalu. Hal ini dapat dibuktikan dengan benda peninggalan budaya yang ada dalam masyarakat Dayak Lundayeh, seperti tabu’ (guci), rubi (tempayan), patung proslen, bau (manik) dari Cina dan felepet (pedang sejenis samurai).
Nenek moyang dayak Lundayeh masuk melalui sungai Sesayap. Budaya mereka adalah nomaden atau hidup berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah yang lain dengan cara mudik ke hulu sungai. Alasan budaya berpindah-pindah tempat tinggal ini, adalah: pertama karena menghindari dari kejaran musuh; dan kedua untuk mencari lahan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ada beberapa tempat yang diperkirakan pernah menjadi daerah hunian nenek moyang dayak Lundayeh, yaitu di daerah Seputuk dan Kebiran. Di dua derah ini ditemukan kuburan tua dan batang ulin bekas dipotong-potong manusia lama. Oleh karenanya ada yang menyebut bahwa orang Mentarang adalah suku Putuk.
Sumpah tulang badi’ adalah salah satu legenda masyarakat yang menceritakan bahwa jaman dahulu ada dua bersaudara laki-laki dan perempuan yang hidup di Malinau. Demi keamanan dari kejaran musuh, si kakak meminta adik perempuannya mudik ke hulu sungai dan si kakak tetap tinggal di Malinau. Sang kakak bersumpah demi tulang badi’ (seperti sumpah Palapa dari Mahapati Gajah Mada) : “Bahwa tidak akan ada yang boleh masuk ke hulu sungai ini untuk mengganggu hidup adik perempuanku dan sungai Sembuak inilah batasnya”.
Sejak saat itu sang adik perempuan mudik ke hulu sungai dan beranak-pinak di sana. Sedangkan si kakak laki-laki tetap hidup dan beranak-pinak di Malinau. Sesuai dengan sumpahnya, sang kakak menjaga jangan sampai ada yang masuk ke hulu sungai untuk mengganggu adiknya. Sampai-sampai arus balik air-pasang sederas apapun dipercaya akan berhenti di muara sungai Sembuak.
Legenda sumpah tulang badi’ inilah yang dipercaya menjadi cikal-bakal manusia dari suku Tidung di Malinau dari sang kakak laki-laki, dan suku Putuk atau Lundayeh dari sang adik perempuan di hulu sungai.

B. Masuknya Agama Kristen
Sebelum agama Kristen masuk ke daerah Mentarang dan Krayan, masyarakat dayak Lundayeh adalah pemeluk animisme. Mereka percaya pada kekuatan-kekuatan alam-gaib, seperti penyembahan terhadap roh-roh nenek moyang serta benda-benda keramat lainnya.
Untuk mempertahankan diri atau mencari daerah yang menjadi lahan kehidupan, masyarakat tidak segan-segan untuk febunu’ (berperang) dengan komunitas yang lain. Jika seorang pria yang ingin dianggap perkasa, maka ia akan pergi ke daerah musuh untuk mengayau (memotong kepala).
Pada tahun 1932 seorang misionaris CMA (Christian Missionary Aliance) berkebangsaan Amerika bernama Rev. E.W. Presswood bersama isterinya Fiolla Presswood masuk ke wilayah masyarakat dayak Lundayeh di Mentarang dan Krayan menyebar agama Kristen. Pada awalnya masyarakat di Mentarang kurang menanggapi ajaran agama kristen, dan sulit untuk membuang kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar turun-temurun. Namun dengan dengan tekun dan kesabaran yang tinggi, Presswood terus menyampaikan kabar penyelamatan manusia dari dosa dan mengadakan kebaktian-kebaktian rutin di dalam rumah-rumah penduduk di Mentarang sampai ke daerah Krayan.
Pada tahun 1938 Ny. Fiola Presswod meninggal dunia di Long Berang. Oleh lembaga misi CMA, Presswood diberikan waktu cuti pulang ke USA untuk beristirahat dan menenangkan diri. Sebagai ganti Presswood pada tahun 1939 dikirim, yaitu Rev. John Willfinger untuk melanjutkan misi Kristen di daerah Mentarang dan Krayan.
Pada saat pecah Perang Dunia II, tentara Jepang yang bermarkas di Tarakan datang ke Long Berang untuk menangkap John Willfinger karena dianggap sebagai bagian dari sekutu. Masyarakat Lundayeh pada waktu itu berusaha untuk menyembunyikan John Willfinger di desa-desa sekitar Long Berang, namun John Willfinger tidak ingin masyarakat dayak Lundayeh dilibatkan dan menjadi sasaran pembunuhan tentara Jepang.
Pada tahun 1942 John Willfinger menjadi tawanan Jepang dan dibawa ke Tarakan. Tepat pada hari Natal, yaitu tanggal 25 Desember 1942 di mana orang-orang Kristen seluruh dunia menyambut hari kelahiran Yesus Kristus, seorang hamba Tuhan yang bekerja dalam misi penyelamatan manusia dari dosa, yaitu John Willfinger tewas sebagai martir ditembak oleh tentara Jepang di Tarakan.
Setelah Perang Dunia II usai dan Indonesia telah menjadi negara yang merdeka, pada tahun 1946 Rev. E.W. Preswood kembali datang ke Long Berang dari USA bersama isteri keduanya yaitu Ny. Ruth Presswood untuk melanjutkan misi pelayanan agama Kristen.
Theologi Kristen yang diajarkan oleh E.W Presswood inilah yang menjadi cikal-bakal berkembangnya ajaran agama kristen dengan pesatnya di daerah komunitas dayak Lundayeh, seperti Mentarang, Krayan dan Malinau.
Sumber Data (Lisan):
1. Pdt. Dr. Matias Abay, M.Div
2. Pdt. Buing Udan

C. Sejarah Melawan Jepang
Pada bulan Maret 1945 ada beberapa pesawat sekutu dari skuadron tempur Australia yang menyerang pangkalan-pangkalan Jepang di daerah kota Merudi Malaysia. Salah satu pesawat tempur sekutu sayap kirinya kena tembak meriam anti pesawat Jepang. Dengan sayap kiri terbakar pilot pesawat tempur keluar dari area pertempuran dan menuju ke timur. Pesawat tersebut tidak dapat kembali ke pangkalannya sehingga mendarat darurat di desa Long Kesurun.
Awak pesawat tempur skuadron sekutu tersebut berjumlah 4 (empat) orang dan satu orang yaitu mekaniknya mati terbakar di pesawat, sedangkan yang hidup dalam pendaratan darurat tersebut adalah :
1. Philip Kearing (Komandan Pilot)
2. Daniel (Co Pilot)
3. John Terry (Juru Tembak).
Asisten Wedana di Mentarang yang berkedudukan di Long Berang pada saat itu adalah Makahanap meminta kepada Kepala Adat Besar Mentarang Padan Pangeran untuk memobilisasi masyarakat membantu mengamankan tentara sekutu tersebut.
Pada saat itu Jepang masih menguasai Asia, salah satu pangkalan kekuatan bersenjatanya berada di Tarakan. Mengetahui ada tentara sekutu yang bersembunyi di Mentarang, tentara Jepang dengan komandan bernama Taico mudik dari Malinau menuju Long Berang untuk menangkap tentara sekutu. Pada saat tentara Jepang sampai di Mentarang, ketiga tentara sekutu ini diamankan oleh masyarakat adat dayak Lundayeh di Long Metuil.
Masyarakat adat dayak Lundayeh tidak senang akan kedatangan tentara Jepang ke daerahnya, sehingga terjadilah beberapa babak pertempuran yang sengit dan heroik menyebabkan puluhan tentara Jepang tewas. Karena medan tempur yang sulit di tengah hutan-belantara dan sungai-sungai yang berjeram, serta teknik perang gerilya suku dayak Lundayeh dengan senjata sumpit yang banyak merugikan tentara Jepanag, maka awal tahun 1946 Jepang memutuskan untuk mundur dan menarik pasukannya dari daerah Mentarang untuk kembali ke Tarakan.

Sumber Data :
1. EZ Giso, 2006 (Tertulis).
2. Litun Pangeran (Lisan).

Irau Rayeh di Desa Berambai

• Prof Dwi: Seluruh Etnis agar Pelihara Seni Budaya
SAMARINDA- Persekutuan Dayak Lundayeh Kaltim (PDLKT) mengadakan upacara Irau Rayeh (pesta besar) sebagai tanda syukur dan terimakasih kepada sang Pencipta karena situasi daerah dalam keadaan aman dan damai.

"Pagelaran budaya Irau Rayeh Dayak Lundayeh mengandung makna yang sangat penting dalam upaya melestarikan seni dan budaya warisan bangsa, khususnya seni budaya Dayak Lundayeh yang merupakan salah satu etnis Dayak yang berasal dari wilayah utara Kaltim," kata Gubernur Kaltim H Awang Faroek Ishak dalam sambutan tertulis yang disampaikan Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan dan SDM, Prof Dwi Nugroho Hidayanto pada Upacara Adat Irau Rayeh di Desa Berambai, Samarinda, Sabtu (5/12).

Seni budaya masyarakat Kaltim terlihat dari upacara adat, gerak tari maupun berbagai ungkapan seni budaya lainnya yang terus berkembang dengan baik. Agar tidak hilang serta terpengaruh budaya asing, seni budaya Dayak Lundayeh ini harus terus dipelihara dan dilestarikan dengan baik sehingga menjadi warisan yang sangat berharga bagi generasi mendatang.

"Pemerintah mengharapkan seluruh etnis atau suku bangsa di Kaltim terus memelihara dan menghidupkan seni budayanya sendiri yang dapat diwujudkan seperti halnya kegiatan seni budaya suku dan adat istiadal lain," ujarnya.

Sementara itu Ketua Umum PDLKT, Yansen TP mengatakan kegiatan seni budaya yang dikemas dengan upacara Irau Rayeh ini untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Pencipta serta dijadikan wadah untuk berkumpul kembali dengan sanak saudara yang terpisah didaerah-daerah lainnya. Selain itu juga untuk menghindarkan daerah ini dari bahaya dan bencana dengan ritual-ritual adat dan keagamaan.

"Kegiatan ini merupakan bagian dari rasa syukur masyarakat Lundayeh atas limpahan hasil pertanian dan sekaligus sebagai upacara untuk menghindarkan dari bala bencana," katanya.

Upacara Irau untuk kedua kalinya ini dilaksanakan cukup besar, karena selain dihadiri seluruh masyarakat Dayak Lundayeh se-Kaltim yang tersebar di kabupaten dan kota juga di hadiri Presiden Persatuan Kebudayaan Lundayeh Sabah Malaysia, Enci Pengiran Lalong dan Timbalan (Wakil Presiden) Enci Rymond Isak Uta.

Irau Rayeh dilaksanakan di Samarinda karena masyarakat suku ini memang dianggap cukup terasing dan hidup di pedalaman Kaltim wilayah utara antara Sabah dan Serawak, Malaysia sehingga dipilihnya Kota Samarinda sebagai lokasi upacara karena ada sekitar tujuh ribuan jiwa lebih warga suku Lundayeh tinggal di Ibukota Kaltim itu.

"Kegiatan Irau, selain sebagai perayaan seni budaya dan adat lokal, diharapkan ke depan menjadi salah satu agenda tetap untuk kegiatan kepariwisataan Kaltim yang mendukung peningkatan kunjungan tahun wisata Kaltim dan Berambai dipilih sebagai lokasi pusat acara yang kita nilai memiliki potensi guna mendukung kegiatan upacara," ujarnya.(yans/hmsprov).

Teks foto; Prof Dwi Nugroho Hidayanto (ketiga dari kanan) mengikuti prosesi adat Dayak Lundayeh. (masdiansyah)

Saturday, January 30, 2010

PELAKSANAAN ACARA LALUHAN

Oleh : Manli Dijat Apil, SH
Lihat Profil Penulis

KEGIATAN LALUHAN
Ada berapa jenis Laluhan yaitu:

1. Laluhan ada pada upacara Tiwah.

Laluhan ritual yang biasanya dilaksanakan pada saat upacara tiwah yaitu upacara kegiatan pengambilan tulang belulang seseorang yang sudah meninggal dunia

diambil dari lewu liau atau liang lahat dimasuk kembali kelewu tatau yang disebut sandung tempat tulang belulang yang berkaitan dengan kematian yang beragama Kaharingan / Agama Helu.

Laluhan berasal dari kata Laluh yang artinya pemberian ini diantar dengan menggunakan rakit atau angkutan air lainnya. Pemberian dimaksud merupakan ungkapan rasa kebersamaan atau gotong royong untuk mengurangi beban keluarga yang menyelenggarakan upacara tiwah dan dibayar pada saat pemberian menyelenggarakan Ritual Tiwah tersebut.

2. Laluhan pada upacara penyambutan kemenangan, pada waktu pulang dalam kemenangan berperang melawan musuh.

3. Laluhan sebagai tradisi suku Dayak menyambut kemenangan melawan beribu-ribu malam penyakit yang menimpa masyarakat kampung dan kota.

Pelaksanaan seni budaya dan suatu tradisi Dayak merupakan aset budaya daerah, dengan ditonton oleh seluruh masyarakat biasa menggunakan Kapal pery dan kelotok, kapal tersebut dihiasi berbagai macam tanaman yang sangat bermanfaat bagi masyarakat, hal ini menandakan kesejahtraan bagi masyarakat disektor Pertanian, perkebunan, dll.

Seperti yang diadakan di Kabupaten Kapuas setiap tahun yang baru-baru ini dilaksanakan tanggal 4 mei 2004. Merupakan suatu tradisi budaya Dayak Kapuas khususnya, dan sebagai Donatur Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas karena pengembangan budaya laluhan pada tiap tahun dilaksanakan, maka bisa kita artikan termasuk dalam seni dan budaya Dayak khususnya, ini sangat perlu sekali dikembangkan demi untuk peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dalam sektor Pariwisata didalam maupuan diluar Negeri dan patut untuk dilestarikan sepanjang massa.
Pada acara kegiatan Laluhan tampak Mantan Bupati Kapuas ( Ir. H. BURHANUDIN ALI ) memeriahkan suatu tradisi Dayak / Budaya Laluhan, dengan memegang batang suli yang khusus dipergunakan untuk kegiatan laluhan dan disinilah kedua belah pihak saling melempar dengan tombak suli , sebagian ada di kapal peri dan sebagian di pelabuhan Rujab.
Mereka yang ada didalam kapal peri adalah ; Bapak-Bapak Pejabat tamu, yang diundang oleh Bupati Kapuas terdiri dari, Bupati Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat dan Bupati Kabupaten Pemekaran. Dan yang berada di pelabuhan Rujab ialah Bapak Bupati Kapuas beserta unsur-unsur Muspida dan masyarakat Dayak Kapuas, untuk diketahui bahwa kapal peri tersebut dihiasi dengan bermacam-macam buah-buahan, pohon kelapa, pisang dan lain-lain, hal ini menandakan kesejahteraan masyarakat Dayak Kapuas, khususnya di bidang hasil Perkebunan dan Pertanian.
Acara Kegiatan Laluhan

Tata Cara pelaksanaan kegiatan Laluhan oleh Para Sesupuh Dayak/Tokoh Masyarakat Dayak Kapuas yang merupakan suatu tradisi Budaya harus dilaksanakan oleh Masyarakat Dayak Kapuas khususnya, oleh Sesupuh Dayak dengan menggunakan sebatang Dohuk/ Tumbak , kapal peri tersebut di dorong ke arah laut beserta mengucapkan ; dengan berbahasa Kapuas,”Tuh gianku ikau mikeh tege je leket manarantang hung kapal peri je mimbit Bapak-Bapak Tamu Pejabat Daerah beken , kare rutas Dahiang baya Sampar Saribu Sasabutan Bitie”, yang artinya ; ku dorung kapal peri ini yang membawa Bapak tamu daerah Kota lain kearah laut, jika ada sial segala macam beribu-ribu macam penyakit yang menyertai Bapak-Bapak Tamu Pejabat tadi akan ditenggelamkan didalam laut. Hal ini merupakan suatu keyakinan Masyarakat Dayak.

Pelaksanaan kegiatan di mulai kapal Peri tersebut, dengan 3x putaran di sungai dan yang ke 3x-nya baru bisa melemparkan tombak kayu suli, yang masing-masing sudah di sediakan. Pada putaran ke 4x kapal peri tersebut bisa berlabuh di pelabuhan Rujab dan makna dari lempar-lemparan tombak kayu suli yang diartikan dari bahasa Kapuas tersebut diatas adalah,”memerangi segala rintangan dan beribu-ribu macam penyakit hawa nafsu dari manusia, akan di buang ke laut dan tidak akan mengganggu lagi, khususnya dari Kota Kabupaten Kapuas, bisa di kalahkan oleh masyarakat Dayak dengan melalui cara laluhan.

Dengan hakikatnya para tamu/Bapak Pejabat tadi membawa segala rejeki, keberuntungan bagi masyarakat Dayak khususnya Kota Kabupaten Kapuas umumnya.

Original source : www.utusdayakngajuberbagi.blogspot.com

Wednesday, January 27, 2010

DARA JUANTI

Dara Juanti adalah seorang gadis Dayak yang cantik dijamannya. Kecantikannya membuat orang menjulukinya Dewi. Saudara laki-lakinya bernama Demong Nutup atau Jubair II. Jubair II merantau ke pulau Jawa. Kepergiannya inilah yang menyebabkan kerajaan Sintang di pimpin oleh Dara Juanti, seorang wanita. Setelah lama kepergian sang kakak membuat Dara Juanti rindu ingin bertemu. Apa lagi selama merantau di Jawa Demong Nutup tidak pernah memberi berita kepada adiknya Dara Juanti. Dara Juanti pun berencana berlayar kepulau Jawa untuk menjenguk Saudaranya tersebut. Ia mengadakan perundingan dengan pasukannya tentang rencananya tersebut, dalam perundingan tersebut pasukan dipimpin langsung oleh Dara Juanti, dan Ia harus menyamar seperti seorang lelaki.

Entah bagaimana, berita keberangkatan Dara Juanti ke pulau Jawa terdengar oleh Damong Nutup. Tertawannya Damong Nutup (Jubair II) disinyalir oleh Dara Juanti. Konon setiap kapal pendatang, berlabuh di daerah Mojopahit, pasti menjadi makanan empuk Kerajaan Mojopahit. Setiap pendatang selalu menjadi tawanan Mojopahit. Mojopahit mempunyai cara licik, memasukan setiap pendatang kedalam perangkap tawanan. Ia selalu memerintahkan petugas khusus, meletakan kura-kura buatan dari emas. Seekor diletakan diburitan kapal dan seekor dihaluan. Kura-kura ini biasanya diletakan pada malam hari waktu orang-orang lagi tidur. Waktu pagi hari petugas Mojopahit pun melakukan pengeledahan kapal pendatang. Apabila ditemukan kura-kura dalam kapal pendatang, maka pendatang tersebut dituduh mencuri kura-kura kepunyaan raja Mojopahit. Bunyi canang/gong bertalu-talu memberi isyarat menangkap anak buah dan seluruh penumpang kapal pendatang.

Berita ini di olah matang-matang oleh Dara Juanti. Akhirnya ditemukan suatu kesimpulan apabila memasuk wilayah kekuasaan Mojopahit, Dara Juanti memerintahkan seluruh anak buahnya : “KALAU TELAH MALAM, SELURUH PENUMPANG HARUS BERJAGA-JAGA. BERPURA-PURA TIDUR. BILAMANA PETUGAS MOJOPAHIT MELETAKAN KURA-KURA EMASNYA, SEGERA BANGUN DAN MELEBUR KURA-KURA ITU”. Benar apa yang terjadi ketika memasuki pelabuhan Mojopahit petugas khusus meletakan kura-kura raja di dalam Kapal Dara Juanti. Pasukan Dara Juanti pun segera mengerjakan perintahnya. Kura-kura emas itu telah dilebur menjadi emas, alu emas, lesung emas, niru dan tikar emas. Keesokan paginya canang raja Mojopahit berbunyi, petugas mencari kura-kura emas. Mereka dating menuju kapal Dara Juanti. Mereka turun dengan berani dan menuduh tegas, bahwa tamu telah mencuri kura-kura emas, raja Mojopahit. Dara Juanti menegor : “Kalian harus memanggil raja Mojopahit, kita harus mengadakan perjanjian sebelum kamu mencari kura-kuramu itu”. Lalu raja diundang dating untuk mengadakan perjanjian.

Dara Juanti berkata: “Jika kamu tidak mendapat kura-kuramu itu, haruslah kamu melepaskan seluruh tawanan bagi kami”. Setelah menyetujui perjanjian lisan ini, mulailah petugas raja Mojopahit mencari dengan semangat. Dari segala penjuru dibongkar satu persatu, tak kunjung jua ditemukan kura-kura emasnya. Sampai putus asalah seluruh petugas. Tanpa komentar, raja Mojopahit memerintahkan melepaskan semua tawanannya. Domang Nutup (Jubair) pun ikut dilepaskan. Memang itulah tujuan utama Dara Juanti.

Domang Nutup (Jubair II) diundang masuk kejong Dara Juanti. Domang Nutup (Jubair II) tercengang melihat atau memandang muka Dara Juanti. Bukankah itu itu satu roman yang sangat popular baginya? Hanya ia tahu roman itu adalah roman wanita. Kenapa, ia berpakaian lelaki?. Pandangan tajam kearah Dara Juanti membuka tabir rahasia. “Aku inilah Dara Juanti adik mu” kata Dara Juanti kepada Domang Nutup (Jubair II). Pertemuan yang sangat mesra dan mengharukan tergoreslah dalam sejarah kedua kaka beradik yang telah lama terpisa tanpa berita.

Pertemuan mesra dan bersejarah ituturut disaksikan oleh seorang pemuda Mojopahit, bernama Patih Logender. Ia pun sangat terpesona dengan paras Dara Juanti sang Gadis Dayak tersebut. Raut muka, kembar dengan perlakuan manis, telah mengoncang rasa ingin mengenal lebih jauh Dara Juanti. Rombongan Dara Juantipun memperpanjang waktu, berfoya-foya, berpesta-pesta beramah tamah dengan penduduk Mojopahit. Gembira dengan lepasnya Domang Nutup (Jubair II) dari tawanan. Kesempatan yang agak lama, telah memberi peluang padat menjalin cinta antara pemuda Mojopahit dengan Dewi Kalimantan Barat tersebut.

Kembalinya rombongan Dara Juanti serselip dua orang penting bagi Dara Juanti. Patih Logender bersama abangnya Domang BNutup (Jubair II) turut menuju Kalimantan Barat, untuk mensyahkan pernikahannya menurut adapt Dayak. Pernikahan mudah disyahkan, dengan syarat, Patih Logender gharus membawa duabelas perinduk (keluarga) sebagai bukti antaran. Patih Logender telah mengusahakannya dan berhasil.

Kedua belas perinduk ini telah dipersembahkan sebagai harta antaran. Mereka telah berdiam dikaki Gunung Kelam (Bukit Kelam-Sintang). Mereka telah berkembang biak, membentuk satu suku yang disebut Suku LEBANG NADO. Mereka membawa bibit-bibit tanaman seperti cabe, lada dll.

Keahlian menenunpun masih tetap dikerjakan hingga sekarang ini. Mereka pandai menenun kain seperti sumbu lampu, dijadikan pakaian kebaya tahan dipakai untuk bekerja tani.

Patih Logender meninggalkan sebuah keris, yang disebut keris Mojopahit oleh penduduk local, dan sekeping tanah, disebut juga tanah Mojopahit. Sehelai kain cindai, disebut Gerising Wayang. Ukiran burung Garuda, tak beda dengan gambar burung Garuda lambing kebangaan bangsa Indonesia. Semuanya masih tersimpan dan diurus oleh Direktorat Kebudayaan Kabupaten Sintang. Kecuali keris Mojopahit yang bertatah intan, telah diambil Jepang dijaman Jayanya di Indonesia.

Disamping kraton Sintang, terdapat sebuah batu, berbentuk bulat panjang. Satu lambang kesuburan disebut batu “KUNDUR”

Sumber : Sejarah Kerajaan-Kerajaan Di Kalimantan Barat (1975)

Monday, January 25, 2010

SEJARAH PERJALANAN DAN PERKEMBANGAN ORANG CINA DI BUMI BORNEO - 2

Cerita Sebelumnya klik disini

Tahun 1795, Tai-Ko Lo Fong meninggal dunia di Mandor. Dimakamkan di bukit Sak Dja. Mandor disebut orang China Toeng Ban Lit. artinya Daerah Timur yang mempunyai 10.000 Undang-undang. Dengan meninggalnya Pemimpin Tertinggi Republik Lan Fong ini, cita-cita mendirikan sebuah kerajaan China di luar Tembok Negara Leluhurnya yang bernaung di bawah dinasty kekaisaran tidak berhasil. Tetapi Republik Lan Fong sempat mengirim upeti kepada kaisar, bukan kepada Sultan atau Penembahan Pontianak atau Mempawah.

Tahun 1795, Sambas dibawah pimpinan/pemerintahan Pangeran Abom. Sesama perkongsian China berkobar pertempuran antara Tai Kong kongsi yang berpusat di Montrado dengan Sam Tiu Kiu Kongsi yang berpusat di Sambas. Pertempuran ini terjadi dikarenakan pihak Sam Tiu Kiu melakukan penggalian mas di Sei Raya (Singkawang) daerah kekuasaan Tai Kong kongsi. Pihak Sam Tiu Kiu Kongsi (Suku Hokkian) minta bantuan kepada Sultan Sambas serta Rakyat Sambas dengan berjanji dab bersumpah; Setia dan tidak akan mendurhaka kepada Sultan dan Rakyat Sambas.

Tahun 1796, dengan bantuan Sultan Sambas dan Rakyat Sam Tiu Kiu Kongsi dapat mengalahkan Montrado. Seorang Panglima Sultan yang bernama Tengku Sambo mati terbunuh ketika menyerbu benteng terakhir Tai Kong Kongsi. Perang ini oleh rakyat Sambas di sebut sebagai perang Tengku Sambo.

Tahun 1818 (6 September) bendera Belanda tiga warna, berkibar di Sambas. Muller dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas (23 September). Residen Muller mengumumkan dan memerintahkan kepada kepala-kepala China bahwa Montrado menurut perjanjian dengan Sultan menjadi dibawah kekuasaan Pemerintahan Belanda (24 September). Residen Muller mangadakan rapat dengan kepala-kepala Kongsi, orang-orang China di Sambas.

Tahun 1819, orang China Mandor sebanyak 1.000 orang menyerang Kongsi Belanda di Pontianak dalam rangka merebut kekuasaan Belanda di seluruh Borneo (Kalimantan) Barat. Serangan China ini dapat dihancurkan Belanda secara pura-pura mengaku kalah. Kapten China dari Mandor (Panglima Tjap) minta maaf, bukan kepada Belanda, tetapi kepada Sultan Pontianak dan mengatakan tidak mau bermusuhan atau mengakui kekuasaan Pemerintahan Belanda.

Orang-orang China mengumpulkan uang untuk membeli kepala Residen. Dan satu Takil mas tiap kepala orang Belanda. Residen Pontianak menarik semua pejabat Belanda dan kekuatan-kekuatan dari Tayan, Landak dan Mempawah ke Pontianak.

Tahun 1822 (22 September), diumumkan hasil perundingan segitiga antara Sultan Pontianak, Pemerintahan Belanda dan Kepala-Kepala China yang terdiri dari 29 pasal.

Tahun 1823, Tai Kong Kongsi mengadakan pemberontakan terhadap Belanda, karena merasa hasil perundingan merugikan pihaknya. Sebelumnya, merampas dan menguasai Lara daerah Sin Ta Kiu (Sam Tiu Kiu) yang berkedudukan di Sambas.

Belanda di bantu oleh Sam Tiu Kiu dan orang-orang China di Sambas. Akhirnya Tai Kong Kongsi dapat dihancurkan dan diusir dari pertahanan mereka dan berturut-turut Sebalou, Lara Tai Kong dan Sepang mereka tinggalkan dan mundur ke Montrado.

Tanggal 5 maret, penduduk China yang memberontak menyatakan minta ampun kepada Pemerintahan Belanda dan menyerahkan alat-alat persenjataannya.

Tanggal 11 Mei, Commisaris Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban dari Kongsi-Kongsi.

Tai Kong, Hang Moei, Sin Foek dan Man Fo. Diadakan pemilihan pemimpin baru, Asia China dengan nama Kapitan, yang bersumpah setia dan tunduk kepada Pemerintahan Belanda yang berbunyi:
“Pada hari ini di dalam Klenteng SAMBONYA yang akan menghukum siapa yang salah. Orang-orang China dan Kongsi-kongsi Tai Kong, Sin Foek, Han Moei dan Man Fo, bersumpah sebagai berikut: Dulu kami tidak menurut perintah dari Pemerintah dan oleh karenanya kami mendapat kecelakaan besar. Sekarang kami mendapat ampun dari Commisaris atas keselamatan kami, oleh karena itu kami semua akan turut perintah tidak berani melawan Perintah. Kalau sumpah ini tidak kami taati, SAMBOJAN akan menghukum mati, kami akan mati dan badan kami tidak dikuburkan, dan anak istri, keluarga kelak tidak pernah lihat kami”.

Tahun 1850, kerajaan Sambas di bawah pimpinan Sultan Abubakar Tadjudin II. Seluruh perkongsian tambang/parit mas yang terdapat dalam kerajaan Sambas, yaitu: Tai Kong Kongsi, Sam Tiu Kiu dan Mang Kit Tiu Kongsi bergabung untuk memberontak merebut dan menaklukan kerajaan Sambas. Adapu daerah tambang/ parit mas perkongsian dan pusat-pusat kekuasaan pada saat itu antara lain berada di Pemangkat, Seminis, Sebawi, Bengkayang, Lara, Humar, Montrado dan Budok. Kota Sambas hampir jatuh ketangan perkongsian. Sultan Sambas meminta bantuan kepada pihak Belanda.

Tahun 1851, Kompeni Belanda tiba di bawah pimpinan Overste Zorg, dan gugur dalam sautu pertempuran takala merebut benteng pusat pertahanan dari pihak Sam Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia pun dimakamkan di atas bukit Penibungan, Pemangkat.

Tahun 1854, pemberontakan makin meluas di seluruh daerah dan perkongsian yang mendapat bantuan dari seluruh bangsa China yang diluar perkongsian. Belanda pun akhirnya mengirim tambahan pasukan ke Sambas yang dipimpin oleh Residen Anderson.

Tahun 1856, seluruh kekuasaan dan pertahanan dari Kongsi-Kongsi tambang/parit mas direbut oleh Kompeni Belanda, juga pusat-pusat kekuasaan kongsi yang berada di Montrado. Seluruh orang China menyerah dan takluk kepada Kompeni Belanda. Oleh Sultan Sambas, bangsa China yang berdiam dalam daerah kekuasaan dan daerah hukum kerajaannya, disarankan menjadi rakyat Hindia Belanda. Dengan demikian berakhirlah riwayat Republik Montrado sebagai negara dalam negara. Yang mana telah berkuasa selama 100 tahun, di dalam daerah kekuasaan dan daerah hukum kerajaan Sambas.

Tanggal 1857, 4 Januari, semua kekuasaan China terhadap Kongsi-Kongsi Mempawah ditarik oleh Belanda dan berada langsung di bawah kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda.

Tahun 1884, Kongsi-Kongsi tambang/parit mas China diseluruh daerah Borneo (Kalimantan) Barat dibubarkan oleh Belanda.

Dengan demikian secara resmi berakhirlah dan lenyaplah Republik FOW SJOEN dan REPUBLIK LAN FONG MAN dan beralih ketangan Belanda. (Republik LAN DONG MANDOR berkuasa selama 107 tahun, dan REPUBLIK MONTRADO 100 tahun).

Sumber : Sejarah Kerajaan-Kerajaan Di Kalimantan Barat (1975)

Suku Dayak Meratus

Suku Bukit/Suku Dayak Bukit/Suku Dayak Meratus adalah suku asli yang mendiami pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan, karena itu suku ini lebih senang disebut Dayak Meratus, daripada "Dayak Bukit" sudah terlanjur dimaknai sebagai "orang gunung". Padahal menurut Hairus Salim dari kosa kata lokal di daerah tersebut istilah 'bukit' berarti bagian bawah dari suatu pohon' yang juga bermakna 'orang atau sekelompok orang atau rumpun keluarga yang pertama yang merupakan cikal bakal masyarakat lainnya'. Adapula yang menamakan sebagai Dayak Banjar, artinya Dayak yang berasal dari daerah Banjar yaitu Kalimantan Selatan.

Populasi suku Dayak Bukit di Kalimantan Selatan pada sensus penduduk tahun 2000 berjumlah 35.838 jiwa, sebagian besar daripadanya terdapat di kabupaten Kota Baru yang berjumlah 14.508 jiwa.

Suku Bukit juga dinamakan Ukit, Buket, Bukat atau Bukut. Suku Bukit atau suku Dayak Bukit terdapat di beberapa kecamatan yang terletak di pegunungan Meratus pada kabupaten Banjar, kabupaten Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, kabupaten Tapin, Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kota Baru.

Beberapa golongan Dayak Bukit yaitu

Daftar isi:
1. Rumpun Ot Danum
2. Budaya Bukit
3. Bahasa Melayu Bukit

Suku Dayak Meratus Jumlah populasi

kurang lebih 2.967.887 jiwa.

Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan Kalimantan Selatan: 1 (2000).
Bahasa Bukit, Melayu Banjar, Indonesia Agama Kaharingan ( Hindu) Kelompok etnis terdekat Dayak Ngaju, Banjar

1. Rumpun Ot Danum

Menurut Cilik Riwut, Suku Dayak Bukit merupakan suku kekeluargaan yang termasuk golongan suku (kecil) Dayak Ngaju. Suku Dayak Ngaju merupakan salah satu dari 4 suku kecil bagian dari suku besar (rumpun) yang juga dinamakan Dayak Ngaju.

Mungkin adapula yang menamakan rumpun suku ini dengan nama rumpun Dayak Ot Danum. Penamaan ini juga dapat dipakai, sebab menurut Tjilik Riwut, suku Dayak Ngaju merupakan keturunan dari Dayak Ot Danum yang tinggal atau berasal dari hulu sungai-sungai yang terdapat di kawasan ini, tetapi sudah mengalami perubahan bahasa. Jadi suku Ot Danum merupakan induk suku, tetapi suku Dayak Ngaju merupakan suku yang dominan di kawasan ini.

Silsilah suku Bukit;

Suku Dayak (suku asal), terbagi 5 suku besar / rumpun:

  • Dayak Laut (Iban)
  • Dayak Darat
  • Dayak Apo Kayan / Kenyah-Bahau
  • Dayak Murut
  • Dayak Ngaju / Ot Danum, terbagi 4 suku kecil:
    • Dayak Maanyan
    • Dayak Lawangan
    • Dayak Dusun
    • Dayak Ngaju, terbagi beberapa suku kekeluargaan (sedatuk) :
      • Dayak Bukit
      • Dayak Bakumpai
      • Dayak Berangas
      • Dayak Mendawai
      • dan lain-lain

Menurut Alfani Daud, suku Dayak Bukit sebagaimana suku Banjar, nenek moyangnya juga berasal dari Sumatera dan sekitarnya ( daerah Melayu). Karena itu bahasa Bukit dinamakan sebagai "Bahasa Melayu Bukit" (Bukit Malay).

2. Budaya Bukit

Suku ini dapat digolongkan sebagai suku Dayak, karena mereka teguh memegang kepercayaan atau religi suku mereka. Akan tetapi religi suku ini, agak berbeda dengan suku Dayak di Kalimantan Tengah (Suku Dayak Ngaju), yang banyak menekankan ritual upacara kematian. Suku Dayak Bukit lebih menekankan upacara dalam kehidupan, seperti upacara pada proses penanaman padi atau panen, sebagaimana halnya dengan suku Kanayatn di Kalimantan Barat. Suku Dayak Bukit juga tidak mengenal tradisi ngayau yang ada zaman dahulu pada kebanyakan suku Dayak.

Upacara ritual suku Dayak Bukit, misalnya "Aruh Bawanang". Tarian ritual misalnya tari Babangsai untuk wanita dan tari Kanjar untuk pria. Suku Bukit tinggal dalam dalam rumah besar yang dinamakan balai.

Balai merupakan rumah adat untuk melaksanakan ritual pada religi suku mereka. Bentuk balai, "memusat" karena di tengah-tengah merupakan tempat altar atau panggung tempat meletakkan sesajen. Tiap balai dihuni oleh beberapa kepala keluarga, dengan posisi hunian mengelilingi altar upacara. Tiap keluarga memiliki dapur sendiri yang dinamakan umbun. Jadi bentuk balai ini, berbeda dengan rumah adat suku Dayak umumnya yang berbentuk panjang (Rumah Panjang).

Suku Dayak Bukit menganal tiga kelompok roh pemelihara kawasan pemukiman dan tempat tinggal yaitu :

  1. Siasia Banua
  2. Bubuhan Aing
  3. Kariau

Siasia Banua contohnya :

  1. Siasia Banua Kambat
  2. Siasia Banua Pantai Batung
  3. Siasia Banua Kambat
  4. dan sebagainya

Bubuhan Aing contohnya :

  1. Bubuhan Aing Muhara Indan
  2. Bubuhan Aing Danau Bacaramin
  3. Bubuhan Aing Maantas
  4. dan sebagainya

Kariau contohnya :

  1. Kariau Labuhan
  2. Kariau Padang Batung
  3. Kariau Mantuil
  4. dan sebagainya

3. Bahasa Melayu Bukit

Bahasa Dayak Bukit, menurut penelitian banyak kemiripan dengan dialek Bahasa Banjar Hulu. Ada pula yang menamakan bahasa Bukit sebagai "bahasa Banjar archais". Bahasa Bukit termasuk Bahasa Melayu Lokal yang disebut Bahasa Melayu Bukit (bvu).

Perbandingan hubungan suku Bukit dengan suku Banjar, seperti hubungan suku Baduy dengan suku Banten. Suku Banjar dan suku Banten merupakan suku yang hampir seluruhnya memeluk Islam, sedangkan suku Bukit dan suku Baduy merupakan suku yang teguh mempertahankan religi sukunya.

3. 1. Populasi Suku Bangsa Dayak Bukit

Populasi suku Dayak Bukit di Propinsi Kalimantan Selatan : 35.838 (BPS - sensus th. 2000)

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), populasi suku Dayak Bukit di Kalimantan Selatan berjumlah 35.838 jiwa, yang terdistribusi pada beberapa kabupaten dan kota, yaitu :

sumber : www.wapedia.mobi

Sunday, January 24, 2010

Suku Benuaq

Dayak Benuaq adalah salah satu anak suku Dayak di Kalimantan Timur.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli suku ini dipercaya berasal dari Dayak Lawangan sub suku Ot Danum dari Kalimantan Tengah. Lewangan juga merupakan induk dari suku Tunjung di Kalimantan Timur. Benuaq sendiri berasal dari kata Benua dalam arti luas berarti suatu wilayah/daerah teritori tertentu, seperti sebuah negara/negeri. pengertian secara sempit berarti wilayah/daerah tempat tinggal sebuah kelompok/komunitas. Menurut cerita pula asal kata Benuaq merupakan istilah/penyebutan oleh orang Kutai, yang membedakan dengan kelompok Dayak lainnya yang masih hidup nomaden. Orang Benuaq telah meninggalkan budaya nomaden. Mereka adalah orang-orang yang tinggal di “Benua”, lama-kelamaan menjadi Benuaq. Sedangkan kata Dayak menurut aksen Bahasa Benuaq berasal dari kata Dayaq atau Dayeuq yang berarti hulu.

Menurut leluhur orang Benuaq dan berdasarkan kelompok dialek bahasa dalam Bahasa Benuaq, diyakini oleh bahwa Orang Benuaq justru tidak berasal dari Kalimantan Tengah, kecuali dari kelompok Seniang Jatu. Masing-masing mempunyai cerita/sejarah bahwa leluhur keberadaan mereka di bumi langsung di tempat mereka sekarang. Tidak pernah bermigrasi seperti pendapat para ahli.

  1. Salah satu versi cerita leluhur mereka adalah Aji Tulur Jejangkat dan Mook Manar Bulatn. Keduanya mempunyai keturunan Nara Gunaq menjadi orang Benuaq, Sualas Gunaq leluhurnya orang Tonyoy/Tunjung, Puncan Karnaq leluhurnya orang Kutai.
  2. Orang Benuaq di kawasan hilir Mahakam dan Danau Jempang dan sekitarnya hingga Bongan dan Sungai Kedang Pahu mengaku mereka keturunan Seniang Bumuy.
  3. Seniang Jatu dipercaya merupakan leluhur orang Benuaq di kawasan Bentian dan Nyuatan. Dikisahkan bahwa Seniang Jatu diturunkan di Aput Pererawetn, tepi Sungai Barito, sebelah hilir Kota Muara Teweh (Olakng Tiwey). Kedatangan suku (mungkin orang Lewangan, Teboyan, Dusun dan sebagainya) dari Kalimantan Tengah justru berasimilasi dengan Orang Benuaq, dan ini menyebabkan Orang Benuaq mempunyai banyak dialek.
  4. Sedangkan orang Benuaq di kawasan hulu Kedang Pahu mengaku mereka keturunan Ningkah Olo. Menurut legenda Ningkah Olo pertama kali turun ke bumi, menginjakkan kakinya di daerah yang disebut dalam Bahasa Benuaq, Luntuq Ayepm (Bukit Trenggiling). Tempat ini diyakini sebagai sebuah bukit yang merupakan ujung dari Jembatan Mahakam, Samarinda Seberang, Kota Samarinda. Sisa Suku Dayak Benuaq di Kota Samarinda, akhirnya menyingkir ke utara kota, di kawasan Desa Benangaq, Kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara. Selanjutnya sebagian keturunannya berangsung-angsur menuju muara Sungai Mahakam bermukim di Jahitan Layar dan Tepian Batu dan sekitarnya, sebagian lagi menuju pedalaman Sungai Mahakam. Sebagian keturunan yang masih ‘tertinggal’ di Tenggarong, bermukim di Kecamatan Tenggarong dan Tenggarong Seberang.

Suku Dayak Benuaq dapat ditemui di sekitar wilayah Sungai Kedang Pahu di pedalaman Kalimantan Timur dan di daerah danau Jempang. Di Kalimantan Timur, sebagian besar mendiami Kutai Barat dan merupakan etnis mayoritas (+/- 60 %). Mendiami di Kecamatan Bongan, Jempang, Siluq Ngurai, Muara Pahu, Muara Lawa, Damai, Nyuwatan, sebagian Bentian Besar, Mook Manar Bulatn serta Barong Tongkok, di Kabupaten Kutai Kartanegara mendiami daerah Jonggon hingga Pondok Labu, Kecamatan Tenggarong, kawasan Jongkang hingga Perjiwa, Kecamatan Tenggarong Seberang. Bahkan Bupati Pertama Kutai Barat adalah putra Dayak Benuaq, termasuk Doktor (DR) pertama Dayak Indonesia dalam studi non-teologi juga dari putra Dayak Benuaq dari Kutai Barat.

Karena kedekatan kekerabatan Orang Benuaq dengan Orang Lawangan dan warga di sepanjang Sungai Barito umumnya, maka terdengar selentingan pada Orang Benuaq, mereka merasa layak jika Kabupaten Kutai Barat bergabung dengan wacana Provinsi Barito Raya.

Kedekatan orang Benuaq dengan orang Paser dapat disimak dari cerita rakyat Orang Paser “Putri Petung” dan “Mook Manor Bulatn” cerita rakyat orang Tonyoy-Benuaq, kedua-duanya terlahir di dalam “Betukng” atau “Petung” salah satu spesies/jenis bambu. Selanjutnya dialek orang Benuaq yang berdiam di Kecamatan Bongan sama dengan bahasa orang Paser.

Kekerabatan Orang Benuaq dengan Orang Kutai

Mengenai nama Kutai, ada pendapat bahwa itu memang bukan menunjuk nama etnis seperti yang menjadi identitas sekarang. Sebaliknya ada yang berpendapat nama Kutai selain menunjuk pada teritori. Sumpah Palapa Patih Gajah Mada di Majapahit sempat menyebutkan Tunjung Kuta, ada pula yang mengatakan tulisan yang benar adalah Tunjung Kutai. Dulu dalam buku sejarah Kutai ditulis Kutei, padahal istilah Kutei justru merupakan istilah dalam Bahasa Tunjung Benuaq, entah kapan istilah tersebut berubah menjadi Kutai. Istilah Kutai erat pula dengan istilah Kutaq – Tunjung Kutaq dalam bahasa Benuaq. Di pedalaman Mahakam terdapat nama pemukiman (kota kecamatan) bernama Kota Bangun – sekarang didiami etnis Kutai. Menurut catatan Penjajah Belanda dulu daerah ini diami orang-orang yang memelihara babi, dan mempunyai rumah bertiang tinggi. Menurut Orang Tunjung Benuaq, istilah Kota Bangun yang benar adalah Kutaq Bangun. Demikian pula di sekitar Situs Sendawar ada daerah yang namanya Raraq Kutaq (di Kec. Barong Tongkok, Kota Sendawar ibukota Kutai Barat). Kutaq dalam bahasa Tunjung atau Benuaq berarti Tuan Rumah, jadi orang Tunjung Benuaq lebih dahulu/awal menyebut istilah ini dibandingkan versi lain yang menyebut Kutai berasal dari Bahasa Cina – Kho dan Thai artinya tanah yang luas/besar.

Nama Tenggarong (ibukota Kutai Kartanegara) menurut bahasa Dayak Orang Benuaq adalah Tengkarukng berasal dari kata tengkaq dan karukng, tengkaq berarti naik atau menjejakkan kaki ke tempat yang lebih tinggi (seperti meniti anak tangga), bengkarukng adalah sejenis tanaman akar-akaran. Menurut Orang Benuaq ketika sekolompok orang Benuaq (mungkin keturunan Ningkah Olo) menyusuri Sungai Mahakam menuju pedalaman mereka singgah di suatu tempat dipinggir tepian Mahakam, dengan menaiki tebing sungai Mahakam melalui akar bengkarukng, itulah sebabnya disebut Tengkarukng, lama-kelamaan penyebutan tersebut berubah menjadi Tenggarong sesuai aksen Melayu.

Perhatikan pula nama-nama bangsawan Kutai Martadipura dan Kutai Kartenagara, menggunakan gelar Aji(id)[1] – bandingkan dengan nama Aji Tullur Jejangkat pendiri Kerajaan Sendawar (Dayak) – ayah dari Puncan Karna leluhur orang Kutai. Sisa kebudayaan Hindu yang sama-sama masih tersisa sebagai benang merah adalah Belian Kenjong, Belian Dewa serta Belian Melas/Pelas. Ketiga belian tersebut syair/manteranya menggunakan bahasa Kutai.

Daftar isi:
1. Sistem Kepercayaan
2. Fungsi Patung (Belontakng) dalam Kepercayaan Dayak Benuaq
3. Sistem Sosial dan Adat Istiadat
4. Lou (dibaca: lo-uu ; Lamin)
5. Tanaa Adeut (Tanah Ulayat – Tanah Adat)
6. Prosesi Adat Kematian
7. Bahasa Benuaq
8. Budaya Benuaq
9. Organisasi Benuaq
10. Pranala luar

Suku Benuaq/Dayak Benuaq – Jumlah populasi

kurang lebih 116.000

Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur; Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Barito Timur, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah: 116.000 Bahasa Benuaq, Indonesia Agama Kristen, Kaharingan Kelompok etnis terdekat Suku Dayak ( Rumpun Ot Danum)

1. Sistem Kepercayaan

Animisme dan Dinamisme merupakan kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia secara umum. Bagi orang Dayak khususnya kepercayaan Dayak Benuaq lebih dari Animisme dan Dinamisme, tetapi meyakini bahwa alam semesta dan semua makhluk hidup mempunyai roh dan perasaan sama seperti manusia, kecuali soal akal.

Oleh sebab itu bagi Suku Dayak Benuaq segenap alam semesta termasuk tumbuh-tumbuhan dan hewan harus diperlakukan sebaik-baiknya dengan penuh kasih sayang. Mereka percaya perbuatan semena-mena dan tidak terpuji akan dapat menimbulkan malapetaka. Itu sebabnya selain sikap hormat, mereka berusaha mengelola alam semesta dengan se-arif dan se-bijaksana mungkin.

Meskipun sepintas kepercayaan orang Dayak Benuaq seperti polytheisme, tetapi mereka percaya bahwa alam semesta ini diciptakan dan dikendalikan oleh penguasa tunggal yaitu Letalla. Letalla mendelegasikan tugas-tugas tertentu sesuai dengan bidang-bidang tertentu, kepada para Seniang, Nayuq, Mulakng dll. Seniang memberikan pembimbingan, sedangkan Nayuq akan mengeksekusi akibat pelanggaran terhadap adat dan norma.

2. Fungsi Patung (Belontakng) dalam Kepercayaan Dayak Benuaq

Terjadi kesalahan anggapan termasuk para ahli, bahwa Suku Dayak membuat patung untuk mereka sembah sebagai symbol sesembahan masyarakat Dayak Benuaq. Oleh karena kesalahan persepsi ini, seringkali masyarakat Dayak Benuaq dianggap suku penyembah berhala.

Banyak jenis patung yang dibuat Suku Dayak Benuaq bukan untuk disembah atau dipuja, tetapi justru harus diludahi setiap orang yang melewatinya. Ada juga patung yang dibuat untuk mengelabui roh jahat atau makhluk halus agar tidak menggangu manusia. Jadi patung lebih daripada wujud/tanda peringatan baik untuk berbuat baik atau larangan terhadap perbuatan jahat.

3. Sistem Sosial dan Adat Istiadat

Masyarakat Suku Dayak Benuaq menganut system matrilineal.

Dalam rangka pengelolaan alam semesta termasuk hubungan antar mahluk hidup dan kematiannya serta hubungan dengan kosmos, haruslah sesuai dengan adat istiadat dan tata karma yang telah diwariskan oleh nenek moyang orang Benuaq. Adat istiadat dan tata karma diwariskan sama tuanya dengan keberadaan Suku Dayak Benuaq di Bumi. Orang Suku Dayak Benuaq percaya bahwa Sistem Adat yang ada bukanlah hasil budaya, tetapi mereka mendapatkan dari petunjuk langsung dari Letalla melalui para Seniang maupun melalui mimpi.

Orang Dayak Benuaq, percaya bahwa system adatnya telah ada sebelum negara ini lahir. Itu sebabnya mereka tidak menerima begitu saja, pendapat yang mengatakan bahwa dengan lahir Negara dan aturan dapat menghilangkan aturan Adat Istiadat Suku Dayak Benuaq.

Paling tidak ada 5 pilar/tiang adat Suku Dayak Benuaq :

  1. Adet
  2. Purus
  3. Timekng
  4. Suket
  5. Terasi

Kelimanya harus dijalankan / menjadi pegangan dalam melaksanakan adat istiadat di Bumi, jika tidak akan terjadi ketidak adilan dan kekacauan di masyarakat. Selain itu penyimpangan baik sengaja maupun tidak sengaja oleh pemangku adat akan mendapat kutukan dari Nayuk Seniang. Perwujudan dari kutukan ini bias berbentuk kematian baik mendadak maupun perlahan-lahan, juga bias berbentuk kehidupan selalu mendapat bencana/malapetaka serta susah mendapatkan rejeki.

4. Lou (dibaca: lo-uu ; Lamin)

Sebagaimana masyarakat Dayak umummya, Dayak Benuaq juga mempunyai tradisi rumah panjang. Dalam masyarakat Dayak Benuaq, tidak semua rumah panjang dapat disebut Lou (Lamin).

Rumah panjang dapat disebut lou (lamin) jika mempunyai minimal 8 olakng. Olakng merupakan bagian/unit lou. Dalam satu olakng terdapat beberapa bilik dan dapur. Jadi olakng bukan bilik/kamar sebagaimana rumah besar, tetapi olakng merupakan sambungan bagian dari lou.

Banyaknya olakng dalam rumah panjang bagi Suku Dayak Benuaq dapat menunjukkan level/bentuk kepemimpinannya. Itu sebabnya rumah panjang yang besar (lou) sering disebut kampong besar atau benua. Berdasarkan pengertian ini lou seringkali berkonotasi dengan kampong atau benua.

Berdasarkan ukuran dan system kepemimpinan rumah panjang, masyarakat adapt Dayak Benuaq membedakan rumah panjang sekaligus model pemukiman masyarakat sebagai:

  1. Lou (lamin)
  2. Puncutn Lou / Puncutn Benua
  3. Puncutn Kutaq
  4. Tompokng
  5. Umaq (Huma / Ladang).

5. Tanaa Adeut (Tanah Ulayat – Tanah Adat)

Hutan dan segala isinya bagi Suku Dayak Benuaq merupakan benda/barang adat. Itu sebabnya pengelolaannya harus berdasarkan system adat istiadat. Pada zaman Orde Baru Suku Dayak Benuaq mengalami zaman yang paling buruk. Hutan sebagai ibu pertiwi mereka disingkirkan dari orang Benuaq dengan berdalih pada Undang-Undang terutama pada Undang-Undang Agraria. Sehingga rejim Orba dengan mudah memisahkan Suku Dayak Benuaq dengan sumber satu-satu penghidupan mereka saat itu, ditambah lagi dengan disebarnya aparat keamanan dan pertahanan untuk menjadi tameng perusahaan-perusahaan HPH. Namun menjadi keanehan bahwa Orang Dayak (Benuaq)lah yang menyebabkan degradasi hutan besar-besaran sebagai dampak system perladangan bergulir, yang disebut-sebut sebagai perladangan berpindah.

Berdasarkan ciri/status hutan dapat dibedakan atas :

  • Urat Batekng
  • Simpukng Munan (Lembo)
  • Kebon Dukuh
  • Ewei Tuweletn
  • Lati Rempuuq
  • Lati Lajah

Berdasarkan suksesi hutan dapat dibedakan atas:

  • Bengkar Bengkalutn – Bengkaar Tuhaaq (Hutan Primer)
  • Bengkaar Uraaq (Hutan Sekunder Tua; 15-35 tahun)
  • Urat Batekng / Batekng (Hutan Sekunder Muda ; 10-15 tahun)
  • Balikng Batakng (7-10 tahun)
  • Kelewako (2-3 tahun)
  • Baber (1-2 tahun)
  • Umaaq (huma/ladang) 0 – 1 tahun

6. Prosesi Adat Kematian

Prosesi adat kematian Dayak Benuaq dilaksanakan secara berjenjang. Jenjang ini menunjukkan makin membaiknya kehidupan roh orang yang meninggal di alam baka. Orang Dayak Benuaq percaya bahwa alam baqa memiliki tingkat kehidupan yang berbeda sesuai dengan tingkat upacara yang dilaksanakan orang yang masih hidup (keluarga dan kerabat).

Alam baka dalam bahasa Benuaq disebut secara umum adalah Lumut. Di dalam Lumut terdapat tingkat (kualitas) kehidupan alam baqa. Kepercayaan Orang Dayak Benuaq tidak mengenal Nereka. Perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan Orang Dayak Benuaq telah mendapat ganjaran selama mereka hidup, baik berupa tulah, kutukan, bencana/malapetaka, penderitaan dll. Itu sebabnya Orang Dayak Benuaq meyakini jika terjadi yang tidak baik dalam kehidupan berarti telah terjadi pelanggaran adat dan perbuatan yang tidak baik. Untuk menghindari kehidupan yang penuh bencana, maka orang Dayak Benuaq berusaha menjalankan adat dengan sempurna dan menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya.

Secara garis besar terdapat 3 tingkatan acara Adat kematian :

  1. Parepm Api
  2. Kenyaw
  3. Kwangkey Kewotoq (Kwangkey)

7. Bahasa Benuaq

Bahasa Benuaq termasuk dalam Bahasa Lawangan dengan kode bahasa lbx.[rujukan?]

8. Budaya Benuaq

Kain Ulap Doyo

Selain Keseniannya, Suku Dayak Benuaq, terkenal dengan kain khasnya yang disebut Ulap Doyo. Ini merupakan satu-satunya kelompok Dayak yang memiliki seni kerajinan kain. Dewasa ini kerajinan Ulap Doyo hanya dijumpai di Kecamatan Jempang.

Seni Patung dan Ukir

  • Lagu:
  1. Bedone
  • Seni Suara:
  1. Bedeguuq
  2. Berijooq
  3. Ninga
  • Seni Berpantun:
  1. Perentangin
  2. Ngelengot
  3. Ngakey
  4. Ngeloak
  • Seni Tari:
  1. Tari Gantar
  2. Tari Ngeleway
  3. Tari Ngerangkaw
  • Belian/Penyembuhan Penyakit:
  1. Beliatn Bawo
  2. Beliatn Bawe
  3. Beliatn Sentiyu
  4. Beliatn Kenyong
  5. Beliatn Luangan
  6. Beliatn Bejamu
  • Tolak Bala / Hajatan / Selamatan:
  1. Nuak
  2. Bekelew
  3. Nalitn Tautn
  4. Paper Maper
  5. Besamat
  6. Pakatn Nyahuq
  • Perkawinan:
  1. Ngompokng
  • Upacara Adat Kematian:
  1. Kwangkey/Kuangkay
  2. Kenyeuw
  3. Parepm Api/Tooq

9. Organisasi Benuaq

10. Pranala luar

Artikel mengenai Indonesia ini adalah suatu tulisan rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia .

Daftar kategori: Artikel dengan pernyataan yang tidak disertai rujukan, Rintisan bertopik Indonesia, Dayak, Suku bangsa di Kalimantan Timur, Suku bangsa di Indonesia, Penduduk asli, Kabupaten Kutai Barat

sumber : http://wapedia.mobi
foto :
http://www.dayakborneo.com/tari.php

Hak Ulayat

Menteri Agraria / Kepala BPN
Peraturan Nomor : 5 tahun 1999 .
Tentang Pedoman Penyelesaian masalah Hukum Adat, Hak ulayat masyarakat dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat, Hukum adat yang nyata – nyata masih ada di daerah yang bersangkutan dengan penyelesaian sebagai berikut :
Mengenai muatan lokal pokok dan maksud dikeluarkannya peralihan peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsif pengakuan terhadap “ Hak ulayat dan hak- hak serupa itu dari masyarakat, Hukum Adat “ sebagaimana di maksud dalam pasal 3 undang – undang nomor. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok – pokok agraria ( Undang – Undang pokok Agraria ).
Kebijaksanaan tersebut meliputi :
yang
  1. Penyamaan Persepsi mengenai “ Hak Ulayat “ ( Pasal 1 ).
  2. Krateria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak – hak yang serupa dan masyarakat Hukum Adat ( Pasal 2 dan Pasal 5 ).
PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH ULAYAT

Pasal 2
  1. Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat Hukum Adat yang masih bersangkutan menurut ketentuan Hukum Adat setempat.
  2. Hak ulayat hukum adat dianggap masih ada apabila :
  • Terdapat sekelompok orang yang masih terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan – ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari – hari.
  • Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekuatuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari – hari.
  • Terdapat tatanan Hukum Adat mengenai pengurusan dan penggunaan tanah ulayat berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Pasal 3
Pelaksanaan hak ulayat masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada pasal 2 olehperseorangan dan Badan hukum dapat dilakukan terhadap bidang – bidang tanah yang pada saat ditetapkannya peraturan daerah ( PERDA ) sebagaimana dimaksud pasal 6 :
  1. Sudah dipunyai oleh perseorangan atau Badan Hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang – Undang Pokok Agraria.
  2. Merupakan bidang – bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh Instansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.
Pasal 4
  1. Penguasaan Undang – Undang Tanah yang termasuk Tanah Ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan :
  • Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan, hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah sesuai menurut ketentuanUndang – Undang Pokok Agraria ;
  • Oleh Instansi Pemerintah, badan hukum dan perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang – Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum ada pun yang berlaku.
  • Pelepasan Tanah Ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (b) untuk keperluan Pertanian dan keperluan lain yang memerlukan hak guna usaha atau hakpakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu.
I. TENTANG HAK ULAYAT
Undang – Undang tentang hak ulayat No … Pasal 1858 memang sudah berjalan Cuma penjabaran oleh Kedemangan – Kedemangan Kota maupaun pedesaan sosialisasinya belum terpenuhi yang isinya sebagai berikut :
  1. Hukum adat tentang hak ulayat menerangkan tanah hutan kemasyarakat adalahdikuasai oleh Pemerintah sepenuhnya sesuai Undang – Undang dan peraturan yang berlaku.
  2. Hak ulayat yang berbunyi tentang tanah hutan kemasyarakatan yang diatur olehPemerintah sesuai Undang – Undang 1945 adalah Tanah hutan kemasyarakatan yang dikuasai oleh Desa masing – masing atau tata batas antara Desa dengan Desa lain. Serta pengembangan terhadap pengembangan pembangunan Desa.

II. MAKSUD DAN TUJUAN HUKUM ADAT TENTANG HAK ULAYAT.
  1. Sejak zaman leluhur sejak terjadinya peristiwa peristiwa – peristiwa bentrok yang berkepanjangan atau pertikaian antara suku – suku dayak pedalaman, sehingga terjadinya kesepakatan antara Tokoh – Tokoh masyarakat Dayak dari semua penjuruKampung – kampung akan mengadakan rapat Kepala Suku dan Damang – Damang di Tumbang Anoi sejak tahun 1894 adalah perdamaian antara Suku – Suku DayakKalimantan pada umumnya. /
  2. Penjelasan tentang hak ulayat yang diatur oleh hukum adat yang menyangkut, pohon-pohon besar yang dianggap keramat bagi Suku Dayak, sitas – sitas yang bersifat sakral, sandung – sandung / kuburan yang dikeramatkan, serta membuka hutan yang diberi tanda / sariang, hal ini berarti ada masyrakat yang ingin membuka lahan hutan untuk tujuan berladang atau berkebun. –
  3. Tutur kutak dari Nenek Moyang / Leluhur mengatakan hak ulayat sebenarnya menyangkut Hukum, Adat Dayak adalah dari sisi sungai dibunyikan sebuah gong, jika masih terdengar dari atas atau ke darat berarti itulah. Hak ulayat sesuai hukum adat dayak seluas ± 5 km.
sumber : http://utusdayakngajuberbagi.blogspot.com

Friday, January 22, 2010

PELAKSANAAN MANETEK PANTAN

Pantan bisa diartikan sebagai pohon penghalang atau kayu perintang, melakukan pemotongan pantan biasanya dipergunakan dalam menyambut tamu-tamu Pejabat atau tamu terhormat dari luar daerah atau menyambut para pahlawan yang baru pulang dari medan peperangan dengan membawa kemenangan.
Acara manetek pantan mengandung dua makna yaitu:

1. Sebagai ungkapan kebanggaan dan suka cita.
2. Adalah memotong, mengusir, menghalau firasat-firasat buruk , mimpi buruk , gangguan penghalang dan rintangan .
(Foto : Pantan Bahalai (kain Panjang) pada seminar yang diadakan oleh Indonesian Borneo Community - IBC)

Sehingga para tamu yang memotong pantan selalu mendapat per perlindungan dari Pencipta Alam Semesta atau Yang Maha Kuasa, sehingga para tamu tadi mendapat kesehatan, diperpanjangkan umur, dimurahkan rejeki dan dalam menjalankan tugas mendapat kesuksesan.
Kalau dilihat dari Zaman dulu (Zaman Nenek Moyang), pantan yang akan dipotong tersebut ada bermacam-macam sebagai berikut:

1. Pantan Haur (bambu) diperuntukkan penyambutan bagi orang yang baru pulang dari medan perang dengan membawa kemenangan dan pantan jenisnya mempergunakan Haur Kuning (Bambu Kuning).
2. Pantan Balanga (Tajaw) akan dipergunakan pada saat mengadakan acara Perkawinan Adat, sebagai simbol Kebangsawanan atau status sosial.
3. Pantan Garantung (Gong) tujuannya sama dengan mempergunakan Balanga (Tajaw).
4. Pantan Bawi yaitu menggunakan para gadis remaja biasanya dilakukan pada waktu pesta perkawianan.
5. Pantan Bahalai (kain Panjang) dipergunakan untuk para tamu Pejabat, orang terhormat status perempuan yang sulit menggunakan Mandau.
6. Pantan Tewu (Tebu) dipergunakan pada acara kegiatan bergotong royong saat-saat panen atau mengerjakan ladang.

Hal ini perlu sekali dikembangkan demi mengangkat Seni Budaya Dayak, nilai-nilai leluhur Nenek Moyang, supaya tetap berurat berakar dimasyarakat Dayak khususnya dan menjalin suatu persatuan kesatuan suku, Bangsa Indonesia pada umumnya.

sumber : www.utusdayakngajuberbagi.blogspot.com

Sunday, January 17, 2010

Melacak Jejak Suku Dayak Bakumpai.

Oleh: (*Setia Budhi)

Kliping Fokus Harian Kompas 9 Juli 2005
Original source: www.kompas.com
http://www.jurnalisme.org/Forums/viewtopic/t=70.html

Dinding Muller yang terjal dengan perjalanan selama dua hari, dari hulu Sungai Barito menuju hulu Sungai Mahakam, tak menyurutkan semangat anggota tim ekspedisi untuk terus bergerak.

Ini adalah ekspedisi penuh tantangan. Misi utama yang tergabung dalam tim antropologi itu di antaranya melacak kembali komunitas etnis Dayak di kawasan Muller yang dulu sebab daerah itu merupakan kawasan penelitian etnografi Borneo terpenting di kalangan peneliti Eropa sekitar abad ke-19.

Hari menjelang petang, gerimis menyapu tanah liat di Kampung Tumbang Topus. Kampung yang merupakan hulunya hulu Sungai Murung yang anak Sungai Barito ini merupakan kawasan pertemuan hampir semua suku Dayak. Kampung Tumbang Topus paling tidak dihuni enam suku Dayak dari Dayak Ot Danum, Dayak Siang Murung, Dayak Bahau, Dayak Kahayan, dan Dayak Bakumpai dan Dayak Punan Murung.

Di kampung yang hanya dimukimi sekitar 70 kepala keluarga ini boleh dikata hidup berkerumun berbagai suku Dayak, tanpa mengenal batasan kesukuan ataupun batas-batas teritorial.

Menelusuri jejak suku Dayak Bakumpai dalam dunia Dayak abad ke-21 sudah tentu akan berbeda dengan era di mana ritual ngayau atau memenggal kepala manusia, masih bersemayam dalam kisah petualangan para kepala suku Dayak masa lampau.

Tiba di hulu Sungai Barito, suara burung enggang melengking pendek di ketinggian pohon ulin yang menjulang. Ketika membaur dan bergaul intim dengan masyarakatnya,jejak Dayak Bakumpai terasa menjadi makin kuat.

Inilah kenyataan etnografi. Sebab bahasa Bakumpai yang menjadi bagian dari bahasa kelompok suku Dayak Ngaju, di Kampung Tumbang Topus masih terciri sebagai bagian dari percakapan sehari-hari.

Kisah para lelaki Dayak Bakumpai sebagai pencari kayu gaharu, peladang dan pemburu sarang burung walet yang merupakan primadona mata pencaharian penduduk, adalah cerita mengenai kegagahan dan maskulinitas tersendiri, pada jalinan sejarah suku Dayak di belantara Kalimantan ini.

Hans Scharer sebagai pakar antropologi Eropa mengategorikan orang Dayak di hulu Sungai Barito adalah Dayak Ngaju. Ngaju di dalam bahasa lokal berarti "Ke hulu" dan digunakan pula dengan Ngajus untuk mencirikan diri mereka berbeda dari oloh Tumbang atau orang-orang dari muara sungai.

Batu tulis Saripoi

Apabila Bernard Sellato menyebutkan di pedalaman Kalimantan Tengah terdapat suku Dayak Ot Danum yang dihubungkan dengan Ngaju atau di Sungai Barito disebut juga Biaju, maka Ngaju adalah suku Dayak yang populasinya dominan di Provinsi Kalimantan Tengah. Mereka inilah yang ditemukan di sepanjang sungai yang mengalir ke Kalimantan Selatan, hingga tembus ke Laut Jawa.

Dialek bahasa Dayak Ngaju di Sungai Kahayan memang menjadi bahasa penghubung di Kalimantan Tengah yang begitu kuatnya sehingga masih tetap digunakan sebagai bahasa sehari-hari warga di Tumbang Karamo, Desa Tujang, dan Kampung Tumbang Topus.

Malah beberapa ritual pun masih tetap dijalankan di desa-desa tepian Sungai Barito itu. Bahkan pada setiap kampung di hulu Barito, masih ditemukan patung peninggalan upacara Tiwah, upacara pengantar arwah ke negeri para leluhur.

Sejauh ini diketahui bahwa orang Dayak Ngaju tidak pernah membangun rumah panjang. Akan tetapi, di sungai hulu Barito di Desa Makunjung, Desa Konut, dan Muara Bubuat, tradisi rumah panjang masih bertahan dan menjadi bagian hidup dan budaya.

Perjumpaan dengan Batu Bertulis atau Batu Antik Lada di Desa Saripoi, Kecamatan Sumber Barito, merupakan suatu pembuktian penting dari kedekatan suku Dayak Bakumpai dengan Dayak Siang dan Ot Danum.

Suku Dayak Siang menyebut Batu Bertulis di Saripoi sebagai bukti peninggalan seorang tokoh yang bernama Lada. Maka orang Bakumpai mengenal Ngabe Lada sebagai tokoh yang hidup pada masa awal migrasi besar-besaran orang Bakumpai di hulu Barito, yang meneruskan perjalanannya ke hulu Sungai Mahakam.

Ngabe Lada adalah narasi lain yang mungkin akan sangat berguna, untuk mengetahui kisah panjang mengenai leluhur suku Dayak Bakumpai, selain tokoh Datu Bahandang Balau.

Ketokohan Ngabe Lada maupun Datu Bahandang Balau dalam mitologi Dayak Bakumpai tentulah akan sangat membantu penelusuran hubungan rapat antara Dayak Bakumpai dan Dayak Siang, Murung, dan Ot Danum.

Kalau benar Sang Lada atau Ngabe Lada meninggalkan kisah di Batu Bertulis di Desa Saripoi, di mana menggambarkan kisah suci pohon kehidupan Batang Garing, rumah panggung, dan goresan cerita alam pewayangan, maka yang terakhir seperti hendak menyatakan bahwa muasal ritual manyanggar lebo dan Badewa pada suku Dayak Bakumpai sebagai faktual akan kedayakan orang-orang Bakumpai.

Ritual Badewa, menyanggar, dan menggunakan bahasa Ngaju pada komunitas Bakumpai memiliki makna penting yang tak dapat dibantah bahwa Bakumpai adalah Dayak. Sesuatu yang belakangan telah menjadi rujukan etnografi meskipun sejarah kolonial mengotakkan suku Bakumpai yang Islam menjadi Melayu atau oloh Melayu.

Migrasi ke Mahakam

Rombongan pun tiba di Sungai Sebunut, Kalimantan Timur, dengan selamat. Saat itu juga terdengar denging mesin gergaji chainsaw. Di tanah daerah Kecamatan Long Bagun Ulu itu ternyata ada kisah menarik tentang jejak perjalanan Dayak Bakumpai ke Mahakam. Tentu saja kisah penuh nestapa ketika anak-anak manusia Bakumpai itu mencari tanah kehidupan lebih baik sambil menjaga dan mempertahankan hidupnya.

Selayaknya orang Bakumpai yang bermata pencaharian pokok sebagai petani tadah hujan di kampung asal Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, kehidupan yang amat bergantung pada kemurahan dan kemudahan alam, sungguh sulit dapat mendatangkan perubahan.

Juga di zaman penjajahan Belanda, jalur migrasi Bakumpai ke hulu Mahakam melalui Pegunungan Muller sungguh sulit.

Belanda sudah membangun benteng dengan pemeriksaan ketatnya di Puruk Cahu, untuk mengawasi lalu lintas perdagangan emas dan hasil hutan. Misalnya, kasus terbunuhnya kapten serdadu Belanda dalam kemelut peperangan melawan Panglima Durasyid sekitar tengah abad ke-19.

Sementara itu, Mahakam yang sejak dulu disebut-sebut sebagai lumbung emas, hutan yang lebat, sarang walet, dan kayu gaharu menjadi daya tarik arus migrasi Bakumpai. Itulah yang membuat Maja, Ucu Lii, dan Harpan pada tahun 1969 terangsang untuk mengadu nasib dan mempertaruhkan badan dan tenaganya, pergi ke hulu Mahakam.

Jalur pertama yang mereka tempuh adalah jalan kaki dari Muara Teweh ke kampung orang-orang Benuaq di kawasan Kutai Barat sekarang. Perjalanan waktu telah mengantarkan orang-orang Bakumpai perantau dan melakukan kontak dengan kampung-kampung lain di Datah Bilang, Mamahak, Long Bagun, bahkan pernah sampai ke daerah Kapit-Kelabit di Malaysia.

"Ngayau dan perampok merupakan cerita nyata yang kami alami sendiri, selama mengembara di hutan-hutan mencari sarang walet, atau menebang kayu" kata Maja di rumahnya di Kampung Long Bagun Ulu, Kaltim.

Penuturan Ni Galuh di Long Iram menyebutkan bahwa fase awal orang Bakumpai ke Kaltim karena tekanan pada situasi Perang Barito tahun 1863. Banyak orang Bakumpai bersama orang-orang Banjar di Puruk Cahu, Muara Teweh, dan Marabahan yang menyingkir ke Mahakam untuk menghindari perang yang berkecamuk itu.

Sesudah pejuang Bakumpai bersama Dayak Siang dan Dayak Ot Danum menenggelamkan kapal perang Belanda Onrust di hulu Sungai Barito, sejak itu pula Belanda "memburu" tokoh pejuang itu, antara lain Tumenggung Surapati dan Panglima Wangkang.

Pencarian tanpa batas oleh pihak Belanda itulah yang meresahkan penduduk dan akhirnya penduduk memilih menyingkir ke Mahakam, lalu sebagian lagi ke Waringin.

Khususnya Long Iram yang sempat menjadi kampung perdagangan di wilayah hulu di bawah Kerajaan Kutai. Pembangunan Long Iram tak lepas dari orang Bakumpai meski Long Iram sudah dihuni orang Dayak Bahau.

Jejak suku Dayak Bakumpai tak hanya berhenti di Long Iram. Generasi kedua dan ketiga sesudah tokoh Dayak Bakumpai itu terus melakukan diaspora ke pelbagai kawasan karena Dayak Bakumpai memiliki riwayat peradaban di Kalimantan.

*) Setia Budhi Dosen Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, dan Peneliti mengenai Dayak Kalimantan

Sumber foto : http://lalimpala.blogspot.com/2008/09/upacara-adat-badewa-masy.html

Friday, January 15, 2010

BATU AYAU: JALUR EKSPEDISI PARA PEMOTONG KEPALA

(*Oleh: Marko Mahin)

Inilah gunung mitologis orang Ot Danum.
Mereka menamakan tempat ini sebagai Tantan Uhing Doung
tempat para pahlawan menyatakan niat suci untuk
mengembalikan harga diri yang telah dirampas kaum durjana.

Bulu kuduk langsung merinding ketika menapak Batu Ayau. Sebagai putra Dayak, penulis tahu persis Batu Kayau adalah tempat para pengayau menyatakan tekadnya untuk melpenuliskan perburuan kepala. Dendam, kebencian, dan pengpenulisan dosa ditumpahkan di tempat ini.
"Jika tiba di Batu Ayau jangan lupa melpenuliskan sedikit ritual," demikian pesan seorang tetuha kampung sebelum kami pergi. Pesan itu terus bergaung ketika kami bermalam di Takolok Tangga atau Kepala Tangga. Jujur, kegelisahan langsung menyergap karena penulis tidak ada membawa apa-apa.
"Tidak harus binatang korban, sepucuk rokok juga boleh," demikian penjelasan Amai Ica, Tetuha Adat yang ikut mengantar kami. Penjelasan itu menentramkan batin, sehingga penulis bisa tertidur pulas malam itu.
Di bawah cahaya mentari pagi yang kekuningan, dengan takzim satu batang rokok kretek diletakkan di tempat persembahan yang sudah disiapkan. Penuh dengan rasa hormat penulis mementaskan ulang ritual para leluhurku. Di situ penulis memperkenalkan diri sebagai salah satu keturunan yang baru pertama kali menjejakan kaki di Batu Ayau. Kemudian memberitahukan niat dan tujuan Tim Ekspedisi Kompas melintasi tempat itu.

Jalur Asang-Kayau
Dengan dinding terjal yang tegak, Batu Ayau memang tampak menyeramkan. Dalam Tetek Tatum atau Sastra Suci orang Ot Danum, tempat ini disebut Tantan Uhing Doung atau Puncak Uhing Doung.
Pada zaman dahulu, di tempat yang tingginya 1.652 meter ini para lelaki Dayak diinisasi. Seorang pemuda Dayak tidak akan dipenulisi sebagai lelaki dewasa kalau tidak pernah melintasi tempat ini. Ketika meminang seorang perempuan, maka secara halus akan ditanya "Apakah pernah melintasi Batu Ayau?"�
Pertanyaan itu hanyalah kiasan untuk mengetahui apakah sang lelaki itu pernah merantau jauh meninggalkan kampung kelahiran untuk mencari pengalaman hidup. Juga untuk mengetahui apakah ia laki-laki tangguh yang kuat menderita ketika menjelajah hutan, mengarung sungai dan mendaki bukit. Lebih spesifik lagi untuk mengetahui apakah ia pernah ikut mengayau ke arah Timur yaitu dengan melintas Batu Ayau.
Ketika asang-kayau atau perburuan kepala masih berlpenulis di pedalaman Kalimantan, dinding Muller merupakan tapal batas pemisah antar suku-suku yang saling berperang.
Asang berbeda dari kayau. Asang dilpenuliskan dalam kelompok besar dan penyerangan dilpenuliskan dengan pemberitahuan terlebih dahulu. Asang lebih merupakan ekspedisi para pemotong kepala. Sedangkan kayau dilpenuliskan oleh kelompok kecil, 3, 5, 7 atau 9 orang saja dan dilpenuliskan dengan tanpa pemberitahuan. Dalam Tetek Tatum diceritakan bahwa untuk menghindari asang ganas dari sungai Mahakam, orang-orang Ot Danum yang tinggal di hulu Sungai Joloi, anak sungai Barito bagian hulu, harus melpenuliskan pengungsian ke sungai Kahayan.

Tim Ekspedisi Rambang
“Dulu pada zaman Rambang, Tambun, Bungai dan Ringkai, di Batu Ayau ada titian ulin kami menyebutnya Pantar Rambang"�, demikian penjelasan masyarakat Tumbang Topus, ketika ditanya mengenai Batu Ayau.
Menurut Tetek Tatum, Rambang, Tambun, Bungai dan Ringkai adalah tokoh hero orang Ot Danum. Mereka adalah 4 pemuda yang bertekad melpenuliskan baleh-bunu atau menuntut balas atas perlpenulisan kejam orang Dayak Mahakam yang telah membuat leluhur mereka secara paksa mengungsi ke Kahayan. Dengan membawa serta 30 orang lainnya mereka melpenuliskan asang ke sungai Mahakam.
Setelah berpuluh-puluh hari menjelajahi hutan rimba, tibalah mereka di kaki Gunung Uhing Doung. Untuk mencapai puncak mereka membuat tangga dan dan tali-tali pengait. Mereka harus menebang pohon dan mengumpulkan rotan, kemudian memanjat dan mengikat. Melalui tangga dan kaitan itu tibalah mereka di Tantan Uhing Doung. Dari situ mereka berencana berjalan ke arah Timur menuju sungai Mahakam.
Namun ditempat itu mereka menghadapi masalah karena terdapat celah gunung yang curam sekali. Tempat itu mereka beri nama Petak Tapas atau Jurang Maha Dalam.
Untuk menyeberangi jurang maha dalam itu anggota tim membuat pantar atau jembatan/titian dari kayu ulin. Jembatan itu disebut dengan Pantar Rambang atau Titian Rambang. Menurut masyarakat Tumbang Topus, jurang maha dalam dan Pantar Rambang itu telah gaib, lenyap dari pandangan mata dan tidak dapat ditemukan lagi.
Dalam pembuatan titian penyeberangan itu, salah seorang dari anggota ekspedisi yang bernama Bihing jatuh ke dalam jurang Petak Tapas itu. Untuk mencari dan menyelamatkan Bihing yang jatuh ke jurang maha dalam itu, semua anggota tim ekspedisi mengumpulkan semua rotan yang ada di Batu Ayau. Namun Bihing tidak ditemukan juga.
Menurut orang Punan Murung di Tumbang Topus, hal itulah yang mengakibatkan tidak ada lagi tumbuhan rotan di sekitar Batu Ayau. Rotan sudah habis di pakai oleh Tim Ekspedisi Rambang untuk membuat tali, untuk mencari Bihing yang terjatuh.
Alkisah, untuk menghibur Tambun dan Bungai yang terus menerus menangis karena kehilangan Bihing paman tercinta mereka, Ramang membuat Patung Sapi. Sampai tahun 1980-an batu yang oleh penduduk setempat disebut dengan Batu Sapi itu masih ada. Namun kini batu itu telah dijarah oleh para pencuri dan dijual entah kemana.
Setelah menyeberangi jurang Petak Tapas, maka mereka berjalan menuruni gunung, menuju ke satu kampung di tepian sungai Mahakam. Kampung itu bernama Rangan Pulang, di mana Kandang Motong Anak Towong berada, pemimpin Dayak Mahakam yang ganas dan gagah berani. Menurut ceritera di sana Tim Ekspedisi Ramang melpenuliskan asang dan meraih kemenangan.

Batu Pengpenulisan Dosa
Tempat dimana Rambang membuat jembatan ulin dan Batu Sapi itulah yang sekarang disebut Batu Ayau. Pada zaman dahulu, setiap lelaki Dayak yang akan pergi mengayau ke Timur kalau melintasi Batu Ayau haruslah membuat semacam "pengpenulisan dosa"� bahwa keberangkatan mereka bukanlah sekedar iseng atau mencari orang yang tak bersalah, tetapi untuk mengambil kembali roh keluarga yang telah direngut oleh para durjana. Pengpenulisan semacam ini penting untuk dilpenuliskan sebab bagi orang Dayak penumpahan darah dengan tanpa alasan adalah perbuatan terkutuk.
Selain itu, di Batu Ayau juga menjadi tempat melpenuliskan beberapa ritual sebelum melpenuliskan penyerangan. Ritual itu antara lain mangahau liau yaitu upacara memanggil roh-roh keluarga yang dulu telah dipenggal kepalanya oleh musuh. Roh-roh itu diminta bersiap-siap sebab ada kaum keluarga yang akan datang menjemput.
Ritual lain adalah mandoi penyang yaitu setiap anggota ekspedisi pengayauan mandi dari air kucuran rendaman jimat yang ditumpahkan melalui rambat atau keranjang rotan. Setelah itu mereka marapi sabakang yaitu memasak nasi dalam bambu tamiang yang panjangnya kira-kira setengah meter. Tiap orang mendapat satu potongan nasi bambu.

Perdamaian Para Pengayau
Pada masa lalu, Tanah Borneo memang pekat dengan kengerian. Pesisir pantainya dihuni oleh para bajak laut dan daerah pedalaman merupakan arena berdarah kaum pengayau. Para ahli sejarah dan antropologi sepakat, situasi inilah yang membuat populasi di pulau besar ini tidak pernah banyak.
Pada tanggal 22 Mei - 24 Juli 1894, berkumpullah kurang lebih 830 orang Dayak di Tumbang Anoi yaitu sebuah perkampungan orang Ot Danum di hulu sungai Kahayan. Mereka menyelenggarakan rapat adat yang kini disebut dengan Rapat Damai Tumbang Anoi. Dalam Rapat Damai itu dibicarakan tentang hakayau-haasang-habunu (saling potong kepala, saling serang-saling dendam), hal-hal yang selama ini menggelisahkan dan membuat kehidupan mereka tidak nyaman.
Sangat luar-biasa! Orang-orang Dayak yang selama ini dianggap primitif dalam jangka waktu 32 hari itu telah membicarakan 233 perkara. Perkara-perkara yang dibicarakan adalah masalah kayau (perburuan dan pemotongan kepala), habunu (balas dendam), jipen-kabalik (pengorbanan manusia dalam upacara kematian, masalah penyanderaan, perampokan, perkara perkawinan dan masalah warisan).
Pertemuan damai yang dilaksanakan selama 32 hari itu berhasil menciptakan sejarah baru di bumi Kalimantan. Peradaban yang tanpa peperangan dan pemenggalan kepala telah lahir. Kesepakatan bersama pun diambil yaitu: menghentikan kebiasaan perang antar suku (asang) dan pemenggalan kepala (hakayau, menghentikan kebiasaan balas dendam (habaleh-bunu). Sejak itu tidak ada lagi korban kepala manusia dan perbudakan. Denda adat (jipen) yang dulunya dalam rupa manusia diganti dengan uang. Hukum adat diberlpenuliskan sebagai sistem peradilan suku.
Pada 24 Juli 1894, Rapat Damai itu ditutup dengan angkat sumpah bersama. Di hadapan Allah Pencipta dan disaksikan oleh para leluhur mereka bersumpah bahwa mulai hari itu sampai selamanya, baik mereka maupun keturunan mereka, akan tidak lagi saling hakayau-haasang-habunu. Setelah itu dilanjutkan dengan upacara perdamaian Tipuk Danum yaitu upacara pembersihan dendam dan kebencian.

Ziarah Spiritual
Di puncak Batu Ayau tampak tertancap beberapa potong kayu kecil berukuran kira satu depa. Diujung yang terbelah terselip satu atau dua bilah rokok kretek. “Inilah cara orang Dayak melaporkan dirinya, bila pertama kali melintas Batu Ayau haruslah memberi persembahan walaupun hanya sepucuk rokok, demikian penjelasan Amai Ica ketika ditanya apa arti dari kayu-kayu kecil yang ditancapkan itu.
Kendatipun era asang-kayau telah berlalu sejak Rapat Damai Tumbang Anoi 1894, Batu Ayau tidak pudar pesona mistisnya. Ia bukanlah sekedar dinding terjal curam penyimpan ceritera kepahlawanan Dayak, tetapi juga telah menjadi tempat ziarah spiritual. Ada banyak orang Dayak yang secara sengaja datang ke tempat itu. Selain untuk menapak-tilas cerita Rambang, Tambun, Bungai dan Ringkai, juga untuk bahajat yaitu untuk menyatakan niat hati, keprihatinan batin dan cita-cita hidup.
Sungguh, penulis ingin kembali ke Batu Ayau. Selain untuk mengibarkan bendera kuning dan mempersembahkan korban syukur, juga untuk membuat pengpenulisan dosa. Dosa karena tidak-berdaya melawan penjarahan hutan belantara “emas hijau" Kalimantan yang menjadi paru-paru dunia.


* MARKO MAHIN adalah Dosen Agama dan Budaya Dayak
di Sekolah Tinggi Teologi
Gereja Kalimantan Evangelis Banjarmasin
dan Peneliti di Lembaga Studi Dayak-21.

sumber : http://www.jurnalisme.org/Forums/viewtopic/t=85.html
 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube