BREAKING
  • Wisata pasar terapung muara kuin di Banjarmasin

    Pasar Terapung Muara Kuin adalah Pasar Tradisional yang berada di atas Sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

  • Perayaan Cap Gomeh di kota amoy

    Singkawang adalah merupakan kota wisata di kalbar yang terkenal . salah satu event budaya yang selalu digaungkan untuk mempromosikan kota ini adalah event perayaan Cap Gomeh.

  • Sumpit Senjata Tradisional Suku Dayak

    Sumpit adalah salah satu senjata berburu tradisonal khas Suku Dayak yang cara menggunakannya dengan cara meniup anak damak (peluru) dari bilah kayu bulat yang dilubangi tengahnya.

  • Ritual Menyambut Tamu Suku Dayak

    Ritual ini di lakukan pada saat suku Dayak menyambut tamu agung dengan memberi kesempatan sang tamu agung untuk memotong bulu dengan Mandau

Tuesday, December 22, 2009

Kesadaran Politik Dayak dalam Teropong Sejarah

Oleh Christian P. Sidenden*)

Acara bertajuk Sejarah Kalteng di ruang tamu H. Sabran Ahmad, baru-baru ini terlaksana berkat inisiatif budayawan JJ. Kusni dan istrinya, Andriani S. Kusni, sebagai upaya pembinaan kesadaran menulis generasi muda Dayak di kota budaya, Palangka Raya.

Sedianya pembekalan dari H. Sabran Ahmad dilakukan dalam beberapa sesi, hasilnya akan disunting menjadi sebuah karya jurnalistik. H. Sabran Ahmad adalah pelaku sejara KalTeng yang masih hidup. Pada tahun 2-5/12/1956, ia turut menjadi anggota panitia persiapan Kongres Masyarakat Dayak I yang berlangsung di Banjarmasin. Waktu itu peserta yang hadir berjumlah 600 orang lebih. Saksi hidup lain dari peristiwa penting tersebut adalah Mubangil. Hanya mereka berdua yang masih hidup.

Kongres tersebut dilakukan guna mempercepat pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Hal-hal yang melandasi dilakukanya Kongres Dayak I adalah pertama, pembagian Pulau Kalimantan menjadi 3 provinsi (Barat, Timur dan Selatan) dirasakan sangat tidak menguntungkan masyarakat Dayak Besar. Sebagaimana dijelaskan Sabran, yang termasuk kategori orang-orang Dayak Besar adalah mereka yang menghuni wilayah diantara Sungai Katingan di Barat hingga Sungai Barito di Timur. Kedua, oleh karena wilayah Dayak Besar ini sendiri oleh Pemerintahan Pusat dimasukkan ke dalam Provinsi Kalimantan Selatan dan orang-orang Banjar tidak mau lagi disebut ataupun menyebut diri sebagai ‘Dayak’ maka tujuan kongres ialah merekomendasikan kepada DPR Pusat untuk melakukan pemisahan segera dari Kalimantan Selatan. Hasil dari kongres, suara bulat mendorong percepatan persiapan pembentukan provinsi baru.

Beberapa bulan kemudian lahirlah UU Darurat No. 10/1957 tertanggal 23 Mei, resmi keputusan pemerintahan pusat mengesahkan lahirnya Provinsi Kalteng. Tanggal tersebut kemudian dijadikan tanggal merayakan HUT Kalteng. Kantor persiapan pembentukan Provinsi Kalteng diketuai Tjilik Riwut, G. Obos, dan F. Patianom.

Kesadaran masyarakat Dayak Besar sebenarnya jauh melampaui Soempah Pemoeda 1928. Sebagaimana dikisahkan Sabran, pada tahun 1919 telah didirikan organisasi Sarikat Dayak di Tumbang Kapuas (sekarang Kuala Kapuas). Ketua perhimpunan adalah Luwi Khamis. Kemudian Sarikat Dayak diubah menjadi Pakat Dayak guna lebih menajamkan kesadaran nasionalisme Dayak pada tahun 1926, dua tahun mendahului Kongres Pemoeda I Idonesia di Jakarta yang melahirkan Soempah Pemoeda. Katua Pakat Dayak dipercayakan pada Oesman Baboe. Pada tahun itu pula (1926), lahir organisasi wirausahawan bernama Sarikat Dagang Dayak (SDD) yang tiga tahun kemudian mendirikan Majalah Suara Pakat sebagai karya jurnalistik pertama orang-orang Dayak Besar.

Sabran menegaskan, bahwa pengetahuan atas sejarah suku bangsa Dayak ini harusnya disebarluaskan kepada publik agar jangan lagi orang-orang Dayak diadikan sasaran banyak label negatif dan tak produktif. Sabran menegaskan lagi, bahwa pembentukan NKRI seharusnya dipahami turut dibidani pula oleh kesadaran bertanah air, bersuku bangsa, dan berbahasa Dayak. Jadi, berbanggalah seharusnya kita sebagai orang Dayak!

*)Christian P. Sidenden, Wartawan Tabengan. Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Umum Tabengan, Kamis, 17/12/2009

Sumber : www.jurnaltoddoppuli.wordpress.com

“TETEK TATUM”: LANGKAH AWAL PENAPAKAN HISTORISITAS MANUSIA DAYAK NGAJU

Oleh: Anthony Nyahu

Manusia Dayak Ngaju tidak hidup dalam tradisi tulis sama seperti kebanyakan suku bangsa lain di dunia. Namun, masyarakat Dayak bukan berarti tidak mengenal akan sejarahnya. Satu-satunya upaya untuk memahami perjalanan kehidupan suku di masa lalu adalah berbagai bentuk kearifan lokal dan kegiatan bersastranya. Di dalam tradisi lisan, kegiatan bersastra tersebut sangat menonjol yang ditandai dengan berbagai bentuk tuturan. Tuturan tersebut dapat berupa puisi-puisi etnik (lihat Danandjaya 1992; Mage 2008), aneka bentuk pengharapan-pengharapan tradisional, ungkapan-ungkapan dan dongeng-dongeng tradisional (bdk. Riwut 1993; dan Riwut 2004).
Ketiadaan literatur suku Dayak Ngaju dalam upaya menapaki jejak-jejak sejarah kearifan leluhur di masa lalu, bukanlah suatu alasan untuk menyebut bahwa leluhur suku ini memiliki derajat kebudayaan yang rendah (inferior). Satu-satunya rujukan tradisional yang dimiliki hanya “Tetek Tatum” yang terbangun secara “antara nyata dan tiada” sebuah bangunan imajiner; in illo tempore, ab origine sebagai struktur antara kenyataan yang dimitoskan atau mitos yang berusaha dan “seolah-olah” dinyatakan (bandingkan Eliade 1991). “Tetek Tatum” merupakan bangunan kronologis sejarah yang mengetengahkan proses panjang manusia Dayak, di mana mulai dikenalnya konsep-konsep tentang akulturasi, konsep-konsep yang runtun memandang masuknya pengaruh eksternal yang muncul. “Tetek Tatum” atau disebut sebagai “Periode Ratapan” atau “Ratap Tangis Sejati” (Riwut 1993:75), “Zaman Ratap Tangis” (lihat pula Ugang, 1983), merupakan masa-masa krisis yang dialami manusia Dayak. Pada masa itu, berbagai bentuk upaya “invasi-antithesis” muncul. Aneka bentuk penderitaan berkepanjangan mendera. Hingga muncul pula upaya defensif atas situasi tersebut dengan hadirnya pahlawan-pahlawan gagah berani seperti Rambang, Ringkai, Tambun, Bungai dan lain-lain. Ugang menyebutnya sebagai awal pertemuan kebudayaan Dayak Ngaju dengan kebudayaan luar seperti Hindu-Buddha, Kong Hu Cu, Islam dan Kristen. Berhubung pertemuan itu berlangsung sejak berpuluh-puluh abad lamanya. Maka tidaklah mudah untuk menyimpulkan bahwa kebudayaan Dayak Ngaju itu telah berubah atau dipengaruhi oleh kebudayaan dari luar itu. Namun, yang pasti pertemuan kebudayaan tersebut telah membentuk semacam kebudayaan (baca: kepercayaan-pen) baru dengan tatanan yang saling melengkapi yang dikenal dengan Kaharingan sekarang (1983:4).
Jauh sebelum dikenalnya tuturan tentang “Tetek Tatum”, masyarakat Dayak Ngaju sudah mengenal periodisasi masa yang melingkupi kehidupan mereka dari waktu ke waktu. Ada tiga istilah yang dikemukakan Ugang di dalam struktur kehidupan yang disebut “lewu” atau negeri, “Lewun Sangiang”, “Lewun Sansana”, dan “Lewun Tetek Tatum” (1983:2). Mengapa ada tiga “lewu” dalam konsep tersebut? Pertama, ada tiga konsep yang mempunyai benang merah dengan alam dalam pandangan teologis Kristen bahwa “lewun Sangiang” merupakan representasi dari sebuah satuan imajiner tentang sebuah bangunan transedental “surga”, di mana yang hidup di sana adalah para dewa dalam perspektif Kaharingan: Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Bunu. Kedua, ketiga fase tersebut menunjukkan bahwa ketiga “lewu” yang menjadi semacam “lansekap imajiner” manusia Dayak Ngaju menyiratkan adanya tiga periodisasi zaman yang sama sekali berbeda berdasarkan “konstruksi” dunia yang melatarinya: “zaman Sangiang” dan “zaman Sansana” sebagai penggemaan prototipe mitis in illo tempore itu, dan zaman “Tetek Tatum”. Ketiga, bahwa langkah awal pijakan “manusia baru”, manusia Dayak berada pada periodisasi zaman yang ketiga, yaitu “Tetek Tatum”, yang di dalamnya menggambarkan pertemuan manusia Dayak dengan aneka kebudayaan yang datang dari luar. Konsep kedua zaman sebelum “Tetek Tatum” merupakan konsep yang sangat sulit untuk dicocokkan dengan periodisasi waktu karena hingga kini tidak ditemukan fakta yang mendasari itu. Tetapi yang jelas adalah “zaman Tetek Tatum” berawal sebelum abad ke-17.
Konteks demikian lebih tajam dinyatakan Eliade sebagai cara untuk memahami eksistensi dan sejarah manusia dalam cakrawala ontologis dan spiritualitas kuno bahwa koleksi fakta terbagi menjadi, 1) fakta yang ditujukan kepada kita, bagi manusia kuno, realitas itu merupakan fungsi imitasi atas arketipe surga (langit); 2) fakta yang ditunjukkan kepada kita bagaimana realitas itu dianugerahkan melalui partisipasi dalam “simbolisme Pusat”: kota, kuil, rumah,menjadi nyata karena fakta tentang keberadaannya diasimilasikan dengan “pusat dunia”; 3) Akhirnya, ritual dan isyarat profan yang penting dihubungkan dengan mereka dan mematerialisasikan makna tersebut hanya karena mereka diulang secara sengaja dengan tindakan sebagaimana adanya yang diberikan oleh para dewa, pahlawan atau leluhur (1991:5—6).
Mengapa zaman “Tetek Tatum” diangkat sebagai arketipe Dayak secara historis, tentu alasan pertama seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa tiada langkah yang paling faktual untuk melacak sejarah itu berkaitan dengan tidak ditemui tradisi tulis pada masyarakat Dayak. Kedua, kalau demikian adanya, mengapa pula suatu kebudayaan yang berderajat rendah/inferior mampu melahirkan begitu banyak karya sastra lisan, termasuk puisi-puisi etnik di dalam kebudayaannya? Eliade menyatakan bahwa dalam perilaku sadarnya yang khas, manusia “primitif” kuno tidak menerima tindakan yang sebelumnya tidak dilakukan atau dihidupi orang lain, sesuatu yang lain yang bukan manusia. Apapun yang dia lakukan telah dilakukan sebelumnya. Hidupnya merupakan pengulangan-pengulangan atas sikap yang diawali oleh orang lain (1991:5).
Jawaban yang penting untuk pertanyaan di atas bermuara pada upaya-upaya eskavasi muatan kronologis yang terdapat dalam karya-karya sastra tersebut. Kita akan terperangah ketika mendengarkan “Sansana Bandar” atau Riwayat Bandar, Tambun, Bungai dan seterusnya. Kita sebagai manusia Dayak post-modern hanya memandang filosofi karya sastra tersebut sebagai fosil-fosil yang usang—namun keberadaannya ternyata mampu menjadi napas bagi konstelasi zaman setelahnya. Riwut mengklasifikasi paling tidak terdapat 20-an jenis karya sastra lisan lainnya. Sebagian besar belum ditransliterasi dan ditranskripsikan. Sangat disayangkan, apabila kearifan lokal dan keagungan sastra lisan Dayak itu menjadi dokumen “illiterate” yang punah ditelan zaman.[AN]

Sumber : www.nyahudayak.blogspot.com

Sunday, December 20, 2009

SISTEM PERLADANGAN SEBAGAI MODEL PELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI, Studi Kasus Prakter Terbaik Pada Orang Salako di Kalimantan Barat

Oleh Yohanes Supriyadi

Orang Salako khususnya dan Masyarakat Dayak lainnya sering dianggap sebagai kumpulan orang yang bermukim didalam dan dipinggir hutan. Hidupnya berpindah-pindah untuk menebangi areal hutan yang satu kea real yang lainnya. System perpindahan inilah yang sering menjadi rancu, sehingga meminta perdebatan panjang antar komponen masyarakat yang tidak paham. Perpindahan lahan pertanian ini sebenarnya bisa menetap jika ketersediaan tanah mendukung. Orang Salako bisa menetap lebih 100 tahun karena mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup.

Untuk memenuhi kebutuhan pangan, mereka berladang. Saat itu jumlah penduduknya seimbang dengan ketersediaan lahan sehingga mereka mampu mempraktekan pola tradisional dengan kesuburan tanah yang terpelihara. Dilahan yang relative datar dan air cukup tersedia, mereka bersawah. Sawah mulai dikenal mereka sejak masuknya imigran Cina dari Tiongkok kewilayah mereka. System persawahan mereka pun masih semi permanen karena dikerjakan hanya setahun sekali yakni pada musim hujan saja. Untuk keperluan lain seperti membeli garam, minyak, peralatan, pakaian dan pendidikan mereka menorah karet alam/local serta mengandalkan hasil hutan berupa rotan, damar atau hasil buruan ditanah adat yang mereka pelihara kelestariannya.
Dalam berladang, orang Salako sangat tanggap terhadap situasi. Misalnya mereka akan memperluas sawah jika hasil ritual baburukng (mendengar rasi ) dalam upacara adat baburukng mengisyaratkan musim hujan agak lama serta mengurangi pembukaan lahan untuk lading. Demikian pula pemilihan lahan untuk lading, mereka lakukan dengan penuh perhitungan mengingat lading merupakan sumber pangan yang terpenting bagi kelangsungan hidup anggota keluarganya. Menurut budaya orang Salako, membuat ladang ada aturannya dan tidak setiap jenis hutan dapat dijadikan ladang. Dengan demikian, ladang bagi orang Salako bukan hanya menjadi sumber pangan, akan tetapi sebagai identitas. Hal ini tercermin dari beberapa hal, yakni :

Nilai-nilai Penyelamatan
Pernahkah kita menyadari bahwa ditangan petani Salako terkandung nilai pelestarian plasma nuftah padi ? dunia saat ini disibukkan dengan penyelamatan biodiversity atau keanekaragaman hayati dengan pokok perbincangan selalu berteknologi tinggi dan bio teknologi dengan peralatan yang canggih. Belum banyak orang mengerti, apalagi menyadari bahwa orang Salako yang dianggap primitif itu mempunyai budaya melestarikan plasma nutfah. Banyak prinsip hidup orang Salako yang sejalan dengan kiat mutakhir misalnya bagaimana menjaga keseimbangan dinamis lingkungan alamJarang sekali terlintas dalam benak kita bahwa budaya Orang Salako ternyata tidak kalah berperan dalam menyelamatkan keanekaragaman tumbuhan pangan.
Orang Salako mempunyai kekayaan jenis makanan yang tinggi. Jenis tumbuhan tersebut mereka tanam diladang atau mereka pelihara di pekarangan rumah. Bahkan ada yang dibiarkan tumbuh dilahan yang semi liar. Pemeliharaan ini terkait dengan prinsip keberlangsungan ( sustainability ) dan pengamanan ( security ) panen. Sebagai contoh di kampung Rees paling tidak memelihara sekitar 33 jenis padi local, yang terdiri dari 13 jenis padi lokal, 14 jenis padi sawah serta 6 jenis padi rawa-rawa/gambut.
Selain itu terdapat 21 jenis tanaman lainnya sebagai tumpang sari. Puluhan jenis varietas padi dan tanaman lain itu selalu ditanam dalam setiap musim tanam, walaupun tidak semuanya untuk tujuan produksi. Orang Salako di kampung Tahumatn menyebutnya Ngago’ Barakat Padi Tuha yang artinya kira-kira untuk mendapatkan berkat padi jaman dulu. Mereka percaya bahwa dengan menyimpan jenis padi tuha/local ada suatu berkat untuk hasil pertanian pada musim tanam saat itu. Lihat table 1.

Pengorganisasian berladang

Orang Salako mengenal ada 3 kekuatan besar yang saling mempengaruhi dalam kehidupan mereka, yakni Negara Indonesia, Para Pengusaha dan mereka sendiri. Sadar bahwa jika kekuatan (gabungan 3 elemen, organisasi, teknik dan informasi ) dari 3 aktor ini tidak seimbang, maka terjadi penumpukan dan pengumpulan kekuatan hanya pada beberapa local saja. Fakta bahwa kekuatan yang dimiliki local dan modal sangat besar, sementara mereka selalu dalam kondisi apa adanya. Pertemuan kekuatan antara negara dan modal menciptakan kompromi yang menghasilkan pengaturan atau kebijakan baru dalam pemanfaatan berbagai fasilitas kehidupan seperti pengelolaan hasil hutan, penguasaan tanah, laut dsb yang ternyata hanya mengutamakan kepentingan local dan modal saja. Sementara orang Salako tetap terpinggirkan dan hanya menjadi penonton serta korban dari ketimpangan perimbangan kekuatan ini. Dengan kata lain orang Salako hanya sebagai objek dari gagasan dan kebijakan yang dibuat kekuatan Negara dan modal tersebut. Praktek dan pola diatas jelas menghasilkan kerugian bagi mereka yakni kesenjangan sosial yang pada akhirnya diikuti proses pembodohan dan pemiskinan secara global.
Semenjak tumbangnya penguasa colonial, orde lama dan orde baru adalah fakta bahwa dalam komunitas yang disebut negara, banyak aktor yang bermain sendiri-sendiri. Begitu pula komunitas modal, mereka sudah sangat terbagi-bagi. Hubungan keduanya pun tidak harmonis seperti dulu. Mereka sudah mudah terbagi-bagi. Terkadang mereka bersaing untuk mendapatkan keuntungan. Akibatnya, pertikaian antar kepentingan negara dan modal tak dapat dihindari. Pertikaian ini membutuhkan arena dan manifestasinya secara nyata adalah orang Salako. Mengapa ? karena merekalah yang masih memiliki kekuatan nyata. Orang Salako dapat dijadikan pendukung politisi dan sebagai rantai produksi dan konsumsi oleh pemilik modal, karena sebelumnya mereka sudah dilemahkan secara struktural. Paling terasa adalah pada tingkat binua atau kampung yang bersinggungan langsung dengan keseharian masyarakat tradisional terutama sumber dayanya. Disana terasa betul dampak persaingan dan pertikaian negara dan modal.
Untuk itulah alam usaha mengelola dan mengembangkan sistim pertaniannya, masyarakat dayak telah mengenal organisasi, yang mereka namakan Aleatn. Setiap kampung orang Salako memiliki organisasi ini. Pemimpinnya bergelar Tuha Tahutn . dalam menjalankan roda organisasinya, Tuha Tahutn selalu berkoordinasi dengan Pejabat yang bergelar Pangarah Tahutn, yang terdiri dari Pangarah Laki untuk petani laki-laki dan Pangarah Bini untuk petani perempuan. Sedangkan yang menjadi pelaksana hariannya oleh pemimpin yang bergelar Tuha Aleatn. Tuha Aleatn bertugas mirip dengan ketua kelompok tani dewasa ini. Sedangkan anggota organisasi ini mereka namakan Anak Aleatn/ Batakng Aleatn. Seorang Tuha Aleatn memimpin 10-30 an anak aleatn. Pekerjaan sehari-hari organisasi ini dalam berbagai bidangnya disebut Balale’ yang artinya bergiliran.
Organsiasi ini telah ada sejak nenek moyang mereka, dan tetap lestari hingga kini. Sebagai pedoman umum bertani, mereka mengadakan berbagai ritual tertentu yang memungkinkan bagi mereka untuk bekerja yang baik dan berhasil. Lihat Struktur Organisasi Tani orang Salako berikut ini.
Singa

Tuha Tahutn
Pangarah

Tuha Aleatn

Batakng/Anak Aleatn

Selain mempunyai organisasi, orang Salako juga memiliki kepercayaan pada kondisi alam yang mereka percayai dapat mempengaruhi hasil tani dalam musim tanam itu. Salah satu dari kepercayaan itu adalah pada hari atau tanggal tertentu, mewajibkan mereka untuk berpantang aktivitas tertentu/istirahat kerja tani di local.
Dalam menjalankan aktivitas berladang pun tidak dilakukan sembarangan oleh mereka, harus dengan ritual-ritual tertentu. Itulah sebabnya dalam bidang pertanian mereka tidak akrab dengan pupuk kimia ataupun pestisida. Ini ditemukan pada orang Salako di kampung Rees. Lihat tabel 2

Pengetahuan tingkat kesuburan tanah

Dalam membuat ladang, orang Salako cenderung menggunakan Balubutatn daripada Udas. Alasan yang umum dikemukakan adalah segi kepraktisannya yaitu Balubutatn lebih mudah dikelola daripada Udas. Menebang pohon di balubutatn lebih mudah karena pohonnya relative kecil sedang di Udas lebih sulit karena pohonnya yang berdiameter lebih besar dan tinggi. Alasan lainnya adalah menyangkut kesuburan tanah. Pembedaan lading/tuatn, Udas, atau pararoatn berlaku umu dikalangan orang mampawah, walaupun jumlah tahapan suksesi vegetasi didalam kategori udas ataupun bawas bervariasi.
Kesuburan tanah didaerah Udas lebih tinggi daripada didaerah bawas. Orang Salako juga mempunyai pengetahuan tentang tanah. Bahkan orang Salako di kampung Nangka mengenal 8 jenis tanah ( lihat bagian 3 ).
UDAS ( hutan primer )


TUATN ( ladang )

BALUBUTATN ( bekas ladang tahun ke 1 )

PARAROATN ( bekas ladang tahun ke 2 )

GAGARATN SAMUT ( bekas ladang tahun ke 3-4 )

MAGOKNG ( bekas ladang tahun ke 4-10 )

UDAS TUATN

Pengetahuan tentang padi

Padi dikenal oleh orang dayak umumnya sejak ratusan tahun lalu (Krist, 2001 ). Menurut legenda, padi dibawa oleh Ne’ Baruakng Kulub dari negeri Sapangko yang diberikannya kepada 2 temannya Ne’ Engkokng dan Ne’ Buta sebanyak 7 biji. Jenis padi itu bernama Bonceng, yang artinya Dari Halaman.
Hingga kini, orang Salako Ohak masih menyimpan jenis padi ini karena dipercayai dapat membawa Tuah/Barakat, yang artinya kira-kira membawa berkah/rejeki bagi pertanian mereka. Adapun jenis padi lokal tersebut dapat dilihat pada table 4.

Pengetahuan tentang penyakit padi

Pengetahuan padi orang Salako tentang hubungan antara pemangsa dan yang dimangsa (predator dan hama), sebelum diperkenalkannya strategi pengamatan pengendalian hama terpadu, terutama memfokus pada hewan yang bertubuh relatif besar dan mudah teramati. Contoh adalah tikus dan pemangsanya seperti ular, burung elang atau alap-alap. Predator lain yang mudah teramati adalah pelbagai jenis burung, kemudian capung dan laba-laba, meski tidak seluruh petani memiliki pengetahuan yang sama tentang kedua serangga terakhir. ( Yohanes Supriyadi, 2002 )
Sedangkan wereng merupakan hama yang baru dikenal petani sejak menanam ‘padi pemerintah’ (benih unggul). Semula, upaya pengendalian wereng tidaklah merupakan hal yang teramat penting dalam wacana budaya mereka. Tidak demikian halnya setelah wereng merajalela dan menjadi hama endemik di beberapa daerah. Pengendalian hama wereng agar sekaligus ‘musnah’ dan tidak menimbulkan ‘kerugian’ bagi mereka merupakan strategi yang secara ‘budaya‘ kemudian dianggap merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan usahatani mereka.
Ketidaktahuan orang Salako tentang peran musuh alami serangga dalam memangsa hama wereng, misalnya merupakan contoh bahwa serangga itu secara budaya tidak disadari sebagai sesuatu yang penting dan tidak mudah pula untuk diamati. Laba-laba yang lebih mudah diamati dibandingkan dengan serangga yang lebih kecil, belum pula dianggap sebagai musuh yang alami yang bermanfaat. Hama wereng yang telah menjadi bagian integral dari pengetahuan petani sebagai hama yang ‘paling merusak’ dan karena itu paling penting untuk dikendalikan, ternyata tidak mudah diamati dalam hal reproduksinya. Karena itu, adanya tahapan-tahapan reproduksi berupa pergantian kulit pada imago (anak wereng ) tidak merupakan bagian dari pengetahuan mereka.
Fungsi pestisida yang mencegah berlangsungnya pergantian kulit ini tetap tidak terintegrasikan dalam pengetahuan mereka. Alhasil, mereka beranggapan bahwa pestisida untuk wereng berfungsi membunuh wereng atau ‘membusukkan telur wereng’. Inilah beberapa contoh ketidaktahuan orang Salako yang berkaitan dengan kedua prinsip diatas. Kedua prinsip serta kombinasi dari keduanya ini merupakan sarana yang bermanfaat dalam memahami dan menjelaskan mengapa orang Salako mengetahui sebagian entitas dan aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya tetapi tidah tahu untuk sebagian yang lain.
Upaya paradigma perubahan penggunaan pestisida, dan terutama perubahan paradigma pembangunan dari orientasi produksi ke orientasi peningkatan kualitas manusia dan petani, ketangguhan/keberlanjutan usaha tani, serta upaya ‘pemberdayaan ’ agar mampu untuk secara kritis menanggapi berbagai ‘rekomendasi’ dari atas, merupakan suatu kemajuan yang besar dalam konteks pembangunan di negara-negara berkembang. Peristiwa ini merupakan satu kasus istimewa dalam konteks pembangunan dewasa ini yang menunjukkan bahwa para intelektual dapat berperan positif dalam upaya mengoreksi wacana dan kebijakan pembangunan.( Krist. Atok, 2002 )

Teknologi Perladangan

1. Pasca Panen
Pada masyarakat Salako, luas lahan pertanian yang dibuka menyesuaikan dengan jumlah benih yang akan mereka tanam. Biasanya hal ini ditentukan melalui bahaupm saradakng dengan mengevaluasi hasil tani pada musim tanam sebelumnya, mempertimbangkan jumlah tenaga kerja dalam keluarga serta banyaknya anggota keluarga petani yang bersangkutan. Tingkat produktivitas benih padi lokal biasanya lebih tinggi dari jenis padi lainnya.
Hal ini karena kebiasaan sistim pertanian ini sudah lama dilakukan, lahan yang masih tersedia, jumlah tenaga kerja yang cukup serta terkait dengan kepercayaan mereka atas berbagai ritual-ritual tertentu sebagai acuan.

2. Pemberantasan Hama
Bentuk lainnya dari kearifan tradisional itu dengan mengelola sumber daya alam yang terkait dengan hama/penyakit padi. Orang Salako memiliki teknologi sendiri untuk memberantas hama/penyakit padi dengan menggunakan bahan-bahan yang didapat dari alam. Lihat table 5 .
Praktek-praktek ini masih dilakukan oleh orang Salako terutama dipedalaman yang jauh dari pembinaan pertanian oleh pemerintah (Petugas Penyuluh Lapangan/PPL Dinas Pertanian Tanaman Pangan yang biasanya menawarkan beraneka jenis pestisida ) hingga kini.


3. Adat Istiadat Dalam Pekerjaan

Langkah-langkah dalam bekerja ladang dalam satu musim tanam adalah sebagai berikut :
a. Baburukng
Baburukng adalah suatu upacara Adat yang di laksanakan di tempat keramat (kadiaman) biasanya di Bukit. Tujuannya meminta sekaligus mendengar kata rasi untuk membuka ladang. Kata rasi ini bisa dalam bentuk suara burung keto. Sebagai contoh, misalnya suara burung keto ke arah utara, maka petani musim tanam itu membuka ladang ke arah utara.
b. Upacara di Hulu Sungai
Di bagian bawah, biasanya dihulu sungai juga sembayang untuk meminta kesuburan tanah untuk berladang. Setalah itu dilakukan hari puasa/ pantang kerja diladang bagi penduduk sekampung selama 3 hari.
c. Upacara Adat Sambayang basi
Sembayang besai ini untuk memberitahukan kepada leluhur bahwa penduduk akan memakai semua jenis besi untuk dipakai kerja diladang.
d. Ngawah
Ngawah adalah menyelidiki, memeriksa calon lahan yang akan digunakan sebagai lahan ladang selain itu tujuan dari ngawah ini adalah :
1. Saat berangkat ngawah kita mendengarkan kata rasi,
Misalnya :kata keto,buria dll.
2. Membuat tanda-tanda tebasan tiga sampai tujuh kumpulan
( nongkol ) atau dengan rentesan.
3. memberitahukan kepada Jubata penguasa air tanah, hutan serta kepada bulan dan matahari.
4. Memotong Kalakng ( tempat berhenti untuk ngasa iso’ ) kemudian mengambil tiga potong kauyu yang di sebut kalakng itu tadi,di simpan sekuat-kuatnya mungkin bisa di dalam tanah karena kalakng ini di maksut untuk berjanji dengan seluruh binatang pemakan padi, dan kata-kata nya adalah : ha.. nian kita sagala laok,aku nang bauma kadian bajanji ka kita ,kade ia tamu taporatn ku kita makatn lah padi ku ka dian,kade ia ina tamu kita’nakat kibakng pabanga,tono lobokng dinikng sabar.
e. Nugal ( Nanam padi ladang )
Bahan-bahan yang di gunakan adalah :
a) Benih padi ladang
b) Stek bunga salaseh
c) Umbi kunyit
 4 potong kayu ± 1 meter yang dibuat segiempat ketengah ladang yang ingin ditanami.
f. Ngamalo Lubakng Tugal
Tujuannya adalah : untuk menyuburkan dan merapatkan tanaman padi,supaya tambah subur sesuai dengan harapan.
g. Muang Panyakit Padi
Menurut adat membuang penyakit padi adalah suatu upacara adat yang dilaksanakan oleh masyrakat satu atau dua bahkan lebih, kampung yang di aliri satu sungai,tujuannya untuk memperoleh kesembuahan padi yang tidak mutlak di laksanakan setiap tahun, hal ini lebih dilihat dari keadaan padi apakah sedang sakit atau rusak kalu ternyata rusak.
h. Ngikat Padi
Ngikat padi adalah upacara adat yang di lakukan secara terus menerus setiap tahun dan terikat pada satu waktu dalam komonitas masyrakat yaitu pada saat padi sudah masak upacara ini biasanya di lakukan sebelum panen,baik itu padi ladang maupun padi sawah. Hakikat dari upacara ini adalah memohon kepada jubata air tanah, bulan matahari, roh leluhur, jubata padi, jubata babi, jubata ayam, dan jubata beras.
i. Mipit
Mipit adalah upacara adat menaikan padi baru. mipit bukanlah satu upacara adat yang secara serempak di lakukan oleh kelompok masyrakat.upacara adat ini dilaksanakan 1x setahun. Namun hal ini sangat penting dengan mengingat tujuannya antara lain :
a) Menjaga ke amponan/sumpanan,kebiasaan ini sudah turun temurun.
b) Kita tidak boleh di dahului oleh burung pipit dan jenis-jenis lain pemakan padi.
Prosesnya ketika padi ladang sudah masak di ujung dan kita ambil dua tiga tangkai di rendang di tumbuk di jadikan beras dan beras ini lah langsung di cicipi dalam keluarga dan dibagi-bagikan kepada tetangga dan orang se-kampung.


j. Ngarantuk
Ngarantuk adalah upacara adat yang di lakukan masyrakat adat satu kali se tahun. Memasukan padi baru kedalam rumah, di dipan/pene dengan cara memberi sedikit-sedikit potongan yang di masak atau di beri khusus satu kobet. Tujuannya memberitahukan kepada Jubata Ne’ Baruakng Kulup ( penemu padi ), kepada orang se-kampung serta kepada bulan dan matahari.
k. Matahatn
Matahatn adalah upacara adat yang di lakukan oleh masyrakat adat di mana prosesnya ini di lakukan satu kali satu tahun,pada saat padi ladang sudah di panen,hakikat dari upacara ini adalah untuk mengucapkan rasa syukur kepada jubata penguasa alam semesta/jupabata padi. selain itu membuat padi supaya tahan/awet di piring, dipanci, di kuali, ditempat penyimpanan beras/padarengan. Proses ini berlangsung dua hari. pertama batutuk dan memasak segala sesuatu yang di anggap perlu. Di samping itu pada sore harinya upacara matikatn cucur/tumpidan lemang/poe yang di sajikan pada sebuah pahar dengan di tata sedemikian rupa.
l. Gawe Padi / Naik Dango.

Naik dango adalah upacara adat pesta padi, yang biasanya di lakukan/laksanakan pada saat semua selsai panen baik itu padi ladang maupun padi sawah dalam satu kampung / binua dan acara adat ini berlangsung selama dua hari,hari pertama batutuk dan hari kedua makatn gawe. Hakiakt dari upacara adat ini adalah :
a) Mengucapkan rasa sukur kepada jubata alam semesta/jubata padi.
b) Membawa semangat/roh padi pulang kedalam rumah, ke penyimpanan padi/beras.
c) Mengucapkan rasa syukur kepada jubata tuha,bulan dan matahari.
m. Adat Tahutn
Adat tahutn ini di lakukan pada sore harinya setelah makan pesta/makatn gawe. setor adat tahutn satu sampai dua per keluarga dengan satu lonekng /paha ayam lengkap dengan organ tubuh lainnya, beras pulut, beras sunguh/beras biasa serta perlengkapan makan sirih kemudian di kumpulkan kerumah Tuha Tahutn.
4. Kesetaraan pria dan wanita dalam pekerjaan ladang

Dalam pekerjaan ladang, orang Salako tidak membedakan perempuan dan laki-laki. Perempuan dan lak-laki dianggap sama mempunyai kemampuan dan haknya dalam banyak pekerjaan ladang. Misalnya

Jenis Pekerjaan Ladang Peran Laki-Laki Peran Perempuan
Membuka Ladang Menebang pohon besar Menebas dan memotong ranting
Penanaman Menugal ( membuat lubang benih ) Menanam benih dilubang tugal
Perawatan/pemeliharaan Membuat bandong ( kotak ) disawah Mencabuti rumput
Menebas rumput sekitar ladang Mencabuti rumput diladang
Upacara Adat di ladang Memanggul alat dan bahan dari rumah ke ladang Memasak
Panen Memikul dan mengangkut padi dengan Mengetam padi
Pasca panen Melepas biji padi dari tangkai ( ngirik ) Menampi ( membuang sekam) dan membersihkan padi dari debu dan kotoran lainnya
Mendirikan langko/dango padi Mempersiapkan alat dan bahan serta memasak


5. Masuknya Modernisasi Pertanian dikalangan Orang Kaca’

Menurut orang Salako, pemerintah orde baru dan tetua adat pantas di gugat, sebab merekalah yang pada awal kekuasaan Orde Baru amat getol mengkampanyekan dan melaksanakan gagasan tentang penanaman padi varietas baru. Sebuah gerakan peningkatan produktivitas pertanian yang berawal dari penemuan benih-benih tanaman, khususnya padi, dengan kategori unggul. Langkah-langkah pemerintah dalam memasyarakatkan padi unggul ada kaitannya dengan penerapan kebijakan pemerintah orde baru, kepemimpinan Soeharto yang mengkooptasi pemikiran dan tindakan para tetua adat dengan cerita-cerita yang menyeramkan tentang tanaman padi lokal.
Caranya sungguh licik dengan mengkaitkan cerita lisan turun-temurun dengan kondisi pertanian dewasa ini. Lalu pemerintah menawarkan bibit-bibit padi unggul . Dengan bibit unggul, satu hektar sawah yang biasanya hanya menghasilkan satu ton padi, menghasilkan tiga ton padi. Tetua adat tentu tergiur. Maklum, di era 1960-1970 orang Salako merasakan kekurangan pangan yang cukup hebat. Dampak dari moedernisasi pertanian ini adalah :
a. Bibit Lokal yang dilupakan
Banyak jenis padi lokal yang enggan dikembangkan lagi oleh penduduk karena kepercayaan yang terlalu berlebihan. Saking taatnya dengan adat dan kepercayaannya, mereka rela untuk tidak menanam padi lokal tertentu untuk tujuan produksi. Hanya sedikit saja mereka yang terus menanam padi jenis lokal dengan alasan untuk mendapatkan tuah/rezeki dari padi itu saja. Lihat tabel 6.

b. Tingkat produktivitas padi rendah
Dari pengamatan sementara dan pengalaman beberapa responden dan informan, produksi pertanian lokal yang dikerjakan secara konvensional itu hanya cukup untuk makan beberapa bulan saja. Hanya ada beberapa keluarga petani saja yang cukup untuk makan setahun, itupun karena anggota keluarga yang sedikit dan besarnya penghasilan diluar ( dialami oleh PNS yang nyambi petani, atau pedagang )
c. Pemasaran hasil produk pertanian yang sulit
Petani dayak tidak cukup berpengalaman dalam berdagang. Budaya itu hanyalah diturunkan oleh orang cina yang masuk sampai kekampung-kampung. Ada anekdot dayak yang cukup populer, yang menggambarkan bagaimana pola berdagang dayak, ahe-ahe ja toke. Artinya terserah dengan tuan saja. Dengan sikap pasif ini, pemasaran produk pertanian menjadi terhambat. Ada beberapa alasan yang cukup rasional yang mendukung pola ini yakni tersumbatnya akses transportasi/perhubungan dikarenakan lokasi perkampungan yang jauh dari pusat pemasaran/pasar serta pertimbangan kemampuan tenaga pendukung/penunjang seperti alat-alat transportasi yang tidak ada.
d. Perubahan sikap dan pola pikir
Sikap apatis, rendah diri dan tergantung cukup menonjol dikalangan petani dipedalaman yang serba sulit. Sehingga mereka enggan untuk berkomentar dengan situasi diluar. Dan ketika kesadaran mereka akan alam sekitar meningkat, mereka saat ini mulai berteriak : “Mana alamku, alamku yang dulu permai?”. Kicau burung, gemericik air, nyiur daun melambai, harum dedaunan di persawahan. Semua berganti dengan hamparan pemandangan yang monoton, deru mesin-mesin, daun bau menyengat pestisida. Ikan-ikan di sungai digantikan sampah-sampah plastik, banjir dan kekeringan datang silih berganti begitu cepat, serangga tak takut lagi dengan, entah berapa macam merk dicampur, semprotan pestisida. Alam yang makin lemah atau manusia yang makin serakah ?.
Populasi orang Salako yang meningkat pesat meyababkan kebutuhan pangan yang meningkat pula. Tanaman sebagai sumber utama penghasil pangan manusia menjadi tumpuan harapan. Para ahli fisiologi, teknologi, dan pertanian lainnya bersatu berusaha memecahkan permasalahan. Revolusi Hijau, sebuah kata yang sangat populer di seluruh dunia. Ramalan Malthus akan kelaparan dipatahkan oleh Revolusi Hijau. Manusia sempat bergembira dengan penemuannya itu.
Tapi mereka juga lupa bahwa alam tidak pernah dilibatkan dalam diskusi... alam kini menggugat dalam kebisuannya. Contoh kasus di Menjalin dalam puluhan tahun terakhir, menjelang tahun 2003 tepatnya 13-16 Januari terjadi benjir besar yang menghancurkan ribuan hektar lahan pertanian. Padi sebagai salah satu hasil Revolusi Hijau menjadi bulan-bulanan. Penggunaan pestisida yang berlebihan menimbulkan permasalahan lingkungan yang mengganggu. “Belalang saja tidak mau makan butir padinya, apalagi manusia (tapi masih banyak yang mau, ya? )” .
Varietas padi ‘nenek moyang’ yang dulu dicerca karena produksinya lama dan rendah sekarang banyak dirindukan karena rasanya lebih lezat daripada varietas padi ’modern’ yang lebih unggul produksinya.

Sumber : www.yohanessupriyadi.blogspot.com

Friday, December 18, 2009

Upacara Tantulak pada Masyarakat Dayak Ngaju

Upacara Tantulak, upacara kematian bagi Suku Dyak Ngaju
Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Upacara tantulak dilakukan tiga hari setelah upacara penguburan dengan tujuan untuk memindahkan arwah orang yang baru saja meninggal dari alam kubur ke tempat penantian bersama Nyai Bulu Indu Rangkang (sebelum dilaksanakannya pesta tiwah). Selain itu, upacara tantulak juga bertujuan untuk memulihkan keseimbangan magis, menjauhkan segala macam marabahaya dan menghilangkan segala kemalangan atau kesialan dan hal-hal yang tidak baik yang dapat timbul pada keluarga si mati maupun pada seluruh warga kampung.

Sebagaimana upacara pada umumnya, upacara tantulak ini juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui oleh seseorang dalam upacara ini adalah sebagai berikut:
(1) tahap penyembelihan babi; (2) tahap penaburan makanan di kuburan si mati;(3) tahap menabur beras yang telah diasapi dengan kemenyan untuk mandurut sangiang (mengabarkan dan mengundang kehadiran Sangiang);
(4) tahap mangkang sangiang atau penyambutan Sangiang Raja Duhung Mama Tandang; (5) tahap pengolesan darah babi dan ayam; (6) tahap memapas nyalentup, yaitu tahap pengusiran kuasa jahat dan kesialan dari rumah si mati; (7) tahap menghanyutkan daun sawang dan humbang ke sungai; dan (8) tahap peramalan dengan tujuh butir behas hambaruang. Seluruh rentetan upacara ini biasanya dilakukan dari pagi hingga malam hari.

Tempat pelaksanaan upacara tantulak bergantung dari tahapan-tahapan yang harus dilalui. Untuk prosesi penyembelihan babi, menabur beras yang telah diasapi kemenyan, penyambutan Sangiang Raja Duhung Mama Tandang, pengolesan darah babi dan ayam, memapas nyalentup, dan tahap peramalan dengan tujuh butir behas hambaruang, dilakukan di rumah orang yang meninggal dunia. Untuk prosesi penaburan makanan dilakukan di kuburan orang yang meninggal tersebut. Sedangkan, untuk prosesi penghanyutan daun sawang dan humbang dilakukan di sungai. Sebagian besar upacara ini dipimpin oleh seorang basir upu dan dibantu oleh dua orang basir lainnya. Sedangkan, acara penaburan makanan dan pemotongan babi dilakukan oleh anggota keluarga dari orang yang meninggal. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam upacara tantulak adalah sanak kerabat dari orang yang meninggal dan warga masyarakat sekitarnya.

Peralatan Upacara
Peralatan dan perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam upacara tantulak adalah: (1) satu ekor babi yang darahnya akan dibagikan pada setiap rumah yang ada di dalam kampung; (2) dua ekor ayam yang telah dimasak tanpa dipotong-potong yang nantinya akan digunakan sebagai sesajen untuk Sangiang; (3) sebuah mangkuk tambuk yaitu mangkuk yang berisi beras; (4) sebuah mangkuk lagi yang berisi behas hambaruang, yaitu beras yang dianggap bening dan tanpa cacat sebanyak tujuh butir; (5) sebuah gong yang ditelentangkan dan di dalamnya ditaruh satu pasang pakaian si mati semasa masih hidup, sisir, minyak, cermin, dan sedikit air. Benda-benda tersebut dilambangkan sebagai pakaian yang nantinya akan dipakainya setelah Sangiang memandikan arwah si mati; (6) sebuah kelapa yang ditancapkan sebilah tombak dan diikatkan jenjuang sawung, kemudian ditaruh dalam sebuah bakul (palundu). Kelapa tersebut nantinya akan dipakai oleh Sangiang Raja Duhung Mama Tarandang untuk memandikan arwah si mati setelah ia dihidupkan kembali. Namun, ada juga yang menyatakan bahwa kelapa yang ditaruh dalam palundu itu melambangkan si mati saat ia masih dalam kandungan ibunya; (7) beberapa ruas bambu (humbang) yang di dalamnya diisi sedikit air dan dibungkus dengan kain hitam. Jumlah humbang itu tergantung dari jenis kelamin si mati. Apabila yang meninggal adalah perempuan, maka ruas bambunya berjumlah lima buah. Sedangkan, apabila yang meninggal adalah laki-laki, maka ruas bambunya berjumlah tujuh buah (humbang kanyalun liau).

Jalannya Upacara
Pada hari ketiga setelah upacara penguburan, keluarga orang yang meninggal dunia itu memulai upacara tantulak dengan menyembelih seekor babi. Darahnya diambil dan dicampur dengan beras, kemudian dibagikan kepada seluruh keluarga/rumah tangga yang ada di dalam kampung. Beras bercampur darah babi itu lalu diletakkan di atas sebuah batu asah dan diinjak secara bergiliran oleh setiap anggota keluarga. Cara menginjaknya, mula-mula dengan kaki sebelah kiri sambil menghadap ke arah matahari terbenam. Ini melambangkan bahwa seperti terbenamnya matahari, demikian juga segala kemalangan dan hal-hal yang tidak baik akan menjadi hilang atau lenyap. Sesudah itu, baru dengan kaki sebelah kanan dan menghadap ke arah timur. Ini melambangkan seperti terbitnya matahari, demikian juga datangnya untung, murah rezeki, panjang umur dan selalu dalam keadaan sehat tanpa gangguan apapun dalam hidup mereka.

Selepas tengah hari dan sebelum basir mulai balian, salah seorang anggota keluarga si mati datang ke kuburan untuk membawa sedikit makanan. Makanan tersebut kemudian ditaburkan dengan tangan kiri di atas kuburan si mati. Maksud dari tindakan ini adalah untuk memberitahukan kepada arwah yang baru meninggal agar ia mempersiapkan diri karena rohnya akan dipindahkan dari tempat itu ke “Bukit Pasahan Raung”. Selain itu, tindakan menabur makanan juga bermaksud untuk memberitahukan kepada roh-roh penjaga kuburan agar tidak mengganggu selama upacara tantulak berlangsung.

Pada pukul empat atau lima sore para basir yang dipimpin oleh basir upu mulai melakukan balian dengan cara duduk sambil menabur beras yang sudah diasapi kemenyan. Setelah beras ditaburkan, biasanya tujuh kali, barulah ketiga orang basir memukul alat upacara yang disebut katambung1. Pemukulan katambung ini dilakukan sebentar saja dengan maksud untuk mandurut sangiang (mengabarkan dan mengundang kehadiran Sangiang). Sedangkan, maksud dari tindakan menabur beras adalah untuk mengundang Sangiang Raja Duhung Mama Tandang beserta para pembantunya agar datang dalam upacara tentulak. Konon, Raja Duhung Mama Tandang ini nantinya akan turun dari dunia para dewa (Lewu Sangiang) dengan menggunakan kendaraan yang disebut lasang papan talawang teras jambu bahandang jintung muntei bulan. Dalam upacara tantulak, Raja Duhung Mama Tandang berperan menghidupkan arwah si mati dan membawanya ke tempat Nai Balu Indu Rangkung.

Pada malam harinya, ketiga basir itu melakukan balian lagi dengan duduk di atas bangku panjang, yang dalam bahasa Ngaju disebut katil. Balian tahap kedua ini disebut mangkang sangiang yang bertujuan untuk menyambut kedatangan Sangiang. Setelah Sangiang Raja Duhung Mama Tandang dirasa telah datang, maka ketiga basir tersebut melalukan balian lagi yang disebut puturan sangiang. Selanjutnya, ketiga basir tersebut mendatangi seluruh anggota keluarga si mati untuk mengoleskan darah babi dan ayam. Maksud dari tindakan pengolesan darah itu adalah untuk menghapus segala macam kesialan, penyakit dan pantangan-pantangan yang timbul akibat adanya kematian salah seorang anggota keluarga. Selain itu, darah babi dan ayam juga merupakan lambang bagi anggota keluarga yang ditinggalkan akan adanya kehidupan baru, murah rezeki, panjang umur dan selalu sehat serta terhindar dari segala macam marabahaya.

Setelah semua anggota keluarga diolesi dengan darah babi dan ayam, ketiga basir kemudian memapas nyalentup, yaitu balian yang dilakukan sambil berjalan berkeliling rumah dan mengambil beberapa daun sawang serta beberapa ruas bambu muda (humbang). Bambu itu kemudian dipanaskan secukupnya (imaru) lalu dipukulkan pada tiang-tiang rumah, ambang pintu, dan jendela sambil membaca doa-doa. Maksud dari balian memapas nyalentup ini adalah untuk mengusir segala kuasa jahat, kesialan dan kemalangan dari rumah si mati.

Usai memapas nyalentup, ketiga basir lalu menuju ke sungai yang diikuti oleh para peserta upacara. Dalam iring-iringan tersebut, salah seorang anggota keluarga si mati diserahi tugas untuk membawa daun sawang dan ruas bambu yang tadi telah dipakai dalam memapas nyalentup. Sesampainya di sungai, bambu dan daun sawang itu lalu dihanyutkan sebagai simbol bahwa telah hanyut pula segala kesialan, kemalangan dan penyakit yang hinggap pada keluarga si mati. Kemudian, atas instruksi basir upu, salah seorang anggota keluarga mengambil air dengan sebuah mangkuk dari ruang timba sebuah perahu. Selesai mengambil air, seluruh peserta upacara kembali ke rumah keluarga si mati.

Sesampai di rumah, air dari sungai yang dibawa dengan mangkuk tersebut dicampur dengan tengang (semacam bahan untuk tali). Sebelum basir upu memulai acara selanjutnya, para peserta upacara diperkenankan untuk mencelupkan atau mengelap muka mereka dengan air itu. Setelah itu, para basir merobek tengang yang ada di dalam mangkuk tadi menjadi sobekan-sobekan kecil dan mengikatkan ke tangan peserta upacara yang menghendakinya. Pengikatan tengang ke tangan ini merupakan lambang kuatnya jasmani dan rohani, seperti kuatnya tengang itu sendiri.

Selanjutnya, basir upu membuka bungkusan berisi tujuh butir behas hambaruang yang ada di dalam mangkuk. Menurut kepercayaan mereka, melalui ketujuh butir behas hambaruang yang dibungkus itu dapat dilihat apa yang akan terjadi dalam keluarga itu dalam waktu yang dekat. Apabila ketujuh butir beras yang mulanya bening tanpa cacat, setelah dibuka kemudian ternyata sebagian besar menjadi cacat, rapuh atau bahkan putus, maka pertanda akan ada hal-hal yang kurang baik terjadi dalam lingkungan keluarga tersebut. Namun sebaliknya, apabila sebagian besar utuh, maka hal itu merupakan pertanda baik. Dan, dengan berakhirnya tahap peramalan melalui behas hambaruang ini, berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara tantulak.

Nilai Budaya
Upacara tantulak, jika dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, keselamatan dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat, makan bersama dan doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.

Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.

Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, membantu pemimpin upacara, dan lain sebagainya.

Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa peralihan kehidupan seorang individu dari satu masa ke masa yang lain penuh dengan ancaman (bahaya) dan tantangan. Untuk mengatasi krisis dalam daur kehidupan seorang manusia itu, maka perlu diadakan suatu upacara. Tantulah merupakan salah satu upacara yang bertujuan untuk mencari keselamatan pada tahap peralihan dari masa kehidupan di dunia menuju ke kehidupan di alam yang lain.

Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang dipimpin oleh basir upu dengan tujuan agar si mati mendapat perlindungan dari Sangiang Raja Duhung Mama Tandang dan orang-orang disekitarnya terbebas dari kemalangan, kesialan dan hal-hal yang merugikan lainnya.

Kutipan dari : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1556234&page=5

A Night of Dayak Culture

On Sunday and Monday, the Dayak Youth Community will hold a gala event, “A Night With the Dayak,” at the auditorium of the Goethe Institute, Jakarta. “Natas Banyang,” a ritual ceremony of ancient Dayak traditions, will mark the opening night, followed by a toast of “tuak” (rice wine) among the guests and participants.

The Dayak Children’s Choir, whose members range in age from 6 to 18, will sing traditional songs and there will also be a dance performance that represents the life cycle of the Dayak people.

“For the people of the Dayak, land cultivation is the core of their livelihood,” Gregorio said. “That’s why each stage [of cultivation] is marked with a dance celebration.”

The Mandau dance, which symbolizes the clearing of the land, will be performed by a group of women; the Bahuma dance describes the happiness and enthusiasm of the men in plowing the fields; the Menugal dance describes the joy of the women when planting the seeds; the Hudoq is a mask dance, performed after planting the seeds, which is aimed at driving away bad spirits that may cause a bad crop.

“The faces of the masks represent the pests that may attack the crops, such as rats and locusts,” Gregorio said.

Traditionally, the dance was performed to please the goddess of rice paddies, Hunai Parai Avaang, so she would bless the upcoming harvest.

In addition to the dance performances, the event will also feature a live demonstration of hand-tapping tattooing by Aman Durga Sipatiti. Hand-tapping is a traditional method of tattooing in Indonesian, Polynesian and Maori cultures, and uses a thin wooden stick fitted with a needle at one end, covered in ink, which is tapped with another stick into the dermis layer of the skin.

The patterns of Dayak tattoos include the Bunga Terung (rosette), which signifies bravery, the Garing tree (the mythical tree of life) and a Hornbill bird for protection against evil spirits.

“It’s quite an intense, spiritual and philosophical experience,” Durga said.

Hand-tapped tattoos take three times as long as a modern tattoo, during which both the tattoo artist and the client must maintain full concentration and a soul connection, according to Dayak lore.

The event will also feature a photo essay by Rani Djandam, a Dayak anthropologist, which describes the “Ngamuan Gunung Pirak,” the wedding ceremony of the Dayak Ma’anyan tribe of Central Kalimantan. There will also be an exhibition of traditional beading and a demonstration of the intricate hand-weaving techniques of the Dayak Sintang tribe.

Tenun Sintang — the hand-woven textile of the Dayak Sintang — was discovered by Pastor Maessen, a Dutch missionary, in 1968.

“He visited a house and the wife cleaned a chair for him with a piece of old cloth, covered in vibrant colors and patterns,” Gregorio said. The cloth was a very old hand-woven piece of material, owned by the woman’s grandparents. The pastor helped the local people to revive the dying trade. Today, Tenun Sintang is one of the most coveted textiles in the country.

“Pastor Maessen himself will also attend this event,” Gregorio said.

“Our organization aims to be a cultural ambassador for the Dayak people,” he added. “Therefore, we hope that with this event, more people will be able to appreciate Dayak culture and traditions and the younger generations of Dayaks will again be proud of their roots.”

‘A Night With the Dayak’
Goethe Institute
Jl. Sam Ratulangi, No. 9 - 15
Menteng, Central Jakarta
For more information on the programs, visit www.dayakyouthcommunity.org

Source: http://www.tourismindonesia.com/2009/12/night-of-dayak-culture.html

Source foto : JAKARTA, 13/12 - FOTO DAYAK. Seorang pengunjung menikmati pameran hasil foto lomba foto para pelajar dan mahasiswa bertema "Dayak" dalam acara "A Day with Dayak", di GoetheHaus, Jakarta, Minggu malam (13/12). Acara yang diadakan oleh Komunitas Muda Dayak ini akan berlangsung hingga 14 Desember 2009. FOTO ANTARA/Dodo Karundeng/ss/nz/09

Thursday, December 17, 2009

Ilu Kenyah Kua Lo Te'a


Perkembangan Suku Dayak Kenyah th. 1953-2002

Tuesday, December 15, 2009

“MANDANGIN”

Di sebuah tempat di daerah Tumbang Manjul tepatnya kurang lebih 43 kilo meter dari desa tumbang judul manjul terdapat mitos tentang sebuah kerajaan makhluk baik.
Konon diceritakan bahwa di sungai mandaham desa Tumbang Manjul terdapat gaib yaitu Perek Rango yang dikuasai oleh titisan dari dewa angin.
Pada jaman dahulu sebuah hutan belantara yang tak jauh dari muara sungai mandaham hiduplah sepasang suami istri yaitu nyai Rangkas dan sangkajang.
Nyai Rangkas adalah keturunan dari makhluk gaib yang tinggal di kawasan bukit kejayah namun karena ia jatuh cinta dan kimpoi dengan Sakajang keturunan manusia biasa maka ia diusir dari kerajajan kajayah. Demi suami tercintanya Sakajang Nyai Rangkas rela meninggalkan keluarganya hingga akhirnya mereka tinggal di hutan dekat muara sungai mandaham. Karena saling mencintai hidup pasangan suami istri itu sangat rukun bahagia. Dalam kebersamaan mereka selalu saling membantu dan saling melengkapi kekurangan satu sama lainnya.
Setelah sekian lama bersama akhirnya mereka menyadari bahwa ada yang kurang dari kebahagiaan yang telah mereka nikmati selama ini, karena sudah sekian lama mereka hidup bersama namun pasangan suami istri itu belum juga dikaruniai keturunan. Untuk memperoleh keturunan pasangan suami istri itu rela melakukan apa saja, sudah berbagai macam ramuan mereka gunakan namun belum juga dikarunia seorang anak sampai pada suatu malam Nyai Rangkas bermimpi ia akan mendapatkan keturunan yang dititiskan oleh dewa angin namun untuk memperolehnya ia harus melakukan pada malam bulan purnama, dian ritual pertapaan itu dilakukan di sebuah batu besar di tepi sungai mendahan sebelah hulu.
Malam berganti fajar Nyai Rangkas terjaga dari mimpi. Kemudian ia bangun dan keluar dari gubugnya untuk melihat keadaan sekeliling rumah mereka kemudian ia masuk kembali dan duduk di samping suaminya sambil memikirkan mimpinya mendapat keturunan. Tak lama kemudian suaminya bangun dan iapun menghampiri suaminya untuk menceritakan perihal tentang mimpinya itu kepada sang suami tercinta, dan sang suami pun mendengarkan dengan baik cerita istrinya. Namun setelah mendengar cerita dan istrinya Sakajang merasa resah dan kebingungan menentukan sikap. Di satu sisi ia ingin sekali melihat istrinya bahagia dengan mendapatkan keturunan yang dititiskan oleh dewa angin namun di sisi lain ia tidak tega jika harus membiarkan istrinya sendiri di hutan selama sembilan hari sembilan malam dan hatinyapun tidak ingin berpisah dengan istri tercintanya. Walaupun hanya dalam waktu sebentar. Sebaliknya Nyai Rangkas ingin sekali melaksanakan ritual pertapaan seperti yang ditunjukkan dalam mimpinya, ia merasa sangat yakin kalau ia menjalankan pertapaan tersebut. namun sayang suami Nya Rangkas tidak mengijinkannya untuk pergi bertapa meski ia sudah berkai-kali memohon agar suaminya memberikan ijin sampai pada suatu malam dimana pada malam itu merupakan bulan purnama yang telah ditunggu-tunggu oleh Nyai Rangkas, ia pergi diam-diam dari sisi suaminya yang sedang tidur lelap. Dengan langkah mengendap-endap Nyai Rangkas pergi keluar meninggalkan suaminya menuju hutan dengan menyusuri tepi sungai Mandahan dan untuk mencari batu besar sebagai tempat melakukan ritual pertapaan seperti yang ditunjukkan dalam mimpinya. Karena pada malam itu cahaya bulan terang sekali sehingga Nyai Rangkas tidak mengalami banyak kesulitan dalam perjalanan, sampai akhirnya ia menemukan batu besar seperti yang ada dalam mimpinya. Setibanya ditempa tujuan Nyai Rangkas mengelilingi batu besar tersebut untuk mencari jalan naik menoleh ke kiri dan tekanan serta sesekali membalikkan badan untuk melihat keadaan di sekitarnya. Sesaat ia tempat kebingungan tiba-tiba terdengar suara seruan “Nyai Rangkas jika kau ingin mendapatkan seorang anak dari titisanku maka lakukanlah ritual pertapaan ditengah batu besar itu selama sembilan hari sembilan malam dengan posisi duduk menghadap arah matahari terbit”.
Mendengar suara seruan itu Nyai Rangkas merasa semakin yakin dengan firasat mimpinya, hingga akhirnya iapun duduk ditengh batu besar tersebut dengan posisi menghadap arah matahari terbit.
Dengan penuh keyakinan Nyai Rangkas melakukan ritual pertapannya, sementara sama suami yang ia tinggalkan panik dan bingung karena melihat isterinya tidak ada di rumah. Ketika hari mulai terang ia mencari isterinya di sekiling rumah tempat mereka tinggal seraya memanggil “Nya, … dimana kamu ! Nyai .. pulanglah ! sang suami terus memanggil nama isterinya sampai matahari hampir terbenam namun ia tak juga menemukan isteri tercinta. Karena hari sudah mulai gelap ia pun kembali pulang ke rumah meski ia sangat khawatir sekali dengan keadaan isterinya.
Malam sudah semakin larut namun Sakajang pun tak mampu memejamkan mata karena memikirkan kemana perginya sang isteri. Ketika melamunkan nasibnya yang sudah ditinggalkan sang isteri tercinta tiba-tiba sekarang teringat akan mimpi isterinya dan keringinannya untuk pergi bertapa mencari keturunan.
Semalaman Sakajang tak bisa tidur dan pagi-pagi ia pergi ke hutan untuk mencari isterinya. Ia menelusuri hutan tepi sungai mandahan namun anehnya ia tidak menemukan tempat seperti yang diceritakan istrinya, meski demikian ia tepat tidak putus asa sampai akhirnya ia berjalan di sebuauh rawa dan bertemu dengan seekor serigala yang sangat buas. Meski demikian Sakajang tetap tegar menghadapinya. Langkah demi langkah serigala buas itu mendekati Sekajang dengan cakar dan taringnya yang panjang seolah-olah siap menerkam hingga akhirnya terjadi perkelahian antara sekajang and serigala buas itu. Mereka saling bergelut di tanah rawa yang berlumpur
Dalam perkelahian itu Sakajang terluka dan jatuh terkapar di atas lumpur sehingga dengan mudah serigala buas itu menerkamnya kembali dan menancapkan taringnya pada bagian tubuh sakajang hingga akhirnya tewas dan menjadi santapan serigala yang kelaporan tadi.
Alangkah malangnya nasib sakajang, bertujuan pergi mencari istri tercinta namun di perjalanan menjadi mangsa serigala buas
Hari demi hari berlalu, ritual pertapaan telah dilakukan oleh Nyai Rangkas dengan sempurna, dan ketika ritual itu selesai tiba-tiba angin bertiup dengan sangat kencang, langit tampak bercahaya kemudian terdengar kembali seruan “Nyai Rangkas sekarang kamu telah mendapatkan yang kamu inginkan, tugas kamu adalah memelihara titisanku itu dengan baik karena suatu saat ia akan menjadi pembawa kedamaian bagi sebuah kerajaan yang sedang dalam kekacauan!”
Mendengar suara seruan tersebut Nyai Rangkas merasa semakin yakin kalau ia telah mengandung seorang anak yang dititiskan oleh dewa angin. Karena ritual pertapaan telah selesai maka Nyai Rangkas pun turun dan meninggalkan batu besar itu dengan hati yang berbunga-bunga. Ia kembali menyusuri tepi sungai dan pulang ke rumah dengan harapan memberikan kejutan untuk suami tercintanya.
Setibanya di rumah Nyai Rangkas melihat keadaan rumah sepi, senyap dan berantakan kemudian ia memanggil-manggil suaminya. Abang … abang … abang ada dimana ? saya ada berita gembira untuk abang ! setelah beberapa kali memanggil suaminya Nyai Rangkas tak jua mendengarkan jawaban dari suaminya. Hingga kemudian Nyai Rangkas keluar dan mencari suaminya di sekitar halaman rumah mereka. Karena suaminya tak ditemukan Nyai Rangkaspun pulang kembali ke rumah. Awalnya ia berpikir kalau suaminya hanya pergi sebentar ke hutan untuk mencari makanan atau berburu. Hari demi hari berlalu, sang suami yang dinanti tak jua datang sementara perut Nyai Rangkas semakin membesar dan harapan berkumpul kembali dengan sang suami tercinta sirna, dan perlahan-lahan merasa kesepian dan kehilangan suaminya Nyai Rangkas memutuskan untuk pergi ke hutan untuk mencari suaminya.
Ketika matahari terbit Nyai Rangkas pun berangkat kehutan untuk mencari suaminya dengan membawa bekal seadanya ia bertekad tidak akan pulang tanpa suaminya. Dalam perjalanan menyusuri hutan ia melewati rawa-rawa tempat suaminya tewas diterkam serigala. Saat ia melihat keatas tiba-tiba ada seekor burung hitam menjatuhkan kotorannya iapun merasa kejadian itu pertanda bahwa hal buruk telah terjadi dan seketika pula perasaannya Nyari Rangkas jalan dan tanpa sengaja kakinya tersandung kayu sehingga ia pun terjatuh, dan tanpa sengaja pula tangan Nyai Rangkas tertuju pada sebuah gelang dari batu yang tergeletak di atas tanah, dimana di sekitar gelang tersebut juga terdapat tulang-tulang bangkai manusia. Melihat gelang tersebut Nyai Rangkas berkata dalam hati “Gelang ini adalah milik suamiku, oh dewa apakah yang terjadi pada suamiku” dan kemudian ia berteriak kencang memanggil-manggil suaminya” sekarang …. Suamiku … dimana kamu sekarang !!! karena tak kuasa menahan rasa sedih tubuh Nyai Rangkas gemetar kemudian pingsan.
Tidak tahu datang dari arah mana tiba-tiba datang seorang nenek menghampiri dan membawa Nyai Rangkas ke sebuah Gua. Yang mana gua tersebut tak jauh dari tempat Nyai Rangkas bertapa untuk memohon diberikan seorang anak. Saat sadar Nyai Rangkas merasa heran dan ia tidak tahu dirinya berada dimana. Lalu ia duduk, sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tiba-tiba datang seorang nenek tua membawa segelas air untuk Nyai Rangkas seraya mengatakan “sebaliknya Nyai minum air ini dulu agar badan Nyai lebih segar, dan Nyai jangan teralu banyak bergerak karena badan Nyai masih lemah” Nyai Rangkas pun menjawab “Tapi saya sekarang ada dimana ne dan siap nenek sebenarnya ? dari mana nenek mengetahui nama saya” nenek tua itupun menjawab “nenek ditugaskan oleh dewa angin untuk menjaga Nyai dan anak yang ada dalam kandungan Nyai.” Nyai rangkas masih bingung dengan kejadian-kejadian yang menimpanya sesaat ia tercengang dan teringat akan suaminya, ia merasa menyesal telah meninggalkan suaminya waktu itu. saat Nyai Rangkas merenungi nasibnya, nenek tua itu datang kembali menghampirinya membawa makanan untuk Nyai Rangkas. Kemudian nenek itu mengatakan “sudahlah Nyai, jangan terlalu sedih kau memikirkan kepergian suamimu, karena itu sudah menjadi takdirnya” Nyai Rangkas menjawab “Tapi ne saya sangat mencintainya! Saya tak mampu hidup tanpanya. “Nenek tua itu menjawab lagi “nenek mengerti dengan perasaan nyai! Tapi yang harus Nyai lakukan sekarang adalah memikirkan keadaan anak yang ada dalam kandungan Nyai”
Hari terus berganti, Nyai Rangkas terus menjalani hidupnya di gua bersama nenek tua yang diutus oleh dewa angin untuk menjaga ia dan bayinya. Hingga akhirnya Nyai Rangkas melahirkan seorang anak laki-laki yang mana anak tersebut ia beri nama Nandangin. Bersama nenek tua itu Nyai rangkas merawat dan menjaga mandangin hingga mandangin tumbuh menjadi seorang anak yang tampan dan baik hati.
Seiring dengan berjalannya waktu mandangin tumbuh dewasa. Ia tampan, kuat, dan baik hati serta suka menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongannya, selain itu ia juga sangat berbakti kepada ibunya. Meski memiliki banyak kelebihan mandangin tidak pernah menyombongkan diri dan ia juga tidak pernah mengeluh tidak pernah dalam keadaan serba kekurangan dan tanpa seorang ayah. Sampai pada suatu hari ketika ia berburu di hutan ia melihat ada sebuah batu besar dan ia merasakan melepas rasa penasarannya mandangin naik keatas batu besar itu. tiba-tiba ia mendengar suara seruan yang ia pun tak tahu suara tersebut datang darimana “Mandangin jika kau ingin mendapatkan kekuatan dan kesaktian, lakukanlah pertapaan di atas batu itu selama satu purnama”, Seketika suara itu menghilang, mandangin tercengang sesaat kemudian ia pergi meninggalkan batu besar itu dan pulang kembali ke gua dengan membawa hasil buruannya. Namun sepulangnya dari batu besar itu mandangin tidak berbicara satu katapun kepada ibunya. Wajah dan perilakunya tampak seperti orang kebingungan. Melihat kelakuan mandangin yang tidak sama seperti hari-hari biasanya Nyai Rangkas mengampiri Mandangin dan bertanya “ada apakah gerangan yang terjadi denganmu anakku ? sepertinya kamu sedang bingung”. Mendengar pertanyaan ibunya mandanginpun menceritakan tentang kejadian yang ia alami saat pergi berburu. Mendengar cerita anaknya Nyai Rangkas terdiam. Ia bertanya dalam hati “apakah suara itu adalah suara dewa angin”. Tapi ia mencoba mengalihkan perhatian anaknya dengan mengatakan “mungkin itu hanya halusinasimu saja anakku” Mandangin menjawab mungkin juga ibu”! ia mengiyakan perkataan ibunya meski ia merasa yakin kejadian itu nyata. Malam semakin larut dan ke adaan sunyi senyap Nyai Rangkas tak bisa tidur karena ia terus memikirkan tentang cerita anaknya. Melihat Nyai Rangkas tidak bisa tidur nenek Kiap menghampirinya dan bertanya “apakah gerangan yang kau pikirkan Nyai ? sampai-sampai kau tak bisa tidur” mendengar pertanyaan nenek Kiap Nyai Rangkas langsung menceritakan kejadian yang dialami oleh Mandangin ketika pergi berburu.
Mendengar cerita itu nenek Kiap berkata kepada Nyai Rangkas “Nyai mungkin sekarang sudah waktunya Nyai membiarkan Mandangin untuk pergi mengembara dan menjalankan takdirnya sebagai pembela kebenaran”. Kemudian Nyai Rangkas bertanya pada nenek Kiap. “Lalu apa yang harus saya lakukan untuk Mandangin Ne” nenek Kiap menjawab “Besok pagi kau siapkan bekal untuk mandangin dan kau suruh dia pergi mengembara untuk menegakkan kebenaran. Namun sebelum pergi suruh dia bertapa terlebih dahulu selama satu purnama di batu besar seperti yang telah diserukan oleh dewa angin kepadanya
Malam berganti pagi Nyai Rangkas sibuk menyiapkan bekal untuk mandangin pergi mengembara. Ketik matahari naik dari ufuk timur Nyai Rangkas menghampiri mandangin yang baru saja selesai makan. Ia berkata “wahai anakku sekarang kau sudah menjalankan takdirmu. Namun sebelu kau pergi mengembara kau pergi lakukanlah ritual pertapaan seperti yang telah diserukan oleh dewa angin kepadamu agar kamu mendapatkan kesaktian sebagai bekal melindungi diri dan membela kebenaran”. Mandangin menjawab “Tapi bagaimana dengan ibu? Saya tidak tega meninggalkan ibu di sini!”. Mendengar pertanyaan anaknya dengan berat hati Nyai Rangkas mengatakan” sudahlah anakku, jangan kau pikirkan keadaan ibu suatu saat kau pasti akan bertemu lagi dengan ibu”!. Dengan berat hati pagi itu Nyai Rangkas melepaskan kepergian anaknya tercinta dan mandangin pun pergi meninggalkan gua yang menjadi tempat berteduh selama dalam asuhan ibunya. Dalam perjalanannya menyusuri hutan menuju tempat pertapan tanpa sengaja ia melihat seorang perempuan cantik turun mandi di sungai Mandahan. Walaupun demikian mandangin tetap berjalan menuju tempat pertapaan setibanya di atas batu besar ia langsung melakukan pertapaan. Hari demi hari berlalu hingga satu purnama pun terlewati. Ketika ritual pertapaan selesai tiba-tiba terdengar suara petir seolah-olah memecah bumi kemudian diiringi dengan angin yang bertiup sangat kencang dan dahsyat pertanda kesaktian telah diperoleh Mandangin. Sebelum mandangin meninggalkan pertapaan terdengar suara seruan “Hai mandangin hari ini telah aku turunkan kesaktianku padamu, gunakanlah kesaktian itu untuk membela kebenaran”. Sesaat setelah suara seruan hilang mandangin pergi dan meninggalkan tempat pertapan dan memulai perjalanannya untuk mengembara. Ia terus berjalan menyusuri hutan tepi sungai Mandahan hingga akhirnya ia masuk ke sebuah kampung yang bernama Perek Rango. Kampung itu dikuasai oleh seorang penguasa yang bernama Tuman ia sangt jahat dan kejam serta suka menindas lain. Di kampung itu tidak ada lagi kedamaian semua penduduk tampak ketakutan ketika melihat Tuman dan gerombolannya. Meski demikian mandangin tetap berjalan menyusri kampung untuk mencari tempat peristirahatan. Ketika sedang duduk melepas lelah di sebuah pondok kecil, tiba-tiba mandangin melihat seorang gadis berjalan melintasi di hadapannya. Yang mana perempuan itu adalah istri dari Tuman sang penguasa yang kejam. Sesat mandangin tercengang dan merasa wajah perempuan itu tak asing lagi. Dan ternyata perempuan itu adalah orang yang ia lihat turun mandi di sungai mandahan ketika ia hendak pergi bertapa.
Angin bertiup sepoi-sepoi udara menjadi semakin sejuk menambah kenikmatan suasana pada sore itu. belum puas melihat suasana tiba-tiba datang gerombolan toman yang tampak beringas dan kejam dengan menyert beberapa warga dan menggotong tiga orang perempuan desa. Meski sampbil teriak mereka tampak tak berdaya melawan kekuasaan gerombolan tersebut. Melihat keadaan itu mandangin langsung berdiri dan menghampiri gerombolan itu seraya mengatakan “salah seorang dari gerombolan itu menjawab “Siapa kamu berani-beraninya kamu menantang kami”! mandangin menjawab “aku adalah mandangin dan aku tidak suka melihat ketidakadilan”. Mendengar perkataan mandangin para gerombolan itu marah dan menghadang mandangin dengan mandau. Namun mandangin tidak takut meski ia punya senjata hingga akhirnya perkelahianpun terjadi. Mandangin menghantam gerombolan itu dengan jurus-jurusnya hingga sebagian jatuh terkapar dan terluka karena merasa tak mampu melawan mandangin gerombolan itu pergi dan melaporkan kejadian itu kepada penguasa kampung yaitu si Tuman. Mendengar cerita itu Tuman marah dan mengambil senjata pusakanya kemudian mencari mandangin yang berani menantang kekuasaannya dengan diikuti oleh beberapa gerombolannya. Sampai akhirnya ia menemukan mandangin di sebuah rumah makan. Tanpa basa-basi toman langsung menghadang mandangin dengan senjata pusakanya. Namun mandangin tidak menanggapinya hingga akhirnya tuman memukulnya dan iapun menghela untuk membela diri. Dengan beringas toman terus memukul mandangin. Karena sudah tidak tahan dengan perlakuan Toman mandangin melakukan perlawanan dan perkalahian terjadi dengan sangat sengit. Mereka saling adu kekuatan sihir hingga akhirnya tuman kehabisan energi karena terkena pukulan maut mandangin. Ketika toman tak berdaya tiba-tiba datang seorang perempuan menikamnya dari belakang dengan menggunakan sebuah belati. Dan ternyata perempuan itu adalah korban keserakahan dan nafsu birahi toman. Saat melihat wajah perempuan itu mandangin teringat kembali dengan perempuan yang ia lihat turun mandi di sungai mandahan. Namun ia tetap tak menyapanya. Ia hanya mampu memandang dari kejauhan.
Melihat Toman sudah mati masyarakat beramai-ramai menghampiri mandangin, mereka mengucapkan terimakasih karena mandangin mampu mengalahkan Toman dan membebaskan mereka dari cengkraman dan kekuasaan sebagai ucapakan terimakasih masyarakat bersepakat mengangkat Mandangin untuk menjadi pemimpin dan pelindung mereka dari kejahatan.
Karena sebagian besar masyarakat penghumin wilayah Perek Ranggo memintanya memintanya memimpin daerah itu maka mandangin tak mampu menolaknya hingga akhirnya ia menjadi pemimpin wilayah Perek Rango yang arib dan bijaksana sesuai dengan harapan ibunya tercinta.
Semenjak dipimpin oleh mandangin daerah perek rango menjadi daerah yang aman dan penuh kedamaian yang semua itu dapat dilihat dari wajah-wajah penduduk yang memancarkan keceriaan dan kebahagiaan.
Setiap hari mandangin selalu teringat dengan wajah perempuan cantik yang ia lihat turun mandi disungai mandahan. Untuk menghapus rasa penasarannya terhadap perempuan itu ia datang ke rumah perempuan itu dan mengambil perempuan itu untuk menjadi isterinya. Karena mandangin, adalah seorang pria yang tampan dan bijaksana sehingga tak ada perempuan yang mampu menolak lamarannya.
Akhirnya mandangin dan perempuan itu menikah dan membina rumah tangga yang bahagia bersama keturunannya.
Daerah Perek Rango selalu dikuasai oleh keturunan mandangin secara turun temurun dan daerah itu selalu dalam keadaan damai hingga sekarang.
Konon katanya jika kita ingin melihat daerah itu harus melakukan pertapaan di sebuah batu besar tempat pertapaan Nyai Rangkas dan Mandangin.

Sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1531511&page=2
Aktivis Reg. Kalimantan Tengah

Monday, December 14, 2009

Sejarah Kaharingan

Kaharingan adalah nama agama orang-orang Dayak di Kalimantan. Menurut orang Dayak, Kaharingan tidak dimulai sejak zaman tertentu. Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan, sejak Ranying Hatalla Langit menciptakan alam semesta. Bagi mereka, Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen. Datangnya agama-agama tersebut ke tengah orang Dayak Ngaju menyebabkan Kaharingan dipandang sebagai Agama Helo (agama lama), Agama Huran (agama kuno), atau Agama Tato-hiang (agama nenek-moyang).

Orang Dayak memang tidak mempunyai nama khusus yang terberikan (given) untuk menyebutkan sistem kepercayaan mereka. Ketika bertemu dengan orang-orang non-Dayak, mereka menyebut agama mereka sebagai Agama Dayak atau Agama Tempon. Hans Schรคrer dalam disertasi doktoralnya menggunakan istilah Agama Ngaju (Ngaju Religion) untuk menyebutkan sistem kepercayaan dan praktek keagamaan asli orang Dayak ini (buku asli 1946, 1963:12). Pandangan Schรคrer sangatlah kontras dengan pandangan umum pada waktu itu yang melihat orang Dayak sebagai orang yang “tanpa agama,” “kafir” atau “heiden”.

Sekitar pertengahan tahun 1945, kepercayaan asli orang Dayak ini telah mempunyai nama tersendiri yaitu Kaharingan. Nama Kaharingan mulai dipakai ketika pemerintah Jepang memanggil dua orang Dayak Ngaju yang bernama Damang Yohanes Salilah dan W.A. Samat, untuk mengetahui kejelasan nama dari agama suku Dayak Kalimantan, yang pada waktu itu disebut sebagai “Agama Heiden”, “Agama Kafir” dan “Agama Helo”. Salilah menjelaskan bahwa nama agama orang Dayak adalah Kaharingan yang artinya “kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatala Langit”. Dalam bahasa Dayak Ngaju sehari-hari kata Kaharingan berarti “hidup” atau “ada dengan sendirinya” sementara dalam basa Sangiang yaitu bahasa para imam ketika menuturkan mitos-mitos suci, Kaharingan berarti “hidup atau kehidupan”.

Pada zaman Jepang, Kaharingan mendapat penghargaan dan kedudukan yang terhormat. Untuk mencari simpati dan dukungan dari orang-orang Dayak, penguasa militer Jepang menyatakan Agama Kaharingan ada kaitannya dengan Agama Shinto, karena itu pada zaman Jepang untuk kali pertama agama suku ini diangkat dan diterima sebagai agama yang terpandang bahkan dijadikan partner serius pemerintah dalam menangani kebudayaan.

Untuk mengetahui lebih banyak tentang Kaharingan serta kebudayaan Dayak, pemerintah Jepang menyediakan semacam Pusat Penelitian (Puslit) yang disebut dengan Bagian Penyelidik Adat dan Kebudayaan Kalimantan. Salah satu kegiatan Pusat Penelitian yang berkedudukan di Banjarmasin dan di bawah pimpinan Prof. K. Uyehara adalah melakukan ekspedisi ke daerah pedalaman untuk mengadakan survei dan pendokumentasian adat dan kebudayaan Dayak. Dalam perjalanan ke pedalaman itu, dibawa serta orang-orang lokal yang dianggap tahu banyak tentang Kaharingan dan kebudayaan Dayak, antara lain Tjilik Riwut dan Damang Yohanes Salilah.

kepercayaan Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti Tollotang (Hindu Tollotang) pada suku Bugis, dimasukkan dalam kategori agama Hindu, mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya. Jadi mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda kemasannya.

Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranying / Ranying Hattalla/ Alatalla . Istilah Hattala / Alatalla adalah pengaruh agama islam dari suku melayu banjar.

Dewasa ini, suku Dayak sudah diperbolehkan mencantumkan agama Kaharingan dalam Kartu Tanda Penduduk, dengan demikian suku Dayak yang melakukan upacara perkimpoian menurut adat Kaharingan, diakui pula pencatatan perkimpoian tersebut oleh negara.

Tetapi di Malaysia Timur (Sarawak, Sabah), nampaknya kepercayaan ini tidak diakui sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum menganut suatu agama apapun.

Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan adalah Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) pusatnya di Palangka Raya, Kalimantan Tengah.

Isen Mulang Petehku

sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1556234&page=3

Sunday, December 13, 2009

Dayak Punan Kaki Merah: Antara Ada dan Tiada

Di hulu Barito ada tiga desa yang dianggap sebagai perkampungan orang Dayak Punan, yaitu Tumbang Karamu, Tumbang Tunjang, dan Tumbang Topus. Penduduk ketiga desa ini menyatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Punan. Punan adalah orang gaib, manusia perkasa di hutan rimba. Mereka bisa menghilangkan diri hanya dengan berlindung di balik sehelai daun. Jejaknya sulit diikuti. Mereka berjalan miring dan sangat cepat. Tubuh mereka ringan karena tidak makan garam.

Namun, kalau ditanya pada mereka tentang Ot Siau atau Punan Berkaki Merah, mereka sendiri mengatakan tidak pernah melihat maupun bertemu. Namun mereka yakin bahwa Punan Berkaki Merah memang ada, dengan ciri unik, yaitu tangan dan kaki berwarna merah seperti kaki burung Siau.

Penduduk tiga desa itu membuat dua kategori Punan. Pertama, ”Punan Pemerintah”, yaitu orang-orang Punan yang bersedia tinggal-menetap di kampung. Kedua, Punan Siau yang tinggal di goa dan mengembara di rimba belantara. Orang-orang Karamu, Tunjang, dan Topus mengaku diri sebagai ”Punan Menetap”, serta bersaudara dengan Punan Siau yang dipercayai tinggal di hulu Sungai Borak.

Punan yang ”asli”, menurut orang-orang ini, adalah mereka yang tinggal di rimba belantara dan dalam goa-goa yang gelap. Kaki dan tangan mereka diwarnai merah dengan daun saronang atau jarenang. Seluruh tubuh mereka dilapis dengan sejenis jamur yang mengandung fosfor sehingga tampak menyala di kegelapan.

Dalam hal berburu, orang Punan Siau pantang membunuh binatang yang lengah. Jika bertemu dengan rusa yang sibuk memakan dedaunan, ia bertepuk tangan keras-keras untuk memberitahukan kehadirannya.

Ketika rusa itu terkejut dan lari, barulah ia memburunya. Mereka itulah pemburu sejati bersenjatakan sumpit, serta pantang menaklukan buruan dengan cara mengintai diam-diam.

Sekalipun bisa bertutur banyak, tidak ada seorang pun dari penduduk tiga kampung itu pernah bertemu langsung dengan Punan Siau. Beberapa orangtua lainnya hanya mengatakan pernah melihat jejak kaki, tetapi tidak pernah melihat orangnya. Menurut mereka, hal itu terjadi karena orang Punan Siau memiliki kata lamunan, yaitu mantra sakti untuk menghilangkan diri di balik sehelai daun.

Punan adalah kumpulan cerita menakjubkan. Dalam khazanah lokal Kalimantan, Punan selalu digambarkan sebagai manusia perkasa dan ahli berburu. Mereka dilihat sebagai orang yang berkekuatan supranatural tinggi. Mereka dapat menghilang dan mempunyai penciuman yang tajam.Mereka juga dilihat sebagai manusia istimewa penghuni hutan. Orang Punan juga memiliki pengetahuan akan obat-obat manjur, dari akar dan daun-daun kayu hutan. Konon, jika para perempuan Punan melahirkan, mereka akan sembuh dalam satu hari.

Kuburan Punan

Di Desa Tumbang Topus sudah tidak ada lagi yang murni Punan. Yang ada hanyalah campuran antara Punan dan orang Siang-Murung, Bahau, Benuaq, dan Ot Danum atau Kahayan. Toras, Potogor, dan Batang Pantar yang jumlahnya ada beberapa di kampung itu menunjukkan bahwa dalam ritual kematian mereka cenderung sebagai orang Ot Danum atau Siang Murung.

Mereka mengidentifikasi diri sebagai keturunan Punan pada seonggok batu besar yang oleh orang setempat disebut dengan Batu Awu-BaLang. Pada ceruk dinding salah satu bukit batu itu tampak tergolek dua tengkorak dan tulang-belulang manusia.

Menurut mereka, tengkorak dan tulang-belulang itu adalah milik dua tokoh Punan yang bernama Awu dan BaLang. Menjelang wafat, mereka mengamanatkan agar tulang-belulangnya jangan dikubur dalam tanah, tetapi diletakkan di ceruk batu, seperti layaknya orang Punan yang berdiam di goa batu.

Bagi orang Tumbang Topus, Batu Awu-BaLang bukanlah sekadar kuburan, tetapi merupakan monumen asal-usul diri karena di sana terdapat petunjuk bahwa leluhur mereka memanglah orang Punan.

Pengetahuan tentang Punan bukan hanya monopoli pakar antropologi. Orang Dayak pun sangat aktif dalam membangun identitas dirinya. Sebagai internal agen, mereka aktif mengonstruksi diri. Di Tumbang Karamu, Tumbang Tujang, dan Tumbang Topus, dengan tegas mereka mengatakan ”Kami bukan Punan Habongkot, bukan Punan Kareho, dan juga bukan Punan Siau. Kami adalah Punan Murung.”

Hampir seabad yang lalu, Carl Lumholtz, seorang penjelajah asal Norwegia, telah melakukan ekspedisi Barito-Muller-Mahakam (1915-1916). Di hulu Sungai Busang ia bertemu dengan Punan Panyawung.

Namun kini, di awal abad ke-21, kalolah kita berkunjung ke hulu Sungai Murung, kita akan bertemu dengan Punan baru, yaitu Punan Murung, Punan yg sudah nggak asli lagi. Jadi, Punan itu ada dan tiada.(vb-01/Marko Mahin: Dosen Agama dan Budaya Dayak di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis Banjarmasin dan Peneliti di Lembaga Studi Dayak-21)

Kutipan : http://www.vivaborneo.com/dayak-punan-kaki-merah-antara-ada-dan-tiada.htm

Saturday, December 12, 2009

Sejarah Pulau Borneo

Pulau Borneo (Kalimantan) merupakan pulau ketiga terbesar di dunia setelah Pulau Greenland dan Pulau Papua. Luas keseluruhan Pulau Borneo adalah 736.000 KM 2. Pulau Borneo terdapat juga lintasan pegunungan di sebelah timur laut dengan gunung tertinggi adalah Gunung Kinabalu dengan puncak setinggi 4.175 M. Pulau ini beriklim tropis basah dengan suhu rata-rata 24-25 derajat celcius dan dilewati oleh garis khatulistiwa.

Diketahui bahwa bangsa asing sudah berhubungan dengan penduduk di Pulau Borneo ini sejak sekitar abad ke-1 M.

Berdasarkan peninggalan-peninggalan artefak sejarah yang sempat ditemukan, bahwa artefak yang paling tua yang ditemukan di Pulau Borneo ini adalah artefak dari Kerajaan Kutai yaitu dari masa abad ke-4 M yang beraliran hindu, terletak di pesisir timur dari pulau ini. Bahkan berdasarkan temuan artefak sejarah ini, bahwa artefak Kerajaan Kutai adalah temuan artefak yang tertua di Nusantara ini.

Pada abad ke-8 M Kerajaan Sriwijaya pernah berpengaruh di sepanjang pesisir barat Pulau Borneo ini dan pada abad ke-14 M Kerajaan Majapahit berpengaruh hampir di seluruh Pulau ini.

Pada awal abad ke-16 M orang-orang eropa mulai berdatangan di Pulau Borneo ini.

Berdasarkan catatan orang eropa disebutkan bahwa orang eropa pertama yang mendatangi Pulau Borneo ini adalah orang Italia yang bernama Ludovico de Verthana yaitu pada tahun 1507 M yang kemudian dilanjutkan dengan orang Portugis yang bernama Laurenco de Gomez pada tahun 1518 M terus disusul oleh orang Spanyol yang bernama Ferdinand Magellen pada tahun 1519 yaitu dalam perjalanan mengelilingi dunia, baru kemudian disusul dengan Belanda, Inggris dan Prancis. Dari orang-orang Eropa inilah kemudian nama Borneo di kenal sejak abad ke-15 M. Nama Borneo itu berasal dari nama pohon Borneol {bahasa Latin: Dryobalanops camphora)yang mengandung (C10H17.OH) terpetin, bahan untuk antiseptik atau dipergunakan untuk minyak wangi dan kamper, kayu kamper yang banyak tumbuh di Kalimantan,[1][2] kemudian oleh para pedagang dari Eropa disebut pulau Borneo atau pulau penghasil borneol,dari sebutan orang-orang eropa itu terhadap nama Kerajaan Brunei,karena saat itu Kerajaan Brunei merupakan Kerajaan yang paling dominan / terbesar di pulau ini sehingga setiap orang asing yang datang di Pulau ini, akan mengunjungi Kerajaan Brunei [3] sehingga kemudian nama Brunei menjadi ikon bagi pulau ini yang kemudian dipelatkan oleh lidah orang eropa menjadi Borneo yang kemudian terus dipakai hingga ke masa pendudukan kolonial Belanda yaitu “ Pulau Borneo “.

Pada tanggal 7 Juli 1607 Ekspedisi Belanda dipimpin Koopman Gillis Michaelszoon tiba di Banjarmasin, tetapi seluruh ABK dibunuh penduduk sebagai pembalasan atas perampasan oleh VOC terhadap dua jung Banjar yang berlabuh di Banten tanun 1595. Pada tahun 1612 di masa Sultan Mustain Billah, Belanda datang ke Banjarmasin untuk menghukum Kesultanan Banjarmasin atas insiden 1607 dan menembak hancur Banjar Lama (kampung Keraton) di Kuin, sehingga ibukota kerajaan Banjar dipindahkan dari Banjarmasin ke Martapura.

Berdasarkan dokumen yang ada bahwa perjanjian tertulis pertama antara orang eropa dengan penduduk Pulau Borneo di lakukan pada tahun 1609 M yaitu perjanjian perdagangan antara perusahaan dagang Belanda yaitu VOC dengan Raja Panembahan Sambas yaitu Ratu Sapudak walaupun kemudian bahwa hubungan perdagangan antara kedua belah pihak ini tidak berkembang.

Perjanjian kesepakatan VOC yang kedua dengan Kerajaan di Pulau Borneo ini adalah dengan Kesultanan Banjarmasin yang ditandatangani pada tahun 4 September 1635 di masa Sultan Inayatullah. Isi kontrak itu, antara lain, bahwa selain mengenai pembelian lada dan tentang bea cukai, VOC juga akan membantu kesultanan Banjar untuk menghadapi serangan dari luar. Aktivitas VOC kemudian lebih berkembang di sebelah timur dibandingkan dengan sebelah barat Pulau Borneo yaitu karena sebelah timur Pulau Borneo berhampiran dengan pusat lada dunia yaitu Kepulauan Maluku.

Pada masa kedatangan orang-orang eropa ini yang dimulai pada awal abad ke-16 M itu hingga kemudian masa kolonialisme mereka sampai abad ke-20 M, Kerajaan-Kerajaan yang terkemuka di Pulau Borneo ini disamping Kesultanan Brunei yaitu Kesultanan Banjarmasin, Kesultanan Sukadana, kesultanan Sambas dan Kesultanan Pontianak.

Sehubungan dengan serangan Napoleon ke Belanda pada paruh ke-3 abad ke-18 M kemudian membuat seluruh kekuatan VOC di Nusantara ini termasuk di Borneo di tarik kembali ke Belanda dan posisi Belanda di Nusantara ini kemudian digantikan oleh Inggris.

Setelah selesai perang dengan Napoleon, Belanda kemudian menempati lagi posisinya di Nusantara ini termasuk di Pulau Borneo namun kali ini aktivitas Belanda tidak lagi atas nama VOC tetapi langsung oleh Kerajaan Belanda dengan nama Pemerintah Hindia Belanda.

Pada tahun 1819 M Sultan Pontianak ke-3 (Sultan Syarif Usman Al Qadri) ditunjuk Pemerintah Hindia Belanda untuk memimpin Afdeling Pontianak.

Sampai tahun 1839 M, pengaruh kekuasaan di Pulau Borneo ini terbagi dalam 3 kawasan kekuasaan yaitu Sebelah barat daya di kuasai oleh Kesultanan Brunei, sebelah timur laut dikuasai oleh Kesultanan Sulu dan sebelah tengah dan selatan di kuasai Pemerintah Hindia Belanda yang sebagian besar wilayahnya diperolehnya dari Sultan Banjar, Tamjidullah I pada Perjanjian 20 Oktober 1756. Sebagian besar wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu kemudian direbut oleh James Brooke yang menjadi Raja di Sarawak.

Aktivitas Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Borneo ini jauh lebih agresif daripada masa VOC yang lalu karena saat itu Belanda bersaing keras dengan Inggris dalam merebut pengaruh di Pulau Borneo ini apalagi setelah diangkatnya James Brooke (orang Inggris) yang menjadi Raja Putih di Sarawak pada tahun 1841.

Untuk mengantisipasi ekspansi pengaruh dari James Brooke ke wilayahnya, maka Pemerintah Hindia Belanda kemudian mulai tahun 1846 M mengadakan perjalanan Tim Ekspedisi Pemerintah Hindia Belanda yang menyusuri seluruh tepi batas wilayahnya dengan wilayah yang dikuasai James Brooke. Tim Ekspedisi pertama dipimpin oleh Letnan II D. van Kessel yang menjelajahi arah barat dan kemudian dilanjutkan oleh Tim Ekspedisi yang dipimpin oleh Dr. CM. Schwaner yang menjelajahi arah timur.

Pada awalnya wilayah tengah dan selatan Pulau Borneo yang dikuasai Belanda ini dibagi oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam 3 Afdeling yaitu Afdeling Pantai Selatan dan Timur, Afdeling Sambas dan Afdeling Pontianak.

Kemudian Pemerintah Hindia Belanda menggabungkan Afdeling Sambas dan Afdeling Pontianak menjadi bernama Borneo Westkust membagi secara keseluruhan wilayahnya terbagi dalam 2 wilayah administrasi yaitu Borneo Westkust (Borneo sebelah barat) dan Borneo Zuid Oostkust (Borneo sebelah tengah dan timur) nama ini selanjutnya berganti menjadi Borneo Westerafdeling dan Borneo ZuidOostterafdeling.

Untuk mempersatukan wilayah borneo, maka pada tahun 1894, atas prakarsa Damang Batu, dari desa Tumbang Anoi di Kalimantan Tengah mengumpulkan semua orang yang memiliki gelar tamanggung, damang, dambung, dohong..se-borneo, dalam perjanjian Tumbang Anoi yang juga dihadiri oleh Afdeling Pontianak, yang waktu itu masih perwira pengganti yang didatangkan dari Bogor. sampai sekarang situs peninggalan perjanjian di Tumbang Anoi masih tersisa. Namun atas rekayasa pemerintah Belanda, pada saat itu Tempat Perjanjian Tumbang Anoi yang berupa BETANG, dihancurkan oleh tentara belanda agar perjanjian di Tumbang Anoi di anggap tidak ada. bahan bangunannya dipindahkan sebagian ke Kuala Kapuas, namun tidak dapat mengangkut semua materialnya karena terbuat dari batang ulin yang sangat dalam tertancap tanah, besar, berat serta medan yang panjang melalui sungai yang panjang untuk mengangkutnya.

Pada akhir masa kolonialisme Belanda di Pulau Borneo ini terdapat 2 daerah Residentie yaitu Residentie Pontianak dan Residentie Banjarmasin.

http://forumbebas.com/thread-71131-p...html#pid859093

Thursday, December 10, 2009

RANYING HATALLA dan ASAL MULA PENCIPTAAN ALAM SEMESTA


Oleh: Andriani S. Kusni

Dahulu kala, jauh sebelum manusia diciptakan dan diturunkan ke bumi, jauh sebelum alam semesta diciptakan, bertahtalah Sang Maha Pencipta. Ia adalah Sang Maha Pencipta yang memiliki segala sifat baik dan mulia. Ia memiliki nama-nama yang mencerminkan segala sifat baik dan mulia yang ada pada-NYA. Ia disebut Maha Tunggal, Maha Sempurna, Maha Agung, Maha Mulia, Maha Jujur, Maha Lurus, Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Suci, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Adil, Maha Kekal Abadi, Maha Pemurah, Maha Besar dan Maha Mendengar. Sang Maha Pencipta yang memiliki segala sifat Baik dan Mulia, Yang Maha Kuasa, Awal dan Akhir dari segala kejadian ini disebut Ranying Pohotara Raja Tuntung Matanandau Kanaruhan Tambing Kabanteran Bulan atau Ranying Hatalla.

Ranying Hatalla bertahta di tempat yang disebut Balai Bulau Napatah Intan Balai Intan Napatah Bulau di sebuah dataran tinggi yang disebut Bukit Bulau Kagantung Gandang Kereng Rabia Nunjang Hapalangka Langit. Dataran tinggi ini dikelilingi perairan yang disebut Tasik Malambung Bulau Laut Bapantang Hintan.

Ranying Hatalla memiliki banyak pembantu. Mereka diciptakan dari cahaya. Pembantu-pembantu Ranying Hatalla diciptakan jauh sebelum alam semesta dan manusia ada. Mereka adalah roh baik yang bertugas menyejahterakan dan menjaga keselamatan dan kemanan suku. Pembantu-pembantu Ranying Hatalla ini diistimewakan oleh Ranying Hatalla. Beberapa diantara mereka diberi kekuasaan untuk membebaskan dan mengikat.

Nama-nama roh baik yang membantu Ranying Hatalla menyelesaikan urusan keduniawian adalah Putir Selung Tamanang-penguasa padi dan beras, Raja Angking Langit-penguasa padi dan beras, Nyaru Menteng-penguasa perang, angin, petir, halilintar, api, dan menjaga keselamatan serta keamanan suku, Nayu-Penguasa perang, angin, petir, halilintar, api dan menjaga keselamatan serta keamanan suku bersama-sama dengan Nyaru Menteng, Pangantoha-penguasa perang, angin, petir, halilintar, api dan bersama-sama Nyarru Menteng juga Nayu bertugas menjaga keselamatan dan keamanan suku, Janjalung Tatu Riwut-penguasa mata angin dan bertugas mengendalikan semua arah mata angin, Gambala Rajan Tanggara-penguasa mata angin dan bersama-sama Janjalung Tatu Riwut bertugas mengendalikan semua arah mata angin, Raja Tuntung Tahaseng-bertugas mengatur usia atau nafas kehidupan manusia dengan wewenang dari Ranying Hatalla. Apabila ada manusia meminta umur panjang maka Raja Tuntung Tahaseng akan menjembatani komunikasi anata manusia dengan Ranying Hatalla. Lalu ada Tamanang Tarai Bulan yang bertugas merawat harta duniawi baik yang masih baru maupun yang sudah usang, Raja Sapanipas bertugas mengamati, memelihara, dan memperbaiki kehidupan manusia yang nasibnya kurang beruntung, dan Raja Mise Andau-pengendali waktu yang menghitung dan memperhatikan waktu siang dan malam bagi kehidupan manusia. Kemudian ada juga Raja Tunggal Sangumang yang bertugas membawa rejeki, iman dan kesempurnaan, Rawing Tempun Telung bertugas mengantar roh ke surga, Manteri Mama Luhing Bungai, Salutan Raja Nalawang Bulau bertugas memberi hikmah dan kebijaksanaan, Raja Sambang Maut yang berkuasa atas maut dan masih banyak lainnya.

Suatu waktu, berangkatlah Ranying Hatalla ke puncak Bukit Bulau Kagantung Gandang Kereng Rabia Nunjang Hapalangka Langit yang terletak di Batang Danum Mendeng Ngatimbang Langit, Guhung Tenjek Nyampalak Hawon. Dalam perjalanan menuju puncak dataran tinggi itu, Ranying Hatalla melihat satu wujud. Melihat wujud itu persis sama dengan diri-NYA, Ranying Hatalla pun bertanya,
“Wahai kau yang menyerupai wujud-Ku! Siapakah kau?”
Wujud serupa bayangan itu diam saja. Melihat wujud itu diam saja, Ranying Hatalla pun berkata,
“Karena kau tak menjawab-Ku maka kau kuberi nama. Namamu sekarang adalah Jata Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan*. Kau adalah penguasa alam bawah yang berada di Papan Malambung Bulau yang bertahta di Laut Bapantan Hintan.

Jata bertempat tinggal di alam bawah air. Untuk sampai ke tempat tinggal Jata, harus melewati sebelas penjaga yang masing-masing memiliki nama. Nama-nama penjaga itu adalah Tewang Lewun Bulau Bawin Lauk, Lewun Saluang Renten Tantahan, Mama Majarungkang Kiting, Balida Indu Tengkung Papan, Balantau Laut, Ranyinh Manjuhan, Tampahas Hagambus Kadai, Undang Indu Gagap Rangkang, Baung Manangking Karis, Bajuku Indu Metup-Merau, Bajai Katabelan Uluh Ponggok Pantar Penda Rasau Rohong.

Setelah melewati sebelas penjaga, barulah perjalanan dapat dilanjutkan dengan menembus tanah untuk mencapai alam bawah air. Selama perjalanan menembus tanah ini, ada 17 pintu yang harus dilewati agar bisa mencapai kediaman Jata. Ketujuhbelas pintu itu, mulai dari yang paling atas hingga pintu paling bawah bernama; Tumbang Ayuh Bulau, Lawang Sahep, Lawang Pating, Lawang Edan, Lawang Batang, Lawang Tunggul. Lawang Baner, Lawang Uhat, Lawang Baras, Lawang Karangan, Lawang Liang, Lawang Batu, Lawang tembaga, Lawang Salaka, Lawang Bulau, dan Lawang Hintan. Setelah melewati pintu terakhir maka tibalah di suatu daerah dimana dijumpai laut dan sungai. Dibawah laut dan sungai inilah, Jata memerintah atas kemurahan hati Ranying Hatalla yang memberinya kekuasaan.

Selepas memberi nama, Ranying Hatalla lalu mengajak Jata Balawang Bulau ke puncak dataran tinggi Bukit Bulau Kagantung Gandang Kereng Rabia Nunjang Hapalangka Langit. Di puncak dataran tinggi itu, disaksikan oleh Jata Balawang Bulau, Ranying Hatalla berfirman,
“Alangkah indahnya jika AKU menjadikan bumi, langit, bulan, bintang, matahari dan segala isinya. AKU akan membuat tiga alam dan isinya melalui delapan kali penciptaan untuk memenuhi keindahan yang KU inginkan. Ketiga alam itu adalah alam atas, bumi dan isinya serta alam bawah. Apakah kau setuju, wahai Jata Balawang Bulau?”
Jata Balawang Bulau mengangguk.

Ranying Hatalla lalu melepaskan Sarumpah Bulau* di suatu tempat. Seketika terdengar petir menggelegar. Kilat sambar-menyambar. Sarumpah Bulau lalu menjelma menjadi naga. Ciptaan pertama Ranying Hatalla telah terbentuk.

Setelah itu Ranying Hatalla melepaskan Lawung Singkap Antang. Membuka dan meletakkannya di atas badan Naga. Seketika terdengar lagi bunyi gemuruh. Petir menggelegar dan kilat sambar-menyambar. Lawung Singkap Antang tiba-tiba menjelma menjadi Petak Sintel Habalambang Tambun, Liang Deret Habangkalan Karangan. Ini adalah tanah bumi lengkap dengan laut, sungai, danau dan segala isinya juga tumbuh-tumbuhan yang hidup di tanah. Ciptaan kedua Ranying Hatalla terbentuk.

Untuk membuat ciptaan ketiga hingga kedelapan, Ranying Hatalla memutuskan untuk mengambil sifat-sifat baik dan mulia yang dimiliki-NYA sebagai bahan dasar ciptaan-NYA. Ranying Hatalla lalu mengambil Pandereh Buno yaitu sifat mulia-NYA yang maha lurus, maha jujur dan maha adil. Diiringi gemuruh halilintar, Pandereh Buno menjelma menjadi pohon besar yang sangat rimbun dengan buah-buahan ranum didahannya. Oleh Ranying Hatalla, pohon ini diberi nama Batang Garing atau pohon kehidupan. Tak seperti pohon-pohon lain yang sudah terbentuk sebelumnya pada kejadian penciptaan kedua, Batang Garing atau Pohon Kehidupan memiliki buah serta dedaunan yang terbuat dari emas, berlian dan segala jenis permata.

Setelah menciptakan Batang Garing atau Pohon Kehidupan, Ranying Hatalla lalu mengambil Peteng Liung Lingkar Tali Wanang. Ini adalah sifat kewibawaan yang Maha Besar dan Maha Agung Ranying Hatalla. Ketika Ranying Hatalla mengambil Peteng Liung Lingkar tali Wanang, terdengarlah gemuruh halilintar yang memekakkan telinga. Peteng Liung Lingkar Tali Wanang lalu menjelma menjadi Tambun Hai Nipeng Pulau Pulu. Ini adalah Kekuasaan yang Maha Kuat dari Segala Penjuru Kebesaran Ranying Hatalla.

Selepas penciptaan keempat. Ranying Hatalla berkata pada Jata,
“AKU ingin mengajakmu makan buah pinang yang telah kuciptakan di penciptaan kedua. AKU ingin memperlihatkan padamu sifat-sifat-KU yang lain agar dapat menjadi contoh bagimu.”
Ranying Hatalla lalu mengajak Jata Balawang Bulau makan buah pinang hasil ciptaan-NYA yang diciptakan di kejadian kedua. Ranying Hatalla ingin menunjukkan sifat-sifat-NYA yang Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Adil dan Bijaksana, dan Maha Indah pada Jata. Saat sedang makan, menggelegarlah petir. Buah-buah pinang yang dimakan berubah menjadi tiga burung yakni enggang betina, elang dan enggang jantan.

Ranying Hatalla telah menciptakan naga, bumi dan isinya, batang garing, kekuasaan, enggang betina, elang dan enggang jantan. Namun belum ada langit, bulan, bintang dan matahari. Juga belum ada gelap dan terang. Maka, disertai gemuruh halilintar yang sambar-menyambar, diciptakanlah langit, bulan, bintang dan matahari. Langit dibuat tujuh tingkat. Masing-masing tingkat memiliki penjaga. Ditentukan oleh Ranying Hatalla bahwa langit ketujuh adalah puncak langit. Tidak ada langit yang lebih tinggi daripada langit ketujuh. Dilangit ketujuh inilah Ranying Hatalla bertahta dengan segala kuasa-NYA.

Setelah langit selesai diciptakan, Ranying Hatalla menginginkan hiasan yang indah bagi langit. Selain indah, Ranying Hatalla ingin agar hiasan langit itu juga berguna bagi manusia nanti. Maka Ranying Hatalla menciptakan bintang. Bintang-bintang ini akan membantu manusia saat bekerja di ladang dan saat manusia melakukan perjalanan dengan menjadi penunjuk arah.

Lalu Ranying Hatalla menentukan gelap dan terang. Maka diciptakanlah matahari dan bulan.Terang disebut siang saat matahari muncul. Gelap adalah malam saat bulan nampak.

Alam semesta telah lengkap. Setelah semua selesai diciptakan, Ranying Hatalla berkata pada segala ciptaan-NYA,
“Wahai naga, bumi, air, langit, bulan, bintang, matahari, enggang dan elang, AKU perintahkan kalian menempati tempat kalian masing-masing. AKU adalah Ranying Hatalla, Pencipta, penguasa dan Pemilik kalian. AKU adalah Raja dan Tuhan kalian. AKU adalah Yang Maha Kuasa, Awal dan Akhir segala kejadian, dan cahaya kemuliaan-KU yang terang, bersih dan suci, adalah cahaya kehidupan yang kekal abadi dan AKU sebut ia Hintan Kaharingan.”
Naga, bumi dan isinya, langit, bulan, bintang, matahari, enggang dan elang menundukkan kepala lalu bersujud di hadapan Ranying Hatalla dan menyatakan ikrar dan sumpah kesetiaan mereka. Selepas mengucapkan ikrar dan sumpah, pergilah masing-masing ke tempat yang telah ditentukan Ranying Hatalla.

Sekarang Ranying Hatalla ingin melengkapi ketujuh penciptaan-NYA dengan penciptaan kedelapan. Ranying Hatalla ingin menciptakan manusia, penghuni alam semesta. Namun sebelum menciptakan manusia, Ranying Hatalla ingin menciptakan tujuh raja yang akan menjadi sahabat dan membantu-NYA membawa ajaran Ranying Hatalla kepada manusia.

Maka, Ranying Hatalla mengambil dua sifat lagi dari diri-NYA. Kedua sifat itu adalah Kemuliaan-NYA yang Maha Suci dan Keagungan-NYA yang Maha Mulia. Ranying Hatalla lalu menyatukan kedua sifat tersebut hingga terbentuklah Bukit Intan dan Bukit Emas. Masing-masing bukit memiliki cahaya terang yang berpendar lembut dan hangat. Akibat benturan cahaya Bukit Intan yang menyatu dengan sinar Bukit Emas maka lahirlah tujuh raja yang diinginkan Ranying Hatalla. Ketujuh raja ini masing-masing diberi nama. Mereka adalah Raja Mandurut Untung, Raja Mandurut Bulau, Raja Barakat, Raja Angking Penyang, Raja Garing hatungku, Raja Panimbang Darah, dan Raja Tamanang.

Setelah ketujuh raja diciptakan, Ranying Hatalla lalu menyatukan Bukit Intan dan Bukit Emas. Penyatuan kedua bukit ini kelak akan menjadi cikal bakal diciptakannya manusia.***


Kisah ini disadur dari kisah proses penciptaan menurut kepercayaan Kaharingan versi Daerah Katingan dan digabungkan dengan versi Daerah Kahayan

Isen Mulang Petehku
 
Copyright © 2009-2013 Cerita Dayak. All Rights Reserved.
developed by CYBERJAYA Media Solutions | CMS
    Twitter Facebook Google Plus Vimeo Flickr YouTube